Pokok Persoalan Indonesia Raya

Pokok Persoalan Indonesia Raya

Setelah membiarkan Blog I-I tidak ter-update selama beberapa minggu, saya berharap pada halaman utama rekan-rekan kembali menemui tulisan Makna Kemerdekaan Indonesia Raya lebih lama. Tetapi memang klise dan membosankan juga pada akhirnya. Apalagi terjadi kericuhan-kericuhan yang melukai Indonesia Raya dengan insiden di Malaysia. Selain itu, ada cerita "burung" ala pahlawan kesiangan dari PK Kasus Munir. Kemudian ada kisah sukses intelijen di Afghanistan, kisah dimulainya perang intel menjelang 2009, kisah konsolidasi beberapa oportunis separatis yang tidak kebagian kue di Aceh, Papua, dan Maluku. Tidak kalah menarik adalah kisah perburuan Dul Matin di Filipina, Zulkarnain dan Noordin M Top di sebuah pedesaaan yang sedikit berbukit-bukit. Sementara soal pendekatan China dan Russia ke Indonesia Raya tampaknya dingin-dingin saja karena pengaruh Virginia memang cukup solid di tingkat elit. AS dan Jepang tetap berupaya mengikat Indonesia dalam hubungan erat yang semakin erat. Terakhir adalah berkembangnya kondisi demi kondisi yang semakin meresahkan di sisi sosial ekonomi yang juga menjadi perhatian sejumlah analis intelijen.

Apa sesungguhnya yang menjadi pokok persoalan Indonesia Raya? Pertanyaan tersebuh menghantui saya selama berhari-hari dan semakin membingungkan karena meski ada banyak jawaban, tampaknya hal itu justru melahirkan rasa pesimis yang mendalam. Betapapun juga, perlu saya sharing beberapa pokok pemikiran yang lahir dari perenungan saya sebagai berikut:

Pertama, persoalan yang paling krusial adalah masalah kebijakan ekonomi nasional Indonesia. Setelah keyakinan atas sistem ekonomi liberal menguasai seluruh elit pengambil keputusan, seyogyanya harus tetap ada reserve untuk menekan gejolak dari rakyat miskin yang terhempas dinamika riil ekonomi yang kejam. Perlu disadari bahwa mekanisme pasar yang saat ini mau tidak mau menjadi bagian dari apa yang harus Indonesia mainkan dalam percaturan internasional, berdampak positif bagi komponen bangsa yang siap dan berdampak negatif kepada masyarakat yang tidak siap. Dengan kata lain yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Meskipun indikator ekonomi makro akan berherak positif sejalan dengan kebijakan yang ditempuh, namun proses pemiskinan masyarakat tidak terhidarkan. Apakah ini semata-mata kekeliruan strategi pemerintah, ataukah ini akibat dari kebodohan dan kemalasan rakyat Indonesia? tentu masing-masing dari kita perlu melakukan introspeksi. Setelah kita yakin dengan persoalan yang dihadapi, seharusnya langkah-langkah perbaikan sudah bisa dilakukan untuk mencegah kerusakan yang lebih parah. Apabila anda berjalan-jalan di kota-kota besar Indonesia kemudian juga ke wilayah pedesaaan, kita akan menemukan begitu banyak ketimpangan yang seolah-olah mencerminkan keajegan kondisi ekonomi kita. Memang secara fisik terjadi pembangunan, kemudian kita juga melihat tumbuhnya kelompok menengah yang produktif, tetapi kita juga harus menangung meningkatnya persoalan sosial rakyat miskin yang semakin banyak. Dampak lanjutan berupa tidak kriminal menjadi makanan berita sehari-hari, seolah-olah Indonesia sudah tidak aman lagi sebaagi tempat hidup.

Kedua, perilaku para pejabat negara Indonesia Raya masih mencerminkan tingginya ego pribadi dan kelompok. Cermin paling buruk tampak dari dunia Yudikatif yang merefleksikan borok busuk yang bau dengan beberapa dinamika centil yang seolah-olah merupakan upaya tegas membangun independensi hukum. Cermin berikutnya yang sudah semakin membaik adalah dunia legislatif, meski masih jauh dari harapan perbaikan demi perbaikan menjanjikan terciptanya dunia politik yang santun dan perjuangan kelompok yang tidak merugikan kepentingan umum rakyat Indonesia. Di kalangan eksekutif baik di pusat maupun daerah relatif masih sarat dengan kepentingan sesaat. Walaupun hal itu dianggap sebagai resiko demokrasi, namun rakyat harus sadar dan memiliki sikap dalam memilih pemimpin di masa mendatang, yaitu pemimpin yang berani dan sungguh-sungguh berjuang untuk kemajuan bersama seluruh bangsa Indonesia untuk tingkat nasional, dan untuk kemajuan daerah di tingkat lokal. Kelakuan para elit seringkali justru menjadi penghambat pembangunan nasional karena ada benturan kepentingan di antara mereka.

Ketiga, merosotnya profesionalisme aparatur negara tercermin dari persoalan-persoalan yang dimulai dari awal pendidikan, seperti sekolah kedinasan, sampai pada pembinaan dan karir yang perlu terus diperbaiki. Lebih jauh lagi juga menyentuh masalah sistem penggajian dan pensiun.

Keempat, masalah korupsi masih menjadi penyakit terbesar di negeri Indonesia Raya yang harus segera diatasi secara menyeluruh dan terus Keempat, masalah korupsi masih menjadi penyakit terbesar di negeri Indonesia Raya yang harus segera diatasi secara menyeluruh dan terus

Beberapa catatan di atas dalam tataran yang wajar merupakan hal yang biasa di negara manapun. Tetapi mengapa kita tidak merasakan adanya derap langkah kompak dalam kerangka Indonesia Raya membangun bangsa dan negara Indonesia?

Biarpun sudah klise dan membosankan tidak ada salahnya bila kita mengingatkan diri kita sendiri tentang masa depan bangsa Indonesia membangun Indonesia Raya.

Sekian