Demokrasi dan Ekonomi

Demokrasi dan Ekonomi

Hari ini 26 Februari 2007, saya tergoda untuk memberikan pujian atas editorial Media Indonesia yang secara cerdas mengangkat tema ekonomi vs demokrasi yang dikemas dalam judul Kemakmuran Ekonomi Mengawal Demokrasi. Ada baiknya rekan-rekan Blog I-I mencermati editorial singkat tersebut secara bijaksana dan ikut serta memikirkan solusi yang baik dalam menyikapi derap langkah pembangunan Indonesia yang rawan ATHG khususnya yang dipicu oleh persoalan ekonomi. Berikut ini catatan penting yang saya sarikan dan saya tambah dengan intelijen sbb: Pertama Adalah benar bahwa DEMOKRASI Indonesia masih belum berada pada zona aman. Bahkan, demokrasi yang tergolong terbesar di dunia itu masih berada pada zona risiko tinggi. Salah satunya dilihat dari sudut pandang ekonomi seperti diungkapkan dalam ilustrasi pemikiran ilmiah yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Boediono dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (24/2). Kedua Perhitungan Boediono bahwa dengan pertumbuhan ekonomi 7% setahun, dan laju pertumbuhan penduduk 1,2% setahun, sehingga penghasilan per kapita tumbuh sekitar 5,8% setahun, diperlukan sembilan tahun lagi bagi Indonesia untuk bisa mencapai zona aman demokrasi adalah sah-sah saja. Padahal, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2006 masih sekitar 5,5%. Adapun target pertumbuhan ekonomi tahun ini antara 5,7%-6,3%. Jadi, pertumbuhan ekonomi 7% setahun cukup tinggi sekalipun bukan mimpi. Catatan Blog I-I, asumsi ekonomi tersebut

cenderung mengabaikan fakta psiko-sosiologis masyarakat, dimana pada satu sisi ada semacam kelembaman karakter orang Indonesia yang suka mengulangi kesalahan di masa lalu dan "nrimo". Kemudian di sisi lain ada watak kemarahan tiba-tiba (amook massa) yang disebabkan oleh meledaknya ketidakberdayaan menjadi kebencian pada "apapun" yang mapan. Artinya kerawanan bisa meledak sewaktu-waktu, pasca bencana tsunami di Aceh, gempa di Yogya, lapindo di Sidoarjo, banjir di Jakarta, bencana kecelakaan transportasi di darat, laut dan udara, Blog I-I melakukan observasi langsung dimana sumpah tangisan keluarga korban dalam nuansa kebencian yang mendalam atas ketidakadilan pemilik modal dan pemerintah sangat kuat. Hal itu bukan saja disebabkan oleh fakta kurangnya perhatian, tetapi juga soal tanggung jawab yang tidak jelas di pundak siapa. Ketiga, jalan panjang yang harus ditempuh bangsa ini untuk mengamankan demokrasi dari sudut pertumbuhan ekonomi jelas sangat mendewakan kemakmuran ala ekonomi liberal, dimana asumsi bahwa perut kenyang dan kemapanan akan mendorong peningkatan pendidikan serta kedewasaan demokrasi yang pada akhirnya membawa pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai (baca: acuh tak acuh pada masalah politik). Padahal masalah kultur/budaya politik juga tidak kalah pentingnya dalam merusak tatanan demokrasi. Apabila dalam 9 tahun dengan pertumbuhan ekonomi 7%, Indonesia bisa masuk zona aman, maka apa jaminannya pertumbuhan tersebut bisa berkeadilan sosial, karena semua tahu pertumbuhan tahun 2006 yang 5,5% tidak mencerminkan pemulihan ekonomi Indonesia secara global. Ada elemen konsumsi (orang berduit) yang besar di sana, serta belum ada tanda-tanda kebangkitan industri nasional, bahkan

investasi infrastruktur-pun kurang laku. Artinya belum ada pondasi ekonomi yang meyakinkan bagi terjaminya pertumbuhan 7% secara berkelanjutan. Keempat Sangat membanggakan??? hanya karena dalam tempo cepat, sangat cepat, negara yang puluhan tahun dipimpin dengan otoriter ini berubah menjadi salah satu negara demokratis terbesar di dunia bersama India dan Amerika Serikat. Bahkan, Indonesia merupakan negara demokratis terbesar di dunia dengan penduduk mayoritas muslim yang juga terbanyak di jagat. Catatan: Janganlah terlalu besar kepala kita ketika dipandang sebagai negara demokratis karena potensi konflik dari pembukaan hampir seluruh keran kebebasan (liberalisme) telah melahirkan monster baru. Monster baru yang bernama kekuatan kelompok berduit yang mampu mengarahkan kemana demokrasi akan bergulir. Kelima Andaikata variabel kemakmuran ekonomi secara linear langsung mempengaruhi demokrasi, maka bagaimana Boediono akan menjawab demokrasi di Iran dengan kemandirian ekonominya. Bagaimana pula Boediono bisa menjawab fenomena demokrasi di beberapa negara Amerika Latin yang memberikan jawaban untuk kembali pada sosialisme yang tidak serta merta memuja kemakmuran ekonomi. Adapun mengenai kebenaran dalil bahwa krisis ekonomi yang berat hampir pasti akan menjatuhkan rezim politik yang ada merupakan dalil yang terlalu umum. Mengapa tidak diperjelas apakah krisis tersebut memang bagian dari krisis dunia, disengaja oleh pihak asing, ataukah akibat kesalahan manajemen ekonomi nasional (kebijakan), atau karena kebusukan penguasa dan pemilik modal yang serakah.

Keenam Agak aneh bila tiba-tiba kita berpikir Demokrasi Indonesia yang sedang mekar itu dapat punah karena krisis ekonomi kembali datang menghajar bangsa ini (cenderung provokatif menakut-nakuti). Agak aneh juga bila kemudian kita mengambil kesimpulan euforia demokrasi dengan seluruh eksesnya yang menghambat pertumbuhan ekonomi harus segera diakhiri (istilah euforia demokrasi merupakan serangan langsung ke jantung demokrasi). Demokrasi bukan soal hambat-menghambat, tetapi soal sikap mental dan sistem yang disepakati bersama oleh seluruh elemen bangsa. Demokrasi juga soal kesepakatan aturan main yang transparan. Apabila kemudian secara eksplisit Boediono menekankan pentingnya bangsa ini mengambil posisi strategis mengenai imbangan antara teknokrasi dan demokrasi saya setuju. Tetapi kalo hal itu dimaksudkan untuk melemahkan posisi kritis anti liberalisme ekonomi Indonesia saya sangat tidak setuju. Ketujuh Lukisan pemikiran Boediono jelas tendensius, apalagi pemikiran tersebut merupakan pidato ilmiah Boediono sebagai guru besar UGM. Saya jadi terkenang Prof. Mubyarto dengan ekonomi kerakyatannya yang banyak dicemooh oleh kaum liberal Indonesia (karena dianggap tidak rasional secara ekonomi). Tentu saja pemikrian-pemikiran kritis harus diarahkan kepada pemikiran yang membenturkan kemakmuran ekonomi dengan demokrasi. Dalam mencari imbangan antara teknokrasi dan demokrasi memang tidak mudah bukan karena masalah demokrasinya, tetapi karena kepentingan politik "kelompok" yang mengganggu kebijakan ekonomi nasional yang terpadu dan berkelanjutan. Kemudian hal itulah yang menyebabkan distorsi terhadap kebijakan ekonomi nasional. Mengenai rasionalitas kebijakan ekonomi, Boediono seharusnya paham

bahwa rasionalitas perhitungan ekonomi pembangunan hanya dipahami oleh para ekonom, sedangkan rakyat hanya paham masalah-masalah praktis yang langsung terkait dengan kehidupan sehari-hari. Ketika terjadi kenaikan harga beras misalnya, apakah Boediono bisa menjelaskan kepada rakyat yang berpenghasilan dibawah 1$US bahwa hal tersebut sebagai akibat dari kebijakan ekonomi yang tidak rasional atau yang rasional. Kemudian masalah privatisasi berbagai sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak apakah ketika kemahalan yang harus dibayar juga merupakan hal yang rasional. Apakah mekanisme subsidi dan proteksi sudah sedemikian haramnya sehingga menjadi kebijakan gila dalam ekonomi pembangunan. Kedelapan Himbauan Harian Media Indonesia yang menggarisbawahi dua hal besar yaitu, di satu pihak presiden sebagai kepala eksekutif berani mengambil langkah-langkah teknokrasi di bidang ekonomi, dan di lain pihak, DPR lebih rendah hati untuk menghormati kebijakan teknokratis yang diambil kabinet harus digarisbawahi lagi. Bagi Blog I-I, faktor terpenting dari persoalan ini adalah pada wujud nyata kebijakan teknokratis yang dimaksud. Keberanian mengambil kebijakan teknokratis bukan berarti kebal kritik pedas, dan sebaliknya kerendah-hatian DPR untuk menghormati kebijakan teknokratis harus dilandasi oleh keyakinan dan kecerdasan ekonomi (Intelijen Ekonomi) bagi kemakmuran bangsa Indonesia. Kesembilan Blog I-I telah merenungkan ajakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Boediono bahwa kebijakan ekonomi, sampai batas tertentu, perlu diinsulasikan dari hiruk-pikuk politik sehari-hari. Tanpa mengesampingkan fakta besarnya kepentingan sempit dan jangka pendek bahwa rasionalitas perhitungan ekonomi pembangunan hanya dipahami oleh para ekonom, sedangkan rakyat hanya paham masalah-masalah praktis yang langsung terkait dengan kehidupan sehari-hari. Ketika terjadi kenaikan harga beras misalnya, apakah Boediono bisa menjelaskan kepada rakyat yang berpenghasilan dibawah 1$US bahwa hal tersebut sebagai akibat dari kebijakan ekonomi yang tidak rasional atau yang rasional. Kemudian masalah privatisasi berbagai sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak apakah ketika kemahalan yang harus dibayar juga merupakan hal yang rasional. Apakah mekanisme subsidi dan proteksi sudah sedemikian haramnya sehingga menjadi kebijakan gila dalam ekonomi pembangunan. Kedelapan Himbauan Harian Media Indonesia yang menggarisbawahi dua hal besar yaitu, di satu pihak presiden sebagai kepala eksekutif berani mengambil langkah-langkah teknokrasi di bidang ekonomi, dan di lain pihak, DPR lebih rendah hati untuk menghormati kebijakan teknokratis yang diambil kabinet harus digarisbawahi lagi. Bagi Blog I-I, faktor terpenting dari persoalan ini adalah pada wujud nyata kebijakan teknokratis yang dimaksud. Keberanian mengambil kebijakan teknokratis bukan berarti kebal kritik pedas, dan sebaliknya kerendah-hatian DPR untuk menghormati kebijakan teknokratis harus dilandasi oleh keyakinan dan kecerdasan ekonomi (Intelijen Ekonomi) bagi kemakmuran bangsa Indonesia. Kesembilan Blog I-I telah merenungkan ajakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Boediono bahwa kebijakan ekonomi, sampai batas tertentu, perlu diinsulasikan dari hiruk-pikuk politik sehari-hari. Tanpa mengesampingkan fakta besarnya kepentingan sempit dan jangka pendek

bahwa stakeholder pembangunan ekonomi bukan hanya eksekutif dan legislatif, tetapi ada unsur gerakan masyarakat seperti pelaku bisnis, lsm, buruh, tani, dan seluruh komponen yang menggerakan perekonomian nasional. Tentu saja hal itu tidak berarti seluruh komponen terlibat dalam kebijakan ekonomi. Mekanisme keseimbangan, transparansi, serta tujuan kebijakan ekonomi yang jelas harus mendahului proses insulasi, selain itu perlu juga dilihat bagaimana dampaknya bagi bagi para stakeholder. Kesepuluh atau yang terakhir adalah kita patut berterima kasih kepada Boediono yang telah mengingatkan anak bangsa ini bahwa demokrasi memerlukan tingkat kemakmuran ekonomi sebagai syarat wajib yang bila tidak dipenuhi akan memukul mundur demokrasi. Namun ada yang aneh pada bagian akhir editorial yakni ilustrasi bahwa seorang seperti Hitler bisa lahir, yaitu ia dipilih secara demokratis, tetapi dari sana kemudian membunuh demokrasi. Apa hubungannya ajakan Boediono dengan lahirnya seorang Hitler ? Sekian ------------------------- Catatan: Saya hampir kirimkan artikel di atas kepada Redaksi Media Indonesia,

namun saya urungkan karena saya masih menunggu dokumen paparan Boediono dari rekan di UGM. Apabila ada rekan yang merasa hal ini perlu diketahui Redaksi Media Indonesia, silahkan saja dikonfrontasikan