Skenario Terbaru Terorisme Indonesia

Skenario Terbaru Terorisme Indonesia

Watak hangat-hangat tahi ayam Indonesia sangat dipahami oleh mayoritas pengamat Indonesia (Indonesianis). Hal ini tentu saja dipahami sepenuhnya oleh intelijen asing yang menjadikan Indonesia sebagai tempat bermain yang menyenangkan. Baik dari sisi kerjasama maupun upaya merubah wajah Indonesia semuanya menyenangkan.

Dalam menghadapi masalah terorisme, sudah mulai tampak tanda-tanda kembali pada posisi normal, dimana masalah terorisme dianggap hal yang kurang penting oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Tidak lebih dari urusan kriminal sejumlah pelaku yang dicitrakan sebagai kelompok Islam garis keras. Hal itu tentu sangat mengkhawatirkan bagi pihak yang berkepentingan mengangkat kembali msalah terorisme sebagai masalah paling penting di negara ini. Padahal masalah pembangunan pertanian dan industri serta sejumlah bencana besar seharusnya menjadi prioritas utama di negara ini.

Akan sia-sia upaya pemeliharaan ancaman teroris di Indonesia bila tidak ada lagi ledakan, dan yang ada hanya kejar-kejaran sperti Tom and Jerry yang sudah tahu persis dimana, bagaimana dan bilamana dilakukannya.

Terkait dengan adanya rencananya kelanjutan perang melawan teror yang dimotori AS, maka Blog I-I menghimbau kewaspadaan publik atas ancaman bom yang mungkin akan terjadi lagi mulai saat ini sampai masa Terkait dengan adanya rencananya kelanjutan perang melawan teror yang dimotori AS, maka Blog I-I menghimbau kewaspadaan publik atas ancaman bom yang mungkin akan terjadi lagi mulai saat ini sampai masa

Satu hal yang perlu diperhatikan oleh Tim Kontra Teroris Indonesia adalah bahwa akan terus ada kejutan di luar daftar yang sudah dimiliki. Kejutan itu mau tidak mau akan berbentuk ledakan. Ini bisa terjadi karena musuh sesungguhnya bukanlah sesama bangsa Indonesia yang terpengaruhi untuk melakukan tindakan teror, melainkan the puppet master yang bergerak di belakangnya.

Akar Terorisme di Indonesia adalah masuknya agen-agen yang memusuhi Islam serta mengarahkan para alumni Mujahid untuk melakukan tindakan teror. Mengapa Blog I-I sangat yakin, hal ini tampak dari fakta bahwa para Mujahid asal Indonesia pada umumnya adalah orang-orang sederhana yang ingin mengabdikan hidupnya untuk tegaknya agama Islam. Sangat tidak benar, bahwa Mujahid Indonesia adalah orang miskin dan berpendidikan rendah. Hal ini adalah propaganda musuh Islam yang sengaja masuk dalam bentuk informasi menyesatkan. Lihat sendiri bagaimana kondisi pejuang asal Indonesia di sebagian wilayah Timur

Tengah, mereka adalah orang-orang yang tidak mabuk harta seperti kebanyakan pemimpin di negeri ini. Sekali lagi, kelemahan mereka justru pada lemahnya kewaspadaan bahwa mereka diperalat oleh agen-agen penyusup untuk merubah sikap tegas dalam memegang ajaran Islam menjadi gerakan teroris. Alasan berupa teror satu-satunya jalan karena jalan lain sudah tertutup oleh kapitalisme global adalah rayuan yang cukup berhasil. Apalagi bila dihadapkan dengan fakta betapa kuatnya AS dan sekutunya, dan tragedi WTC adalah pemicu untuk aktifnya hampir seluruh sel di dunia. Padahal sel-sel tersebut sudah dalam genggaman intelijen, termasuk di Indonesia. Adalah soal pilihan untuk segera menghancurkan atau menjadikannya mainan.

Dari berbagai arah CIA membidik serta menghangatkan suasana perang melawan teror di Indonesia. Itulah mengapa BIN pernah memberikan peringatan kepada CIA bahwa BIN tahu gerakan mereka melalui salah satu agennya, lihat Sidney Jones. Lihat juga Why Sidney Jones. Hal ini menjadi semakin menarik bila kita berkunjung ke indymedia.

Namun kemudian terjadi kesepahaman dengan rejim SBY untuk memerangi terorisme dari berbagai arahnya.

Saran dari Blog I-I, selidiki akar terorisme dengan pengungkapan seluruh jaringnya termasuk infiltran yang mendorong alumni Mujahidin untuk melakukan tindakan teror.

Hal yang sangat ditakuti adalah apabila seluruh elemen Islam garis keras maupun moderat semua sadar dengan permainan intelijen ini, sehingga terbuka dialog yang lebih baik. Namun saat ini sudah ada upaya pembentukan konflik antara Islam berorientasi internasional dengan Islam asli Indonesia (NU & Muhammadiyah), sehingga Islam di Indonesia tidak akan pernah kuat. Hal cukup menarik adalah semakin kuatnya pengaruh propaganda liberalisme Islam yang sesungguhnya memiliki dasar sederhana nasionalisasi sekulerisme, namun semakin kebabalasan dengan menyentuh berbagai aspek kehidupan beragama yang membuat marah kelompok Islam tradisional maupun internasional.

Semoga tidak adalagi ledakan, yang sesungguhnya rencananya tidak bergantung pada ditangkapnya AD, NMT atau siapapun, karena dengan mudah akan ada pemimpin baru yang sudah disusupi oleh infiltran, contoh faktual adalah Umar Farouq.

Kepada segenap komunitas pejuang Jihad yang meyakini perang adalah kewajiban, mohon direnungi baik-baik.

Sekian Posted by Senopati Wirang /Saturday, June 16, 2007

Tidak semua JI Teroris?

Lambat sekali Sidney Jones baru mengeluarkan oret-oretan logika tentang anggota-anggota Jamaah Islamiyah (JI).

Sebuah logika lama yang dipertegas untuk mewarnai perdebatan pasca penangkapan Abu Dujana dkk di Indonesia. Logika tersebut akan menjelaskan mengapa begitu banyak elemen Islam yang memberikan dukungan kepada kelompok yang dianggap teroris oleh aparat keamanan Indonesia. Sebuah logika yang telah lama menjadi acuan analis intelijen sipil Indonesia.

Bagi Senopati Wirang, artikel Sidney kali ini merupakan yang terbaik yang

obyektifitasnya cukup bisa dipertanggungjawabkan. Mungkin Sidney sudah mulai insyaf serta mulai bosan dan justru merasa ikut memikul tanggung jawab untuk memecahkan persoalan terorisme yang disebabkan oleh kelompok kecil yang berfaham radikal yang memilih jalur kekerasan. Bila semakin banyak analis obyektif dalam menuliskan analisanya, maka secara bertahap persoalan radikal agama dan teroris di Indonesia akan bisa diatasi tanpa melahirkan masalah baru. Silahkan dibaca dalam bahasa aslinya............

pernah dia buat,

karena

"Not All JI Are Terrorists"

Sidney Jones dalam The Advertiser (Australia)

30 June 2007

For most in Australia, the name Jemaah Islamiah will be forever linked to the horrors of the first Bali bomb in which 88 Australians died. But to brand all JI members as evil incarnate is to suggest that the only real counter-terrorism option is to cast the net as wide as possible and lock up all suspects for ever. That's what might be called the ``Guantanamo option'' – and it won't work. Why? Because people have joined JI for different reasons, and some can

be dissuaded from using violence; because the biggest threat of more attacks may come from outside JI; because prisons can be a radicalising element; and because Indonesia is a democracy where less corruption and more justice may be as effective a means of fighting terror as police and spy satellites. JI is a dangerous organisation because it promotes an ideology that condones violence against Islam's enemies in the struggle to establish Islamic law. Towards that end it seeks to amass weapons and give members military training to prepare for the coming battle. But many members do not support indiscriminate violence against civilians and reject the notion that al-Qaida-style attacks on Indonesian soil are an appropriate response to the deaths of Muslims in Afghanistan, Iraq and elsewhere.

Many would have opposed the first Bali bombings if they had known about the plans: not even every member of the JI central command was in on the secret. The next three major bombings – the Marriott Hotel, the Australian Embassy and Bali II – were effectively the work of a splinter group led by Noordin Mohamed Top. If Noordin and his opponents are lumped together as equally bad, the opportunity to use the influence of the less extreme against the more extreme is lost. Not everyone is equally committed to the cause, but any hope of rehabilitation is undermined from the outset if anyone accused of terrorism is considered beyond redemption. In late March, 16 convicted terrorists – not JI – were moved from Ambon to Bali because local authorities found that some ordinary criminals had been recruited into jihadist ranks. Of those moved, perhaps four were doing the recruiting. The others included young Ambonese who indeed had been involved in attacks but who would benefit more from structured vocational training programs than from being thrown together with hardcore ideologues who could make them far more radical than they are now. Some young men were caught up in operations reluctantly but felt it was a betrayal of their friends to pull out; others joined because they were persuaded it was a way of showing solidarity with persecuted Muslims around the world. Many of these men need to be seen not as steelyeyed killers but as individuals who could use some guidance.

At the same time, the ideology that teaches hatred of the U.S. and its allies is not going to go away any time soon. It is true that U.S. policies, from Iraq to various aspects of the war on terror to one-sided support of Israel, help keep it alive, but very few of the millions exposed to jihadism on the internet or through religious study sessions become terrorists. In Indonesia, the factors used to explain terrorism elsewhere don't apply: the country is not under occupation and it doesn't suppress Islamic political parties. Those who join JI and other organisations are not a persecuted minority or alienated immigrant group. In Ambon and Poso, two areas where bitter Christian-Muslim fighting took place in the years following Suharto's resignation, unresolved grievances kept young men engaged in jihadi violence long after the sectarian strife had ended. Address those grievances, and the ideology's attraction diminishes. That's not the case in Java, where a network of JI schools (some 20 out of a total of 30,000 schools, so the Islamic school system is not the problem) continues to produce a new generation of potential recruits, and where the increasing reluctance of JI leaders to sanction attacks is pushing some hotheads into the arms of more radical groups. But even there, one recent graduate confessed he had no skills, and the only thing he was trained to do was teach in another JI school. It might be worthwhile to engage the local business community to set up onthe- job training programs to offer alternative prospects.

Some say the problem in Indonesia is democracy and that there was no terrorism under Suharto. But virtually all the men who later became JI leaders first joined a banned group called Darul Islam in the late 1970s and early 1980s as a protest against Suharto and went to Afghanistan to get the wherewithal to fight him. Authoritarianism produced JI, not democracy. Now the task is to reduce corruption and make the Government more responsive. Those who see victory in the recent arrests of two top JI leaders should remember that in the early 1980s, virtually the entire leadership of Darul Islam was arrested. It did not kill the organisation. Instead, in 1993, it produced JI.

Sidney JONES Posted by Senopati Wirang /Friday, July 13, 2007