Perang Ide di Metro TV

Perang Ide di Metro TV

East West Connection yang ditayangkan pada malam tanggal 5 Desember adalah nama program yang persis menggambarkan salah satu mekanisme perang ide sebagaimana pernah sedikit saya singgung dalam artikel Bagaimana Memenangkan Perang Ide.

America Abroad Media bekerjasama dengan Metro TV menjadi Host Bersama sebuah acara yang bagi saya telah membuktikan betapa pentingnya perang ide.

Dibawakan oleh Andrea Koppel bersama Najwa Shihab serta kunjungan Kania Sutisnawinata ke DC, kita bisa menyaksikan sebuah acara yang baru dan menarik. Dengan menampilkan dua Profesor Indonesia yaitu Prof. Amin Rais dan Prof. Azyumardi Azra dan dua pakar asal AS, yaitu Carl Gershman, MEd (President the National Endowment for Democracy) dan Karl D. Jackson, PhD (Director of Asian Studies, John Hopkins, SAIS). Bagi mereka orang Indonesia yang positif thinking akan segera memberikan applause....Program yang bagus !

Lalu bagaimana Blog I-I menilainya?

East West Connection sesuai dengan judulnya dibungkus oleh sebuah idealisme untuk melahirkan sebuah terobosan sharing persepsi, pemahaman dan ruang lingkup hubungan Islam, Teokrasi, Demokrasi, persepsi tentang AS di dunia Islam, perspesi tentang AS di Indonesia, East West Connection sesuai dengan judulnya dibungkus oleh sebuah idealisme untuk melahirkan sebuah terobosan sharing persepsi, pemahaman dan ruang lingkup hubungan Islam, Teokrasi, Demokrasi, persepsi tentang AS di dunia Islam, perspesi tentang AS di Indonesia,

Panelis Indonesia bagi saya tampak dibawah performa yang seharusnya karena terasa terlalu umum dan tidak menukik tajam komentarnya. Singkat kata baik pak Amin maupun Pak Azra berpendapat bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, bahkan tampak arah pandangan yang justru menganggap nilai-nilai demokrasi banyak terdapat dalam ajaran Islam. Menurut Prof. Amien Rais, dilihat dari sisi ke-Islaman ajaran agama ini tidak menghalangi diterapkannya nilai-nilai demokrasi dalam sendi kehidupan bermasyarakat. Prof Azra kurang lebih juga demikian, dengan sedikit penekanan pada ekses demokrasi yang too much di sana-sini di Indonesia.

Prof. Karl D. Jackson tampak membela diri manakala Prof. Amin Rais berulang kali menyampaikan soal faktor BUSH yang dominan dalam penciptaan persepsi tentang AS. Sebenarnya saya agak kecewa dengan landasan argumentasi Prof Amin Rais yang terlalu menekankan kepada aspek BUSH sebagai penyakit yang harus ditunggu lenyapnya. Sebagai seorang akademisi Politik Internasional seharusnya Prof Amin paham bahwa faktor ideosyncretic yang melekat pada diri BUSH hanya sepersekian persen dari proses pembentukan kebijakan luar negeri AS, seharusnya diperjelas ke dalam kelompok pengambil kebijakan plus Think Tank pendukungnya. Dalam hal ini AS perlu dipahami dari perspektif Republikan dan Demokrat serta Neocon beserta radikal Evangelisnya. Tapi saya maklum...mungkin saja keterbatasan waktu menyebabkan diskusi panel tersebut tampak hambar dan belum menyentuh akar Prof. Karl D. Jackson tampak membela diri manakala Prof. Amin Rais berulang kali menyampaikan soal faktor BUSH yang dominan dalam penciptaan persepsi tentang AS. Sebenarnya saya agak kecewa dengan landasan argumentasi Prof Amin Rais yang terlalu menekankan kepada aspek BUSH sebagai penyakit yang harus ditunggu lenyapnya. Sebagai seorang akademisi Politik Internasional seharusnya Prof Amin paham bahwa faktor ideosyncretic yang melekat pada diri BUSH hanya sepersekian persen dari proses pembentukan kebijakan luar negeri AS, seharusnya diperjelas ke dalam kelompok pengambil kebijakan plus Think Tank pendukungnya. Dalam hal ini AS perlu dipahami dari perspektif Republikan dan Demokrat serta Neocon beserta radikal Evangelisnya. Tapi saya maklum...mungkin saja keterbatasan waktu menyebabkan diskusi panel tersebut tampak hambar dan belum menyentuh akar

Dari sisi pakar AS, tampak bahwa penguatan demokrasi dianggap sebagai obat mujarab yang sedang digeluti Indonesia dan hal itu memang tidak mudah dan memerlukan proses dan waktu. Tak heran bila pujian terhadap negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang demokratis terasa berbunga-bunga. Karl D. Jackson PhD yang pernah mempublikasikan "Traditional Authority, Islam and Rebellion: A Study of Indonesian Political Behavior" pada tahun 1980an tampaknya cukup obyektif dan paham atas persoalan dinamika demokrasi di Indonesia. Namun bagaimanapun juga pandangan bahwa sekularisme sebagai jalan tentunya sulit diterima kaum Muslimin yang berpandangan untuk mempraktekan kehidupan beragama secara utuh. Jawaban Prof Azra bahwa Indonesia agak unik dan setengah-setengah dalam mempraktekan pemisahan agama dan negara sangat tepat.

Sementara pengamat politik Carl Gershman, mengatakan perlunya pemisahan nilai agama dengan kehidupan masyarakat, karena agama dengan aturannya sendiri dapat mengintervensi nilai-nilai kehidupan masyarakat yang universal. Hal itu juga didukung argumentasi rasional bahwa hubungan dengan Tuhan bersifat personal, sedangkan hubungan dengan masyarakat lain lagi.

Catatan penting dari Blog I-I dalam konteks perang ide adalah bahwa dalam program East West Connection tersebut, kedua pakar AS secara meyakinkan menyampaikan tentang pentingnya sekulerisme dengan Catatan penting dari Blog I-I dalam konteks perang ide adalah bahwa dalam program East West Connection tersebut, kedua pakar AS secara meyakinkan menyampaikan tentang pentingnya sekulerisme dengan

Kedua, pertanyaan Andrea Koppel mengapa AS mendapatkan citra negatif dalam dunia Islam tetapi tidak mendapatkan apresiasi dalam bantuan kemanusiaan di dunia Islam cukup menarik karena jawabannya berada pada ruang lingkup niat sampai pada ketulusan.

Ketiga, kesepakatan untuk memerangi terorisme sudah menjadi kemenangan ide Perang Melawam Teror, perkara apa dan siapa penggerak teror, diatur atau tidak, serta berbagai implementasi kebijakan yang melanggar HAM tidak disentuh. Sebuah fait a compli bagi Muslim moderat agar memerangi Muslim radikal.

Keempat, bahwa di Indonesia telah ada kelompok nasionalis yang cenderung anti AS tampak dinyatakan tanpa penjelasan mengapa hal itu tercipta. Bukankah penghianatan AS dan sekutu Barat terhadap kaum nasionalis Indonesia sangat jelas tercatat dalam sejarah. Lihat saja kasus Timor Timur, meskipun hal itu bukan sepenuhnya salah AS karena manajemen yang buruk dari era Orde Baru, namun mau tak mau sering dirasakan oleh kelompok nasionalis sebagai balik badannya AS. Lalu bagaimana pula dengan jatuhnya presiden Sukarno dan Suharto. Apakah kerentanan kepemimpinan nasional itu boleh menjadi mainan sedangkan rakyat Indonesia yang harus membayarnya. Entahlah apakah rakyat

Indonesia harus berterima kasih kepada AS atau mengutuknya.

Kelima, yang terpenting adalah catatan /komentar dari Gershman yang menyatakan bahwa tidak ada konflik Islam dan Barat. Thesis tentang Clash of Civilization dinyatakan terlalu menyederhanakan persoalan. Namun anehnya Gershman justru mengatakan bahwa ada konflik di dalam dunia Islam, yaitu Islam Jihadis dan Islam yang benar....aha, cukup unik bukan susunan logika dan argumentasi yang menggiring tersebut. Bahkan Prof Amin dan Prof Azra tampaknya tidak sadar dan jangan-jangan justru mengamininya saja.

Poin Kelima itulah yang sangat gencar dipropagandakan di dunia Islam di manapun, termasuk di Timur Tengah. Kelompok ini teroris...radikal dan bukan Islam yang benar karena melakukan kekerasan. Pada gilirannya nanti...kelompok Islam yang memperjuangkan agenda politik juga akan masuk dalam ruang radikal karena melawan sekulerisme, liberalisme dan pluralisme.

Saya tidak menyarankan membiarkan radikalisme merajalela, tetapi pendefinisian dan keputusan bangsa Indonesia dalam penyusunan masa depan Indonesia Raya jangan sampai didikte oleh pemikiran yang hanya sesuai dalam logika ilmuwan Barat. Menjadi tanggung jawab intelektual Indonesia untuk menyusun pondasi yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam berbagai aspek yang menjadi kerentanan dan kerawanan nasional Indonesia yang dipicu baik dari unsur domestik Saya tidak menyarankan membiarkan radikalisme merajalela, tetapi pendefinisian dan keputusan bangsa Indonesia dalam penyusunan masa depan Indonesia Raya jangan sampai didikte oleh pemikiran yang hanya sesuai dalam logika ilmuwan Barat. Menjadi tanggung jawab intelektual Indonesia untuk menyusun pondasi yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam berbagai aspek yang menjadi kerentanan dan kerawanan nasional Indonesia yang dipicu baik dari unsur domestik

Demikian pula dalam menghadapi apa yang disebut sebagai radikalisme "Islam" yang tumbuh subur di ruang ideologi karena kebebasan yang dijamin oleh demokrasi. Sesungguhnya efek samping menguatnya regiliusitas Islam di lingkungan demokratis terjadi di seluruh dunia Islam, Aljazair, Maroko, Mesir, Yaman, Indonesia merupakan negara- negara dimana kebangkitan religi justru tampak subur karena sistem yang demokratis. Ketakutan kaum sekuler dan pluralis adalah lahirnya kepemimpinan Islam yang kuat yang kemudian mereduksi demokrasi menjadi Teokrasi Islam, karena siyasah Islam dalam berbagai textbooknya menganjurkan pencapaian kekuasaan.

Sekali lagi saya tekankan bahwa menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa Indonesia untuk menjaga, membangun dan meneruskan apa yang menjadi kesepakatan bersama. Namun ketika terjadi perbedaan persepsi dan cita-cita...dialog harus dikedepankan dengan niatan mencari jalan keluar bersama. Keyakinan Senopati Wirang bahwa bangsa Indonesia mampu memimpin dirinya sendiri dan mampu menentukan masa depannya. Semoga.

Sekian SW

Posted by Senopati Wirang / Thursday, December 06, 2007

Perang Fikiran