Kondisi ini diperparah bila ada hujan pencucian nutrisi lebih cepat, pupuk Nitrogen dan Phospor mudah larut dalam air.
Pada tahun 2006 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Permentan No 47PermentanOT.140102006 tentang pedoman umum
budidaya pertanian pada lahan pegunungan. Dalam permentan tersebut disebutkan bahwa pada kecuraman lereng 15-25 persen tanaman semusim yang
boleh ditanam maksimum 50 persen, pada kecuraman lereng 25-40 persen maksimum 25 persen, dan kecuraman lereng 40 persen tidak dianjurkan untuk
ditanami tanaman semusim. Larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbulnya erosi yang lebih besar. Menurut Katharina 2007 tingkat erosi di
daerah penelitian Pangalengan untuk sistem penanam serah lereng, serah kontur dan teras bangku pada tahun pertama berturut-turut adalah 16.1 tonha, 12.1
tonha, dan 6.7 tonha. Unsur hara N dan P yang hilang adalah 47.96 kghatahun, 7.57 kghatahun untuk penanaman searah lereng.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa petani yang menanam sayuran kentang dan kubis di
kemiringan lahan lebih dari 15 persen sebanyak 55.2 persen. Di Pangalengan, Kertasari, dan Pasirwangi lahan diatas 40 persen semuanya diusahakan untuk
ditanami sayuran. Berdasarkan wawancara dengan Koordinator PPL dan para informan kunci, sulit mencegah petani untuk tidak menanam sayuran pada tingkat
kemiringan diatas 40 persen karena berkaitan dengan masalah ekonomi dan sosial. Masalah ekonomi yang timbul adalah kehilangan pendapatan yang akan
berdampak pada masalah sosial berupa tindakan kriminal dan kemiskinan yang berkelanjutan.
Katharina 2007 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa konservasi adalah keputusan yang masih selaras dengan keuntungan usahatani. Hasil
penelitian membuktikan bahwa usahatani kentang yang menerapkan sistem pertanian konservasi dalam satu musim tanam memberikan pendapatan yang lebih
kecil dibandingkan usahatani yang tidak melakukan konservasi, namun dalam jangka panjang 20 tahun usahatani kentang yang menerapkan sistem konservasi
memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak mengadopsi teknik konservasi. Selanjutnya dikatakan bahwa menerapkan
konservasi merupakan investasi jangka panjang yang memberikan penerimaan kumulatif lebih tinggi daripada biaya yang ditimbulkan.
Konservasi tanah memiliki peran penting dalam menentukan keberlanjutan sektor pertanian. Di Indonesia lahan kering kebanyakan berada pada daerah
berlereng 3 persen dengan bentuk wilayah berombak, bergelombang, berbukit dan bergunung Dariah et al, 2005 sehingga menyebabkan banyaknya erosi
akibat curah hujan yang tinggi, dan ini menyebabkan degradasi lahan di Indonesia. Dilain pihak penelitian konservasi tanah juga telah banyak dilakukan
antara lain oleh Arsyad 2000, menurutnya usaha konservasi ditujukan untuk 1 mencegah kerusakan tanah dan erosi 2 memperbaiki tanah yang rusak 3
memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang menjadi penyebab ketidakberlanjutan usahatani tanaman kentang dan kubis
adalah: kondisi iklim yang tidak menentu, serangan hama dan penyakit, air yang sulit diperoleh terutama pada musim kemarau, penggunaan bibit yang tidak
berkualitastidak bersertifikat, dan tingkat kesuburan lahan yang mulai menurun. Hal ini menyebabkan produktivitas turun yang pada akhirnya akan menurunkan
tingkat pendapatan dan menurunkan keberlanjutan usahatani kentang dan kubis. .
VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI DI JAWA BARAT
6.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sayuran Kentang
Dataran Tinggi di Jawa Barat
Pada bab ini pembahasan dibagi menjadi dua sub bagian meliputi analisis fungsi produksi dan analisis efisiensi teknik, alokatif, dan ekonomi serta sumber-
sumber inefisiensi. Sebagaimana telah disebutkan di metode penelitian, dalam penelitian ini digunakan model Fungsi Produksi Stochastic Frontier Cobb
Douglas. Model ini digunakan karena mempunyai self dual untuk menurunkan fungsi biaya yang akan digunakan untuk perhitungan efisiensi alokatif dan
ekonomi. Variabel penjelas dalam model produksi komoditas kentang dataran tinggi ini antara lain: luas lahan, jumlah benih, jumlah pestisida, jumlah pupuk
anorganik yang diukur dalam bentuk jumlah hara makro Nitrogen N, Phosfor P
2
O
5
, dan Kalium K
2
O unsur hara tersebut berasal dari pupuk Urea, TSPSP- 36, ZA, KCl, dan NPK , jumlah pupuk kandang organik, jumlah tenaga kerja,
kemiringan lahan, dan dua variable dummy yaitu musim tanam dan lokasi . Inefisiensi
dipengaruhi oleh karakteristik struktural dan manajerial.
Kemampuan manajerial petani dapat dipengaruhi oleh umur, pendidikan, pengalaman bertani, keanggotaan dalam kelompok, frekuensi penyuluhan, akses
terhadap kredit baik kredit ke lembaga keuangan formal maupun penyedia jasa saprodi. Kemampuan manajerial meningkat dengan tingkat pendidikan, akses
penyuluhan dan pengalaman, yang pada akhirnya menghasilkan tingkat produksi yang tinggi. Sistem penanaman searah lereng, searah kontur, dan teras bangku,
dan status kepemilikan lahan apakah lahan milik, lahan sewa, atau lahan garap merupakan sumber inefisiensi
Penelitian ini menggunakan model stochastic frontier dengan metode pendugaan Maximum Likelihood Estimator MLE yang dilakukan melalui proses
pendugaan dua tahap. Tahap pertama menggunakan Ordinary Least Square OLS dan tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga parameter
secara keseluruhan βi, intersep β
, dan varians dari komponen kesalahan vi dan ui
σ
v 2
dan σ
u 2
. Estimasi MLE untuk parameter fungsi produksi Cobb
Douglas dan model efek inefisiensi teknis dilakukan secara simultan dengan menggunakan paket komputer Program Frontier 4.1 dari Coelli 1996.
Dengan menggunakan persamaan 56 dengan variabel terikat Y = produksi kentang kilogram, hasil pendugaan parameter MLE fungsi produksi
Cobb Douglas Frontier disajikan pada Tabel 20. Hasil yang disajikan pada Tabel 20 merupakan model terbaik. Pada model ini variabel pupuk N dan P
digabungkan karena ada multikolinier ganda antara pupuk N dan P secara sendiri- sendiri. Pupuk K tidak digabungkan karena pupuk K ini merupakan hara penting
untuk tanaman umbi-umbian sehingga diharapkan dapat dilihat pengaruh langsung terhadap produksi kentang. Hasil estimasi selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran 5. Tabel 20. Parameter Dugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani
Kentang Dataran Tinggi di Jawa Barat, 2011 Koefisien standar-error
t-rasio Konstanta
7.7953 0.6659 11.7065
Luas lahan X1 0.6686 0.0894 7.4758
Benih X2 0.1262 0.0691 1.8258
Pestisida X3 0.0447 0.0372
1.2023 Pupuk K X4
0.0012 0.0068 0.1700
Pupuk N+P X5 0.0014 0.0135
0.1038 Pupuk Kandang X6
0.1097 0.0445 2.4677 Tenaga Kerja X7
0.0066 0.0669 0.0984
Kemiringan X8 -0.0079 -0.0018 -4.3659
Dummy Musim TanamX9 -0.0640 0.0631
-1.0134 Dummy Lokasi X10
0.1420 0.0613 2.3149 Varians dan nilai gamma
σ
2
= σ
v 2
+ σ
u 2
0.7100 0.3312 2.1439 γ = σ
v 2
σ
u 2
0.8401 0.0765 10.9830 L-R test
21.87 Sumber: data primer diolah
Keterangan: = nyata pada taraf
α= 0.01; = nyata pada taraf α= 0.05; = nyata pada taraf
α= 0.1; Berdasarkan hasil pendugaan pada Tabel 20. terlihat bahwa nilai rasio
generalized-likelihood LR lebih besar dari nilai tabel artinya secara statistik
nyata pada taraf α = 0.05 diperoleh dari tabel distribusi X Chi Square. Hal ini
mempunyai arti nilai LR test secara kuat menolak hipotesis bahwa tidak ada efek
inefisiensi. Artinya hampir semua variasi dalam keluaran dari fungsi produksi frontier dapat dianggap sebagai pencapaian efisiensi teknis berkaitan dengan
persoalan manajerial dalam pengelolaan usahatani. Pengaruh bersama dari usahatani individu secara sfesifik diterangkan oleh nilai LR test yang juga
menolak Ho. Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi ini dapat menerangkan keberadaan efisiensi dan inefisiensi teknis petani di dalam proses produksi
kentang, atau dengan kata lain aktivitas usahatani kentang dipengaruhi oleh efisiensi teknik.
Pengaruh inefisiensi dalam model stochastic frontier ditunjukkan oleh nilai σ
2
dan α. Parameter γ dugaan merupakan rasio dari varians efisiensi teknis u
i
terhadap varians total ε
i
. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 18.
Koefisien dugaan dari σ
2
adalah 0.71 dan γ sebesar 0.84 dan keduanya tidak
berbeda nyata dengan nol atau nyata berpengaruh pada taraf α = 0.01. Angka ini
menunjukkan bahwa 84 persen dari variasi hasil diantara petani sampel disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan sisanya sebesar 16 persen
disebabkan oleh pengaruh eksternal seperti iklim, serangan hama penyakit, dan kesalahan dalam pemodelan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh inefisiensi
teknik merupakan faktor yang berpengaruh nyata di dalam variabilitas output. Di daerah penelitian, pada saat dilakukan penelitian terjadi perubahan
iklim yang tidak menentu, pada bulan-bulan MK II yang seharusnya sudah musim kemarau, tetapi saat itu hujan masih ada dengan curah hujan yang tinggi hujan
hampir terjadi sepanjang tahun 2011 selama 11 bulan. Data dari stasiun Malabar Pangalengan menunjukkan angka curah hujan rata-rata sebesar 136 mm,
dan merupakan curah hujan tertinggi. Faktor ini diduga mempengaruhi faktor eksternal dalam model.
Berdasarkan hasil pada Tabel 20, terlihat bahwa semua parameter dugaan mempunyai tanda sesuai dengan harapan. Tanda koefisien
β semuanya positif, kecuali untuk kemiringan lahan dan dummy musim tanam. Beberapa variabel
berpengaruh pada α= 0.01 dan α= 0.05 yaitu lahan, penggunaan benih, pupuk
kandang, sedangkan penggunaan pestisida, penggunaan pupuk Kalium, Nitrogen, Phosfor dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata pada taraf
α= 0.1. Kemiringan lahan, dan dummy lokasi juga berpengaruh nyata terhadap produksi batas
frontier, sedangkan dummy musim tanam MH dan MK tidak berpengaruh nyata pada taraf
α= 0.1. Hal ini mempunyai arti secara statistik produksi tidak berbeda baik pada musim kemarau maupun musim hujan.
Secara umum nilai elastisitas pada data rata-rata geometrik lahan, benih, dan pupuk kandang mempunyai kontribusi yang besar terhadap produksi kentang.
Msuya et al., 2008, Obare 2010 melaporkan hasil yang positif dan signifikan pengaruh lahan terhadap produksi petani kecil dan sebaliknya tidak ada pengaruh
nyata luas lahan terhadap produksi yang dilaporkan oleh Wadud dan White 2000, Ahmad dan Bravo 1995.
Parameter dugaan pada fungsi produksi Cobb Douglas menyatakan besarnya elastisitas input. Seluruh input inelastis, artinya penambahan input 1
persen akan meningkatkan produk lebih kecil dari 1 persen. Besaran elastisitas untuk lahan sebesar 0.67. Artinya apabila lahan ditambah 10 persen maka
produksi kentang akan bertambah 6.7 persen. Angka ini menunjukkan bahwa produksi kentang sangat responsif terhadap luas lahan, atau dengan kata lain lahan
merupakan faktor dominan dari produksi kentang di Jawa Barat. Mengingat tingkat produktivitas sayuran masih relatif rendah, maka hasil ini perlu dikaji
lebih mendalam karena sumberdaya lahan secara keseluruhan cenderung semakin menurun.
Hasil ini juga konsisten dengan adanya kelangkaan lahan, terutama untuk sentra produksi Kabupaten Bandung dan Garut. Pada tahun 2010 di Kabupaten
Bandung terjadi penurunan produksi total untuk kentang, salah satu penyebab menurunnya produksi adalah berkurangnya luas lahan kering untuk tanaman
kentang sehingga sulit untuk memperluas areal tanam dan kebanyakan petani menyewa lahan atau menggarap lahan perkebunan dan kehutanan pada
kemiringan lahan yang tinggi. Besarnya kontribusi lahan pada produksi juga tercermin dari harga sewa lahan baik di Bandung maupun Garut. Harga sewa
lahan berkisar antara Rp 75 000 – Rp 350 000 per patok 400 m
2
per musim tergantung pada kualitas lahan, jarak, dan kemiringan lahan.
Gejala kelangkaan lahan dalam jangka panjang perlu disikapi dengan cermat dan bijaksana oleh pengambil kebijakan mengingat semakin banyaknya
fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, sementara kebutuhan
sayuran semakin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Dengan demikian karena perluasan lahan relatif sulit dilakukan maka alternatif lain adalah
melalui intensitas pertanaman tiga kali dalam setahun atau diversifikasi pola tanam. Oleh karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas perlu
ditekankan oleh pengambil kebijakan. Benih merupakan faktor penting lainnya dengan besaran elastisitas kedua
setelah lahan 0.13 diikuti pupuk kandang 0.11. Seperti diketahui saat ini benih menjadi pembatas dalam produksi kentang. Setelah impor benih dilarang oleh
pemerintah, maka petani membeli benih kepada penangkar sekitar lokasi atau membeli benih kentang yang tidak bersertifikat kepada petani lain. Berdasarkan
hasil wawancara, sebagian besar petani Garut juga kesulitan mendapatkan benih bersertifikat karena kurangnya penangkar yang berada di Garut hanya 5 orang
penangkar benih. Petani seringkali harus membeli benih dari penangkar di Pangalengan.
Berdasarkan hasil wawancara, ketersediaan benih bersertifikat dalam jumlah yang cukup belum tersedia. Di samping itu harga benih relatif mahal,
sehingga banyak petani menggunakan benih hasil panen sebelumnya. Dengan demikian ketersediaan dan distribusi benih unggul sangat penting difasilitasi oleh
pemerintah karena petani masih menghadapi permasalahan baik ketersediaan, maupun kualitas benih kentang. Balai Benih Induk BBI yang ada di
Pangalengan agar lebih difasilitasi terutama untuk benih dasar G2 dan benih sumber G3. Pengawasan kepada para penangkar yang ada sekarang perlu
ditingkatkan mengingat masih adanya benih campuranoplosan antara benih berlabel dengan benih konsumsi.
Pupuk kandang yang digunakan mempunyai tanda positif dan berpengaruh pada taraf
α= 0.01 serta mempunyai nilai elastisitas ketiga setelah lahan dan benih, dengan elstisitas produksi sebesar 0.12. Pupuk kandang berfungsi untuk
mengikat air tanah yang lebih besar sehingga pupuk yang terlarut masih tersedia dalam tanah, pupuk kandang juga dapat meningkatkan agregasi tanah, pori-pori
tanah dan air tanah. Di daerah penelitian hampir 100 persen petani menggunakan pupuk kandang. Rata-rata penggunaan pupuk kandang adalah 17 tonha untuk
kentang. Para petani di daerah penelitian mendapatkan pupuk kandang pada
umumnya dari luar kota, seperti dari Sukabumi dan Tangerang. Perlu dicermati adalah kontinuitas ketersediaan pupuk ini sehubungan dengan tingginya
penggunaan pupuk kandang. Barangkali perlu difikirkan supaya ketersediaan ini terus berlanjut. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah integrasi
sayuran dengan ternak sapi, mengingat di kedua daerah penelitian cocok untuk peternakan sapi perah atau atau pedaging.
Pestisida mempunyai dampak yang positif terhadap produksi kentang, namun tidak berpengaruh nyata pada
α= 0.1. Selanjutnya pupuk anorganik K, N, P serta tenaga kerja mempunyai pengaruh yang kecil terhadap produksi dan
tidak berpengaruh nyata. Dengan kata lain penggunaan pestisida dan pupuk anorganik sudah berlebihan overuse. Hasil ini konsisten dengan temuan Saptana
2011 pada usahatani cabai merah, Obare 2010 pada tanaman kentang di Kenya, Sukiyono 2005, namun kontradiktif dengan temuan Abedullah 2006,
Udoh 2005, Reddy 2002. Seperti diketahui pada tanaman kentang, pupuk K berfungsi sebagai
pengatur tekanan osmotik dan cofaktor enzim yang sangat diperlukan untuk tanaman umbi-umbian. Kekurangan K akan menyebabkan daun menguning mulai
pinggiran daun sampai pada daun tua. Sebaliknya kelebihan pupuk K tidak menunjukkan gejala dan disebut konsumsi mewah. Seperti telah dibahas pada bab
sebelumnya, di daerah penelitian penggunaan pupuk Urea dan ZA sudah melebihi dosis yang dianjurkan 579.7 kgha. Demikian halnya dengan pupuk TSP dosis
penggunaan di daerah penelitian rata-rata sebesar 461 kgha. Dosis penggunaan pupuk anorganik ini sudah melebihi dosis yang dianjurkan Penggunaan yaitu
sebesar 217 kg Urea dan 416 kg TSP. Walaupun penggunaan pupuk sudah berlebihan namun kentang banyak
ditanam di lahan berlereng dengan kemiringan yang tinggi 20 persen. Kondisi ini dapat menyebabkan pencucian nutrisi yang lebih cepat bila kena hujan,
disamping itu pupuk Nitrogen dan Phosfor mudah larut dalam air. Kondisi ini menyebabkan tidak berpengaruh nyatanya peubah pestisida dan pupuk anorganik.
Kemiringan lahan sangat berpengaruh nyata pada α= 0.01. Koefisiennya
yang negatif mengindikasikan bahwa semakin tinggi ketinggian lahan, semakin kecil produksi kentang yang dihasilkan. Temuan ini sejalan dengan Solis et al.