Sumber Inefisiensi Teknik, Alokatif dan Ekonomis Usahatani Kubis
keberlanjutan yang positif negatif menunjukkan usahatani menggunakan sumberdayanya lebih besar lebih kecil dibandingkan dengan benchmark. Atau
dengan kata lain apakah nilai yang diciptakan usahatani melebihi opportunity cost dari penggunaan sumberdaya tersebut.
Kondisi di lapangan memperlihatkan bahwa faktor yang mempengaruhi keberlanjutan seperti lahan sudah mengalami kelangkaan sehubungan dengan alih
fungsi lahan pertanian. Oleh karena itu perluasan lahan sayuran tidak memungkinkan dilakukan, kecuali petani memperluas lahan sewa ke arah lahan
dengan kemiringan lereng tinggi. Namun hal ini juga berdampak pada sumberdaya lingkungan seperti tingkat erosi yang tinggi. Hasil perhitungan
prediksi erosi di wilayah penelitian menunjukkan angka rata-rata 11,56 tonhatahun, meskipun masih d bawah toleransi erosi yang diperbolehkan 13
tonhatahun namun dalam jangka panjang dimugkinkan erosi dan kehilangan hara akan semakin besar. Hasil penelitian Katharina 2007 di Pangalengan
menemukan bahwa erosi yang akan muncul 20 tahun yang akan datang berada pada kisaran 13 – 16 tonha, angka ini melebihi Tolerable Soil Loss Pangalengan
yaitu 12,75 ton ha. Dari sisi permodalan, petani di daerah penelitian masih terjebak dengan
meminjam modal kepada para tengkulak atau toko sarana produksi, sehingga bila panen para petani tidak mempunyai kekuatan mencari harga yang lebih tinggi
karena sudah terikat utang piutang. Akibatnya petani kentang dan juga kubis mempunyai pendapatan yang tidak stabil, yang secara langsung akan berakibat
pada usahatani non konservasi. Hal ini akan memacu lebih cepat terjadinya erosi dan kerusakan ligkungan yang lebih parah. Demkian halnya pembentukan modal
kapital di daerah penelitian masih rendah, selama 5 tahun peningkatan aset lahan sangat rendah hanya 0.17 hektar namun nilainya bisa ratusan juta rupiah seiring
dengan peningkatan harga lahan yang signifikan karena lahan semakin langka. Pada petani sempit peningkatan luas lahan dalam 5 tahun lebih kecil lagi yaitu
sekitar 0.04 M
2
. Faktor lainnya yang menjadi penyebab kontribusi petani terhadap
keberlanjutan masih rendah adalah faktor kemiringan lahan. pada umumnya petani kentang atau kubis menanam pada kemiringan lereng 0-65 persen. Hal ini
tidak sesuai dengan kaidah konservasi. Arsyad 2000 menyatakan bahwa lahan dengan kemiringan 30 persen kurang cocok untuk tanaman semusim. Sebagian
besar petani menanam 65 persen, sehingga apabila ingin diusahakan untuk usahatani sayuran sebaiknya ditanami tanaman permanen Katharina, 2007. Hal
ini diperparah dengan sistem penanaman searah lereng sehingga dapat dikatakan petani belum menerapkan teknik konservasi. Data penelitian menunjukkan bahwa
hampir 50 persen petani menanam kentang atau kubis dengan sistem penanaman searah lereng lihat kembali gambaran umum Bab V. Tingginya intensitas
pertanaman di daerah penelitian 3 kali setahun bahkan lebih akan mempercepat kerusakan lingkungan, sehingga lahan kritis akan semakin besar dan ini akan
mengancam keberlanjutan usahatani. Dalam hal penggunaan sarana produksi, keberlanjutan usahatani kentang
maupun kubis juga ditentukan oleh kualitas benih. Seperti telah dikemukakan pada bab V dan VI, teknologi benih kentang masih rendah karena terbatasnya
penangkar benih yang menghasilkan benih bersertifikat. Penggunaan benih yang tidak bersertifikat, atau maraknya benih oplosan menyebabkan produksi tidak
dapat mencapai maksimal, dan kalau terus dibiarkan tanpa ada perbaikan produktivitas akan semakin menurun dan akan menurunkan keberlanjutan
usahatani kentang. Namun untuk benih kubis tidak jadi masalah karena benih impor masih diperbolehkan dan petani dapat membelinya di kios pertanian
terdekat. Seperti telah dikemukakan pada Bab V kontinuitas tanaman kentang di
daerah penelitian terjadi karena dukungan input luar yang relatif tinggi. Tingginya penggunaan pupuk NPK ini akan menyebabkan biaya semakin tinggi
disamping itu akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Rata-rata penggunaan pupuk NPK per hektar di daerah penelitian sekitar 710 kg, 579 kg Urea, 461 kg
TSP dan 112 kg KCl untuk kentang sedangkan untuk kubis penggunaan NPK per hektar sebesar 648 kg, Urea sebesar 537 kg, TSP 280 kg, dan KCl 261 kg.
Kebutuhan NPK ini sudah melebihi dosis anjuran Dinas Pertanian jawa Barat sebesar 714 kg yang terdiri atas Urea 256 kgha, SP 36 sebesar 125 kgha, dan
KCl 333 kgha. Di lapangan yang terjadi adalah gejala penurunan produktivitas dan stagnasi produksi pada tingkat penggunaan input yang lebih tinggi
Seperti dikemukakan sebelumnya, nilai keberlanjutan menunjukkan berapa banyak value added yang dapat diciptakan dari sumberdaya yang tersedia
dibandingkan dengan benchmark, maka Return to cost efisiensi keberlanjutan
merupakan indikator untuk mengukur efisiensi dari penggunaan sumberdaya, dan ukuran ini lebih konsisten dengan konsep efisiensi dan produktivitas. Efisiensi
keberlanjutan return to cost dapat dihitung dengan cara membagi nilai penerimaan dengan biaya dari keberlanjutan kapital ADVANCE, 2006; Figge
dan Hahn, 2005; dan Van Passel, 2009. Biaya dari nilai keberlanjutan kapital sama dengan nilai value added dikurangi dengan nilai keberlanjutan Van Passel,
2009. Rumus efisiensi keberlanjutan RtC dapat dilihat pada persamaan 74.
Nilai efisiensi keberlanjutan =1 artinya nilai value added sama dengan biaya untuk seluruh sumberdaya. Nilai efisiensi keberlanjutan 1 menunjukkan bahwa
usahatani secara keseluruhan lebih produktif dibandingkan benchmarknya. Dalam contoh di atas, efisiensi keberlanjutan = 0,26 =135 000 000135 000 000--360
805 497. Angka ini menunjukkan bahwa sumberdaya ekonomi, sosial, lingkungan belum dapat menutup biaya sumberdaya dibandingkan benchmarknya.
Efisiensi keberlanjutan lebih besar 1 menunjukkan bahwa penerimaan usahatani lebih besar dari penerimaan per unit sumberdaya. Tabel 39. menyajikan nilai
efisiensi keberlanjutan dari usahatani kentang dan kubis. Hasil perhitungan menunjukkan nilai maksimum dari efisensi keberlanjutan usahatani kentang
adalah 1.60 dan minimum 0.04 dengan rata-rata 0.49 Angka ini menunjukkan petani mengelola usahataninya hanya 49 persen atau hanya setengahnya
produktif kurang efisien dibandingkan dengan kondisi kalau sumberdaya tersebut digunakan oleh benchmark.
Bila dikaitkan dengan rata-rata nilai keberlanjutan Rp -37,19 juta Tabel 38 maka hal ini berarti sumberdaya dapat dialokasikan dan masih dapat
ditingkatkan untuk mencapai produksi frontiernya. Dengan kata lain usahatani dapat mengubah komposisi sumberdayanya, sumberdaya yang berlebihan dapat
digantikan dengan sumberdaya yang lebih efisien sehingga tambahan 37 juta dapat diciptakan. Nilai efisiensi keberlanjutan untuk usahatani kubis lebih kecil
dibandingkan kentang. Hal ini menggambarkan pengelolaan sumberdaya untuk
kubis lebih kurang produktif dibandingkan dengan kentang. Bila dikaitkan dengan pencapaian efisiensi teknik, fakta dilapangan menunjukan efisiensi teknik
untuk kubis lebih kecil dibandingkan dengan kentang. Tabel 39. Distribusi Frekuensi Return to Cost Efisiensi Keberlanjutan
Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011 Nilai
Efisiensi keberlanjutan RtC
Kentang Kubis Jumlah petani
orang Persentase
Jumlah petani orang
Persentase 0.4
92 45.3
107 64.5
0.41 - 0.8 80
39.4 37
22.3 0.81 - 1.2
23 11.3
13 7.8
1.21 - 1.6 7
3.5 2
1.2 1.61
1 0.5
7 4.2
Total 203 100
166 100
Minimum 0.04
1.60 0.49
0.01 2.89
0.42 Maksimum
Rata-rata
Dari Tabel 39 terlihat bahwa 86.8 persen petani masih mempunyai efisiensi keberlanjutan 0.8. Usahatani ke-i lebih efisien jika value added dalam
hal ini penerimaan melebihi biaya dari keberlanjutan. nilai RtC =1 jika penerimaan sama dengan nilai keberlanjutan dari usahatani, dan RtC 1
menunjukkan bahwa usahatani secara keseluruhan lebih produktif dibandingkan benchmarknya
. Temuan ini konsisten dengan dengan hasil penelitian Figge dan Hahn 2005, Van Passel et al 2006, Merante et al 2008, dan Ehrman 2008.
Namun hasil ini Van Passel 2009 menemukan bahwa pada peternakan sapi tidak ditemukan petani yang mencapai efisiensi keberlanjutan =1, rata-rata di
bawah 1.
Gambar 17. Distribusi Frekuensi Efisiensi Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011.
7.2.
Pengukuran Nilai Keberlanjutan dengan Menggunakan Pendekatan Efisiensi