VII. PENGUKURAN NILAI KEBERLANJUTAN USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI DI JAWA BARAT
Dalam rangka menilai keberlanjutan usahatani, sebuah pendekatan perlu dilakukan sebagai petunjuk untuk pengambil keputusan. Pengembangan indikator
keberlanjutan dapat dipandang sebagai sebuah cara yang efektif untuk mengoperasionalkan pertanian berkelanjutan Rigby et al, 2001, van Calker et al
2006, van Passel 2009. Perusahaan berinvestasi untuk meningkatkan kinerja usahatani. Kinerja ini memerlukan penilaian yang akurat dari efisiensi usahatani
dan mengidentifikasi sumber inefisiensi dalam merumuskan kebijakan untuk meminimalkan inefisiensi Sherlund et al, 2002. Karenanya penting untuk
mengukur keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi melalui pendekatan “sustainable value” dan return to cost sustainability efficiency. Untuk tujuan
itu, analisis dilanjutkan dengan menghubungkan antara produktivitas, eco- efficiency
, efisiensi teknik, dan efisiensi keberlanjutan. Selanjutnya pendekatan dilakukan melalui model Stochastic Frontier dengan metode Cobb Douglas
Frontier. Terdapat empat faktor penggerak dalam pembangunan pertanian dalam hal
ini usahatani kentang dan kubis yaitu: 1.
Sumberdaya alam dan lingkungan lahan, air, ekologi terkait dengan kemiringan lahan dan tingkat erosi
2. Sumberdaya manusia fisik dan kreativitas
3. Teknologi modal dan sarana produksi
4. Organisasi petanikelembagaansosial misalnya berpartisipasi dalam
kelompok Dengan demikian dalam penelitian ini variabel yang relevan dimasukkan ke
dalam model adalah lahan, tenaga kerja, modal, pengeluaran sarana produksi benih, pupuk, pestisida, pupuk kandang, dan tingkat erosi. Lahan, tenaga kerja,
dan modal mewakili input konvensional atau sebagai input utama. Tenaga kerja dapat dipandang sebagai indikator sosial dalam keberlanjutan Illge et al, 2008.
Selanjutnya di daerah penelitian erosi merupakan faktor lingkungan yang penting diperhatikan karena kentang dan kubis ditanam di lahan berlereng yang dapat
menyebabkan erosi yang tinggi, oleh karena itu tingkat erosi mewakili input
lingkungan. Pada penelitian ini tingkat erosi tidak diukur langsung di lapangan tetapi menggunakan perhitungan prediksi erosi seperti yang dirumuskan oleh
Arsyad 2000. Pengolahan perhitungan menggunakan program Splash. Untuk kelembagaanaspek sosial seperti partisipasi dalam kelompok tidak dimasukkan
ke dalam model dan merupakan keterbatasan penelitian ini. Benchmark
merupakan sebuah alat yang penting untuk mengevaluasi kinerja dan kebijakan usahatani Figge and Hahn, 2002, 2004, 2005. Sebuah
usahatani berkontribusi lebih berkelanjutan ketika menggunakan sumberdaya yang dimilikinya lebih produktif dibandingkan usahatani lainnya. Menurut Figge
dan Hahn 2005, untuk lebih berkontribusi terhadap keberlanjutan, maka value added
yang diciptakan harus lebih besar dari opportunity cost sumberdaya tersebut. Dengan demikian dalam bab ini akan dianalisis nilai kontribusi, nilai
keberlanjutan, dan efisiensi keberlanjutan sebagai indikator untuk menganalisis keberlanjutan usahatani. Kemudian dalam bab ini juga dibangun sebuah model
ekonometrika untuk menganalisis dampak beberapa karakteristik struktural dan manajerial terhadap kinerja keberlanjutan.
7.1. Nilai kontribusi, Nilai Keberlanjutan, dan Efisiensi Keberlanjutan
Dengan menggunakan data 203 petani kentang dan 166 petani kubis, nilai kontribusi value contribution, nilai keberlanjutan sustainable value, dan nilai
efisiensi keberlanjutan return to cost dapat dihitung, seperti disajikan pada Tabel
37. Menurut Van Passel 2009 salah satu cara mengukur benchmark adalah
menggunakan rata-rata penerimaankeuntungan tidak dibobot, artinya benchmark diukur dengan menjumlahkan seluruh penerimaan untuk seluruh petani sampel
dibagi dengan jumlah petani. Dengan demikian pada bahasan pertama ini
digunakan rata-rata penerimaan sampel sebagai benchmark. Tabel 37 memperlihatkan contoh perhitungan nilai keberlanjutan untuk seorang petani
sampel. Tingkat erosi dihitung dengan menggunakan persamaan 83 . Pada kolom B terlihat petani tersebut menggunakan 2 hektar lahan, jumlah tenaga kerja
adalah 492 HKP, jumlah modal yang dimiliki Rp 5 780 000, pengeluaran sarana produksi Rp 67 315 850 untuk 2 hektar, dan erosi 8.68 tonhatahun. Penerimaan
untuk usahatani adalah Rp 135 000 000.
Pada perhitungan ini benchmark yang digunakan adalah rata-rata penerimaan untuk seluruh sampel petani yaitu sebesar Rp 81 200 000. Dari Tabel
37 dapat dilihat jenis sumberdaya yang digunakan untuk setiap usahatani dan benchmark
ada pada kolom A. Kolom B dan C memperlihatkan penggunaan Tabel 37. Contoh Perhitungan Nilai Keberlanjutan dari Seorang Petani Sampel
di Jawa Barat, 2011 untuk Menghasilkan Rata-rata Penerimaan Rp 81.2 juta per musim dan value added = Rp 135 juta
Penggunaan Sumberdaya Eco efficiency Rp
Nilai Kontribusi
Rp Jenis
Sumberdaya Usahatani
Sampel Benchmark
Usahatani sampel
Benchmark A B C
D E F Lahan
2 ha 0.54 ha
67.5 juta 150.4 juta
-165 740 741 Tenaga kerja
492 HKP 223.91 HKP
274 390 362 646
- 43 421 687 Kapital
Rp 5,78 juta Rp 3. 66 juta
23 22.1
6 906 114 Sarana
produksi Rp 67, 32 juta
Rp14. 65 juta 2
6 -238 182 424
Erosi 8.68 tonhath
10.95 tonhath 15.55juta
7.42 juta 70 633 242
Nilai keberlanjutan SV -369 805 497
Keterangan: kolom D = Rp135 000 000kolom B kolom E = Rp 81 200 000kolom C
kolom F = kolom B kolom D – kolom E SV = penjumlahan nilai kontribusi seluruh sumberdaya
sumberdaya yang digunakan oleh usahatani sampel dan benchmark. Kolom D
dan E adalah perhitungan produktivitas eco efficiency untuk usahatani sampel dan benchmark. Kolom D dihitung dengan cara membagi nilai penerimaan Rp
135 000 000 : kolom B dan kolom E dihitung dengan cara membagi nilai penerimaan Rp 81200000: kolom C. Nilai kontribusi pada kolom F
menunjukkan bahwa sumberdaya digunakan oleh usahatani untuk menciptakan nilai penerimaan. Kemudian untuk melihat apakan sumberdaya telah digunakan
lebih produktif atau tidak dibandingkan dengan benchmark dihitung dengan nilai keberlanjutan SV, dengan cara menjumlahkan nilai kontribusi untuk seluruh
sumberdaya. Rumus perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada persamaan 69 sampai persamaan 74.
Tabel 38. dan Tabel dan Gambar 16. memperlihatkan hasil perhitungan nilai keberlanjutan dan untuk 203 petani kentang dengan benchmark
menggunakan rata-rata seluruh sampel.
Tabel 38. Distribusi Frekuensi Nilai Keberlanjutan SV Usahatani Kentang dengan Benchmark Rata-rata Sampel di Jawa Barat, 2011
Nilai keberlanjutan Rp 000
Kentang Kubis Jumlah petani
orang Persentase
Jumlah petani orang
Persentase
- 30 000 93
45.81 47
28.31 -30 001 – 0
94 46.31
107 64.46
1 – 30 000 13
6.40 30 001 – 60 000
2 0.99
12 6.63
60 001 1
0.49 1
0.60
Rata-rata : - 37 189
Jumlah 203 100 166
100
Gambar 16. Distribusi Frekuensi Nilai Keberlanjutan Usahatani Kentang di Jawa Barat, 2011.
Berdasarkan hasil Tabel 38 dan Gambar 16 terlihat bahwa hampir 92.12 persen petani kentang mempunyai nilai keberlanjutan negatif dengan rata-rata Rp
-37.189.000. Temuan ini konsisten dengan dengan hasil penelitian Van Passel 2009, Figge dan Hahn 2005, Van Passel et al 2006, Merante et al 2008,
Ehrman 2008. Van passel 2009 dalam penelitiannya pada peternakan sapi menemukan nilai keberlanjutan semua petani sampel masih negatif dan tidak
terdapat usahatani yang positif super farm. Sementara itu Erhman 2008 menemukan nilai keberlanjutan untuk petani sampai dengan 50 hektar masih
negatif dan petani dengan luas lahan lebih besar 50 hektar baru mencapai nilai keberlanjutan positif. Demikian halnya Erhman 2008 menemukan kepemilikan
sapi di bawah 50 ekor masih mempunyai nilai keberlanjutan negatif. Nilai
93 94
13 2
1 45.81
46.31
6.4 0.99
0.49 20
40 60
80 100
‐ 30000.00 ‐ 30001 ‐ 0 1
‐ 30000 30001
‐ 60000
60001
Jumlah Petani
Nilai Keberlanjutan SV
Frekuen si
keberlanjutan yang positif negatif menunjukkan usahatani menggunakan sumberdayanya lebih besar lebih kecil dibandingkan dengan benchmark. Atau
dengan kata lain apakah nilai yang diciptakan usahatani melebihi opportunity cost dari penggunaan sumberdaya tersebut.
Kondisi di lapangan memperlihatkan bahwa faktor yang mempengaruhi keberlanjutan seperti lahan sudah mengalami kelangkaan sehubungan dengan alih
fungsi lahan pertanian. Oleh karena itu perluasan lahan sayuran tidak memungkinkan dilakukan, kecuali petani memperluas lahan sewa ke arah lahan
dengan kemiringan lereng tinggi. Namun hal ini juga berdampak pada sumberdaya lingkungan seperti tingkat erosi yang tinggi. Hasil perhitungan
prediksi erosi di wilayah penelitian menunjukkan angka rata-rata 11,56 tonhatahun, meskipun masih d bawah toleransi erosi yang diperbolehkan 13
tonhatahun namun dalam jangka panjang dimugkinkan erosi dan kehilangan hara akan semakin besar. Hasil penelitian Katharina 2007 di Pangalengan
menemukan bahwa erosi yang akan muncul 20 tahun yang akan datang berada pada kisaran 13 – 16 tonha, angka ini melebihi Tolerable Soil Loss Pangalengan
yaitu 12,75 ton ha. Dari sisi permodalan, petani di daerah penelitian masih terjebak dengan
meminjam modal kepada para tengkulak atau toko sarana produksi, sehingga bila panen para petani tidak mempunyai kekuatan mencari harga yang lebih tinggi
karena sudah terikat utang piutang. Akibatnya petani kentang dan juga kubis mempunyai pendapatan yang tidak stabil, yang secara langsung akan berakibat
pada usahatani non konservasi. Hal ini akan memacu lebih cepat terjadinya erosi dan kerusakan ligkungan yang lebih parah. Demkian halnya pembentukan modal
kapital di daerah penelitian masih rendah, selama 5 tahun peningkatan aset lahan sangat rendah hanya 0.17 hektar namun nilainya bisa ratusan juta rupiah seiring
dengan peningkatan harga lahan yang signifikan karena lahan semakin langka. Pada petani sempit peningkatan luas lahan dalam 5 tahun lebih kecil lagi yaitu
sekitar 0.04 M
2
. Faktor lainnya yang menjadi penyebab kontribusi petani terhadap
keberlanjutan masih rendah adalah faktor kemiringan lahan. pada umumnya petani kentang atau kubis menanam pada kemiringan lereng 0-65 persen. Hal ini