Bentuk wilayah datar berombak 10 persen, berombak sampai berbukit 15 persen dan berbukit sampai bergunung 75 persen. Komoditas yang banyak
diusahakan di Kecamatan Kertasari adalah sayuran 3 479 hektar, diikuti oleh padi 180 hektar, jagung 125 hektar, dan ketela pohon 45 hektar.
Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian selatan pada koordinat 6º5649 - 7º4500 Lintang Selatan dan 107º258 - 108º730 Bujur
Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306 519 Ha 3 065.19 km² dengan batas-batas sebagai berikut :
Utara :
Kabupaten Bandung
dan Kabupaten Sumedang Timur
: Kabupaten Tasikmalaya Selatan
: Samudera Indonesia Barat
: Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur Hingga tahun 2009 Kabupaten Garut memiliki 42 Kecamatan, 21
Kelurahan dan 403 Desa. Berdasarkan jenis tanah dan medan topografi di Kabupaten Garut, wilayah Kabupaten Garut mempunyai kemiringan antara 0
persen sampai lebih dari 40 persen, dan 77 persen wilayah Kabupaten Garut mempunyai kemiringan 15 persen sampai di atas 40 persen. Penggunaan lahan
secara umum di Garut Utara digunakan untuk persawahan dan Garut Selatan didominasi oleh perkebunan dan hutan.
Kecamatan Cikajang terletak 26 km dari ibukota Kebupaten Garut. Memiliki luas wilayah 12 495 Ha dengan penggunaan terbesar untuk perkebunan
37 persen. Kemiringan lereng di Kecamatan Cikajang bervariasi antara 0 – 2 persen, 2 – 5 persen, 15 – 40 persen, hingga lebih dari 40 persen. Secara
administratif Kecamatan Cikajang terdiri atas 11 desa yang berbatasan dengan Cisurupan, Cigedung, Banjarwangi, Pamulihan, Pakenjeng, Cisompet, dan
Cihurip. Pada sektor pertanian, komoditas unggulan yang ditanam yaitu kentang, kubis, wortel, cabe besar, dan tomat.
Kecamatan Pasirwangi merupakan pemekaran dari Kecamatan Samarang yang diresmikan pada 20 Januari 2001, terletak 27 km sebelah barat dari ibu kota
Kabupaten Garut dan 80 km sebelah selatan dari ibukota provinsi Bandung. Secara geografis, kecamatan ini terletak pada 7
10’-7 15’ Lintang Selatan dan
107 41’ – 107
50’ Bujur Timur. Secara administratif Kecamatan Pasirwangi
terdiri dari 12 desa yaitu Desa Pasirwangi, Karyamekar, Padaasih, Padamulya, Padaawas, Padasuka, Pasirkiamis, Sarimukti, Talaga, Barusari, Padamukti, dan
Sirnajaya. Luas wilayah Kecamatan Pasirwangi adalah 5 002.888 Ha. Kecamatan ini
berada pada ketinggian antara 900 – 1400 m diatas permukaan laut dengan bentuk wilayah, 23 persen datar sampai berombak, 57 persen berombak sampai
berbukit, dan 20 persen berbukit sampai bergunung. Jenis tanah didominasi oleh jenis asosiasi andosol 60 persen, dan podsolik 40 persen dengan derajat
keasaman PH tanah umumnya berkisar 4.5 – 6.5. Suhu udara berkisar antara 20
C- 34 C dengan curah hujan rata-rata adalah 1 592.7 mm per tahun 132.7 mm
per bulan. Bulan basah terjadi selama 6.3 bulan, yaitu periode Oktober sampai dengan April, bulan Kering 4.3 bulan, yaitu periode Mei sampai dengan
September. Kondisi ini membuat Kecamatan Pasirwangi merupakan salah satu wilayah potensial penghasil sayur-sayuran terutama kembang kol, labu siam,
kubis, dan kentang.
5.2. Karakteristik Rumahtangga Petani Sampel
5.2.1. Struktur Umur Kepala Keluarga dan Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis
Rumah tangga yang dijadikan sampel adalah rumah tangga petani yang melakukan usahatani kentang dan atau kubis. Dari pengamatan tiga musim tanam
dalam setahun, berdasarkan hasil wawancara dengan petani sampel diperoleh karakteristik petani di wilayah penelitian yang relatif beragam dalam hal umur,
tingkat pendidikan, pengalaman bertani, penguasan lahan, status kepemilikan dan sistem penanaman baik untuk kentang maupun kubis. Beberapa karakteristik
petani dan keluarganya disajikan pada Tabel 8. Rata-rata umur kepala keluarga petani sayuran baik untuk kentang maupun
kubis relatif sama sekitar 46 tahun. Demikian halnya umur istri petani relatif sama sekitar 40 tahun. Struktur umur ini menunjukkan di daerah penelitian petani
sayuran maupun istri petani masih tergolong usia produktif. Jumlah tanggungan keluarga rata-rata 3 orang, dan ini dikatagorikan sebagai keluarga kecil.
Tabel 8. Karakteristik Petani dan Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Uraian Kentang Kubis
Rata-rata Std
Rata-rata Std Umur Kepala keluarga tahun
45.9 11.8
45.8 12.5
Pendidikan kepala keluarga tahun 7.7
3.3 7.8
3.6 Pengalaman Usahatani tahun
18.7 12.5
16.7 12.1
Umur Istri tahun 40.1
11.5 40.6
11.7 Pendidikan istri tahun
7.5 2.9
7.0 3.0
Jumlah tanggungan Keluarga orang 3.2
1.6 3.0
1.31 Keterangan: Std = Standar Deviasi
Jika dilihat berdasarkan struktur umur, berdasarkan hasil wawancara terhadap 203 petani kentang dan 166 petani kubis, sebagian besar umur KK
rumahtangga petani berada pada usia produktif dengan persentase untuk petani kentang sebesar 67.2 persen dan petani kubis 67.4 persen. Yang menarik adalah
sebanyak 64 orang 31 persen petani kentang dan 58 orang petani kubis 34 persen berada pada umur muda yaitu 31-40 tahun Tabel 9
Tabel 9. Sebaran Umur Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 Kentang Kubis
Interval Jumlah Petani
orang Persentase
Jumlah Petani orang
Persentase 30 Thn
16 7.8
17 10.2
31 – 40 64
31.6 58
34.9 41 – 50
57 28.1
37 22.3
51 – 60 40
19.7 30
18.1 60
26 12.8
24 14.5
Total 203 100.0
166 100.0
Sumber: data primer diolah Bila dikaitkan dengan umur produktif sampai umur 50 tahun maka baik
petani kentang maupun petani kubis sekitar 67 persen berada pada kisaran umur tersebut. Hal ini menunjukkan di daerah penelitian penduduk usia muda masih
tertarik dan berminat menjadi petani sayuran atau masih mau bekerja sebagai petani dibandingkan beralih ke komoditas lain serta memiliki keinginan yang
tinggi untuk mempelajari dan menerapkan teknologi. Karena kentang dan kubis ditanam pada lahan berlereng, maka dalam pengelolaannya memerlukan tenaga
fisik yang kuat. Seperti diketahui, usahatani sayuran masih memberikan pendapatan per hektar yang lebih tinggi dibandingkan komoditas lainnya. Data
Dirjen Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2009 menunjukkan bahwa tanaman kentang mampu memberikan RC sebesar 1.05 dan kubis 1.33. Penelitian
Katharina 2007 menyebutkan tanaman kentang yang ditanam serarah lereng memberikan RC lebih tinggi yaitu sebesar 1.73, sementara data Kabupaten Garut
menyebutkan RC untuk tanaman kentang sebesar 1.73.
5.2.2. Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga
Pendidikan dapat dibedakan menjadi pendidikan formal, non formal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal menyediakan pengetahuan spesifik atau
keterampilan umum yang berkontribusi pada produktivitas usahatani. Pendidikan non formal menyediakan informasi spesifik tentang teknologi baru atau praktik
yang sesuai. Pendidikan informal membentuk sikap, kepercayaan, dan kebiasaan
Weir dan Knight 2004. Seluruh jenis pendidikan tersebut sangat penting dalam
difusi inovasi dan menciptakan eksternalitas pendidikan. Tingkat pendidikan diukur dari lamanya tahun pendidikan formal yang
diselesaikan. Berdasarkan pada data Tabel 10, rata-rata pendidikan kepala keluarga antara 7 tahun sampai dengan 8 tahun atau setara Sekolah Menengah
Pertama. Tabel 8. memperlihatkan tingkat pendidikan yang ditempuh petani contoh. Jika dilihat dari jenjang pendidikan, maka dari pendidikan yang
diselesaikan sebagian petani sampel baik petani kentang 43.3 persen maupun petani kubis 41 persen adalah lulusan SD. Namun demikian masih ada 10
persen petani yang tidak tamat SD. Dari hasil wawancara dengan petani, umumnya mereka beranggapan untuk menjadi petani tidak perlu pendidikan tinggi
tetapi yang penting adalah keterlibatan dan keaktifan mereka untuk memperoleh informasi dari sesama petani. Sekitar 4 persen petani kentang dan 5 persen petani
kubis mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, dan 18-21 persen petani kentang dan kubis mengenyam pendidikan sampai SMA. Berdasarkan hasil
wawancara, sebenarnya petani sayuran sangat memperhatikan pendidikan anggota keluarganya, terbukti beberapa sampel petani berhasil menyekolahkan anak-
anaknya minimal SMA bahkan sampai perguruan tinggi.
Tabel 10. Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Kentang Kubis
Jumlah Petani orang
Persentase Jumlah Petani
orang Persentase
TL SD 23
11.3 20
12.0 SD
88 43.4
68 41.0
SMP 48
23.7 34
20.5 SMA
36 17.7
36 21.7
PT 8
3.9 8
4.8 Total
203 100
166 100
Sumber: data primer diolah Meskipun tingkat pendidikan formal rata-rata hanya 8 tahun, namun para
petani terus menerus belajar untuk menambah pengalaman bertaninya. Lebih dari 90 persen petani pernah mengikuti pendidikan non formal. Adapun pendidikan
non formal yang pernah diikuti berupa Sekolah Lapang yang diselenggarakan oleh ACIAR, pelatihan budidaya sayuran, pengendalian hama terpadu yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta seperti PT Indagro Sygenta dan Buyer, pembuatan pupuk bokasi, bahkan beberapa petani pernah
mengikuti pelatihan penagkaran benih kentang dan pemasaran. Bentuk kegiatan penyuluhan yang diikuti antara lain pembinaan di lapangan secara berkelompok.
5.2.3. Pengalaman Berusahatani Kentang dan Kubis
Dilihat dari pengalaman bertani Tabel 11, diperoleh rata-rata pengalaman bertani kepala keluarga menjadi petani mandiri adalah 19 tahun untuk petani
kentang dan 17 tahun untuk petani kubis. Berdasarkan hasil wawancara, berusahatani kentang sudah menjadi mata pencaharian pokok dan merupakan
usahatani yang turun temurun. Kegiatan ini sudah dilakukan oleh petani sejak mereka masih sekolah dengan membantu orangtuanya maupun sebelum menikah,
bahkan empat orang petani sampel ditemukan belum menikah dan masih berusia sekitar 25 tahun. Ke empat petani tersebut mengatakan bahwa sebelumnya
mereka bekerja sebagai pegawai di salah satu petani kentang dengan skala besar, kemudia mereka memutuskan untuk berusahatani sendiri dengan jalan menyewa
lahan perkebunan dan tanah desa serta memanfaatkan tanah warisan orang tua untuk dikelola.
Berdasarkan pengalaman pengusahaan sayuran selama 5 tahun terakhir, petani mempersepsikan karakteristik tertentu untuk beberapa sayuran utama.
kentang dipersepsikan sebagai komoditas sayuran dengan teknik budidaya paling dikuasai serta paling dapat diandalkanmenguntungkan. Tomat dan kubis
dikategorikan sebagai jenis sayuran yang memiliki risiko produksi paling tinggi terutama dikaitkan dengan risiko kehilangan hasil panen akibat serangan hama
penyakit. Komoditas sayuran yang di satu sisi fluktuasi harganya seringkali bersifat ekstrim sehingga berpotensi tinggi menimbulkan kerugian, tetapi di sisi
lain membutuhkan biaya produksi paling tinggi adalah cabai Adiyoga et al, 2004.
Sebagian besar petani kentang dan kubis kurang lebih 60 persen mempunyai pengalaman berusahatani kurang dari 20 tahun dengan rata-rata
pengalaman 17 – 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah cukup lama mengenal budidaya sayuran. Pengalaman bertani dapat mempengaruhi petani
dalam menentukan waktu tanam, pola tanam, atau jenis tanaman yang akan ditanam berdasarkan pada musim. Selain itu pengalaman juga memungkinkan
petani untuk dapat mengalokasikan penggunaan input lebih efisien baik efisiensi teknis maupun alokatif.
Tabel 11. Pengalaman Bertani Petani Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 Kentang
Kubis Interval
Jumlah Petani orang
Persentase Jumlah Petani
orang Persentase
20 122
60.1 103
62.1 21 – 30
43 21.2
41 24.7
31 – 40 25
12.3 14
8.4 41 – 50
11 5.4
8 4.8
51 2
1.0 Total
203 100
166 100
Sumber: data primer diolah
5.2.4. Kegiatan Kerja Anggota Keluarga Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011
Di daerah penelitian, bertanam sayuran kentang dan kubis merupakan pekerjaan utama. Petani dan keluarganya tidak hanya melakukan pekerjaan di
dalam usahatani on farm tetapi juga melakukan kegiatan berburuh tani off farm dan kegiatan di luar usahatani non farm. Kegiatan on farm yang dilakukan
selain mengusahakan sayuran mereka juga melakukan kegiatan beternak sapi dan domba. Sebagian besar petani sampel mempunyai pekerjaan diluar usahataninya
kegiatan non farm seperti berdagang, tukang ojeg, dan ada pula yang menjadi PNS, karyawan PTPN VIII dan karyawan KPPBS. Kegiatan off farm yang
dilakukan adalah menjadi buruh tani. Berdasarkan wawancara dengan petani sampel pada umumnya istri terlibat dalam pengelolaan usahatani sayuran kentang
dan kubis, hanya sekitar kurang dari 15 persen anggota keluarga tidak terlibat dalam usahatani sayuran.
5.2.5. Keanggotaan dalam Kelompok Tani
Dilihat dari keanggotaan kelompok tani, baik untuk petani kentang maupun kubis hanya sekitar 50 persen ikut dalam kelompok tani yang ada di
desanya. Sisanya tidak ikut dalam kelompok Tabel 12. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah lahan usahatani yang diusahakan sempit, lokasi ke tempat
pertemuan jauh, atau sebagian dari petani belum merasakan manfaat dari berkelompok. Petani beranggapan pertemuan seringkali penyuluhan digunakan
oleh distributor pestisida untuk mempromosikan produknya sehingga informasi mengenai budidaya, permasalahan hama penyakit, dan permasalahan pertanian
relatif kurang dibahas. Di samping itu informasi yang tidak menyeluruh sehubungan dengan kegiatan kelompok menjadi alasan petani tidak ikut
berkelompok. Tabel 12. Keanggotaan Dalam Kelompok Petani Kentang dan Kubis di Jawa
Barat, 2011 Kentang
Kubis Jumlah
Petani orang
Persentase Jumlah
Petani orang
Persentase Tidak ikut dalam
keanggotaan 98
48.3 80
48.2 Ikut dalam keanggotaan
105 51.7
86 51.8
Total 203
100 166
100 Sumber: data primer diolah
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani sampel, sekitar 64 persen petani merasakan manfaat yang besar dengan berkelompok, karena dapat
menambah wawasan, namun 36 persen petani menyatakan tidak ikut berkelompok