Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Berdasarkan luas penguasaan lahan, di daerah penelitian luas lahan yang diusahakan untuk tanaman sayuran berkisar antara 0.035 hektar sampai 8 ha untuk kentang dan kubis berkisar 0.04 hektar sampai 6 hektar. Di daerah penelitian, luas lahan yang digarap rata-rata 0.54 hektar. Sebagian besar petani kentang 76 persen dan 81 persen petani kubis mengusahakan lahannya kurang dari 0.5 hektar. Sebanyak 12 persen petani kentang dan petani kubis mengusahakan lahannya pada kisaran 0.5 – 1 hektar dan hanya sebagian kecil petani yang mengusahakan lahannya lebih dari 1 hektar. Dari petani contoh yang diwawancarai, 76.8 persen petani kentang mengusahakan sayuran di tanahnya sendiri, 23.2 persen sebagai penyewa atau penggarap. Sedangkan bagi petani kubis 75.3 persen mengusahakan lahan sebagai pemilik dan 24.7 persen sebagai penyewa atau penggarap. Berdasarkan hasil wawancara, mayoritas petani menggarap lahan dengan kemiringan lebih dari 10 persen, yaitu sebanyak 55.2 persen untuk penanaman kentang dan 58.4 persen untuk penanaman kubis Tabel 15. Tabel 15. Jumlah Petani Sayuran Kentang dan Kubis Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Jawa Barat, 2011 Uraian Kentang Kubis Jumlah Petani orang Persen Jumlah Petani orang Persen 1.Lahan Milik a. Memiliki lahan 156 76.8 125 75.3 b. Tidak Memiliki 47 23.2 41 24.7 Jumlah 203 100.0 166 100.0 2.Lahan bukan milik a. Menguasai 145 71.4 125 75.3 b. Tidak menguasai 58 28.6 41 24.7 Jumlah 203 100.0 166 100.0 3.Satus Penguasaan lahan a. Pemilik saja 59 29.1 49 29.5 b. Pemilik-penyewa 98 48.3 76 45.8 c. Penyewa saja 46 22.6 41 24.7 Jumlah 203 100.0 166 100.0 Sumber: data primer diolah Selain itu, berdasarkan sistem penanaman yang dilakukan oleh petani kentang maupun kubis, mayoritas adalah sistem penanaman searah kontur, masing-masing sebanyak 47.3 persen dan 41. 6 persen Tabel 16. Tabel 16. Kemiringan Lahan Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 Kemiringan Kentang Kubis Jumlah Petani orang Persentase Jumlah Petani orang Persentase 10 91 44.8 69 41.6 11 – 20 44 21.7 34 20.5 21 – 30 27 13.3 31 18.7 31 – 40 21 10.3 14 8.4 40 20 9.9 18 10.8 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah Selain mengusahakan sayuran di lahanya sendiri banyak petani memperluas lahan usahataninya dengan menyewa lahan milik orang lain. Namun tidak sedikit petani yang mengarahkan lahannya untuk menanam kentang atau kubis pada lahan berlereng. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya lahan milik yang dikuasai petani. Para petani menyewa lahan pribadi, lahan carik desa, lahan perkebunan PTPN VIII, lahan PLN, dan lahan perhutanikehutanan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa petani sampel, pada awalnya lahan dengan kemiringan 30 persen merupakan lahan kehutanan dan lahan perkebunan yang ditanami oleh tanaman tahunantanaman keras, namun karena terdesak kebutuhan lahan yang semakin meningkat, sedangkan lahan untuk sayuran terbatas, maka kebanyakan petani membuka hutan dan menggarapnya untuk ditanami sayuran. Ketika membuka lahan para petani mengeluarkan biaya yang cukup besar yaitu sekitar Rp 5 juta hektar sehingga sekarang mereka menganggap lahan tersebut seolah-olah sudah menjadi miliknya. Dilain pihak, untuk daerah Panglengan kepemilikan lahan terdiri atas lahan milik masyarakat dan lahan milik negara yang berupa kawasan hutan dan lahan milik PT Indonesia Power Anak perusahaan PLN Arini, 2010. Selama ini sebagian besar lahan milik PT Indonesia Power PT IP digarap oleh masyarakat dengan didominasi oleh tanaman sayuran yang rentan terhadap erosi. Namun sejak tahun 2007 oleh pihak PT IP dilakukan upaya perubahan pola tanam bersama masyarakat menjadi usahatani konservasi lahan dengan system agroforestri. Pada sistem ini, petani menanam berbagai jenis sayuran dan dikombinasikan dengan tanaman kopi. Selain itu, sejak tahun 2001 Perum Perhutani pun bersama masyarakat melakukan agroforestri dengan menanam kopi bersama tanaman kehutanan dan telah panen sejak tahun 2004. Namun, karena petani lebih mengandalkan hasil dari tanaman sayuran yang lebih cepat didapat daripada hasil dari tanaman kopi, lambat laun petani justru menebang tanaman keras yang telah ditanam karena menaungi sayuran tersebut dan dianggap mengganggu pertumbuhan sayuran. Selain itu, tanaman kopi dianggap mengurangi luasan lahan yang dapat digunakan untuk menanam sayuran sehingga pendapatan yang diterima menurun. Sebagian petani menggarap lahan kehutanan atau lahan perkebunan dengan besarnya sewa tidak ditentukan. Selama ini Perum Perhutani belum memberlakukan ketentuan berapa sewa lahan secara tertulis, tetapi yang terjadi adalah tidak ada batas waktu kapan sewa berakhir. Pada umumnya petani membayar sewa ke Perhutani berupa hasil kentang yang jumlahnya juga tidak ditentukan. Hasil wawancara dengan Koordinator Penyuluh di Pangalengan, menyatakan bahwa di daerah Pangalengan baru ada satu desa yang mempunyai perjanjian tertulis KSO antara masyarakat dengan PTPN VIII yaitu di Desa Margamukti, dengan sewa lahan yang telah ditetapkan yaitu sekitar Rp 3 juta – 3.5 juta rupiah per hektar per tahun. Di daerah lainnya harga sewa lahan didasarkan pada kualitas lahan, jarak ke pusat desa dan kemiringan lahan. Semakin datar harga sewa semakin mahal. Pada umumnya sewa lahan berkisar antara Rp 500 000 – Rp 350 000patok Rp 6 750 000hektartahun. Berkaitan dengan akses terhadap kredit di daerah penelitian terdapat lembaga perkreditan formal yang menyalurkan kreditnya kepada peminjam uang yang diatur oleh undang-undang dan diatur juga oleh pemerintah. Lembaga- lembaga tersebut adalah bank swasta, bank negara, dan koperasi yang terdaftar. Lembaga perkreditan non-formal umumnya tidak diawasi oleh pemerintah dan meliputi antara lain pelepas uang, pedagang, sahabat, keluarga, dan toko sarana produksi pertanian. Untuk mengakses kredit dari lembaga keuangan formal mengharuskan adanya agunan, sedangkan jika mengakses kredit dari lembaga keuangan non formal tidak mengharuskan adanya agunan, melainkan didasarkan lebih kepada kepercayaan antara peminjam dan pemilik uang yang meminjamkan. Pilihan petani terhadap salah satu sumber kredit berhubungan erat dengan karakteristik, sikap dan nilai dari petani serta lingkungan hidupnya maupun karakteristik dari lembaga perkreditan. Karakteristik dari petani meliputi total luas lahan, jenis usahatani, pendapatan diluar usahatani, umur petani, tingkat pendidikan dan lamanya berusahatani Sinaga, 2011. Karakteristik lembaga perkreditan meliputi tingkat suku bunga, agunan, dan tingkat kemudahan dalam memberikan kredit baik yang menyangkut prosedur maupun waktu. Bagi petani, tinggi rendahnya bunga bukan merupakan faktor penentu. Prosedur yang terlalu panjang serta proses pengambilan kredit yang terlalu lama akan meningkatkan biaya-biaya yang dikeluarkan sehingga total biaya kredit akan semakin tinggi. Murah atau mahalnya kredit tidak hanya ditentukan oleh besarnya bunga nominal, tetapi juga oleh biaya transaksi yang harus dibayar oleh peminjam. Semakin tinggi biaya transaksi akan menyebabkan biaya kredit secara total akan semakin tinggi Sinaga, 2011. Berdasarkan hasil wawancara 36.9 persen petani kentang, dan 36.1 persen petani kubis memiliki akses terhadap kredit Tabel 17, artinya mereka memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal maupun non-formal penyedia sarana produksi, maupun tengkulak. Di daerah penelitian, sebagian besar petani meminjam modal untuk pembelian sarana produksi pada tengkulak yang nantinya akan dibayar setelah panen. Di lain pihak, petani yang memiliki akses kepada lembaga keuangan formal bank relatif sedikit, hal ini disebabkan pinjaman ke bank memerlukan agunan dan prosedur yang lebih rumit menurut pandangan petani, disamping itu dengan meminjam ke bank, petani harus membayar cicilan setiap bulan, padahal mereka memperoleh hasil 100 hari kemudian. Tabel 17. Akses Terhadap Kredit Petani Sayuran Kentang dan Kubis di Jawa Barat, 2011 Aksesibilitas Kentang Kubis Jumlah Petani orang Persentase Jumlah Petani orang Persentase Tidak akses 128 63.1 106 63.9 Akses 75 36.9 60 36.1 Total 203 100 166 100 Sumber: data primer diolah