Sistem Penanaman dan Konservasi

yang dikeluarkan. Sebaliknya kubis, hanya mempunyai RC sebesar 1.3. Salah satu penyebab rendahnya RC untuk kubis adalah fluktuasi harga yang sangat besar. Di daerah penelitian harga tertinggi adalah Rp 3000kg dan terendah Rp 200kg. Pada saat penelitian dilakukan, hampir 10 persen petani tidak memanen kubisnya karena harga jauh lebih kecil dari biaya angkut yang harus dikeluarkan, sehingga petani membiarkan tanaman kubisnya tidak dipanen. Yang menarik adalah meskipun kubis mempunyai RC lebih rendah dari kentang, dan secara absolut tingkat keuntungan kubis hanya kurang lebih satu per lima keuntungan kentang Rp 7039940 : Rp 38344900 namun petani tetap menanam kubis sebagai tanaman utama setelah atau sebelum kentang. Hal ini disebabkan secara agronomis setelah menanam kentang perlu diselingi dulu dengan tanaman lain untuk tujuan memotong siklus hama dan penyakit.

5.5. Keberlanjutan Usahatani Kentang dan Kubis

Pengelolaan usahatani sayuran terutama kentang dan kubis dihadapkan pada tingginya risiko yang dihadapi petani seprti risiko produksi dan risiko harga Indikasi adanya risiko produksi dicirikan oleh berfluktuasinya produksi Fariyanti, 2008. Besarnya risiko ini akan berdampak pada efisiensi dan keberlanjutan usahatani kentang dan kubis. Data produktivitas sayuran Provinsi Jawa Barat 2010 menunjukkan kecenderungan yang menurun. Hal ini berdampak pada penerimaan petani yang akhirnya berdampak pada keberlanjutan usahatani. Dilihat dari rata-rata produktivitas yang dicapai petani sampel pada tahun 20102011 sebesar 18 874 kg per hektar untuk kentang. Besarnya produktivitas ini menurun dibandingkan penelitian yang telah dilakukan oleh Fariyanti 2008 di daerah Pangalengan. Fariyanti 2008 menemukan bahwa pada kondisi normal produktivitas kentang pada tahun 20052006 untuk petani dengan lahan sempit, sedang dan luas berturut-turut 19.38 ton, 20.9 ton, dan 20.1 ton. Ridwan 2010 melaporkan bahwa produktivitas kentang di Pangalengan adalah 26.36 tonha. Produktivitas kubis di daerah penelitian diperoleh sebesar 23.6 ton per hektar dan hasil penelitian Fariyanti 2008 menyatakan produktivitas kubis sebesar 25.96 tonha, 26.88 tonha, dan 26.59 tonha untuk lahan sempit, sedang, dan luas. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini maka produktivitas kentang pada tahun 20102011 telah mengalami penurunan, dan ini akan mengancam keberlanjutan usahatani kentang dan kubis. Faktor lingkungan juga mempengaruhi keberlanjutan usahatani. Hampir 100 persen rumahtangga sayuran sampel menyatakan bahwa penggunaan input terutama pupuk dan pestisida akan menyebabkan penurunan kualitas tanah, tanaman menjadi kering sehingga banyak tanaman yang mati dan akhirnya mengurangi produksi. Sebagian besar petani menyatakan bahwa lahan mereka sudah mengalami penurunan kualitas dengan dicirikan menurunnya produktivitas. Bila dikaitkan dengan intensitas penanaman, di daerah penelitian pemanfaatan lahan sangat tinggi mencapai 300 persen artinya dalam setahun mereka rata-rata menanam sayuran tiga kali atau terus menerus sepanjang tahun. Berdasarkan hasil wawancara hanya 5 persen petani yang memberakan lahannya pada musim ketiga. Intensitas tanam yang tinggi menyebabkan pengambila unsur hara yang banyak dari dalam lahan, sehingga menghambat pertumbuhan tanaman dan pada akhirnya menurunkan produktivitas. Didaerah penelitian penggunaan pupuk kimia dan pupuk kandang diberikan dalam jumlah banyak. Hasil penelitian Nurida dan Dariah 2006 pupuk N diberikan dalam jumlah tinggi sampai 500 kg Urea, pupuk kandang juga diberikan dalam jumlah tinggi sekitar 50 tonha tahun hal ini akan menyebabkan produktivitas lahan menurun. Lereng atau kemiringan lahan merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya erosi dan longsor di lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor semakin besar dengan makin curamnya lereng karena volume dan kecepatan aliran permukaan semakin besar. Selain kecuraman, panjang lereng juga menentukan besarnya longsor dan erosi Arsyad, 2000. Berkaitan dengan kemiringan lahan, sekitar 70 persen petani sampel menyatakan bahwa kemiringan lahan menjadi faktor penyebab erosi. Rumah tangga petani sampel menyatakan bahwa dengan kemiringan diatas 25 persen produksi dapat menurun sebanyak 30 persen pada musim kemarau, bahkan dalam musim hujan penurunan bisa sampai 50 persen dari produksi normal. Untuk mengantisipasi penurunan produksi biasanya petani menambah jumlah penggunaan pupuk kimia sampai 20 kgha. Hal ini disebabkan pada lahan berlereng curam, pupuk mudah hanyut terbawa air. Kondisi ini diperparah bila ada hujan pencucian nutrisi lebih cepat, pupuk Nitrogen dan Phospor mudah larut dalam air. Pada tahun 2006 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Permentan No 47PermentanOT.140102006 tentang pedoman umum budidaya pertanian pada lahan pegunungan. Dalam permentan tersebut disebutkan bahwa pada kecuraman lereng 15-25 persen tanaman semusim yang boleh ditanam maksimum 50 persen, pada kecuraman lereng 25-40 persen maksimum 25 persen, dan kecuraman lereng 40 persen tidak dianjurkan untuk ditanami tanaman semusim. Larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbulnya erosi yang lebih besar. Menurut Katharina 2007 tingkat erosi di daerah penelitian Pangalengan untuk sistem penanam serah lereng, serah kontur dan teras bangku pada tahun pertama berturut-turut adalah 16.1 tonha, 12.1 tonha, dan 6.7 tonha. Unsur hara N dan P yang hilang adalah 47.96 kghatahun, 7.57 kghatahun untuk penanaman searah lereng. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa petani yang menanam sayuran kentang dan kubis di kemiringan lahan lebih dari 15 persen sebanyak 55.2 persen. Di Pangalengan, Kertasari, dan Pasirwangi lahan diatas 40 persen semuanya diusahakan untuk ditanami sayuran. Berdasarkan wawancara dengan Koordinator PPL dan para informan kunci, sulit mencegah petani untuk tidak menanam sayuran pada tingkat kemiringan diatas 40 persen karena berkaitan dengan masalah ekonomi dan sosial. Masalah ekonomi yang timbul adalah kehilangan pendapatan yang akan berdampak pada masalah sosial berupa tindakan kriminal dan kemiskinan yang berkelanjutan. Katharina 2007 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa konservasi adalah keputusan yang masih selaras dengan keuntungan usahatani. Hasil penelitian membuktikan bahwa usahatani kentang yang menerapkan sistem pertanian konservasi dalam satu musim tanam memberikan pendapatan yang lebih kecil dibandingkan usahatani yang tidak melakukan konservasi, namun dalam jangka panjang 20 tahun usahatani kentang yang menerapkan sistem konservasi memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak mengadopsi teknik konservasi. Selanjutnya dikatakan bahwa menerapkan