Kondisi Pulau Bahang Kota di Wilayah Penelitian

dan meningkatnya lahan terbangun serta tanah terbuka di Kabupaten Bandung berpotensi meningkatkan suhu udara.

5.1.3. Kondisi Pulau Bahang Kota di Wilayah Penelitian

Kondisi pulau bahang kota di wilayah penelitian Wilayah I, II dan III selain dipengaruhi oleh CO 2 juga ditentukan oleh persentase luas lahan terbangun serta ruang terbuka hijau di wilayah penelitian tersebut. Luas keseluruhan wilayah perkotaan dalam penelitian adalah 29.321 ha. Terdiri dari Wilayah I seluas 6.570 ha, Wilayah II seluas 13.807 ha dan Wilayah III seluas 8.944 ha. Luas a rea dengan suhu ≥ 27 °C di Wilayah I adalah seluas 161,59 ha 2,46 , sedangkan Wilayah II seluas 130,5 ha 0,95 dan Wilayah III seluas 81,5 ha 0,91 . Kondisi pulau bahang kota di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Kondisi pulau bahang kota di Kabupaten Bandung Area Luas ha Persentase Luas Lahan Terbangun Persentase Luas RTH Luas Area 27 °C Suhu Tertinggi °C Suhu Terendah °C Wilayah I 6.570 60 29 161,59 ha 2,46 29 22 Wilayah II 13.807 40 45 130,5 ha 0,95 28 21 Wilayah III 8.944 37 52 81,5 ha 0,91 27 20 Berdasarkan Tabel 9, menunjukkan bahwa meskipun luas Wilayah I lebih kecil tetapi persentase area dengan suhu ≥ 27 °C lebih besar dibandingkan dengan Wilayah II dan III. Hal ini disebabkan di Wilayah I memiliki persentase lahan terbangun paling tinggi sedangkan persentase ruang terbuka hijau rendah sehingga radiasi neto yang sampai di permukaan lebih banyak digunakan untuk memanaskan permukaan tersebut serta udara di sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan suhu udara menjadi tinggi. Jumlah radiasi yang sama, suhu udara di sekitar lahan terbangun akan lebih tinggi dibandingkan dengan ruang terbuka hijau karena ruang terbuka hijau memanfaatkan energi radiasi neto tidak hanya untuk memanaskan permukaan, tetapi juga untuk fotosintesis serta evapotranspirasi. Hal ini sesuai pernyataan Trewartha dan Horn 1995, bahwa kawasan perkotaan umumnya kurang tumbuhan sehingga evapotranpirasi rendah, sehingga sebagian besar energi radiasi yang diterima akan dikonduksikan ke permukaan dan digunakan untuk memanaskan udara. Persentase yang tinggi dari tutupan lahan berbahan beton dan aspal di kawasan perkotaan menyebabkan penyerapan energi radiasi sangat efektif karena bahan tersebut merupakan konduktor panas yang baik. Mather 1974, juga menyatakan bahwa permukaan berupa tanah, rumput, ataupun aspal dan beton mempunyai konduktivitas panas dan kapasitas panas yang berbeda. Oleh karena itu radiasi surya yang jatuh pada suatu permukaan akan menyebabkan variasi suhu yang berbeda, dan permukaan berupa beton dan aspal menghasilkan suhu udara yang lebih tinggi dibandingkan permukaan bertumbuhan . Berdasarkan hasil analisis spasial distribusi suhu udara di area penelitian, diketahui bahwa suhu udara tertinggi di Wilayah I yaitu 29 °C di Kecamatan Margahayu, dan terendah 22 °C Kecamatan Margaasih. Sedangkan suhu udara tertinggi di Wilayah II terukur 28 °C Kecamatan Baleendah dan terendah 21 °C di Kecamatan Soreang. Suhu udara tertinggi di Wilayah III terukur 27 °C di Kecamatan Rancaekek, dan terendah 20 °C di Kecamatan Majalaya. Dari ketiga wilayah tersebut, diketahui bahwa terdapat perbedaan suhu udara di pusat kota dengan wilayah transisi dengan perdesaan. Perbedaan suhu udara pada masing-masing area penelitian mencapai 7 °C. Lebih tingginya suhu udara di area perkotaan dibandingkan area perdesaan bervegetasi, didukung oleh penelitian Nichol dan Wong 2005 yang melakukan penelitian dengan menggunakan 3D virtual reality model di Kota Hongkong. Hasil penelitian Nichol dan Wong 2005, menjelaskan bahwa area perkotaan yang didominasi oleh gedung-gedung yang rendah, suhu udaranya 6 °C lebih tinggi dibandingkan dengan area bervegetasi. Selain Nichol dan Wong 2005, penelitian serupa juga dilakukan oleh Chang et al. 2007 yang melakukan pengukuran suhu udara di 61 titik di Kota Taipei. Hasil pengukuran itu menunjukkan bahwa suhu udara di ruang terbuka hijau 0,81 K lebih rendah dibandingkan dengan area terbuka tanpa vegetasi. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Trewartha dan Horn 1995, bahwa efek pulau bahang yang terjadi di area perkotaan menyebabkan terjadinya perbedaan energi antara perkotaan dengan perdesaan sehingga menyebabkan perbedaan suhu udara dimana suhu udara area perkotaan lebih tinggi dibandingkan area perdesaan.

5.1.4. Distribusi Suhu Udara