tahun 1984. Selama 24 tahun, lahan terbangun meningkat sebesar 95,4 km
2
atau 149. Tahun 1989, lahan terbangun terus mengalami peningkatan menjadi 194,8 km
2
, dan pada tahun 1997 menjadi 295,2 km
2
atau mengalami peningkatan 51,5 dalam waktu
delapan tahun. Akibat peningkatan lahan terbangun menyebabkan area urban heat island
dengan perbedaan suhu udara di pusat kota dengan area perdesaan berkisar antara 0,2 sampai dengan 4,7 °C tergantung kondisi cuaca.
Penelitian Weng dan Yang 2004 mengenai kaitan antara jenis penutupan lahan dengan suhu udara yang dilakukan pada tahun 1997, dijelaskan bahwa jenis
penutupan lahan berupa hutan menciptakan suhu udara yang paling rendah dibandingkan jenis penutupan lahan lainnya. Suhu udara di area hutan pada tahun
1997 adalah 23,82 °C; suhu udara di area perairan 24,02 °C, tanaman pertanian 25,17 °C; tanah terbuka tanah gundul 26,06 °C; dan lahan terbangun 27,07 °C.
Untuk mewujudkan kota hijau, Pemerintah Daerah Kota Guangzhou membuat kebijakan dengan target Kota Guangzhou sebagai kota bunga serta telah menambah
ruang terbuka hijau dari 37,36 km
2
pada tahun 1978, meningkat menjadi 83,5 km
2
pada tahun 1999. Tetapi ruang terbuka hijau yang diutamakan adalah berupa taman dengan beraneka macam bunga, ruang terbuka hijau berupa pohon sangat kurang
sehingga kebijakan ini tidak efektif dalam mengatasi masalah pulau bahang kota. Berdasarkan penelitian Weng dan Yang 2004 disarankan agar kebijakan Pemerintah
Daerah Kota Guangzhou dapat diperbaiki agar lebih mengembangkan hutan kota karena lebih efektif dan efisien dalam mengatasi pulau bahang kota.
2.6.2.3. Kebijakan Kota Hijau di Kota Canberra, Australia
Canberra merupakan ibu kota Australia. Awal mula daerah ini merupakan hutan, yang mulai tahun 1820 peternak membuka hutan dan hanya menyisakan hutan yang
tidak luas. Berdasarkan laporan Brack 2002 disebutkan bahwa sejak tahun 1990 pemerintah membuat kebijakan penanaman secara besar-besaran pada area terbuka
dengan menanam sebanyak 400.000 bibit pohon. Pemerintah juga membuat model sebagai dasar pengambilan keputusan yaitu program Decision Information System for
Managing Urban Trees DISMUT yang merupakan panduan dalam manajemen hutan kota. Program DISMUT berisi prakiraan pertumbuhan jenis-jenis tanaman, penentuan
lokasi dan waktu penanaman yang sesuai, cara melakukan pemangkasan dan pemeliharaan pohon. Selain itu DISMUT juga dapat digunakan untuk memprediksi
nilai dari hutan kota serta prakiraan kemampuan hutan kota dalam menurunkan gas rumah kaca.
Program DISMUT berupa modelling sehingga dapat digunakan untuk menentukan kebijakan dan keputusan pemerintah dari beberapa pilihan kebijakan.
Bahkan dalam model DISMUT dapat diprakirakan keuntungan dari manajemen hutan kota dari mitigasi polusi udara dan sequestrasi karbon oleh hutan kota sehingga dapat
dihitung keuntungan dari penurunan konsumsi energi untuk pendinginan AC dan pemanas ruangan di musim dingin. Lebih dari 50 hutan kota di Canberra berupa
hutan yang selalu hijau evergreen, melalui kemampuannya dalam mengintersepsi radiasi surya serta evapotranspirasi menyebabkan pengaruh positif menurunkan suhu
udara sehingga menurunkan biaya konsumsi enrgi untuk meningkatkan kenyamanan lingkungan. Berdasarkan program DISMUT dapat diperkirakan keuntungan
mengelola hutan kota akan dapat menghemat biaya selama periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2012, adalah sebesar US 20 sampai dengan 67 juta.
2.6.2.4. Kebijakan Kota Hijau di Kota Lisbon, Portugal
Alcoforado et al. 2009 menyatakan bahwa untuk menciptakan pembangunan kota berkelanjutan kota hijau, diperlukan pengetahuan tentang iklim dalam proses
penyusunan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota. Pengetahuan akan iklim sangat penting untuk menangani permasalahan perkotaan terutama masalah
urban heat island UHI dan staganasi aliran udara. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan pemetaan tutupan lahan Kota Lisbon dengan menggunakan sistem
informasi geografi, memetakan kekasaran permukaan, kepadatan bangunan, serta menganalisis arah dan kecepatan angin.
Berdasarkan penelitian Alcoforado et al. 2009, diketahui bahwa rata-rata perbedaan suhu udara akibat UHI sebesar 3 °C. Suhu udara tertinggi terdapat di pusat
kota dengan lahan terbangun yang padat dan luas. Aliran massa udara yang buruk di perkotaan meningkatkan efek buruk UHI. Efek negatif ini yaitu meningkatkan
ketidaknyamanan, menimbulkan masalah kesehatan, menimbulkan polusi oksidan, seta meningkatkan konsumsi energi dan air.
Pemerintah Daerah Kota Lisbon membuat kebijakan pengelolaan lingkungan untuk mengatasi masalah UHI dan penataan ventilasi udara kota dengan membuat
pedoman pengelolaan lingkungan secara sederhana agar mudah dipahami dan dilaksanakan. Pedoman disusun berdasarkan kepadatan lahan terbangun, kekasaran
permukaan kota, serta topografi. Penataan kota Lisbon adalah sebagai berikut : 1 Mencegah peningkatan lahan terbangun di area lembah, 2 Rasio antara tinggi H
bangunan dengan lebar W jalan tidak lebih dari 1, 3 Memaksimalkan pengembangan ruang terbuka hijau termasuk taman atap, 4 Apabila melakukan
renovasi bangunan diusahakan menggunakan warna terang serta bahan bangunan dengan absorbsi termal yang rendah, 5 membangun jalur ventilasi berupa jalur hijau
di sepanjang jalan raya serta di sekeliling batas kota 6 mencegah pendirian bangunan tinggi yang paralel dengan pantai karena menahan pendinginan udara oleh penetrasi
aliran udara dari arah pantai. Secara umum kebijakan Pemerintah Daerah Kota Lisbon dapat disimpulkan
bahwa pengelolaan lingkungan untuk mengatasi UHI dan stagnasi aliran udara dapat dilakukan dengan : 1 Mempertahankan ruang terbuka hijau yang telah ada, 2
Membangun ruang terbuka hijau semaksimal mungkin dengan memanfaatkan ruang kosong yang ada, 3 ruang terbuka hijau yang dibangun sebaiknya terdiri dari vegetasi
yang beraneka ragam keanekaragaman hayati tinggi serta memepertimbangkan kondisi biofisik, sosial dan budaya, 4 sebaiknya memperhatikan struktur ruang
terbuka hijau kolam, hamparan rumput, tanaman semak, pohon tinggi. Pengelolaan lingkungan demikian akan menciptakan kondisi iklim mikro yang baik serta
memperbaiki kondisi atmosfer kota.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi menjadi tiga wilayah
berdasarkan perbedaan kepadatan penduduk, persentase luas lahan terbangun dan ruang terbuka hijau. Kepadatan penduduk di Wilayah I adalah 82 orangha, persentase
lahan terbangun 60 dan persentase ruang terbuka hijau 29. Wilayah II mempunyai kepadatan penduduk 31 orangha, persentase lahan terbangun 40, dan
persentase ruang terbuka hijau 45. Sedangkan Wilayah III memiliki kepadatan penduduk 57 orangha, dengan persentase lahan terbangun 37 dan ruang terbuka
hijau 52. Sesuai dengan pembagian wilayah administratif kecamatan, masing- masing wilayah penelitian dikelompokkan menjadi :
a. Wiayah I terdiri dari Kec. Margaasih, Kec. Margahayu, Kec.Dayeuhkolot, Kec. Bojongsoang dan Kec. Cileunyi.
b. Wilayah II terdiri dari Kec. Soreang, Kec. Katapang, Kec. Pemeungpeuk, Kec. Baleendah, Kec. Cangkuang dan Kec. Banjaran.
c. Wilayah III terdiri dari Kec. Ciparay, Kec. Majalaya, Kec. Solokan Jeruk dan Kec. Rancaekek.
Gambar 5 Tiga wilayah penelitian di Kabupaten Bandung.
Ciwidey Pasirjambu
Cimaung Pacet
Ibun