Kebijakan Kota Hijau di Kota Guangzhou, Cina

Banyak perkantoran dan juga partai kekurangan ahli lingkungan hidup. Meskipun demikian, pemerintah saat ini mempunyai target untuk mewujudkan Kota Malmo sebagai kota kebun the city gardener. Kota Orebro Orebro merupakan kota ketujuh terbesar di Swedia. Sekeliling kota terdapat area pertanian lahan datar serta hutan yang tersisa berupa hutan berdaun lebar serta hutan yang saat-saat tertentu menggugurkan daun. Kota Orebro sebelumnya merupakan sebuah kota kecil industri, berkembang menjadi pusat perdagangan, pendidikan, rumah sakit, dan transportasi. Pemerintah daerah bersama dewan kota meletakkan konsep hijau dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Dengan demikian semua perkantoran pemerintah daerah mengimplementasikan kebijakan tersebut. Saat ini pemerintah kota mengembangkan perencanaan hijau terhadap lansekap kota, mendukung konsep kota hijau berdasarkan tiga dasar yaitu sosial, budaya dan ekologi. Departemen yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan konsep hijau yaitu Departemen Teknik dan Departemen Perencanaan Kota. Dalam proses penyusunan perencanaan, ahli ekologi dan ahli biologi, pada tahun 2997 ditransfer dari Kantor Jasa Lingkungan Hidup ke Departemen Perencanaan Kota. Non Governmental Organization sangat aktif berperan dalam penyusunan perancanaan. Masyarakat merasakan manfaat dan menghargai nilai dari lingkungan yang dikelola dengan baik. Secara umum keempat kota di Swedia Stockholm, Goteborg, Malmo,Orebro mempunyai sistem perencanaan hijau green policy, melaksanakan pembangunan hijau, serta mempunyai peraturan legal serta personil untuk mendukung pelaksanaan pembangunan hijau meskipun pada masing-masing kota mempunyai variasi kebijakan yang berbeda-beda.

2.6.2.2. Kebijakan Kota Hijau di Kota Guangzhou, Cina

Pemerintah Daerah Kota Guangzhou telah mengadopsi konsep kota hijau dalam melaksanakan pembangunan. Untuk mewujudkan kota hijau, pemerintah daerah membuat green policy untuk mengatasi masalah utama yang dihadapi yaitu adanya pulau bahang kota urban heat island. Weng dan Yang 2004 menyatakan bahwa masalah yang dihadapi Kota Guangzhou adalah terjadinya pulau bahang kota urban heat island akibat terus meningkatnya lahan terbangun. Pada tahun 1960, lahan terbangun di Kota Guangzhou seluas 64,2 km 2 , meningkat menjadi 159,6 km 2 pada tahun 1984. Selama 24 tahun, lahan terbangun meningkat sebesar 95,4 km 2 atau 149. Tahun 1989, lahan terbangun terus mengalami peningkatan menjadi 194,8 km 2 , dan pada tahun 1997 menjadi 295,2 km 2 atau mengalami peningkatan 51,5 dalam waktu delapan tahun. Akibat peningkatan lahan terbangun menyebabkan area urban heat island dengan perbedaan suhu udara di pusat kota dengan area perdesaan berkisar antara 0,2 sampai dengan 4,7 °C tergantung kondisi cuaca. Penelitian Weng dan Yang 2004 mengenai kaitan antara jenis penutupan lahan dengan suhu udara yang dilakukan pada tahun 1997, dijelaskan bahwa jenis penutupan lahan berupa hutan menciptakan suhu udara yang paling rendah dibandingkan jenis penutupan lahan lainnya. Suhu udara di area hutan pada tahun 1997 adalah 23,82 °C; suhu udara di area perairan 24,02 °C, tanaman pertanian 25,17 °C; tanah terbuka tanah gundul 26,06 °C; dan lahan terbangun 27,07 °C. Untuk mewujudkan kota hijau, Pemerintah Daerah Kota Guangzhou membuat kebijakan dengan target Kota Guangzhou sebagai kota bunga serta telah menambah ruang terbuka hijau dari 37,36 km 2 pada tahun 1978, meningkat menjadi 83,5 km 2 pada tahun 1999. Tetapi ruang terbuka hijau yang diutamakan adalah berupa taman dengan beraneka macam bunga, ruang terbuka hijau berupa pohon sangat kurang sehingga kebijakan ini tidak efektif dalam mengatasi masalah pulau bahang kota. Berdasarkan penelitian Weng dan Yang 2004 disarankan agar kebijakan Pemerintah Daerah Kota Guangzhou dapat diperbaiki agar lebih mengembangkan hutan kota karena lebih efektif dan efisien dalam mengatasi pulau bahang kota.

2.6.2.3. Kebijakan Kota Hijau di Kota Canberra, Australia