pelaksanaan pembangunan kota berbasis karbon rendah. Konsep pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berbasis green growth tersebut disajikan pada
Gambar 2.
Sumber : WWF dan PWC 2011
Gambar 2 Pembangunan kota hijau berbasis green growth.
2.3. Pulau Bahang Kota Urban Heat Island
2.3.1. Pengertian Pulau Bahang Kota
Tursilowati 2002, Voogt 2002, Hidayati 1990, Santosa 1998 serta Weng dan Yang 2004 menyatakan bahwa pulau bahang kota atau urban heat island atau
juga disebut dengan kubah kota terjadi ketika udara di atas perkotaan digambarkan seperti pulau udara dengan permukaan panas yang terpusat di area urban kota,
temperaturnya semakin menurun ke arah sub urban dan rural. Irwan 2008 meneliti pulau bahang kota di Jakarta, Tangerang, Bekasi dan
Bogor. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa pulau bahang kota yang terjadi di Kota Jakarta menciptakan suhu maksimum di Jakarta Pusat dan Jakarta
Utara. Secara bertahap, suhu udara menurun ke arah selatan ke arah Bogor. Irwan 2008 juga menjelaskan bahwa pola pulau panas cenderung melebar ke arah
Tangerang dan Bekasi bagian barat. Perbedaan suhu udara maksimum dan minimum antara Kota Jakarta dan Bogor mencapai 1
– 3 °C. Berdasarkan penelitian Effendy 2007, dijelaskan bahwa pulau bahang kota
UHI yang terjadi di Jakarta dipicu oleh meningkatnya kepadatan kendaraan 20, penambahan ruang terbangun 19, dan kepadatan populasi 17. Sedangkan pulau
Green Growth
Emisi gas rumah kaca
Pertumbuh-an rendah karbon
Adaptasi terhadap
perubahan iklim global
Ekonomi
Keanekaragam- an hayati dan
jasa lingkungan Sosial dan
pengurang-an kemiskinan
Adaptasi dan
mitigasi
Pertumbuhan berkeseimba-
ngan Nilai
sumber- daya alam
Pember- dayaan
masyarakat habitat
bahang kota yang terjadi di Bogor dipicu oleh meningkatnya semakin meluasnya ruang terbangun 15, diikuti oleh menurunnya ruang terbuka hijau 14, semakin
padatnya kendaraan 14, serta semakin padatnya populasi 13. Selain Jakarta dan Bogor, Kota Tangerang juga sudah mengalami efek pulau bahang. Kontribusi
terbesar terjadinya pulau bahang kota di Tangerang disebabkan oleh semakin menurunnya ruang terbuka hijau 23, diikuti oleh perluasan ruang terbangun
220, padatnya populasi 19, serta padatnya kendaraan 17.
2.3.2. Sumber Permasalahan Pulau Bahang Kota
Hasil kajian pulau bahang kota yang dilakukan oleh Hidayati 1990, dan Santosa 1998 membuktikan bahwa dengan adanya pulau bahang kota menyebabkan
suhu udara perkotaan lebih tinggi 0,02 – 1 °C dibandingkan daerah sekitarnya. Suhu
udara yang lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, disebabkan oleh tingginya emisi gas rumah kaca CO
2
, N
2
O, CFC, CH
4
dan persentase luas lahan terbangun di perkotaan.
a. Emisi Gas Rumah Kaca
Pulau bahang kota yang terbentuk di area perkotaan diakibatkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca. Gas rumah kaca di perkotaan dihasilkan oleh adanya
emisi gas-gas tersebut dari berbagai aktifitas antropogenik yang menggunakan bahan bakar fosil minyak bumi, batubara. Menurut Soedomo 2001, pembakaran bahan
bakar minyak bumi merupakan emisi terbesar dari gas rumah kaca. Urutan berikutnya adalah penggunaan biomassa kayu bakar dan limbah pertanian, dan kemudian
penggunaan gas bumi. Dahlan 2007 menyatakan bahwa rata-rata penggunaan bahan bakar per orang di
Kota Bogor adalah 134,19 liter bensinorangtahun ; 33,55 liter solarorangtahun; 6,24 liter dieselorangtahu; 84,17 liter minyak tanahorangtahun; 5,14 kg
LPGorangtahun; dan 0,28 m
3
gasorangtahun. Berdasarkan simulasi model emisi gas CO
2
di Kota Bogor, diperkirakan emisi pada tahun 2010 sebanyak 600,216 ton dan meningkat menjadi 848,175 ton pada tahun 2100. Sedangkan Soedomo 2001
dengan menggunakan acuan tahun 1988 sebagai dasar, memperkirakan kontribusi per kapita dalam emisi gas rumah kaca per kapita adalah sebesar 1,15 ton tahun.
Jumlah keseluruhan emisi gas rumah kaca absolut dari hasil kegiatan antropogenik kegiatan yang dilakukan oleh manusia di Indonesia disajikan pada