Pengaruh Penutupan Lahan terhadap Pulau Bahang Kota

Gambar 3 Rata-rata CO 2 di Hawai. Gambar 4 Hasil observasi temperatur global.

b. Pengaruh Penutupan Lahan terhadap Pulau Bahang Kota

Selain gas rumah kaca, faktor yang mempengaruhi pulau bahang kota adalah jenis penutupan lahan. Penutupan lahan yang ada di area perkotan menentukan neraca radiasi termasuk pengaruh dari albedo serta neraca energi di area perkotaan sehingga akan menentukan kondisi pulau bahang kota. Tahun Sumber : Keeling et al. 1989 dalam IPCC 2007 Sumber : Brohan et al. 2006, Smith and Reynolds 2005, Hansen et al., 2001 and Lugina et al. 2005 dalam IPCC 2007 Tahun Neraca Radiasi dan Neraca Energi Arya 2001 menyatakan bahwa neraca radiasi di suatu permukaan ditentukan oleh radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang yang datang dan yang keluar. Radiasi neto merupakan radiasi yang datang dikurangi dengan radiasi yang keluar. Persamaan neraca radiasi dan neraca energi disajikan pada persamaan berikut : R S ↓ 1 – α + R L ↓ - R L ↑ = R N = H + H L + H G + ΔH S Keterangan : R S ↓ : Radiasi gelombang pendek yang masuk α : Albedo R L ↓ : Radiasi gelombang panjang yang datang R L ↑ : Radiasi gelombang panjang yang keluar R N : Radiasi neto H : Panas terasa sensible heat H L : Panas laten latent heat H G : Flux panas permukaan ΔH S : Perubahan panas tersimpan energy storage Berdasarkan persamaan tersebut, radiasi neto dipengaruhi oleh albedo dari permukaan. Albedo merupakan perbandingan antara jumlah radiasi surya gelombang pendek 3-2 µm yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan tersebut Geiger et al. 1961. Energi dari radiasi neto terbagi menjadi beberapa energi yaitu energi panas terasa, panas laten, flux panas permukaan dan perubahan panas tersimpan. Berdasarkan persamaan neraca radiasi dan neraca energi Arya 2001, maka area yang didominasi oleh vegetasi akan menyebabkan nilai H L energi yang digunakan untuk evapotranspirasi dan ΔH S energi yang digunakan untuk fotosintesis tinggi, sedangkan nilai H dan H G , sehingga suhu udara menjadi rendah. Sebaliknya area area yang didominasi oleh lahan terbangun menyebabkan nilai H dan H G tinggi karena radiasi neto digunakan untuk memanaskan permukaan dan memanaskan udara panas terasa. Kondisi ini menyebabkan suhu udara tinggi. Masing-masing jenis penutupan lahan yang ada di perkotaan mempunyai kemampuan memantulkan dan menyerap radiasi surya albedo yang berbeda-beda. Semakin banyak radiasi surya yang dipantulkan, maka radiasi neto R N akan semakin tinggi sehingga mengakibatkan suhu permukaan tersebut serta suhu udara di sekitarnya rendah. Sebaliknya, semakin sedikit radiasi yang dipantulkan, maka radiasi neto akan semakin tinggi sebagai contoh benda berwarna hitam sehingga suhu permukaan dan udara di sekitarnya semakin tinggi. Radiasi neto yang diserap suatu benda akan dikonduksikan H G , sehingga kapasitas panas suatu benda akan sangat menentukan suhu benda tersebut. Dengan energi yang sama dari radiasi surya yang sampai pada suatu permukaan, akan mengakibatkan peningkatan suhu permukaan yang berbeda, karena suatu benda mempunyai nilai albedo, konduktivitas dan kapasitas panas yang berbeda-beda. Permukaan berupa tanah, rumput, ataupun aspal dan beton mempunyai konduktivitas panas dan kapasitas panas yang berbeda. Radiasi surya yang jatuh pada permukaan tersebut akan menyebabkan variasi suhu yang berbeda. Radiasi yang jatuh pada permukaan berupa aspal dan beton menyebabkan suhu udara di sekitarnya lebih tinggi dibandingkan jenis permukaan yang lain karena kapasitas panas pada aspal dan beton lebih rendah Mather 1974. Area perkotaan modern, biasanya memiliki lahan terbangun bangunan- bangunan beton serta jalan-jalan beraspal yang mendominasi area tersebut. Karakteristik kota seperti ini akan mempengaruhi keseimbangan energi dan kondisi suhu udara perkotaan. Atap yang gelap, bangunan beton, dan jalan-jalan beraspal di perkotaan, memiliki albedo yang rendah sehingga lebih banyak menyerap radiasi surya. Penyerapan radiasi surya menyebabkan peningkatan suhu udara, sehingga area perkotaan memiliki suhu udara yang relatif lebih tinggi dibandingkan area perdesaan yang masih didominasi oleh ruang terbuka hijau. Penelitian Xiao dan Weng 2007 mengenai pengaruh jenis penutupan lahan serta perubahan penutupan lahan terhadap suhu udara di Kota Guiyang, Anshun, Qingzheng, dan Pingba County, menunjukkan bahwa peningkatan lahan terbangun di empat kota tersebut yang terjadi dari tahun 1991 sampai 2001, menyebabkan peningkatan suhu udara dan berakibat semakin lebarnya perbedaan suhu udara antara area perkotaan area dengan dominansi lahan terbangun dengan perdesaan area yang didominasi ruang terbuka hijau. Perbedaan suhu udara antara area perkotaan dengan perdesaan yang signifikan terdapat di Kota Guiyang dan Qingzheng karena kedua kota tersebut mengalami peningkatan lahan terbangun dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan dua kota yang lain. Hasil penelitian Akbari 2008 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pada siang hari di musim panas, suhu udara di kota bisa mencapai 2,5 Kelvin K lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena lebih banyak lahan terbangun dan jalan-jalan dibandingkan daerah sekelilingnya. Peningkatan suhu sebesar 1 K saja menyebabkan permintaan listrik untuk energi pendingin udara meningkat 2-4 . Kaitan antara perluasan lahan terbangun dengan peningkatan suhu udara juga ditemukan dalam penelitian Tursilowati 2002 yang menunjukkan adanya perluasan pulau bahang kota di beberapa kota di Indonesia akibat adanya peningkatan luas lahan terbangun. Di Bandung teramati pulau bahang kota daerah dengan suhu tinggi 30- 35 °C pada kawasan terbangun di pusat kota mengalami perluasan kira-kira 12.606 ha atau 4.47 per tahun, sedangkan di Semarang 12.174 ha atau 8,4 per tahun, dan di Surabaya 1.512 ha atau 4,8 per tahun. Pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per tahun kurang lebih 1.029 ha 0,36, Semarang 1.200 ha 0,83, dan Surabaya 531,28 ha 1,69. Penelitian lain mengenai pulau bahang kota adalah yang dilakukan oleh Weng dan Yang 2004 di Kota Guangzhou, Cina Selatan. Berdasarkan analisis peng- inderaan jauh, didapat informasi bahwa penutupan lahan sangat berpengaruh terhadap terbentuknya pulau bahang kota. Berdasarkan analisis data suhu permukaan pada tanggal 29 Agustus 1997, terukur suhu permukaan terendah terdapat pada penutupan lahan hutan 29,88 °C, diikuti dengan lahan pertanian 30,96 °C dan suhu per- mukaan tertinggi terukur pada tanah tandus 32,94 °C. Hasil penelitian Weng dan Yang 2004 juga menyebutkan bahwa akibat perkembangan kota dan peningkatan lahan terbuka, menyebabkan suhu udara perkotaan meningkat dari 22,50 °C pada tahun 1989 menjadi 34,75 °C pada tahun 1997. Sarkar 2004 juga meneliti kaitan fenomena pulau bahang kota dengan perubahan dan kerapatan tutupan lahan dengan menggunakan remote sensing dan GIS Geographic Information System. Tutupan lahan yang dijadikan variabel bebas adalah vegetasi, bangunan, jalan, lahan basah dan lahan terbuka. Nilai tutupan lahan ditentukan oleh nilai sampel dari gambar satelit. Urban heat island dianalisis dengan menggunakan composite band 6 red, 4 green dan 4 blue. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa urban heat island pulau bahang kota merupakan masalah yang timbul akibat adanya perkembangan kota yang diakibatkan adanya peningkatan luas lahan terbangun dan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Effendy 2007 yang mengkaji keterkaitan antara ruang terbuka hijau dengan urban heat island di wilayah JABOTABEK Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi. Variabel yang dianalisis adalah perubahan indeks kenyamanan dan neraca energi permukaan khususnya terhadap fluks LE latent heat flux dan H sensible heat flux. Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa titik kritis pengurangan ruang terbuka hijau untuk Kota Jakarta, Kota dan Kabupaten Bogor adalah sebesar 30, artinya setiap pengurangan ruang terbuka hijau yang melampaui batas tersebut maka akan mengakibatkan kenaikan suhu udara dengan laju dua kali lipat dibandingkan dengan pengurangan ruang terbuka hijau di bawah 30. Hal sama berlaku untuk Kota dan Kabupaten Tangerang yang mempunyai batas kritis pengurangan ruang terbuka hijau yang lebih kecil yaitu 15 dan 20, sementara Kota dan Kabupaten Bekasi pada batas kritis yang lebih besar hingga 35. Rata-rata wilayah JABOTABEK Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi mempu- nyai titik kriitis pengurangan ruang terbuka hijau sebesar 28 Evaporasi dan Evapotranspirasi Berbagai Jenis Penutupan Lahan Evaporasi adalah transfer massa uap air dan energi dari suatu permukaan ke atmosfer penguapan. Sedangkan transpirasi adalah kehilangan air dari vegetasi melalui proses penguapan. Evapotranspirasi adalah kombinasi diantara evaporasi dan transpirasi Mather 1974. Evaporasi dan transpirasi selain ditentukan oleh faktor iklim radiasi, suhu udara, kelembaban udara, perbedaan tekanan udara, angin juga ditentukan oleh jenis vegetasi. Vegetasi mempengaruhi suhu udara selain karena mempunyai nilai albedo tersendiri yang menentukan pemantulan dan penyerapan radiasi surya, juga karena vegetasi melakukan proses evapotranspirasi. Area perdesaan dengan persentase ruang terbuka hijau yang masih tinggi, maka radiasi surya yang sampai permukaan selain dikonduksikan juga digunakan untuk evapotranspirasi sehingga suhu permukaan serta suhu udara di sekitarnya lebih rendah. Oleh karena itu vegetasi memainkan peranan yang signifikan dalam mengurangi jumlah radiasi balik termal ke atmosfir, menurunkan suhu udaradan terbukti efektif menekan efek pulau bahang. Vegetasi memiliki peran penting dalam menurunkan suhu udara. Sebaliknya lahan terbangun dan lahan terbuka menyebabkan peningkatan suhu udara. Hal ini didukung oleh pendapat Trewartha dan Horn 1995 yang menyatakan bahwa kawasan perkotaan umumnya sangat kurang vegetasi. Kondisi ini menyebabkan evaporasi rendah, dan mengakibatkan sebagian besar energi radiasi yang diterima dikonduksikan ke permukaan serta digunakan untuk memanaskan udara sehingga suhu udara meningkat. 2.4. Ruang Terbuka Hijau 2.4.1. Pengertian Ruang Terbuka Hijau