Pelaksanaan PLH dengan pendekatan ekstrakurikuler

48 Faktor lingkungan sosial pada keempat sekolah diidentifikasi berdasarkan dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru. Dukungan kepala sekolah dilihat dari rencana pengembangan PLH yang dimiliki oleh kepala sekolah pada masing-masing sekolah contoh, sedangkan dukungan sesama guru dilihat dari kerjasama guru dalam pelaksanaan PLH. Kepala SDN Gunung Bunder 04 memiliki semangat dan keinginan yang tinggi untuk pengembangan PLH di sekolahnya, dan memiliki rencana untuk melaksanakan PLH secara monolitik bagi siswa di sekolahnya dengan memanfaatkan cadangan waktu 2 jam pelajaran yang belum terpakai. Kepala SDN Gunung Sari 01 merupakan kepala sekolah baru, masih beradaptasi dan melanjutkan program dari kepala sekolah lama, namun memiliki keinginan untuk mengembangkan berbagai kegiatan nonkurikuler yang dapat mendukung pelaksanaan PLH di sekolah tersebut. Kepala sekolah SDN Gunung Bunder 03 dan SDN Gunung Picung 06 masih fokus pada pelaksanaan mata ajaran inti, sehingga belum memiliki rencana untuk pengembangan PLH di sekolah. Fasilitas untuk membangun dukungan dan kerjasama sesama rekan guru sebetulnya sudah ada, yaitu berupa Kelompok Kerja Guru dan Himpunan Guru Kelas yang mempertemukan para guru dari berbagai sekolah dalam suatu forum untuk berdiskusi dan bertukar informasi dan pengetahuan, baik mengenai bahan ajar maupun metode pengajaran, namun demikian diskusi serta tukar menukar informasi dan pengetahuan yang terjadi dalam kedua forum tersebut masih terbatas pada mata ajaran inti. Forum yang ada belum dimanfaatkan untuk mendiskusikan mengenai pelaksanaan PLH. Kerjasama dan dukungan antara sesama guru dalam pelaksanaan PLH terutama terwujud pada SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Sari 01. Para guru menyatakan bahwa materi mengenai lingkungan hidup pada mata ajaran inti seperti Bahasa Indonesia, PKN, IPS dan Agama, biasanya diberikan dalam bentuk teori di kelas. Kesempatan praktek dan interaksi langsung dengan lingkungan terlaksana pada mata ajaran IPA, PJOK, serta Seni Budaya dan Keterampilan SBK. Selain itu, kegiatan Pramuka juga melengkapi siswa dengan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan melalui berbagai kegiatannya. Pelaksanaan PLH pada dua sekolah contoh lainnya masih sebatas materi yang ada pada mata ajaran 49 inti. Guru di sekolah tersebut melaksanakan pengajaran sesuai tanggung jawab masing-masing di kelas atau pada bidang studi tertentu yang diajar, belum ada kerjasama antar guru untuk saling melengkapi pengajaran PLH-nya. Faktor obyeksasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu peubah untuk keperluan melakukan analisis statistik lebih lanjut. Peubah dimaksud adalah sekolah, karena keempat sekolah contoh memiliki kondisi yang berbeda- beda dalam kaitannya dengan penerapan PLH pada masing-masing sekolah.

5.2 Persepsi guru tentang Lingkungan

Persepsi guru tentang lingkungan diinterpretasikan dari gambar dan definisi yang dibuat oleh guru mengenai lingkungan. Gambar digunakan untuk mengidentifikasi model mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan, sedangkan definisi lingkungan digunakan untuk mengidentifikasi gagasanpengetahuan yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan. Analisis terhadap gambar maupun tulisan dilakukan berdasarkan konsep lingkungan North American Association for Environmental Education NAAEE. Guideliness for the Preparation and Professional Development of Environmental Educators - Panduan untuk Persiapan dan Pengembangan Profesional Pendidik Lingkungan Hidup NAAEE 2004 menyebutkan bahwa seorang tenaga pendidik lingkungan hidup harus dapat menjelaskan mengenai lingkungan dengan memasukkan konsep-konsep sistem, saling ketergantungan, serta interaksi diantara manusia, organisme hidup lainnya, lingkungan fisikabiotik, dan lingkungan buatan. Analisis terhadap gambar dan tulisan dilakukan dengan melihat keberadaan keempat komponen lingkungan manusia, biotik, abiotik dan lingkungan buatan serta konsep interaksi dan saling ketergantungan diantara komponen tersebut, dalam gambar dan tulisan yang dibuat oleh guru. Moseley dan Desjean-Perotta 2010 menyatakan bahwa model kognitif atau model mental dibentuk oleh setiap individu berdasarkan pengetahuan, gagasan- gagasan yang dimiliki, dan pengalaman yang dimilikinya dalam upaya menginterpretasikan dan menjelaskan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Gambar yang dibuat oleh para guru hampir seluruhnya menunjukkan suasana pegunungan, namun ada pula yang menggambarkan hutan, pemukiman dan 50 sekolah. Suasana pegunungan tersebut merupakan lingkungan di sekitar sekolah tempat guru mengajar maupun lingkungan di sekitar tempat tinggal guru tersebut, suasana yang sudah lekat dalam keseharian guru sehingga membentuk model mental guru mengenai lingkungan. Hasil analisis terhadap gambar yang dibuat oleh para guru dari sekolah contoh menunjukkan hanya ada dua gambar 6,45 yang mencerminkan adanya pemahaman guru akan interaksi, dan hanya ada tiga gambar 9,68 yang menggambarkan manusia Tabel 10. Berdasarkan jumlah komponen lingkungan yang digambarkan oleh guru, ada dua gambar 6,45 yang menunjukkan keberadaan keempat komponen lingkungan, sedangkan 70,97 gambar menunjukkan tiga komponen lingkungan. Tabel 10 Analisis terhadap gambar yang dibuat guru Hasil Jumlah Konsep lingkungan yang digambarkan Manusia 3 9,68 Biotik 25 80,65 Abiotik 28 90,32 lingkungan buatan 24 77,42 interaksi skor 5 - 8 2 6,45 interaksi sistem skor 8 0,00 gambar tidak jelas 2 6,45 tidak menggambar 1 3,23 Jumlah komponen digambarkan Satu 0,00 Dua 4 12,90 Tiga 22 70,97 Empat 2 6,45 Berdasarkan konsep lingkungan NAAEE, sebagian besar 83,87 gambar yang dibuat para guru menunjukkan bahwa model mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan tidak utuh. Sebagian besar gambar yang dibuat tampak menempatkan manusia pada posisi di luar lingkungan yang digambarkan. Hal ini dikarenakan saat guru diminta untuk menggambarkan lingkungan menurut pemikirannya, maka guru melihat lingkungan sebagai sesuatu yang ada di luar dirinya, menempatkan diri sebagai pengamat yang melihat kondisi di luar. 51 Faktor penyebab lainnya karena guru kurang memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimilikinya mengenai lingkungan dalam bentuk gambar. Hal tersebut tampak pada saat pengambilan data, ada guru yang secara terus terang menyatakan ketidakmampuannya untuk membuat gambar dan bahkan ada guru yang tidak membuat gambar apapun. Konsekuensi dari hal tersebut adalah skor untuk gambar guru sebagian besar rendah, rata-rata skor gambar guru sebesar 3 dari total kemungkinan skor tertinggi sebesar 12. Hanya ada dua gambar yang mendapatkan skor antara 5 – 8, yang menunjukkan pemahaman guru akan adanya interaksi dalam lingkungan. Hal berbeda terlihat pada definisi lingkungan yang dibuat oleh para guru dari keempat sekolah contoh. Jika pada gambar hanya ada tiga gambar manusia, definisi yang dibuat oleh guru menunjukkan hal sebaliknya. Manusia disebutkan pada 14 45,16 definisi lingkungan yang dituliskan oleh guru, dengan 6 definisi 19,35 diantaranya menyebutkan manusia dan saling ketergantungan dengan lingkungan sekitarnya tanpa penyebutan faktor lingkungan secara spesifik Tabel 11. Marten 2001 menyebutkan mengenai persepsi umum mengenai alam pada masyarakat tradisional yang menekankan fakta bahwa segala sesuatu di alam saling berhubungan, segala kegiatan manusia ada konsekuensinya, namun pandangan tersebut tidak menekankan pada hubungan tersebut secara rinci. Tabel 11 Analisis terhadap definisi lingkungan yang dibuat guru Hasil Jumlah Konsep lingkungan yang disebutkan : Manusia 14 45,16 Biotik 7 22,58 Abiotik 4 12,90 lingkungan buatan 2 6,45 interaksi dan saling ketergantungan 12 38,71 jawaban tidak jelas 15 48,39 Tidak memberi jawaban 1 3,23 Jumlah komponen lingkungan yang disebutkan: Satu 8 25,81 Dua 3 9,68 Tiga 3 9,68 Empat 1 3,23 52 Definisi yang dituliskan oleh guru 48,39 tidak jelas, sehingga keberadaan faktorkomponen lingkungan tidak dapat diidentifikasi, dan satu guru 3,23 bahkan tidak menuliskan jawaban apapun Tabel 11. Banyaknya jawaban guru yang tidak jelas saat diminta untuk menuliskan definisi mengenai lingkungan berdasarkan pemikirannya mengarah pada kesimpulan bahwa guru tidak memiliki pemahaman yang baik tentang lingkungan. Guru tidak menguasai konsep lingkungan secara utuh. Jika dibandingkan antara gambar dan tulisan yang dibuat oleh guru, terlihat bahwa sebagian besar guru kurang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan gagasan, pemikiran ataupun persepsinya tentang lingkungan dalam bentuk gambar maupun tulisan. Diskusi dengan guru juga menunjukkan bahwa guru memang tidak terbiasa dan kurang mampu mengungkapkan pemikirannya dalam bentuk gambar dan tulisan. Instrumen DAET yang digunakan untuk mengukur persepsi guru tentang lingkungan dikembangkan di negara maju yang masyarakatnya telah terbiasa mengungkapkan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimiliki dalam bentuk gambar ataupun tulisan. Penggunaan gambar dan tulisan sebagai bentuk pengungkapan gagasan, pemikiran atau persepsi belum membudaya sebagai suatu perilaku yang penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Masyarakat Indonesia lebih terbiasa mengungkapkan pemikirannya secara lisan. Pendidikan di Indonesia belum mendorong penggunaan bentuk ekspresi gambar dan tulisan tersebut. Hal tersebut telah membuat guru tidak dapat mengekspresikanmengungkapkan pemahamannya mengenai konsep lingkungan dengan baik dalam DAET. Kemampuan guru untuk dapat mengungkapkan pemikiran, idegagasan dan persepsi dengan berbagai cara sesungguhnya akan membuka pilihan yang lebih luas bagi guru untuk menggunakan cara yang dapat lebih dipahami oleh siswanya. Analisis statistik dengan menggunakan Spearman correlation dilakukan terhadap hasil skor persepsi dari gambar yang dibuat guru dengan menggunakan Draw-An-Environment-Test Rubric DAET-R untuk mengetahui keberadaan asosiasi atau hubungan antara persepsi lingkungan guru dengan peubah usia, pendidikan, masa kerja dan lama mengajar. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa tidak ada satupun nilai dari keempat peubah tersebut yang secara statistik berbeda nyata, artinya keempat peubah tersebut tidak memiliki asosiasihubungan