Kelembagaan Usahatani KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN

Hampir seluruh petani 92.06 persen berpendapat bahwa di desa mereka terdapat kelompok tani Tabel 28. Demikian pula jika dilihat secara per provinsi. Tabel 28. Sebaran Responden Berdasarkan Adanya Kelompok Tani. Provinsi Adanya Kelompok Tani di Desa 1=ada 0=tidak ada total Sumatera Utara 94 94.00 6 6 100 Jawa Barat 111 85.38 19 15 130 Jawa Tengah 157 91.81 14 8 171 Jawa Timur 95 100.00 - - 95 Sulawesi Selatan 88 91.67 8 8 96 Indonesia 545 92.06 47 8 592 Adanya kelompok tani di setiap desa ternyata tidak menjamin petani ikut serta dalam keanggotaan. Di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan sebagian besar petani adalah anggota kelompok tani. Kecuali di Jawa Barat, banyak petani yang tidak menjadi anggota kelompok tani 50 persen Tabel 29. Merujuk bahwa Jawa Barat adalah sentra produksi padi, banyak petani yang mengandalkan pengalaman bukan kelompok tani untuk bekal usahatani. Tabel 29. Sebaran Responden Berdasarkan Keanggotaan Kelompok Tani. Provinsi Keanggotaan Kelompok Tani 1=anggota 0=bukan anggota total Sumatera Utara 64 64.00 36 36 100 Jawa Barat 65 50.00 65 50 130 Jawa Tengah 124 72.51 47 27 171 Jawa Timur 49 51.58 46 48 95 Sulawesi Selatan 70 72.92 26 27 96 Indonesia 372 62.84 220 37 592 Bagi petani yang telah menjadi anggota kelompok, ternyata tidak seluruhnya aktif. Sebagian besar petani di provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan tidak aktif dalam kelompok tani. Jumlah petani yang aktif paling banyak di Provinsi Jawa Tengah karena 60.23 persen petaninya aktif dalam kelompok tani Tabel 30. Provinsi lain yang memiliki banyak petani aktif dalam kelompok yaitu Sulawesi Selatan 45.83 persen. Petani mengganggap bahwa aktif dalam kelompok tani berarti harus meluangkan waktu, terlebih jika lokasi penyuluhan jauh dari rumahnya. Sementara petani perlu focus kepada usahataninya apalagi pada saat pemeliharaan tanaman. Petani telah merasa cukup dengan pengalaman dan keterampilan yang dimiliki. Tabel 30. Sebaran Responden Berdasarkan Keaktifan Pada Kelompok Tani. Provinsi Keaktifan Dalam Kelompok Tani di Desa 1=aktif 0=tidak aktif Total Sumatera Utara 36 36.00 64 64 100 Jawa Barat 34 26.15 96 74 130 Jawa Tengah 103 60.23 68 40 171 Jawa Timur 26 27.37 69 73 95 Sulawesi Selatan 44 45.83 52 54 96 Indonesia 243 41.05 349 59 592 Peningkatan produksi dapat didukung oleh pemberian penyuluhan mengenai perubahan teknik budidaya, mekanisasi, penggunaan input baru dan unggul, jumlah input yang optimal, dan peningkatan teknologi. Sebagian besar petani 53.72 persen pernah ikut serta dalam penyuluhan padi Tabel 31. Jika dilihat per provinsi, Provinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan paling unggul dalam keikutsetaan penyuluhan padi. Di Sumatera Utara dan Jawa Timur sebagian besar petaninya 60 persen tidak ikut serta dalam penyuluhan padi. PPL adalah pihak lembaga penyuluhan yang memberikan informasi dan teknologi yang dapat mendukung usahatani. Namun pada kenyataannya sebagian besar petani 58 persen tidak menerima informasi dan teknologi dari PPL. Tabel 31. Sebaran Responden Berdasarkan Keikutsertaan Dalam Penyuluhan Padi Tahun 2010. Provinsi Keikutsertaan Dalam Penyuluhan Padi 1=ikut 0=tidak Total Sumatera Utara 40 40.00 60 60 100 Jawa Barat 74 56.92 56 43 130 Jawa Tengah 106 61.99 65 38 171 Jawa Timur 38 40.00 57 60 95 Sulawesi Selatan 60 62.50 36 38 96 Indonesia 318 53.72 274 46 592 Begitu pula jika dilihat per provinsi, lebih dari 50 persen petani tidak menerima informasi dan teknologi dari PPL Tabel 32. Banyaknya petani yang tidak menerima informasi dan teknologi dari PPL disebabkan petani tidak aktif dalam kelompok tani atau pihak PPL yang jarang melakukan penyuluhan karena terlalu luasnya wilayah kerja atau kurangnya jumlah tenaga PPL. Tabel 32. Sebaran Responden Berdasarkan Informasi Teknologi . Provinsi Informasi dan Teknologi 1 = adanya informasi dan teknologi dari PPL 0 = tidak adanya informasi dan teknologi dari PPL total Sumatera Utara 46 46.00 54 54 100 Jawa Barat 49 37.69 81 62 130 Jawa Tengah 77 45.03 94 55 171 Jawa Timur 28 29.47 67 71 95 Sulawesi Selatan 47 48.96 49 51 96 Indonesia 247 41.72 345 58 592 Dosis pupuk yang tepat akan meningkatkan produktivitas. Informasi penetapan dosis pupuk diterapkan petani berdasarkan rekomendasi PPL atau pengalaman sendiri. Sebagian besar petani di seluruh provinsi 93 persen menetapkan dosis pupuk berdasarkan rekomendasi PPL Tabel 33. Demikian pula jika dilihat per provinsi di lima provinsi sentra lebih dari 85 persen petaninya menetapkan dosis pupuk berdasarkan saran PPL. Dalam hal ini sebenarnya PPL sangat dibutuhkan dalam penyebaran informasi dan teknologi, hanya saja terkadang petani merasa lebih tahu dan berpengalaman atau merasa tidak punya waktu untuk aktif dalam kelompok tani. Tabel 33. Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Penetapan Dosis Pupuk. Provinsi Sumber Penetapan Dosis Pupuk 1=Pengalaman sendiri 0=Saran PPL total Sumatera Utara 4 4.00 96 96 100 Jawa Barat 4 3.08 126 97 130 Jawa Tengah 19 11.11 152 89 171 Jawa Timur 12 12.63 83 87 95 Sulawesi Selatan 2 2.08 94 98 96 Indonesia 41 6.93 551 93 592 Keputusan secara kelompok akan menghasilkan kesepakatan bersama yang disetujui demi kepentingan bersama. Tindakan pengendalian hama dapat dilakukan secara kelompok atau individu. Pengendalian secara kelompok diharapkan dapat memberantas hama secara menyeluruh sehingga akan lebih efektif. Namun pada kenyataannya, sebagian besar petani 62.67 persen melakukannya secara individu kecuali di Jawa Tengah. Tabel 34 . Tabel 34. Sebaran Responden Berdasarkan Tindakan Pengendalian Hama. Provinsi Tindakan Pemberantasan Hama 1=Individu 0=Kelompok total Sumatera Utara 65 65.00 35 35 100 Jawa Barat 101 77.69 29 22 130 Jawa Tengah 84 49.12 87 51 171 Jawa Timur 66 69.47 29 31 95 Sulawesi Selatan 55 57.29 41 43 96 Indonesia 371 62.67 221 37 592 Di Jawa Tengah, sebagian besar petani 51 persen melakukan pengendalian hama secara kelompok. Pengendalian secara kelompok akan lebih efektif dan efisien dalam hal penghematan biaya, penggunaan tenaga kerja, kesepakatan jadwal penyemprotan, dan penetapan jenis serta dosis obat. Modal sebagai aspek pendukung usahatani padi sangat dibutuhkan dalam penggunaan input yang optimal. Modal diperoleh dari internal atau eksternal. Lembaga keuangan bank adalah salah satu lembaga keuangan formal yang mendukung petani dalam permodalan. Namun pada kenyataannya hanya 19.76 persen petani yang akses ke lembaga keuangan bank Tabel 35. Sebagian besar petani di semua provinsi tidak pernah akses ke lembaga keuangan bank. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan bank tidak diminati sebagai sumber modal dan mereka lebih menyukai sumber modal informal atau internal. Tabel 35. Sebaran Responden Berdasarkan Akses Ke Lembaga Keuangan Bank . Provinsi Akses Terhadap Lembaga Keuangan 1=pernah meminjam 0=tidak pernah total Sumatera Utara 30 30.00 70 70 100 Jawa Barat 16 12.31 114 88 130 Jawa Tengah 23 13.45 148 87 171 Jawa Timur 13 13.68 82 86 95 Sulawesi Selatan 35 36.46 61 64 96 Indonesia 117 19.76 475 80 592 Ketersediaan sarana produksi tepat waktu akan meningkatkan efisiensi. Dengan demikian semakin dekat jarak usahatani dengan penyedia sarana produksi maka akan semakin efisien. Sebagian besar petani di seluruh provinsi menyatakan bahwa lokasi penyedia sarana produksi yang biasa dihubungi berada di dalam desa 79.90 persen sehingga memungkinkan ketersediaan input tepat waktu Tabel 36. Terlebih di Jawa Barat dimana 92.31 persen petani menyatakan bahwa lokasi penyedia sarana produksi yang biasa dihubungi berada di dalam desa. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi sarana produksi di Jawa Barat relatif lebih baik. Tabel 36. Sebaran Responden Berdasarkan Lokasi Penyedia Saprodi. Provinsi Lokasi Penyedia Sarana Produksi Yang Biasa Dihubungi 1=Dalam Desa 0=Luar Desa total Sumatera Utara 82 82.00 18 18 100 Jawa Barat 120 92.31 10 8 130 Jawa Tengah 123 71.93 48 28 171 Jawa Timur 77 81.05 18 19 95 Sulawesi Selatan 71 73.96 25 26 96 Indonesia 473 79.90 119 20 592 Traktor dibutuhkan petani saat pengolahan lahan sehingga penyedia traktor sebaiknya berada di dalam desa agar kebutuhan traktor atau jasa pengolahan lahan secara tepat waktu dapat terpenuhi. Di setiap provinsi sentra, sebagian besar petani menyatakan bahwa lokasi penyedia traktor yang biasa dihubungi berada di dalam desa, terutama di Jawa Tengah sebanyak 91.81 persen petani menyatakan bahwa lokasi penyedia traktor berada di dalam desa Tabel 37. Hal ini memudahkan pengolahan tanah untuk dilakukan tepat waktu. Tabel 37. Sebaran Responden Berdasarkan Lokasi Penyedia Traktor. Provinsi Lokasi Penyedia Traktor Yang Biasa Dihubungi 1=Dalam Desa 0=Luar Desa total Sumatera Utara 75 75.00 25 25 100 Jawa Barat 108 83.08 22 17 130 Jawa Tengah 157 91.81 14 8 171 Jawa Timur 80 84.21 15 16 95 Sulawesi Selatan 83 86.46 13 14 96 Indonesia 503 84.97 89 15 592 Dalam hal penyedia pompa, sebagian besar petani 93 persen menyatakan lokasi penyedia pompa berada di luar desa Tabel 38.. Demikian pula dilihat secara provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini kebutuhan air masih tercukupi dari irigasi bukan air pompa. Hanya saja di Jawa Tengah sebanyak 24.56 persen petani menyatakan bahwa lokasi penyedia pompa yang biasa dihubungi berada di dalam desa. Hal ini mengindikasikan bahwa Jawa Tengah relatif kekurangan air untuk padi dibandingkan provinsi lain. Sumber air dari irigasi tidak cukup sehingga perlu tambahan dari pompa. Sumber air dari irigasi tidak menjamin dan tidak dapat selalu diandalkan karena kondisinya yang rusak. Tabel 38.Sebaran Responden Berdasarkan Lokasi Penyedia Pompa. Provinsi Lokasi Penyedia Pompa yang Biasa Dihubungi 1=Dalam Desa 0=Luar Desa total Sumatera Utara - - 100 100 100 Jawa Barat - - 130 100 130 Jawa Tengah 42 24.56 129 75 171 Jawa Timur 2 2.11 93 98 95 Sulawesi Selatan - - 96 100 96 Indonesia 44 7.43 548 93 592 Peralatan panen dan pasca panen dapat mempengaruhi penyusutan dan rendemen gabah. Penyusutan juga dipengaruhi oleh jarak usahatani ke lokasi peralatan tersebut. Semakin jauh jarak ke lokasi peralatan panen dan pascapanen akan berdampak pada mahalnya transportasi, dan peluang rusak atau tercecer. Secara umum sebanyak 67 persen petani menyatakan bahwa lokasi penyedia alat panen yang biasa dihubungi berada di luar desa mereka. Jika dilihat per provinsi, hampir di seluruh provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan sebagian besar petani lebih dari 70 persen juga menyatakan bahwa lokasi penyedia alat panen dan pasca panen berada di luar desa. Tabel 39. Kecuali di Jawa Tengah, sebagian besar petani 50.29 persen menyatakan bahwa lokasi penyedia alat panen dan pasca panen berada di dalam desa. Tabel 39. Sebaran Responden Berdasarkan Lokasi Penyedia Alat Panen dan Pascapanen. Provinsi Lokasi Penyedia Alat panen dan Pasca Panen Yang Biasa Dihubungi 1=Dalam Desa 0=Luar Desa total Sumatera Utara 26 26.00 74 74 100 Jawa Barat 30 23.08 100 77 130 Jawa Tengah 86 50.29 85 50 171 Jawa Timur 27 28.42 68 72 95 Sulawesi Selatan 29 30.21 67 70 96 Indonesia 198 33.45 394 67 592 Hubungan petani dengan para penyedia sarana produksi dan peralatan serta pedagang beras selain hubungan jual beli secara tunai, juga banyak petani terikat dengan mereka dalam hal penyediaan modal, bantuan penyediaan barang konsumsi, penyediaaan sarana atau peralatan secara kredit, bantuan pemasaran, atau pembinaan dan penyuluhan. Jika dilihat dari ikatan bisnis dengan penyedia sarana produksi, sebagian besar petani menyatakan tidak ada ikatan Tabel 40. Hanya petani di Sulawesi Selatan yang sebagian petaninya 17.71 persen memiliki ikatan bisnis dengan penyedia sarana produksi seperti pupuk, obat-obatan, benih, dan sebagainya. Tabel 40. Sebaran Responden Berdasarkan Ikatan Bisnis Dengan Penyedia Sarana Produksi. Provinsi Ikatan Bisnis Dengan Penyedia Sarana Produksi 1=Ada ikatan 0=Tidak ada ikatan total Sumatera Utara 6 6.00 94 94 100 Jawa Barat 4 3.08 126 97 130 Jawa Tengah 11 6.43 160 94 171 Jawa Timur 1 1.05 94 99 95 Sulawesi Selatan 17 17.71 79 82 96 Indonesia 39 6.59 553 93 592 Jika dilihat dari ikatan bisnis dengan penyedia pompa ternyata hampir seluruh petani 99 persen di setiap provinsi menyatakan tidak ada ikatan Tabel 41. Tabel 41. Sebaran Responden Berdasarkan Ikatan Bisnis Dengan Penyedia Pompa. Provinsi Ikatan BIsnis Dengan Penyedia Pompa 1=ada ikatan 0=tidak ada ikatan total Sumatera Utara - - 100 100 100 Jawa Barat - - 130 100 130 Jawa Tengah 4 2.34 167 98 171 Jawa Timur - - 95 100 95 Sulawesi Selatan - - 96 100 96 Indonesia 4 0.68 588 99 592 Jika dilihat dari ikatan bisnis dengan penyedia traktor ternyata sebagian besar 95 persen petani juga menyatakan tidak ada ikatan Tabel 42. Hanya petani di Sulawesi Selatan yang sebagian petaninya 15.63 persen memiliki ikatan bisnis dengan penyedia sarana traktor. Tabel 42. Sebaran Responden Berdasarkan Ikatan Bisnis Dengan Penyedia Sarana Traktor Tahun 2010. Provinsi Ikatan BIsnis Dengan Penyedia Traktor 1=Ada Ikatan 0=Tidak Ada Ikatan total Sumatera Utara 5 5.00 95 95 100 Jawa Barat - - 130 100 130 Jawa Tengah 6 3.51 165 96 171 Jawa Timur 3 3.16 92 97 95 Sulawesi Selatan 15 15.63 81 84 96 Indonesia 29 4.90 563 95 592 Demikian pula jika dilihat dari ikatan bisnis dengan penyedia alat panen, ternyata hampir seluruh petani 99 persen menyatakan tidak ada ikatan bisnis dengan mereka terumata petani di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Tabel 43. Tabel 43.Sebaran Responden Berdasarkan Ikatan Bisnis Dengan Penyedia Alat Panen. Provinsi Ikatan Bisnis Dengan Penyedia Alat panen dan Pasca Panen 1=Ada Ikatan 0=Tidak ada ikatan total Sumatera Utara - - 100 100 100 Jawa Barat - - 130 100 130 Jawa Tengah 5 2.92 166 97 171 Jawa Timur 1 1.05 94 99 95 Sulawesi Selatan 2 2.08 94 98 96 Indonesia 8 1.35 584 99 592 Pedagang beras adalah lembaga hilir sebagai pembeli gabah petani yang berbeda dengan lembaga hulu sebegai penyedia input. Untuk pasokan yang kontinyu biasanya pedagang beras melakukan kerjasama dengan petani. Namun ternyata sebagian besar petani 94 persen tidak mekakukan ikatan bisnis dengan pedagang beras Tabel 44. Hal ini menunjukkan adanya kemandirian petani dalam melakukan usahataniya. Hanya sebagian petani di Jawa Timur yang melakukan hal tersebut yaitu sebanyak 21.05 persen. Tabel 44. Sebaran Responden Berdasarkan Ikatan Bisnis Dengan Pedagang Beras. Provinsi Ikatan BIsnis Dengan Pedagang Beras 1=Ada ikatan 0=tidak ada ikatan total Sumatera Utara 5 5.00 95 95 100 Jawa Barat 2 1.54 128 98 130 Jawa Tengah 8 4.68 163 95 171 Jawa Timur 20 21.05 75 79 95 Sulawesi Selatan 2 2.08 94 98 96 Indonesia 37 6.25 555 94 592 Kemandirian ini juga dapat dilihat dari cara menjual. Hampir seluruh petani di setiap provinsi menjual gabahnya dengan cara tidak diijonkan Tabel 45. Hal ini dilakukan karena petani tidak terlalu membutuhkan dana keperluan konsumsi secara segera dan petani cukup memiliki modal untuk mendanai usahatani sendiri tanpa bantuan tengkulak.. Kelemahannya yaitu petani menanggung risiko produksi sampai saat panen. Namun hal ini dapat dikompensasi karena cara menjual tanpa ijon seperti ini dianggap lebih menguntungkan. Petani memperoleh harga yang lebih tinggi sehingga penerimaannya lebih tinggi. Pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan usahatani padi. Tabel 45. Sebaran Responden Berdasarkan Cara Menjual. Provinsi Cara Menjual 1=ijon 0=Lainnya Total Sumatera Utara - - 100 100 100 Jawa Barat 1 0.77 129 99 130 Jawa Tengah - - 171 100 171 Jawa Timur 1 1.05 94 99 95 Sulawesi Selatan - - 96 100 96 Indonesia 2 0.34 590 100 592 5.6. Kinerja Usahatani Salah satu kinerja usahatani adalah produktivitas. Produktivitas padi berbeda antar provinsi. Secara rata-rata produktivitas padi di seluruh Indonesia melebihi 5 tonha. Petani di Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur memperoleh produktivitas tertinggi dan Jawa Tengah terendah 5.163 tonha Tabel 46. Tabel 46. Kinerja Usahatani Padi Antar Provinsi Sentra. Variabel Sumatera Utara Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan produktivitas kgha 5,741 5,429 5,163 5,487 5,247 penerimaan padi Rp 6,152,079 12,281,562 3,891,606 4,787,721 6,406,885 biaya padi Rp 1,983,946 4,350,108 1,651,460 1,787,623 1,937,878 keuntungan padi Rp 4,168,133 7,931,454 2,240,146 3,000,098 4,469,007 penerimaan sawah Rp 18,876,178 28,988,493 10,449,104 14,356,892 20,952,987 penerimaan non sawah Rp 11,006,851 12,263,804 16,864,187 11,838,597 17,046,012 penerimaan komoditi pertanian Rp 22,124,429 31,504,697 15,381,490 16,320,258 24,499,747 penerimaan non pertanian Rp 8,384,100 9,992,492 12,666,637 10,495,389 13,551,335 penerimaan total Rp 30,508,529 41,497,190 28,048,127 26,815,648 38,051,082 penerimaan padi her ha Rp 16,076,295 15,916,369 12,566,787 13,612,423 12,500,655 biaya padi per ha Rp 5,003,068 5,695,259 5,380,311 5,203,643 3,800,201 keuntungan padi per ha Rp 11,073,227 10,221,110 7,186,477 8,408,780 8,700,454 RC 3.71 2.89 2.64 2.98 3.49 Penghasilan padi per bulan 512,673 1,023,464 324,301 398,977 533,907 share padi terhadap penerimaan total 0.2017 0.2960 0.1387 0.1785 0.1684 penghasilan per bulan 2,542,377 3,458,099 2,337,344 2,234,637 3,170,924 Penerimaan padi tertinggi dicapai oleh petani Jawa Barat Rp 12 281 562 karena lahan garapannya paling luas 0.75 ha sehingga walaupun biaya yang dikeluarkan paling besar Rp 4 350 108 namun menghasilkan keuntungan paling tinggi Rp 7 931 454. Demikian pula jika dilihat rata-rata per ha, penerimaan yang tinggi per ha Rp 15 916 369 dengan biaya per ha Rp 5 695 259, maka menghasilkan keuntuingan yang tinggi Rp 10 221 110 dan nilai RC yang tinggi pula 2.89. nilai RC ini menunjukkan kondisi efisiensi dimana setiap tambahan satu rupiah biaya maka akan menghasilkan tambahan penerimaan sebesar Rp 2.89. Jika dilihat dari penerimaan total dari sawah yang digarap, maka petani di Jawa Barat juga menghasilkan penerimaan tertinggi Rp 28 988 493. Demikian pula penghasilan dari total komoditi pertanian paling tinggi Rp 31 504 697. Namun kebalikannya penerimaan non pertanian petani di Jawa Barat adalah rendah Rp 9 992 492. Hal ini menunjukkan bahwa petani di Jawa mengandalkan penghasilannya dari sawah dengan komoditi pertaniannya. Kondisi petani di Jawa Tengah dengan produktivitas paling rendah 5.163 tonha, menghasilkan penerimaan paling rendah pula Rp 3 891 606 sehingga walaupun biaya yang dikeluarkan paling rendah Rp 1.651 460 namun keuntungan yang diperoleh juga paling rendah Rp 2 240 146. Jika dilihat rata- rata per ha maka penerimaan padi per ha petani di Jawa Tengah adalah rendah Rp 12 566 787 dengan biaya Rp 5 380 311 dan menghasilkan keuntungan per ha juga paling rendah Rp 7 186 477 dan nilai RC terendah 2.64 yang mengindikasikan efisiensi usahatani padi di Jawa Tengah relatif rendah dibandingkan dengan provinsi lain. Demikian pula dengan penerimaan total dari sawah adalah paling rendah Rp 10 449 104 serta penerimaan dari total komoditi pertanian paling rendah Rp 15 381 490. Walaupun penerimaan total dari sawah paling rendah, namun petani di Jawa Tengah menghasilkan penerimaan non sawah yang tinggi melebihi Jawa Barat Rp 16 864 187 dan juga penerimaan non pertanian yang tinggi Rp 12 666 637, sehingga hal ini dapat mengkompensasi rendahnya penghasilan dari padi. Di setiap provinsi di Indonesia, secara rata-rata penerimaan padi per bulan hanya sekitar Rp 500 000, kecuali di Jawa Barat Rp 1 023 464. Penerimaan ini pun belum dikurangi biaya produksi sehingga belum mencerminkan pendapatan bersih. Rendahnya penghasilan dari usahatani padi ini merupakan cerminan betapa miskinnya petani padi di Indonesia dibandingkan petani komoditi lain. Untuk itulah tidak jarang petani padi mengkonversi lahannya ke komoditi lain atau ke sector lain industri dan property karena return to land yang tinggi. Jika dilihat dari penerimaan total rumahtangga maka penghasilan petani di Jawa Barat adalah tertinggi Rp 41 497 190 dan terendah adalah petani di Jawa Timur Rp 26 815 648. Sedangkan petani di Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan, walaupun penghasilan dari sawah relatif rendah namun terbantu oleh penghasilan non sawah. Walaupun petani responden menganggap usahatani padi sebagai mata pencaharian utama namun ternyata share penerimaan padi terhadap penerimaan total rumahtangga tidak lebih dari 20 persen, dan paling rendah di Jawa Tengah hanya 13.87 persen. Kecuali di Jawa Barat share penerimaan padi sebanyak 29,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa upaya dan curahan kerja yang tinggi pada usahatani padi yang membutuhkan pemeliharaan intensif dan dianggap sebagai matapencaharian utama, ternyata tidak dapat menjadi andalan penghasilan. Hal ini karena selain keuntungan per hektarnya relatif rendah dibandingkan dengan komoditi lain juga karena lahan garapan yang tidak luas. Untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga, petani masih memerlukan penghasilan tambahan baik dari komoditi lain atau dari sector lain. Dengan demikian penghasilan total rumahtangga per bulan meningkat menjadi lebih dari Rp 2 000 000. Penghasilan per bulan tertinggi dicapai oleh petani di Jawa Barat sehingga petani padi di Jawa Barat dianggap relatif lebih kaya dari petani padi di provinsi lain. Secara keseluruhan data karakteristik responden selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI

6.1. Fungsi Produksi Padi di Sumatera Utara

Produksi padi ditentukan oleh penggunaan input-inputnya baik lahan, benih, pupuk, dan tenaga kerja. Analisis fungsi produksi menggambarkan hubungan produksi dengan input-inputnya. Analisis fungsi produksi dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di lokasi penelitian. Metode OLS Ordinary Least Square dilakukan terlebih dahulu untuk menguji apakah terdapat pelanggaran asumsi atau tidak multikolinearity, autokorelasi, dan heteroskeasticity . Selain itu dengan OLS terlebih dahulu, ditemukan beberapa variabel yang memiliki nilai koefisien yang negatif. Keberadaan nilai yang negatif ini sebaiknya dihindari. Agar relevan dengan analisis ekonomi maka nilai koefisien fungsi produksi haruslah positif. Hal ini berlaku asumsi bahwa penggunaan fungsi Cobb-Douglas adalah dalam keadaan The Law of Diminishing Return untuk setiap inputnya sehingga informasi yang diperoleh dapat dipakai untuk melakukan upaya agar setiap penambahan input dapat menghasilkan tambahan output yang lebih besar. Model fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas . Sebelumnya fungsi produksi diduga dengan metode OLS Ordinary Least Square dan menghasilkan fungsi produksi yang dianggap telah fit serta memenuhi asumsi Cobb-Douglas. Parameter setiap variabel adalah lebih dari nol yang berarti fungsi produksi yang tidak pernah decline tidak mencapai daerah irrasional III, tidak terjadi pelanggaran asumsi terutama tidak terjadi multicollinearity VIF10 yang artinya tidak terjadi korelasi antar variabel independent, nilai R 2 yang besar 89.61 persen yang artinya variasi produksi padi dipengaruhi oleh variasi variabel independent sebanyak 89.61 persen dan sisanya 10.39 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Parameter dugaan pada fungsi produksi stochastic frontier menunjukkan nilai elastisitas produksi frontier dari input-input yang digunakan. Return to scale yang dihasilkan mendekati satu yang artinya berada dalam kategori constant return to scale RTS≈1. Petani beroperasi pada daerah rasional II dimana terdapat posisi keuntungan maksimum. Koefisien dalam fungsi produksi yang merupakan pangkat fungsi Cobb-Douglas merupakan elastisitas produksi masing- masing input yang digunakan. Jumlah koefisien fungsi ini merupakan kondisi return to scale dan hasilnya adalah 1.065. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi produksi Cobb-Douglas dengan metode MLE ini berada dalam kondisi Constant Return To Scale sesuai dengan asumsi fungsi produksi Cobb-Douglas. Sama halnya dengan total koefisien fungsi produksi dengan metode OLS, menghasilkan angka 1.149 yang berarti Constant Return To Scale. Oleh karena sulitnya melakukan uji restriksi dengan metode MLE yang menggunakan frontier, maka uji restriksi hanya dilakukan dengan metode OLS dengan SAS dan menghasilkan nilai t-hitung yang signifikan sehingga dapat dikatakan berada pada constant return to scale. Adapun rincian hasil pendugaan dengan metode OLS di setiap provinsi, rata-rata nasional, dan potensi maksimum nasional beserta uji restriksinya dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari keseluruhan uji restriksi tersebut dihasilkan bahwa secara statistik jumlah parameter estimates adalah sama dengan satu sehingga dikatakan berada pada constant return to scale. Berikutnya yaitu pendugaan dengan metode MLE Maximum Likelihood Estimation yang menghasilkan fungsi produksi yang dianggap fit karena memenuhi asumsi Cobb-Douglas. Nilai log likelihood dengan metode MLE +22.587 adalah lebih besar dari nilai log likelihood dengan metode OLS +3.6415 yang berarti fungsi produksi dengan metode MLE ini adalah baik dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Nilai menunjukkan distribusi dari error term inefisiensi dan nilai 0.169 adalah cukup kecil sehingga terdistribusi secara normal. Nilai parameter merupakan kontribusi dari efisiensi teknis di dalam efek residual total. Nilai yang mendekati 1 yaitu 0.924 menunjukkan bahwa error term hanya berasal dari akibat inefisiensi dan bukan berasal dari noise . Model ini sangat baik karena nilai yang mendekati 1. Sedangkan jika mendekati nol diinterpretasikan bahwa seluruh error term adalah sebagai akibat dari noise seperti iklim, cuaca, hama, dan sebagainya dan bukan akibat dari inefisiensi. Jika terjadi demikian, maka parameter koefisien inefisiensi menjadi tidak berarti. Tabel 47 merupakan hasil pendugaan fungsi produksi dengan metode MLE yang menghasilkan koefisien seluruh variabel yang positif dan tidak ada pelanggaran asumsi. Variabel input yang diduga dalam model ini mempengaruhi produksi padi yaitu lahan, benih, tenaga kerja, pupuk urea, pupuk KCl dan musim. Hasil pendugaan menggambarkan kinerja terbaik best practice dari petani responden pada tingkat teknologi yang ada constant technology. Variabel lahan signifikan terhadap produksi pada taraf α=5. Parameter estimates variabel lahan yang merupakan elastisitas produksinya bernilai paling besar +0.847 dibandingkan dengan variabel lain yang artinya jika lahan diperluas 1 persen maka produksi akan meningkat 0.847 persen. Produksi dikatakan paling responsif terhadap lahan dibandingkan terhaap input lainnya. Dengan kondisi lahan garapan yang sempit 0.375 ha maka diperlukan adanya perluasan lahan. Implikasinya adalah jika pemerintah hendak meningkatkan produksi padi di Sumatera Utara, maka variabel lahan lah yang seharusnya menjadi perhatian utama. Tabel 47. Hasil Pendugaan Stochastic Frontier Production Function di Sumatera Utara Dengan Metode MLE. Variabel coefficient t-ratio VIF beta 0 8.0079 18.840 - lahan ha 0.8473 9.195 9.460 benih kg 0.1377 1.525 8.957 tenaga kerja HOK 0.0629 1.751 1.209 urea kg 0.0152 2.194 1.057 KCL kg 0.003 0.513 1.014 Dmusim 0.009 0.241 1.006 R 2 0.896 CRTS 1.066 sigma-squared 2 0.170 3.555 Gamma 0.924 25.985 log LF MLE 22.587 log LF OLS 3.642 Keterangan : nyata pada taraf α=10, nyata pada taraf α=5 Variabel tenaga kerja dan pupuk urea signifikan terhadap produksi pada taraf α=5 dan benih signifikan terhadap produksi pada taraf α=10 dengan parameter estimates positif masing-masing tenaga kerja +0.0629, pupuk urea +0.0152 dan benih +0.1377. Ketiga input ini berpengaruh terhadap produksi