Fungsi Inefisiensi Teknis Usahatani Padi Rata-Rata di Indonesia
lahan garapan berhubungan positif dengan indeks efisiensi Gambar 23 sehingga
perluasan lahan tidak menurunkan efisiensi.
Gambar 23. Hubungan Antara Luas Lahan Dengan Indeks Efisiensi Teknis Rata- Rata di Indonesia
Pemerintah dapat membantu dengan membatasi izin konversi lahan ke non padi, membangun infrastruktur pertanian, meminjamkan lahan pemerintah untuk
digarap petani, atau pemanfaatan lahan kering untuk tanaman semusim. Dari sebaran petani pada Tabel 87 dapat dilihat bahwa dari seluruh petani yang tidak
efisien indeks efisiensi 0.8 sebanyak 88.46 persen adalah petani pemilik dan 11.53 persen adalah petani non pemilik.
Tabel 87. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani
Padi dan Status Lahan Rata-Rata di Indonesia.
Tingkat Efisiensi
status lahan 1=pemilik
0=bukan pemilik total
0.2
2 100.00
- -
2 100
0.2 0.4
2 66.67
1 33
3 100
0.4 0.
18 100.00
- -
18 100
0. 0.
93 86.92
14 13
107 100
352 76.19
110 24
462 100
Total
467 78.89
125 21
592 100
Variabel mutu benih signifikan berpengaruh nyata dengan koefisien negatif yang artinya benih berlabel akan menurunkan inefisiensi, atau dengan kata
lain benih berlabel akan meningkatkan efisiensi usahatani padi. Terkait dengan
- 0,20
0,40 0,60
0,80 1,00
1,20
- 0,50
1,00 1,50
2,00 2,50
te ch
n ica
l e
ff ici
e n
cy
luas lahan ha
Technical efficiency Linear Technical efficiency
perubahan iklim dan cuaca yang sulit diprediksi yang tercermin dalam variabel musim dan variabel benih pada fungsi produksi maka implikasinya adalah
perlunya dukungan pemerintah dalam inovasi benih unggul yang adaptif terhadap musim dan dibarengi sosialisasi serta distribusi yang baik. Dari sebaran responden
pada Tabel 85 terlihat bahwa dari seluruh petani yang efisien 0.8 sebagian besar 54.33 persen adalah petani pengguna benih berlabel Tabel 88.
Tabel 88. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Padi dan Mutu Benih Rata-rata di Indonesia.
Tingkat Efisiensi
Mutu Benih
1=Berlabel 0=Tidak Berlabel
total 0.2
1 50.00
1 50
2 100
0.2 0.4 1
33.33 2
67 3
100 0.4 0.
13 72.22
5 28
18 100
0. 0.
49 45.79
58 54
107 100
251 54.33
211 46
462 100
Total 315
53.21 277
47 592
100 Variabel pengolahan lahan signifikan berpengaruh terhadap efisiensi
teknis dengan tanda positif yang artinya mekanisasi dengan traktor dapat meningkatkan inefisiensi atau menurunkan efisiensi. Sebanyak 61.32 persen
petani responden di Indonesia memiliki persil yang tidak satu hamparan. Hal ini berdampak lahan terfragmentasi terlebih jika persilnya berada pada lokasi yang
berbeda, sehingga penggunaan traktor menjadi tidak efisien. Selain itu karena lahan garapan yang sempit 0.3 ha dan variasi aktivitas teknik budidaya, maka
usahatani padi di Indonesia lebih efisien dilakukan secara labor intensif. Kualitas pengolahan lahan oleh tenaga manusia dan bajak dianggap tidak kalah dengan
traktor sehingga sejalan dengan fungsi produksi bahwa penambahan tenaga kerja dapat meningkatkan produksi.
Dari sebaran petani responden Tabel 89 dapat dilihat bahwa dari seluruh petani yang tidak efisien sebanyak 93 persen adalah mereka yang menggunakan
traktor. Implikasinya adalah perlunya teknik pengolahan lahan yang labor intensif dan disesuaikan dengan kondisi lahan padi yang sempit dan terfragmentasi,
misalkan pemilihan jenis traktor kecil, bajak, atau tenaga manusia.
Tabel 89. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Padi dan Pengolahan Lahan Rata-rata di Indonesia.
Tingkat Efisiensi
Pengolahan Lahan 1=Traktor
0=Lainnya total
0.2 2
100.00 -
- 2
100 0.2≤x0.4
3 100.00
- -
3 100
0.4≤x0.6 17
94.44 1
6 18
100 0.6≤x0.8
99 92.52
8 7
107 100
x ≥0.8
419 90.69
43 9
462 100
Total 540
91.22 52
9 592
100 Jika dilihat dari akses ke lembaga keuangan formal, variabel tersebut
memiliki koefisien positif dan signifikan berpengaruh terhadap inefisiensi yang menunjukkan bahwa akses ke lembaga keuangan formal malah menurunkan
efisiensi. Hal ini terjadi karena yang dibutuhkan petani tidak hanya akses tetapi ketepatan waktu dan jumlah dana. Petani yang akses ke lembaga keuangan formal
dengan kondisi tambahan dana yang tidak memadai dan tidak tepat waktu, malah membebani petani dengan kewajiban membayar pokok dan bunga. Selain itu oleh
karena petani mengutamakan pemenuhan kebutuhan rumahtangga yang tercermin dari tingginya penerimaan non pertanian maka tambahan dana tidak sepenuhnya
dimanfaatkan untuk penggunaan input yang optimal. Implikasinya adalah lembaga keuangan perlu mengubah format kredit agar lebih tepat jumlah tepat waktu dan
tepat guna. Hal ini membutuhkan evaluasi sebelum akad kredit, saat pemanfaatan kredit, dan saat pelunasan. Dari sebaran petani pada Tabel 90 dapat dijelaskan
bahwa banyak petani yang tidak akses ke lembaga keuangan formal namun usahatani padinya efisien.
Tabel 90. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Padi dan Akses Ke Lembaga Keuangan Formal Rata-rata diIndonesia.
Tingkat Efisiensi
Akses Terhadap Lembaga Keuangan Formal 1=pernah meminjam
0=tidak pernah total
0.2 2
100.00 -
- 2
100 0.2 0.4
1 33.33
2 67
3 100
0.4 0. 2
11.11 16
89 18
100 0.
0. 34
31.78 73
68 107
100 78
16.88 384
83 462
100 Total
117 19.76
475 80
592 100
Penyuluhan dapat meningkatkan efisiensi melalui perubahan teknik budidaya, mekanisasi, penggunaan input baru dan unggul, jumlah input yang
optimal, dan peningkatan teknologi. Dalam usahatani penyuluhan dapat diperoleh melalui lembaga kelompok tani dimana PPL sebagai agen diseminasi informasi
dan teknologi. Namun jika dilihat dari variabel keaktifan kelompok tani maka variabel ini signifikan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi dengan tanda positif
yang artinya keaktifan dalam kelompok tani malah menurunkan efisiensi. Hal ini bertentangan dengan hipotesis di awal bahwa keaktifan dalam kelompok tani
diduga akan semakin meningkatkan efisiensi teknis usahatani padi yang dikelolanya. Kondisi ini terjadi karena mereka menganggap dengan lamanya
pengalaman dapat menggantikan peran penyuluhan dalam meningkatkan keterampilan usahatani padi. Dengan aktif dalam kelompok tani mereka merasa
membuang-buang waktu dan lebih baik menghemat waktu untuk dapat lebih fokus kepada usahataninya. Keanggotaan mereka kadang hanya untuk tujuan
perolehan bantuan, bukan untuk menerima penyuluhan sehingga mereka tidak datang jika diundang untuk penyuluhan. Hal ini terbukti bahwa sebagian besar 59
persen petani responden tidak aktif dalam kelompok taninya. Kehadiran petani jika diundang untuk suatu acara terkadang dengan terpaksa atau segan terhadap
penyuluh dan aparat pemerintah atau karena ada insentif keuangan dibalik itu. Pada Tabel 91 dapat dilihat sebaran petani berdasarkan indeks efisiensi dan
keaktifan dalam kelompok tani bahwa hampir seluruh petani yang tidak aktif 81 persen adalah petani yang efisien indeks efisiensi 0.8 sementara petani yang
aktif sebagian tidak efisien 32 persen dan yang efisien sebanyak 68 persen. Kondisi ini berimplikasi perlunya pemerintah mendesain ulang sistem dan metode
penyuluhan yang efektif sehingga dirasakan perlu oleh petani dan dapat meningkatkan efisiensi usahatani padi.
Tabel 91. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Padi dan Keaktifan Dalam Kelompok Tani Rata-rata di Indonesia.
Tingkat Efisiensi
Keaktifan Dalam Kelompok Tani di Desa 1=Aktif
0=Tidak Aktif total
0.2 1
50.00 1
50 2
100 0.2 0.4
- -
3 100
3 100
0.4 0. 11
61.11 7
39 18
100 0.
0. 52
48.60 55
51 107
100 179
38.74 283
61 462
100 Total
243 41.05
349 59
592 100
Variabel pola tanam signifikan berpengaruh terhadap inefisiensi dengan tanda negatif yang artinya IP Intensitas penanaman padi tiga kali setahun dapat
menurunkan inefisiensi atau meningkatkan efisiensi. Hal ini terjadi karena pemanfaatan lahan menjadi optimal untuk penanaman padi. Sejalan dengan
variabel mutu benih, implikasinya adalah perlunya inovasi benih unggul yang adaptif terhadap musim hujan, MK1, dan MK2.
Tabel 92. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Padi dan Pola Tanam Rata-rata di Indonesia.
Tingkat Efisiensi
Pola Tanam 1=3kali
padi 0=kurang dari 3 kali padi
total 0.2
- -
2 100
2 100
0.2 0.4 -
- 3
100 3
100 0.4 0.
2 11.11
16 89
18 100
0. 0.
10 9.35
97 91
107 100
0.8 37
8.01 425
92 462
100 total
49 8.28
543 92
592 100
Pada Tabel 92 dapat dilihat sebaran petani berdasarkan indeks efisiensi dan pola tanam bahwa dari seluruh petani yang tidak efisien indeks efisiensi 0.8,
sebanyak 90.77 persen adalah petani dengan pola tanam kurang dari 3 kali. Jika ruang inefisiensi dapat diperbaiki melalui pembenahan faktor-faktor
yang signifikan maka dapat meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas serta produksi usahatani padi. Hal ini dapat
ditunjukkan oleh Gambar 24 dimana terdapat hubungan positif antara efisiensi dengan produktivitas.
Gambar 24. Hubungan Antara Efisiensi Dengan Produktivitas Rata-Rata di Indonesia
7.7. Fungsi Inefisiensi Teknis Usahatani Padi Secara Potensi Maksimum
Nasional di Indonesia
Fungsi inefisiensi dapat dilihat pada Tabel 93. Nilai mean technical efficiency
yang dicapai yaitu sebesar 0.7116 atau 71.16 persen sehingga masih terdapat ruang yang besar untuk meningkatkan efisiensi pada teknologi yang sama
sebesar 28.84 persen melalui pembenahan faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi efisiensi. Nilai mean efficiency ini dikaregorikan efisien. Indeks
efisiensi ini dianggap rendah karena dibangun dari titik-titik paling efisien dari setiap petani di Indonesia dengan memperhatikan variasi antar provinsi. Kondisi
masing-masing provinsi yang dinyatakan telah efisien indeks efisiensi 0.8 menjadi turun jika dibandingkan potensi maksimum nasional. Hal ini karena
potensi maksimum seorang petani di satu provinsi adalah rata-rata frontier di provinsi tersebut sedangkan potensi maksimum nasional adalah kurva yang lebih
tinggi lagi yang dibangun dari seluruh petani di Indonesia. Dari sembilan variabel yang diduga mempengaruhi inefisiensi teknis
usahatani padi secara potensi maksimum nasional di Indonesia, terdapat enam variabel yang signifikan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi, yaitu pendidikan
signifikan berpengaruh terhadap inefisiensi teknis pada taraf α= 5 dengan
parameter estimates positif +0.00143, pengolahan lahan signifikan berpengaruh
- 0,20
0,40 0,60
0,80 1,00
1,20 1,40
- 2.000,00 4.000,00 6.000,00 8.000,00 10.000,00
te ch
n ica
l e
ff ici
e n
cy
produktivitas kgha
Technical efficiency Linear Technical efficiency
terhadap inefisi ensi teknis pada taraf α=5 dengan parameter estimates negatif -
0.03252, akses ke lembaga keuangan formal signifikan berpengaruh terhadap inefisiensi teknis pada taraf α=5 dengan parameter estimates positif +0.01729,
keaktifan kelompok tani signifikan berpengaruh terhadap inefisiensi teknis pada taraf α=5 dengan parameter estimates positif +0.01357, penerimaan total
rumahtangga
signifikan berpengaruh terhadap inefisiensi teknis pada taraf α=5 dengan parameter estimates positif +0.000104, dan pola tanam signifikan
berpengaruh terhadap inefisiensi teknis pada taraf α=5 dengan parameter estimates negatif -0.0000242.
Tabel 93. Hasil Pendugaan Stochastic Metafrontier Inefficiency Function Rata- Rata di Indonesia Dengan Metode MLE.
Variabel Coefficient
t-ratio delta 0
0.3107 0.9824
umur tahun 0.0001
0.1776 pendidikan tahun
0.0014 2.3506
status lahan -0.0018
-0.2170 mutu benih
0.0049 0.7138
pengolahan lahan
0.0325 2.7325
akses lembaga keuangan
0.0173 1.9898
keaktifan kelompok tani
-0.0136 -1.8031
penerimaan rumahtangga Rp
0.0001 1.9843
pola tanam
-0.00002 -2.0879
mean TE 0.7116
Keterangan : nyata pada taraf α=5
Jika dilihat dari variabel pendidikan KK, maka variabel tersebut signifikan berpengaruh nyata dengan koefisien bertanda positif yang artinya semakin tinggi
pendidikan, maka efisiensi akan semakin turun. Hal ini menyatakan bahwa pendidikan formal tidak menjamin efisiensi usahatani karena kemampuan
pendidikan formal yang dibutuhkan cukup dengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Selebihnya adalah kebutuhan keterampilan dan wawasan usahatani
yang dapat diperoleh dari pendidikan non formal. Seorang petani berpendidikan rendah asalkan mampu membaca, menulis, dan berhitung namun memiliki
keterampilan dan wawasan yang luas tentang usahatani, akan lebih efisien daripada petani dengan pendidikan SMU namun minim dalam keterampilan dan
wawasan usahatani. Untuk itulah implikasinya lebih menekankan kepada pendidikan non formal yang dapat meningkatkan keterampilan teknik budidaya,
perolehan dan penggunaan input, wawasan informasi pasar, variasi teknologi, dan pemanfaatan kelembagaan.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata petani di Indonesia berpendidikan rendah karena sebanyak 78.8 persen berpendidikan SD, 17 persen
SLTP, dan 3.9 persen SLTA. Dari Tabel 94 sebaran responden dapat dilihat bahwa seluruh petani yang berpendidikan SLTA ternyata tidak efisien indeks
efisiensi 0.8.
Tabel 94. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Metafrontier dan Pendidikan Rata-rata di Indonesia.
Tingkat Efisiensi
Pendidikan tahun =6
9 total
0.2 -
- -
- -
- -
- 0.2 0.4
- -
- -
- -
- -
0.4 0. 3
42.86 3
43 1
14 7
100 0.
0. 437
78.60 97
17 22
4 556
100 27
93.10 2
7 -
- 29
100 Total
467 78.89
102 17
23 4
592 100
Variabel pengolahan lahan signifikan berpengaruh terhadap efisiensi teknis dengan tanda positif yang artinya mekanisasi dengan traktor dapat
meningkatkan inefisiensi atau menurunkan efisiensi. Sebanyak 61.32 persen petani responden di Indonesia memiliki persil yang tidak satu hamparan Tabel
95.
Tabel 95. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Padi Metafrontier dan Pengolahan Lahan di Indonesia.
Tingkat Efisiensi
Pengolahan Lahan 1=Traktor
0=Lainnya total
0.2 -
- -
- -
- 0.2 0.4
- -
- -
- -
0.4 0. 5
71.43 2
29 7
100 0.
0. 518
93.17 38
7 556
100 17
58.62 12
41 29
100 Total
540 91.22
52 9
592 100
Hal ini berdampak lahan terfragmentasi terlebih jika persilnya berada pada lokasi yang berbeda, sehingga penggunaan traktor menjadi tidak efisien. Selain itu
karena lahan garapan yang sempit 0.3 ha dan variasi aktivitas teknik budidaya, maka usahatani padi di Indonesia lebih efisien dilakukan secara labor intensif.
Kualitas pengolahan lahan oleh tenaga manusia dan bajak dianggap tidak kalah dengan traktor sehingga sejalan dengan fungsi produksi bahwa penambahan
tenaga kerja dapat meningkatkan produksi. Dari sebaran petani responden dapat dilihat bahwa dari seluruh petani
yang tidak efisien sebanyak 92.9 persen adalah mereka yang menggunakan traktor. Implikasinya adalah perlunya teknik pengolahan lahan yang labor intensif dan
disesuaikan dengan kondisi lahan padi yang sempit dan terfragmentasi, misalkan pemilihan jenis traktor kecil, bajak, atau tenaga manusia.
Jika dilihat dari akses ke lembaga keuangan formal, variabel tersebut memiliki koefisien positif dan signifikan berpengaruh terhadap inefisiensi yang
menunjukkan bahwa akses ke lembaga keuangan formal malah menurunkan efisiensi. Hal ini terjadi karena yang dibutuhkan petani tidak hanya akses tetapi
ketepatan waktu dan jumlah dana. Petani yang akses ke lembaga keuangan formal dengan kondisi tambahan dana yang tidak memadai dan tidak tepat waktu, malah
membebani petani dengan kewajiban membayar pokok dan bunga. Selain itu oleh karena petani mengutamakan pemenuhan kebutuhan rumahtangga yang tercermin
dari tingginya penerimaan non pertanian maka tambahan dana tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk penggunaan input yang optimal. Implikasinya adalah lembaga
keuangan perlu mengubah format kredit agar lebih tepat jumlah tepat waktu dan tepat guna. Hal ini membutuhkan evaluasi sebelum akad kredit, saat pemanfaatan
kredit, dan saat pelunasan. Dari sebaran petani pada Tabel 96 dapat dijelaskan bahwa dari seluruh
petani yang efisien, sebanyak 93.1 persen adalah petani yang tidak akses ke lembaga keuangan formal.
Tabel 96. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Padi Metafrontier dan Akses Ke Lembaga Keuangan Formal Rata-rata
diIndonesia.
Tingkat Efisiensi
Akses Terhadap Lembaga Keuangan 1=pernah meminjam
0=tidak pernah total 0.2
- -
- -
- -
0.2 0.4 -
- -
- -
- 0.4 0.
1 14.29
6 86
7 100
0. 0.
114 20.50
442 79 556 100
2 6.90
27 93
29 100
Total 117
19.76 475
80 592 100 Penyuluhan dapat meningkatkan efisiensi melalui perubahan teknik
budidaya, mekanisasi, penggunaan input baru dan unggul, jumlah input yang optimal, dan peningkatan teknologi. Dalam usahatani, penyuluhan dapat diperoleh
melalui lembaga kelompok tani dimana PPL sebagai agen diseminasi informasi dan teknologi. Jika dilihat dari variabel keaktifan kelompok tani maka variabel ini
signifikan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi dengan tanda negatif yang artinya keaktifan dalam kelompok tani dapat meningkatkan efisiensi. Hal ini
sesuai dengan hipotesis di awal bahwa keaktifan dalam kelompok tani diduga akan semakin meningkatkan efisiensi teknis usahatani padi yang dikelolanya.
Pada Tabel 94 dapat dilihat sebaran petani berdasarkan indeks efisiensi dan keaktifan dalam kelompok tani bahwa hampir seluruh petani yang tidak efisien
indeks efisiensi 0.8 sebanyak 59.32 adalah petani yang tidak aktif dalam kelompok tani Tabel 97.
Tabel 97. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani
Padi Metafrontier dan Keaktifan Dalam Kelompok Tani Rata-rata di Indonesia.
Tingkat Efisiensi
Keaktifan Dalam Kelompok Tani di Desa 1=aktif
0=tidak aktif total
0.2 -
- -
- -
- 0.2 0.4
- -
- -
- -
0.4 0. 2
28.57 5
71 7
100 0.
0. 227
40.83 329
59 556
100 14
48.28 15
52 29
100 Total
243 41.05
349 59
592 100
Kondisi ini berimplikasi perlunya pemerintah mempromosikan pentingnya penyuluhan agar petani semakin aktif dalam mengikuti penyuluhan di kelompok
tani. Petani akan datang seandainya mereka merasa perlu. Untuk itu format penyuluhan perlu diperbaiki dalam hal penambahan jumlah PPL karena dirasakan
sangat terbatas, mengurangi wilayah kerja PPL yang terlalu luas, menambah frekuensi kunjungan PPL ke kelompok tani, meningkatkan kualitas PPL dalam
keilmuwan, wawasan, dan pengetahuan teknologi usahatani serta memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan petani sehingga dapat
menyampaikan informasi dan teknologi dengan baik. Selain itu topik yang dibahas PPL haruslah yang up to date dan tepat sasaran sebagai solusi dari
permasalahan yang dihadapi, metode penyuluhan yang mengena dengan fasilitas yang memudahkan transfer ilmu, serta memberikan fasilitas kepada PPL seperti
kendaraan untuk memudahkan menjangkau wilayah kerja. Jika dilihat dari variabel penerimaan total rumahtangga, variabel ini
berpengaruh nyata terhadap inefisiensi dengan koefisien positif yang artinya semakin tinggi penerimaan total rumahtangga maka semakin rendah efisiensi
teknis padi. Hal ini terkait dengan share penerimaan padi terhadap penerimaan total kurang dari 30 persen sementara share non padi lebih dari 70 persen. Hal ini
berdampak petani lebih konsentrasi terhadap usaha lain di luar padi dan mengesampingkan usahatani padi karena bukan andalan penghasilan rumahtangga
sehingga menurunkan efisiensi. Jika dilihat sebaran petani pada Tabel 98 dapat dijelaskan bahwa petani dengan penerimaan total lebih dari Rp 20 juta sebagian
besar adalah petani yang tidak efisien indeks efisiensi 0.8.
Tabel 98. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Padi dan Penerimaan Total Rumahtangga Petani di Sumatera Utara
Tahun 2010.
Tingkat Efisiensi
Penerimaan Total Rp juta
10 10-20
20-30 30-40
40 total
0.2 -
- -
- -
- -
- -
- -
- 0.2 0.4
- -
- -
- -
- -
- -
- -
0.4 0. 2
28.6 4
57.1 -
- -
- 1
14 7
100 0.
0. 185 33.3 162 29.1 55
10 45
8 109 20 556 100
8 27.6
8 27.6
2 7
5 17
6 21
29 100
Total 195 32.9 174 29.4
57 10
50 8
116 20 592 100
Implikasinya adalah perlunya dukungan pemerintah agar usahatani padi menjadi lebih profitable sehingga diminati petani untuk lebih konsentrasi
mengusahakan usahataninya. Upaya yang dapat dilakukan yaitu memfasilitasi input termasuk pendanaan, teknologi budidaya, infrastruktur, kelembagaan, serta
kebijakan harga input dan output. Variabel pola tanam signifikan berpengaruh terhadap inefisiensi dengan
tanda negatif yang artinya IP Intensitas penanaman padi tiga kali setahun dapat menurunkan inefisiensi atau meningkatkan efisiensi. Hal ini terjadi karena
pemanfaatan lahan menjadi optimal untuk penanaman padi. Sejalan dengan variabel musim pada fungsi produksi bahwa peluang produksi saat musim hujan
lebih tinggi dari musim kemarau, maka implikasinya adalah perlunya inovasi benih unggul yang adaptif terhadap musim kemarau sehingga dapat dilakukan
penanaman tiga kali padi setahun. Pada Tabel 99 dapat dilihat sebaran petani berdasarkan indeks efisiensi dan pola tanam bahwa dari seluruh petani yang tidak
efisien indeks efisiensi 0.8, sebanyak 91.3 persen adalah petani dengan pola tanam kurang dari 3 kali setahun.
Tabel 99. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Padi Metafrontier dan Pola Tanam Rata-rata di Indonesia.
Tingkat Efisiensi
Pola Tanam 1=3kali padi
0=Kurang dari 3kali padi total
0.2 -
- -
- -
- 0.2 0.4
- -
- -
- -
0.4 0. -
- 7
100 7
100 0.
0. 49
8.81 507
91 556
100 -
- 29
100 29
100 Total
49 8.28
543 92
592 100
7.8.Sintesis Fungsi Inefisinesi Teknis Potensi Maksimum Nasional
Dengan melihat fungsi inefisiensi masing-masing provinsi, masih terdapat ruang untuk meningkatkan efisiensi melalui faktor-faktor yang signifikan yang
artinya masih terdapat potensi produksi nasional dengan meningkatkan efisiensi pada masing-masing provinsi melalui pembenahan faktor-faktor inefisiensi yang
signifikan. Hal ini karena fungsi produksi frontier diturunkan dari fungsi produksi
secara teoritis dengan data empirik. Fungsi produksi metafrontier bukanlah potensi khayalan tetapi dapat dicapai petani karena dibangun dari titik-titik paling
efisien dari frontier sosial ekonomi petani bukan frontier fisiologi atau frontier agronomi. Ruang untuk provinsi Sumatera Utara 16.37 persen, Jawa Barat 9.26
persen, Jawa Tengah 19,38 persen, Jawa Timur 15.62 persen dan Sulawesi Selatan 18.33 persen. Variasi faktor-faktor yang signifikan pada masing-masing provinsi
merupakan kebijakan yang dapat diambil disesuaikan dengan kondisi masing- masing pada level constant technology.
Untuk provinsi Sumatera Utara upaya yang dapat dilakukan yaitu : perlunya kebijakan pemerintah untuk memberikan kesempatan serta memfasilitasi
petani dalam pembelian lahan untuk padi. Pemerintah dapat pula menata kembali tata guna lahan serta inventarisasi kepemilikan lahan demi kepentingan petani
kecil. Selama ini orientasi pemerintah Sumatera Utara lebih kepada tanaman non padi palawija, hortikultura dan perkebunan sehingga mengesampingkan padi,
perlunya teknik pengolahan lahan yang labor intensif dan disesuaikan dengan kondisi lahan padi yang sempit, serta perlunya petani menambah penghasilan di
luar usahatani padi misalkan dengan memanfaatkan waktu senggang untuk membuat industri kecil pengolahan di rumah.
Untuk provinsi Jawa Barat upaya yang dapat dilakukan yaitu : regenerasi petani kepada anak atau keluarganya melalui kampanye sektor pertanian agar
diminati generasi muda dan masyarakat pedesaan. Promosi sektor pertanian juga diperlukan untuk menekan urbanisasi sehingga dapat menahan masyarakat desa
tidak migrasi ke kota. Upaya yang dapat dilakukan yaitu perlunya menggalakkan lapangan kerja pertanian dan agroindustri pedesaan yang profitabel dengan
didukung oleh infrastuktur jalan dan pasar di pedesaan, peningkatan pendidikan dan keterampilan manajerial petani dengan penekanan kepada pendidikan non
formal. Terkait dengan luas lahan bahwa yang diutamakan bukanlah status kepemilikan tetapi lebih kepada memperluas lahan garapan. Pemerintah dapat
membantu dengan membatasi izin konversi lahan ke non padi, membangun infrastruktur pertanian, meminjamkan lahan pemerintah untuk digarap petani, atau
pemanfaatan lahan kering untuk tanaman semusim. Terkait dengan perubahan iklim dan cuaca yang sulit diprediksi yang tercermin dalam variabel musim dan
variabel benih pada fungsi produksi maka implikasinya adalah perlunya dukungan pemerintah dalam inovasi benih unggul yang adaptif terhadap musim
dan dibarengi sosialisasi serta distribusi yang baik. Mekanisasi traktor dapat meningkatkan efisiensi sehingga pengolahan lahan perlu dilakukan petani secara
kolektif dan serempak. Selain itu perlu dukungan pemerintah dalam hal pemilihan jenis traktor yang sesuai kondisi lahan di Jawa Barat, sesuai dengan pengolahan
lahan musim hujan, MK1 atau MK2, serta dengan biaya yang terjangkau petani pengguna. Dalam hal lembaga keuangan, perlu perubahan format kredit agar lebih
tepat jumlah tepat waktu dan tepat guna. Hal ini membutuhkan evaluasi sebelum akad kredit, saat pemanfaatan kredit, dan saat pelunasan. Selain itu pemerintah
perlu mendesain ulang sistem dan metode penyuluhan yang efektif sehingga dirasakan perlu oleh petani dan dapat meningkatkan efisiensi usahatani padi.
Sejalan dengan variabel mutu benih, perlu adanya inovasi benih unggul yang adaptif terhadap musim hujan, MK1, dan MK2.
Untuk provinsi Jawa Tengah upaya yang dapat dilakukan yaitu : perlunya pembinaan keterampilan kepada petani muda sehingga walaupun belum banyak
berpengalaman namun memiliki keterampilan yang sama dengan petani tua dan berpengalaman. Dukungan pemerintah dalam mempromosikan kelompok tani dan
PPL sebagai agen diseminasi informasi teknologi sangat diperlukan agar petani bersedia aktif dalam kelompok tani sehingga pembinaan keterampilan dapat
dilaksanakan dengan baik. Terkait dengan luas lahan bahwa yang diutamakan bukanlah status kepemilikan tetapi lebih kepada memperluas lahan garapan.
Pemerintah dapat membantu dengan membatasi izin konversi lahan ke non padi, membangun infrastruktur pertanian, meminjamkan lahan pemerintah untuk
digarap petani, atau pemanfaatan lahan kering untuk tanaman semusim, perlunya teknik pengolahan lahan yang labor intensif dan disesuaikan dengan kondisi lahan
padi yang sempit dan terfragmentasi, misalkan pemilihan jenis traktor kecil. Dalam hal lembaga keuangan formal perlunya mengubah format kredit agar lebih
tepat jumlah tepat waktu dan tepat guna. Hal ini membutuhkan evaluasi sebelum akad kredit, saat pemanfaatan kredit, dan saat pelunasan. Perlunya petani
menambah penghasilan di luar usahatani padi misalkan dengan memanfaatkan waktu senggang untuk membuat industri kecil pengolahan di rumah, pengalihan
komoditi padi ke palawija yang sesuai dengan musim kemarau dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal ini dibutuhkan untuk menambah penerimaan rumahtangga
dari komoditi non padi. Untuk provinsi Jawa Timur upaya yang dapat dilakukan yaitu : Pemerintah
perlu membatasi izin konversi lahan ke non padi, membangun infrastruktur pertanian, meminjamkan lahan pemerintah untuk digarap petani, atau
pemanfaatan lahan kering untuk tanaman semusim, perlunya dukungan pemerintah dalam inovasi benih unggul yang adaptif terhadap musim hujan tahan
terhadap rendaman, rebahan angin, dan hama penyakit dan dibarengi sosialisasi serta distribusi yang baik, perlunya petani menambah penghasilan di luar
usahatani padi misalkan dengan memanfaatkan waktu senggang untuk membuat industri kecil pengolahan di rumah.
Untuk provinsi Sulawesi Selatan upaya yang dapat dilakukan yaitu : meningkatkan pendidikan dan keterampilan manajerial petani dengan penekanan
kepada pendidikan non formal, kepada memperluas lahan garapan. Pemerintah dapat membantu dengan membatasi izin konversi lahan ke non padi, membangun
infrastruktur pertanian, meminjamkan lahan pemerintah untuk digarap petani, atau pemanfaatan lahan kering untuk tanaman semusim, perlunya dukungan
pemerintah dalam inovasi benih unggul yang adaptif terhadap musim hujan tahan terhadap rendaman, rebahan angin, dan hama penyakit dibarengi sosialisasi serta
distribusi yang baik. Oleh karena traktor dapat meningkatkan efisiensi maka pengolahan lahan perlu dilakukan petani secara kolektif dan serempak. Selain itu
perlu dukungan pemerintah dalam hal pemilihan jenis traktor yang sesuai kondisi lahan di Sulawesi Selatan, sesuai dengan pengolahan lahan musim hujan, MK1
atau MK2, serta dengan biaya yang terjangkau petani pengguna, lembaga keuangan perlu mengubah format kredit agar lebih tepat jumlah tepat waktu dan
tepat guna. Hal ini membutuhkan evaluasi sebelum akad kredit, saat pemanfaatan kredit, dan saat pelunasan. Selain itu petani perlu menambah penghasilan di luar
usahatani padi misalkan dengan memanfaatkan waktu senggang untuk membuat industri kecil pengolahan di rumah.
Mengacu pada potensi maksimum nasional Indonesia pada Tabel 100, dengan melihat indeks efisiensi teknis TE maka dapat dilihat bahwa nilai
minimal TE petani di Sumatera Utara dan Jawa Tengah sangat rendah kurang dari 0.2 sementara di provinsi lain lebih dari 0.4. Demikian pula dengan nilai
maksimum TE, petani di Sumatera Utara dan Jawa Tengah adalah paling rendah. Petani paling efisien terdapat di Jawa Timur 0.99952 dengan nilai minimum
yang paling tinggi pula 0.56056.
Tabel 100. Nilai Technical Efficiency Ratio TER, Meta Technology Ratio MTR, Technical Gap Ratio TGR, dan Random Error Ratio RER
Antar Provinsi, Pool Indonesia, dan Metafrontier.
Variabel
SUMUT JABAR
JATENG JATIM
SULSEL POOL
META Coefficient
TE
0.8363 0.9074
0.8062 0.8438
0.8167 0.8497
0.7116
minTE
0.1949 0.4518
0.1685 0.5606
0.5313 0.1633
0.5585
maxTE
0.9683 0.9703
0.9529 0.9995
0.9867 0.9677
0.9231
TE
0.7356 0.6970
0.7091 0.7289
0.6936 0.7116
0.7116
TER
1.1368 1.3019
1.1368 1.1577
1.1775 1.1941
MTR
0.8796 0.7681
0.8797 0.8638
0.8493 0.8375
TGR
0.7217 0.6700
0.7259 0.7815
0.6867 0.7047
1-TGR
0.2780 0.3300
0.2740 0.2180
0.3130 0.2950
Y
2,191.86 4,071.20
1,612.97 1,904.68
2,659.06 2,467.02
Ŷ
2,574.42 4,391.11
1,942.42 2,324.19
3,164.84 2,846.39
Ŷ
3,567.05 6,553.48
2,675.75 2,973.94
4,608.55 4,039.11
RE
-381.73 -319
-328.64 -418.66
-504.96 -378.53
RE
-991.9 -2,161.68
-732.62 -649.02
-1,443.02 -1,192.01
RER
0.4562 0.2009
0.4501 0.6002
0.4271 0.4168
Di seluruh provinsi sentra dan rata-rata Indonesia pool data usahatani padi dikatakan telah efisien karena nilai rata-rata TE lebih dari 0.8 terutama di
Jawa Barat lebih dari 0.9. Hal ini karena indeks tersebut diperoleh dengan membandingkan output aktual individu dengan output frontier rata-rata di provinsi
masing-masing sebagai tolok ukur. Untuk kondisi Jawa Barat, jika dihubungkan dengan kondisi di lapangan Tabel 46, nilai profit padi juga menunjukkan nilai
terbesar dibandingkan provinsi lainnya. Namun jika dibandingkan dengan metafrontier sebagai potensi maksimum nasional TE=0.7116 dimana output
metafrontier dibangun dari titik-titik paling efisien petani di setiap provinsi maka seluruh provinsi sentra menjadi turun efisiensinya dengan indeks TE hanya
sekitar 70 persen, bahkan beberapa provinsi menjadi tidak efisien karena turun
pada nilai TE kurang dari 70 persen Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Hal ini berdampak ruang peningkatan efisiensi menjadi lebih besar. Ruang untuk provinsi
Sumatera Utara 26.44 persen, Jawa Barat 30.3 persen, Jawa Tengah 29.1 persen, Jawa Timur 27.1 persen dan Sulawesi Selatan 30.6 persen. Dengan demikian,
untuk mencapai produksi potensi maksimum nasional masih perlu high effort karena ruang peningkatan efisiensi menjadi lebih besar. Upaya yang dapat
dilakukan yaitu melalui; 1. Peningkatan pendidikan non formal yang dapat meningkatkan
keterampilan teknik budidaya, perolehan dan penggunaan input, wawasan informasi pasar, variasi teknologi, dan pemanfaatan kelembagaan.
2. Dalam hal pengolahan lahan perlunya mekanisasi yang labor intensif dan disesuaikan dengan kondisi lahan padi yang sempit dan terfragmentasi,
misalkan pemilihan jenis traktor kecil, bajak, atau tenaga manusia. 3. Lembaga keuangan perlu mengubah format kredit agar lebih tepat jumlah,
tepat waktu dan tepat guna. Hal ini membutuhkan evaluasi sebelum akad kredit, saat pemanfaatan kredit, dan saat pelunasan.
4. Karena pentingnya keaktifan dalam kelompok tani untuk meningkatkan efisiensi, maka format penyuluhan perlu diperbaiki dalam hal penambahan
jumlah PPL karena dirasakan sangat terbatas, mengurangi wilayah kerja PPL yang terlalu luas, menambah frekuensi kunjungan PPL ke kelompok
tani, meningkatkan kualitas PPL dalam keilmuwan, wawasan, dan pengetahuan
teknologi usahatani
serta memiliki
kemampuan berkomunikasi yang baik dengan petani sehingga dapat menyampaikan
informasi dan teknologi dengan baik. Selain itu topik yang dibahas PPL haruslah yang up to date dan tepat sasaran sebagai solusi dari
permasalahan yang dihadapi, metode penyuluhan yang mengena dengan fasilitas yang memudahkan transfer ilmu, serta memberikan fasilitas
kepada PPL seperti kendaraan untuk memudahkan menjangkau wilayah kerja.
5. Untuk meningkatkan share penerimaan padi terhadap penerimaan total
rumahtangga, perlu dukungan pemerintah agar usahatani padi menjadi lebih profitable sehingga diminati petani untuk lebih konsentrasi
mengusahakan usahataninya. Upaya yang dapat dilakukan yaitu memfasilitasi input termasuk pendanaan, teknologi budidaya, infrastruktur,
kelembagaan, serta kebijakan harga input dan output. 6. Perlunya peningkatan intensitas penanaman IP padi dapat dilakukan
melalui inovasi benih unggul yang adaptif terhadap musim kemarau sehingga dapat dilakukan penanaman tiga kali padi setahun. Seluruh upaya
ini dilakukan untuk mengatasi senjang hasil, senjang komoditi, dan senjang diversifikasi.
Dengan turunnya indeks TE setiap provinsi karena dibandingkan dengan kondisi metafrontier sebagai potensi maksimum meta TE=0.7116, maka
berdampak pada buruknya nilai TER Technical Efficiency Ratio atau MTR Meta Technology Ratio. Semakin kecil nilai MTR berarti semakin jauh dari
potensi maksimum metafrontier indeks TE frontier provinsi terlalu besar sementara indeks TE metafrontier turun, semakin besar nilai MTR dan mendekati
satu maka semakin baik. Nilai TGR Technical Gap Ratio yaitu perbandingan antara output
frontier masing-masing provinsi dengan output metafrontier. Nilai TGR yang diharapkan adalah semakin tinggi yang berarti semakin mendekati metafrontier,
sementara nilai TGR yang rendah berarti masih perlunya provinsi tersebut meningkatkan output dengan porsi yang lebih tinggi. Provinsi Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan memiliki nilai TGR terendah yang berarti peluang untuk meningkatkan output menuju metafrontier melalui pembenahan faktor-faktor
produksi dan inefisiensi masih besar, sehingga pengembangan padi di Pulau Jawa dapat lebih diarahkan ke Jawa Barat dan untuk pengembangan ke luar Jawa yaitu
Sulawesi Selatan. Sementara nilai TGR tertinggi adalah di Jawa Timur yang berarti telah mendekati potensi maksimum nasional atau teknologi lokal telah
mendekati teknologi metafrontier potensi maksimum nasional sehingga room untuk peningkatan produksi melalui pembenahan faktor produksi dan inefisiensi
telah mendekati maksimum. Oleh karena dalam jangka panjang telah efisien hampir menyamai potensi maksimum nasional, implikasinya selain pembenahan
faktor produksi dan inefisiensi dalam jangka panjang adalah perlunya technology
breakthrough dalam jangka sangat panjang yang dapat menggeser fungsi produksi
lebih tinggi. Hal ini juga dapat diterapkan untuk provinsi yang lain dalam jangka sangat panjang.
Random Error RE masing-masing provinsi menunjukkan error term
yang bukan berasal dari efek inefisiensi tetapi efek lain di luar kendali usahatani seperti hama, penyakit, iklim, cuaca, dan sebagainya. Nilai ini disebut noise atau
v
i
yang dapat bernilai positif atau negatif. Nilai v
i
yang positif berarti usahatani padi dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan dari iklim, cuaca, dan faktor
uncontrollable lainnya sehingga output stochastic frontier lebih tinggi dari output
deterministic frontier . Semakin besar nilai v
i
positif berarti semakin dipengaruhi iklim, cuaca, dan faktor menguntungkan lainnya sehingga mendukung produksi.
Sedangkan nilai v
i
yang negatif berarti usahatani padi dipengaruhi oleh kondisi yang merugikan dari iklim, cuaca, dan sebagainya sehingga output stochastic
frontier lebih rendah dari output deterministic frontier. Noise atau v
i
dalam hal ini identik dengan risiko produksi. Semakin besar nilai v
i
negatif berarti semakin besar risiko usahatani padi yang tidak dapat dikendalikan petani.
Kondisi setiap provinsi menunjukkan nilai v
i
negatif yang berarti usahatani padi di setiap provinsi dipengaruhi oleh risiko produksi negatif yang
uncontrollable. Risiko paling tinggi yaitu usahatani padi di Sulawesi Selatan -
504.957 dan terendah yaitu di Jawa Barat -318 999 yang berarti untuk mencapai frontier masing-masing provinsi, risiko produksi di Sulawesi Selatan lebih besar
daripada di Jawa Barat. Namun jika dibandingkan dengan kondisi randon error metafrontier RE, risiko produksi di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan adalah
paling tinggi -2 161.675 dan -1 443.016. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai kondisi potensi maksimum, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan
dihadapkan pada risiko yang lebih tinggi dari provinsi lainnya. Jika dilihat dari nilai RER Random Error Ratio yaitu perbandingan antara RE dengan RE maka
nilai RER Jawa Barat dan Sulawesi Selatan adalah terendah yang berarti gap antara RE dengan RE adalah tinggi. Semakin kecil nilai RER berarti semakin
buruk karena gap antara RE dengan RE adalah besar sehingga untuk mencapai output potensi maksimum perlu diwaspadai risiko yang lebih tinggi daripada
risiko mencapai output frontier dan sebaliknya semakin besar nilai RER atau
mendekati satu berarti gap antara RE dengan RE tidak begitu jauh sehingga risikonya relatif sama antara frontier dengan metafrontier. Implikasinya adalah
usahatani padi di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan memerlukan treatment khusus untuk mewaspadai risiko produksi yang tinggi. Diantaranya dengan inovasi benih
unggul yang adaptif terhadap musim dan hama penyakit serta rehabilitasi jaringan irigasi.
Mengingat kondisi efisiensi teknis yang terjadi pada masing-masing provinsi, rata-rata Indonesia, dan level potensi maksimum nasional di Indonesia,
maka adalah keputusan yang keliru jika pemerintah hendak menghentikan penanaman padi di Indonesia dengan alasan telah jenuh sehingga tidak ada lagi
cara dan upaya untuk meningkatkan teknologi dan produksi padi dan lebih baik diganti dengan komoditi lain yang dianggap lebih unggul, dengan alasan padi
lebih baik impor. Pemahanan ini mematahkan peluang bahwa padi ternyata masih memiliki ruang untuk ditingkatkan efisiensi dan produksinya. Kondisi leveling off
productivity growth dapat disolusikan dengan paket teknologi baru sehingga
mendongkrak pertumbuhan produktivitas dan sampai batas tertentu leveling off kembali diangkat dengan terobosan teknologi yang terus berkembang. Berbeda
dengan negara maju dimana new technology menghasilkan low cost, di negara berkembang terobosan teknologi dapat meningkatkan biaya karena harga-harga
yang naik. Namun dengan didukung kebijakan harga output dan input yang membela petani, teknologi baru dapat meningkatkan produktivitas sekaligus
meningkatkan profit. Senjang hasil dapat disolusikan dengan terobosan teknologi, senjang
komoditi dapat disolusikan dengan peningkatan intensitas penanaman IP, dan senjang diversifikasi dapat disolusikan dengan SIT Sistem Integrasi Tanaman
Ternak. Memang dalam kondisi otonomi daerah, kebijakan swasembada beras belum tentu diterima di level provinsi karena konversi lahan dari padi non padi
sangat menggiurkan dengan land rent 1:560 untuk sektor industri. Namun disaat setiap negara produsen padi memfokuskan pada produksi dalam negeri dan
berupaya untuk swasembada bahkan tidak lagi bersedia mengekspor, mengapa Indonesia harus melepas padi ke komoditi lain dan menjadikan impor sebagai
andalan ketersediaan.
Perlu ditekankan bahwa padi menyangkut hajat hidup orang banyak karena lebih dari 90 persen masyarakat tergantung pada beras sehingga kesalahan
kebijakan padi akan berdampak fatal. Untuk itulah perenungan kepentingan komoditi demi khalayak dibutuhkan sebelum pengambilan keputusan dan padi
adalah komoditi yang masih memiliki prospek cerah untuk dipertahankan demi kepentingan khalayak.