Efisiensi Alokasi dan Ekonomi Usahatani Padi Rata-rata di Indonesia

Kecuali petani di Sulawesi Selatan, secara teknis dan alokasi telah efisien yang artinya penggunaan input selain memperhatikan kebutuhan optimal juga telah memperhatikan harga-harga yang berlaku. Tingginya efisiensi teknis dibanding efisiensi alokasi ini sebagai bukti bahwa selama ini orientasi produksi maksimum lebih diutamakan sementara orientasi farmer welfare dikesampingkan. Efisiensi alokasi metafrontier AE rata-rata lebih tinggi daripada efisiensi alokasi frontier AE. Kondisi efisiensi alokasi metafrontier AE menunjukkan bahwa dibandingkan potensi maksimum nasional hampir seluruh provinsi telah efisien secara alokasi kecuali Jawa Tengah yang artinya petani menggunakan input dengan memperhatikan harga-harga yang berlaku. Walaupun secara teknis kondisi petani tidak efisien karena TE yang rendah. Oleh karena efisiensi alokasi AE di setiap provinsi lebih rendah dari efisiensi teknis TE, maka berdampak pada rendahnya efisiensi ekonomi EE. Dalam hal ini rendahnya efisiensi ekonomi EE lebih disebabkan oleh permasalahan inefisiensi alokasi daripada inefisiensi teknis. Hal ini dikarenakan informasi harga input yang tidak transparan, informasi harga output yang sulit diduga karena ditentukan di pasar dan terjadi setelah panen, atau jika harga diketahui petani, namun mereka tidak dapat melakukan pembelian input dengan mempertimbangkan harga karena penggunaan input telah ditetapkan dosis dan standarnya. Solusinya adalah perlunya dukungan harga input dan output yang membela petani sehingga petani dapat melakukan penghematan dan mencapai keuntungan maksimum. Pada kondisi potensi maksimum nasional rendahnya efisiensi teknis TE berdampak pada rendahnya efisiensi ekonomi EE walaupun efisiensi alokasi AE sedikit lebih tinggi dari efisiensi teknis TE. Rendahnya efisiensi ekonomi EE lebih disebabkan oleh permasalahan inefisiensi teknis daripada inefisiensi alokasi. Dengan potensi maksimum nasional metafrontier, rata-rata petani di Indonesia dapat dikatakan telah menggunakan input dengan memperhatikan harga-harga yang berlaku. Dalam hal ini rasionalitas petani berperan dalam pengambilan keputusan penggunaan input yang disesuaikan dengan kondisi daya beli mereka. Solusi untuk meningkatkan efisiensi ekonomi EE yaitu perlunya penggunaan input secara optimal bagi petani-petani yang belum efisien secara teknis sehingga dapat meningkatkan produksi secara maksimal. Dengan demikian kebijakan swasembada dapat dicapai melalui peningkatan produk marjinal yang maksimum peningkatan efisiensi teknis dan produktivitas. Namun selain itu untuk mencapai keuntungan maksimum melalui peningkatan efisiensi alokasi diperlukan dukungan kebijakan harga input dan output yang membela petani, sehingga dengan peningkatan profit yang didukung oleh perluasan skala usahatani, maka pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Selain perbaikan harga input dan output, juga perlu dukungan sistem distribusi, dan sistem insentif bagi petani. Dalam hal ini Vietnam dapat dijadikan contoh dimana pemerintahnya sangat mendukung usahatani padi melalui akses lahan yang sangat murah, dukungan infrastruktur, dan penetapan kebijakan profit padi minimum 30. Rendahnya efisiensi alokasi juga dapat dilihat dengan membandingkan biaya aktual C dengan biaya minimum yang dapat dicapai C pada Tabel 111. Namun jika mengacu kepada potensi maksimum nasional, maka kondisi aktual setiap provinsi C lebih hemat dari potensi maksimum C meta, kecuali di Sumatera Utara. Hal ini mengarah pada efisiensi secara alokasi. Demikian pula pada beberapa provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur biaya minimum yang dapat dicapai provinsi C lebih rendah dari biaya minimum yang dapat dicapai pada potensi maksimum nasional Cmeta sehingga rasio CCmeta lebih kecil dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa petani di Jawa Barat dan Jawa Timur lebih baik dibandingkan potensi nasional karena dapat mencapai biaya minimum yang lebih rendah. Sementara provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan, dengan rasio lebih dari satu maka masih harus melakukan penghematan biaya untuk mengejar biaya minimum potensi nasional. Dengan asumsi pasar bersaing sempurna, rendahnya AE tidak efisien secara alokasi maka petani tidak berproduksi pada titik LRAC minimum sehingga tidak tercapai economic of scale. Tabel 111. Perbandingan Biaya Minumun Antar Provinsi dan Potensi maksimum nasional Provinsi Sumatera Utara Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan Indonesia C 2,458,331 3,526,472 2,036,615 1,628,380 2,436,423 2,434,338 C meta 2,050,256 3,561,086 2,066,720 1,953,751 2,473,365 2,439,908 C-Cmeta 408,075 -34,614 -30,104 -325,372 -36,942 -5,569 C 1,557,810 1,960,167 961,692 912,247 1,631,499 1,382,330 Cmeta 1,179,550 2,052,751 918,578 1,003,857 1,494,588 1,318,811 CCmeta 1.33 0.95 1.05 0.91 1.09 1.06

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

9.1. Kesimpulan

1. Produksi padi antar provinsi menunjukkan bahwa faktor yang secara konsisten berpengaruh nyata di setiap provinsi adalah lahan dan benih. Produksi padi di setiap provinsi paling responsif terhadap lahan. Faktor lain seperti tenaga kerja, pupuk urea, pupuk KCl dan musim pengaruhnya bervariasi antar provinsi. Produksi padi secara nasional menggunakan fungsi produksi metafrontier menunjukkan bahwa seluruh faktor produksi yaitu lahan, benih, tenaga kerja, pupuk urea, pupuk KCl, dan musim berpengaruh nyata terhadap produksi. 2. Secara teknis setiap provinsi sentra telah efisien dengan indeks efisiensi teknis lebih dari 80 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi di setiap provinsi bervariasi sesuai dengan kondisi masing-masing. Mutu benih dan status lahan hampir di setiap provinsi berpengaruh terhadap efisiensi. Di seluruh provinsi kecuali Sumatera Utara, lahan dengan status penguasaan non-milik lebih efisien dibandingkan dengan lahan berstatus milik. Berdasarkan fungsi produksi metafrontier efisiensi produksi padi secara teknis di tingkat nasional lebih rendah dibandingkan efisiensi teknis di masing-masing provinsi terutama Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa terdapat senjang teknologi technological gap yang tinggi pada produksi padi di masing-masing provinsi dibandingkan dengan tingkat nasional. Di samping itu selain dipengaruhi oleh input produksi padi di setiap provinsi juga dipengaruhi negatif oleh faktor yang tidak terkendali negative random error. 3. Walaupun di masing-masing provinsi secara teknis telah efisien, seluruh provinsi kecuali Sulawesi Selatan secara alokasi dan ekonomi tidak efisien. Hal ini menunjukkan walaupun produksi secara teknis hampir mencapai maksimum akan tetapi belum mencapai keuntungan maksimum. Hal ini dikarenakan petani tidak memiliki informasi yang sempurna tentang harga input dan output dibandingkan informasi teknis. Pada tingkat nasional rendahnya efisiensi ekonomi belum mencapai keuntungan maksimum, selain disebabkan oleh tidak sempurnanya informasi harga, secara teknis juga belum efisien.

9.2. Implikasi Kebijakan

1. Pentingnya lahan dalam produksi padi di masing-masing provinsi di Indonesia berimplikasi penyediaan lahan menjadi prioritas. Penyediaan lahan tersebut membutuhkan intervensi pemerintah dalam kebijakan pertanahan dalam bentuk; kemudahan akses lahan, menahan laju konversi lahan produktif, pemanfaatan lahan sub optimal untuk tanaman semusim. Untuk meningkatkan efisiensi dapat dilakukan melalui peningkatan ukuran usahatani. Hal ini dapat ditempuh melalui kebijakan yang memperbaiki mekanisme pasar lahan seperti penyewaan lahan. Implikasi lebih lanjut berarti petani pemilik lahan sempit perlu dialihkan ke sektor non pertanian. 2. Peran benih terhadap produktivitas masih penting sehingga berimplikasi perlunya ketersediaan benih berlabel dan distribusi agar tepat jumlah, tepat waktu, dan harga yang terjangkau. Selain itu peningkatan mutu benih perlu lebih ditingkatkan terutama inovasi benih unggul yang adaptif terhadap musim dan lahan kering. 3. Untuk mencapai potensi maksimum nasional, petani di setiap provinsi perlu meningkatkan upayanya melalui peningkatan penggunaan seluruh faktor produksi. Dukungan pemerintah selain akses lahan dan distribusi benih juga penyediaan pupuk dan perbaikan infrastruktur seperti irigasi. 4. Dalam jangka sangat panjang setiap provinsi dapat meningkatkan produksi melalui terobosan teknologi baru. Untuk itu pemerintah perlu menyediakan berbagai variasi teknologi sehingga teknologi tidak lagi menjadi kendala seperti SRI, PTT, Primatani, dan sebagainya. 5. Target produksi maksimum dapat dicapai karena potensi maksimum nasional diperoleh dari kondisi aktual petani secara frontier sosial ekonomi, namun dengan indikator efisiensi alokasi dan ekonomi, secara welfare tidak tercapai. Swasembada belum mengoreksi farmer welfare sehingga perlu reorientasi dari produksi menuju profit oriented. Salah satu caranya yaitu dengan minimum target. Pengembangan padi di Pulau Jawa dapat lebih diarahkan ke Jawa Barat dan untuk pengembangan ke luar Jawa yaitu Sulawesi Selatan. Hal ini karena peluang untuk mencapai potensi produksi maksimum lebih tinggi dari provinsi lain walaupun dikendalai oleh risiko yang lebih tinggi pula. 6. Oleh karena data yang digunakan adalah data sekunder dengan basis data sampling secara administratif sehingga frontier berdasarkan wilayah belum tentu menangkap variasi agroekosistem. Hal ini karena tujuan penelitian PATANAS memang berbeda dengan tujuan penelitian ini, dimana penelitian PATANAS tidak sepenuhnya membatasai pengelompokan agroekosistem sehingga untuk penelitian selanjutnya membutuhkan data primer dengan basis data agroekosistem baik sawah, tadah hujan, pasang surut atau rawa, dan areal pesisir, atau agroekosistem berdasarkan irigasi irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana atau irigasi desa. Efisiensi alokasi dalam penelitian ini menggunakan fungsi biaya dual frontier dikarenakan informasi harga tidak tersedia sehingga penelitian ini tidak dapat menggunakan model fungsi biaya Fourier Flexible Frontier. Untuk penelitian selanjutnya diperlukan survei harga pada setiap petani. DAFTAR PUSTAKA Afriat, S. N. 1972. Efficiency Estimation of Production Functions. International Economic Review. 13 October 3: 558-568. Ahmad, M., Chaudhry, G.M., and Iqbal, M. 2002. Wheat Productivity, Efficiency and Sustainability: A Stochastic Production Frontier Analysis. The Pakistan Development Review. 4:643 –663. Ahmad, M. 2003. Agricultural Productivity, Efficiency, and Rural Poverty in Irrigated Pakistan: A Stochastic Production Frontier Analysis. The Pakistan Development Review. 42 : 3, Autumn 2003: 219 –248. Aigner, D.J, and Chu, S.F. 1968. On Estimating The Industri Production Function. American Economic Review. 584: 826-839. Aigner, D.J., Lovell, C.A.K., and Schmidt, P. 1977. Formulation and Estimation of Stochastic Frontier Production Function Model. Journal of Econometrics. 6:21-37. Ajibefun, I.A., Daramola,A.G., and Falusi,O.A. 2006. Technical Efficiency of Small Scale Farmers : An Application of the Stochastic Frontier Production Function to Rural and Urban Farmers in Ondo State, Nigeria. International Economic Journal. 20:87-107. Ali, M. and J.C. Flinn. 1989. Profit Efficiency in Basmati Rice Producers in Pakistan‟s Punjab. American Journal of Agricultural Economics. 71:303- 310. Ali, M. and Chaudhry,M.A. 1990. Inter- Regional Farm Efficiency in Pakistan‟s Punjab: A Frontier Production Function Study. Journal of Agricultural Economics. 41:62-74. Ali, A. 1997. An Analysis of Technical Efficiency of Rice Farmers in Pakistani Punjab. [Thesis]. Department of Agricultural Economics, University of Agriculture, Faisalabad, Pakistan. Amaza., P.S. and D.C. Maurice. 2005. Identification of Faktors That Influence Technical Efficiency in Rice-Based Production Sistems in Nigeria. Proceeding. Workshop on Policies and Strategies for Promoting Rice Production and Food Security in Sub-Saharan Africa. 7-9 November 2005, Cotonou. Benin. Asadullah, M.N., Rahman, S. 2005. Farm Productivity and Efficiency in Rural Bangladesh: The Role of Education Revisited. CSAE Working Papers 10. Asaftei, G. 2006. Profit Decomposition Using A Metafrontier Approach. Thesis. Masters of Arts in Mathematics. Graduate School of Binghamton University. State University of New York.. Auma, O.J.B., Kazuhiko, H, Shoji,S., and T. Muasao. 2006. Farm Size and Productive Efficiency: Lessons from Smallholder Farms in Embu District, Kenya. Journal Faculty of Agriculture, Kyushu University. 51:449-458. Azad M.A.S., Mustafi, B.A.A., and Hossian, M. 2008. Hybrid Rice: Economic Assessment of a Promising Technology for Sustainable Food Grain Production in Bangladesh. Proceedings. AARES 52 nd Annual Conference, 5-8 Februari. Rydges Lakeside Canberra, ACT, Australia. Azhar, R.A. 1991. Education and Technical Efficiency During The Green Revolution in Pakistan. Economic Development and Cultural Change. 39:651-665. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Berita Resmi Statistika. No. 1202Th. XIV, 7 Februari 2011. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2006. Rekomendasi Pemupukan N,P, dan K Pada P Sawah Spesifik Lokasi. Peraturan Menteri Pertanian No.01KptsSR.13012006 tanggal 3 Januari 2006. Departemen Pertanian. -------------------------------.2007. Rekomendasi Pemupukan N,P, dan K Pada P Sawah Spesifik Lokasi Penyempurnaan. Peraturan Menteri Pertanian No.40PermentanOT.14042007 tanggal 11 April 2007. Departemen Pertanian. Puslitbangtan. 2006. Pemupukan Padi Sawah. Kerjasama Puslitbangtan-Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian-Balai Vesar P2TP-Balai Besar Penelitian Padi- International Rice Research Institute. Bagi, F.S. 1982. A Relationship Between Farm Size and Technical Efficiency in West Tennessee Agriculture. South Journal of Agricultural Economics.14 December, 1982:139-144. Bakhsh., K. 2007. An Analysis of Technical Efficiency and Profitability of Growing Potato, Carrot, Radish and Bitter Gourd: A Case Study of Pakistani Punjab. Unpublished [Dissertation]. Department of Farm Management, University of Agriculture, Faisalabad, Pakistan. Bandyopadhyay S, Shyamsundar P, and Xie, M. 2007. Yield Impact of Irrigation Management Transfer: Story from the Philippines. Policy Research Working Paper, 4298.