Pengaruh Lahan Terhadap Produksi dan Efisiensi
varietas baru. Demikian pula penelitian Femi, et.al 2004 di Nigeria yang mencoba membedakan efisiensi teknik pada usahatani padi dengan dua varietas
yang berbeda yaitu varietas tradisional dan varietas baru, membuktikan bahwa faktor yang signifikan dapat meningkatkan output yaitu perluasan lahan.
Ukuran usahatani farm size berbeda dengan skala usahatani. Dalam jangka panjang, biaya usahatani dapat diturunkan dengan peningkatan skala
usahatani sehingga menjadi lebih efisien sampai mencapai titik optimalnya economic of scale. Dengan demikian semakin besar skala usahatani maka akan
semakin efisien, namun tidak demikian dengan ukuran usahatani. Semakin luas lahan yang diusahakan maka produksi akan semakin meningkat. Namun
peningkatan luas lahan belum tentu meningkatkan produktivitas. Banyak peneliti mendukung hipotesis bahwa semakin kecil ukuran usahatani luas lahan yang
digarap semakin sempit maka akan semakin efisien poor but efficient. Inverse Size Productivity
menjelaskan bahwa semakin kecil ukuran usahatani maka semakin produktif. Hal ini dikarenakan dengan luasan lahan yang
sempit, lahan akan lebih terkelola dengan baik hanya dengan tenaga kerja keluarga, sementara semakin luas lahan yang digarap maka akan semakin tidak
terurus, karena tidak mampu menyewa tenaga kerja luar yang semakin banyak. Hubungan ini diterangkan oleh keuntungan relatif dari lebih banyaknya
penggunaan tenaga kerja keluarga pada usahatani kecil. Hal ini akan mengurangi biaya pengawasan tenaga kerja luar yang disewa. Oleh karena peningkatan biaya
marjinal pengawasan, rasio lahan terhadap tenaga kerja sewa lebih tinggi untuk petani kaya yang menuju pada penurunan output per hektar. Petani kecil dan
tradisional mempunyai keuntungan dalam pengawasan tenaga kerja oleh karena mereka menggunakan tenaga kerja keluarga. Oppotunity Cost dari tenaga kerja
harian anggota keluarga lebih rendah dari upah tenaga kerja sewa. Implikasinya adalah bahwa land-reform akan mempunyai efek positif pada produktivitas karena
mengurangi lahan absentee. Penelitian Bozoglu dan Ceyhan 2006 mengukur efisiensi teknis petani
sayuran di Turki, menggunakan pendekatan produksi frontier stokastik. Data dikumpulkan dari 75 petani sayuran di provinsi Samsun di Turki tahun 2002-2003.
Efisiensi teknis rata-rata mencapai 0.82, berkisar 0.56-0.95. Temuannya
membuktikan bahwa luas lahan menunjukkan hubungan yang positif dengan inefisiensi teknik, dalam artian mendukung
„poor but efficient’ . Penelitian oleh Junankar 1980 di India dengan hipotesis bahwa petani
berlahan luas lebih efisien dari petani dari petani berlahan sempit, ternyata ditolak yang berarti tidak ada perbedaan efisiensi antara petani berlahan luas dengan
petani berlahan sempit. Demikian pula Huang dan Bagi 1984 meneliti efisiensi teknis pertanian rakyat di negara bagian Punjab dan Haryana India dengan sampel
151 pertanian, memiliki hipotesis bahwa petani berlahan luas akan lebih efisien dibandingkan dengan petani berlahan sempit dan ternyata hipotesisnya ditolak.
Dengan produksi frontier translog dan prosedur maksimum likelihood MLE, tingkat efisiensi teknis rata-rata sekitar 90 persen. Efisiensi teknis diperkirakan
bervariasi 77.60-99.00 persen.
Herdt and Mandac 1981 di Filipina juga mendukung bahwa petani berlahan luas tidak lebih efisien dari petani berlahan sempit. Penelitian lain di
India yaitu Kalijaran 1981 dan penelitian Barnum and Squire 1978 mengemukakan bahwa petani berlahan luas maupun sempit telah menggunakan
benih unggul secara efisien dan ekonomis sehingga sama-sama efisien. Penelitian Croppenstedt 2005 juga menyimpulkan tidak ada bukti bahwa
efisiensi teknis usahatani bervariasi menurut luas usahatani. Penelitiannya mengestimasi efisiensi teknis dari 800 petani gandum di Mesir dengan
menggunakan fungsi produksi frontier Cobb-Douglas dengan asumsi keputusan konsumsi dan produksi tidak bisa dipisahkan. Data yang digunakan adalah data
pertanaman tahun 1998. Rata-rata efisiensi teknis diperkirakan 81 persen dengan kisaran 30 sampai 100 persen. Ditemukan bahwa 82 persen petani mencapai
efisiensi teknis antara 70 dan 94 persen. Zyl, et al. 1995 meneliti hubungan antara luas lahan dan efisiensi di
Afrika Selatan, dan Penelitian Auama, et al. 2006 di Kenya. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara luas lahan dengan
efisiensi produksi di daerah pertanian komersial terlepas dari metodologi yang digunakan. Penelitian Xu dan Jeffery 1995 mendukung hipotesis miskin tapi
efisien. Para petani berlahan sempit lebih efisien dalam alokasi input mereka untuk produksi padi konvensional daripada petani lahan luas yang memproduksi
padi hibrida di China. Penelitiannya menggunakan stokastik frontier dan biaya frontier neoklasik untuk mengukur efisiensi teknis, alokasi dan ekonomi.
Untuk teknologi pertanian yang modern dan capital intensif, konsep Inverse Size Productivity
dapat ditolak namun tetap valid untuk pertanian tradisional. Untuk kasus Indonesia mempelajari ukuran usahatani adalah sangat
penting karena kondisinya masih tradisional dan perubahan teknologi tidak secepat di negara maju. Lahan yang digarap relatif kecil terutama usahatani padi,
modal terbatas dan tenaga kerja yang digunakan sebagian dari dalam keluarga. Dengan demikian, usahatani kecil di banyak negara berkembang seperti Indonesia
lebih efisien daripada usahatani besar sebelum tahun 80-an. Perluasan lahan dapat meningkatkan produksi namun belum tentu meningkatkan produktivitas dan
efisiensi jika tidak diimbangi dengan penggunaan input lain secara optimal, terlebih jika harga input tersebut mahal, sehingga
bagi petani kecil berlaku „poor but efficient’. Namun jika perluasan lahan pada petani kecil didukung oleh
penggunaan input lain secara optimal maka hipotesis tersebut tidak berlaku.
Dengan demikian petani kecil lebih membutuhkan peningkatan skala usahatani daripada peningkatan ukuran usahatani.
Berbeda dengan usahatani kecil dan subsisten, pada usahatani besar dan komersial, perubahan teknologi yang cepat dan capital intensif, serta perluasan
usahatani komersial, telah mengubah persepsi efisiensi usahatani kecil inverse size productivity
sehingga tidak lagi „poor but efficient’. Terlebih jika perubahan dari labor intensif menjadi capital intensif tersebut juga didukung oleh
penggunaan input lain yang lebih baik serta perubahan teknologi dan manajemen, maka telah terjadi perubahan skala usahatani.
Konsep skala usahatani berbeda dengan ukuran usahatani. Dari aspek skala usaha dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang skala usahatani yang
besar akan meningkatkan efisiensi sepanjang belum mencapai titik optimalnya. Hal ini sesuai dengan konsep LRAC Long Run Average Cost. Pernyataan ini
banyak didukung oleh para peneliti seperti Khan dan Maki 1979, Bagi 1982, Ray 1985, Pinheiro 1992, Himayatullah 1995, Jha, et al. 2000, Helfand
2003, Ahmad 2003, Myint and Kyi 2005, dan Rios dan Shively 2005.
Khan dan Maki 1979 mengestimasi parameter efisiensi teknis dan alokasi pada usahatani skala kecil dan skala besar di delapan kabupaten di
Provinsi Punjab dan Sindh Pakistan. Mereka menyimpulkan bahwa usahatani skala besar secara ekonomi lebih efisien daripada petani skala kecil dengan
margin sebesar 18 persen di Punjab dan 51 persen di Sindh. Bagi 1982 mengukur efisiensi teknis dari 193 usahatani di Tennessee Barat dengan fungsi
produksi stokastik, menyimpulkan bahwa pada usahatani multicropping, usahatani skala besar memiliki tingkat efisiensi teknis lebih tinggi daripada usahatani kecil.
Penelitian Ray 1985 di Bengal Barat menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat efisiensi pada usahatani skala kecil adalah karena inefisiensi informasi.
Pernyataan bahwa skala usaha yang lebih besar akan menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi juga didukung oleh penelitian Pinheiro 1992 di Republik Dominika,
Himayatullah 1995 di Barani di Pakistan, Jha, et al. 2000 meneliti petani gandum di Punjab India,Helfand 2003 di Barat Tengah Brazil.
Sementara itu Ahmad 2003 di Pakistan dengan alat stochastic frontier production function
membuktikan bahwa elastisitas lahan petani skala besar lebih tinggi sehingga menghasilkan ROI atas lahan yang lebih tinggi. Myint and Kyi
2005 meneliti efisiensi teknis pada sistem produksi padi sawah beririgasi di Myanmar, juga menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas stochastic frontier.
Hasil penelitianya menunjukkan bahwa petani skala besar memiliki nilai skor efisiensi teknis tertinggi, yaitu 0.77, diikuti oleh petani skala menengah dan
petani skala kecil. Rios dan Shively 2005 menggunakan metodologi dua langkah untuk menyelidiki efisiensi teknis dan efisiensi biaya petani perkebunan
kopi Vietnam. Data dikumpulkan dari 209 petani kopi dari dua kabupaten di Provinsi Dak Lak. Penulis menggunakan teknik DEA untuk mengukur efisiensi
teknis dan efisiensi biaya perkebunan kopi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkebunan skala besar secara teknis lebih efisien daripada perkebunan skala kecil.
Efisiensi teknis rata-rata untuk usahatani skala besar dan kecil adalah 0.89 dan 0.82. Penulis menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan
efisiensi. Akses terhadap kredit dan kepemilikan lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap efisiensi usahatani kopi di Vietnam.
Merujuk pada penelitian terdahulu, pada dasarnya skala usahatani berpengaruh positif terhadap efisiensi baik efisiensi teknis, alokasi maupun
ekonomis. Dengan demikian untuk kasus Indonesia sebagai negara berkembang, pernyataan bahwa terdapat hubungan positif antara skala usahatani dengan
efisiensi dan hubungan negatif antara ukuran usahatani dengan efisiensi masih berlaku sampai saat ini sehingga perluasan lahan perlu didukung oleh penggunaan
input lain secara optimal. Jika dilihat dari status lahan, efisiensi
lahan „pemilik‟ diduga lebih tinggi daripada lahan non pemilik. Dengan kepemilikan lahan yang digarap, terdapat
sense of belonging sehingga petani akan memanfaatkan lahan sebaik-baiknya dan
menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi. Selain itu pemilik lahan akan lebih memperhatikan sustainability dengan merawat lahannya. Sementara petani
„non milik
‟ tidak merasa perlu merawat atau konservasi lahan yang bukan miliknya dan sangat bersifat profit oriented. Dengan biaya sewa lahan yang dikeluarkan,
mereka lebih mengeksploitasi lahan dengan input sehingga pada awalnya memang menghasilkan produktivitas yang tinggi dan efisien. Kondisi inilah yang menolak
bahwa lahan milik lebih efisien. Penelitian Rios dan Shively 2005 pada tanaman kopi di Vietnam menyimpulkan bahwa kepemilikan lahan tidak berpengaruh
signifikan terhadap efisiensi. Tingginya efisiensi lahan non milik tidak akan langgeng jika penggarap
terus mengeksploitasi dengan input berlebihan tanpa merawat lahannya. Pada akhirnya usahatani malah tidak efisien. Dengan demikian efisiensi lahan milik
diduga tetap akan lebih tinggi daripada lahan „non milik‟. Hasil penelitian yang
mendukung pernyataan ini lebih banyak daripada yang menolaknya. Himayatullah 1995 dan Rahman 2003 mendukung bahwa usahatani yang
dijalankan sendiri lebih efisien daripada yang digarap oleh orang lain ataupun usahatani yang disewakan. Artinya efisiensi lahan milik sendiri lebih tinggi
daripada lahan sewa atau sakap. Penelitian Himayatullah menguji efisiensi teknis pertanian Barani di Pakistan berdasarkan luas tanah dan status sewa. Data
dikumpulkan dari 170 petani dari kabupaten Marwat Lakki dari Provinsi North West Frontier Pakistan. Sedangkan Rahman menganalisis efisiensi produksi dari
380 petani padi modern dari Bangladesh dengan menduga fungsi profit frontier
stokastik dan model efek inefisiensi. Tingkat rata-rata efisiensi pertanian padi modern diperkirakan sebesar 0.77, dengan kisaran antara 0.59 dan 0.83.
Dalam usahatani padi di Indonesia, kepemilikan lahan dapat meningkatkan status prestise petani di daerah tersebut. Lahan milik menjadi investasi dan
capital accumulation . Implikasinya adalah perlunya kebijakan pemerintah untuk
mengelolamembenahi tataguna lahan seperti tanah absentee dan pemberian kesempatan serta fasilitas kepada petani untuk pembelian lahan.
Fenomena lahan yang lain di negara berkembang yaitu adanya fragmentasi. Di Indonesia, fragmentasi sering terjadi disebabkan lahan yang terpisah oleh
kondisi alam yang khas Indonesia yaitu sungai, gunung, lembah atau perkampungan. Selain itu, oleh karena banyak petani miskin dengan kebutuhan
konsumsi dan pendidikan anak yang mendesak maka penjualan lahan tidak dapat dihindarkan. Sistem jual beli ini, ditambah adanya konversi dan sistem waris,
dapat memperparah fragmentasi lahan. Fragmentasi lahan akan menyulitkan pengelolaan sehingga akan menurunkan efisiensi. Dengan demikian semakin
banyak persil yang digarap maka akan menurunkan efisiensi. Sementara di negara maju, banyak usahatani yang merupakan satu hamparan luas sehingga lebih
efisien dalam pengelolaan dan semakin banyak persil maka akan semakin efisien. Penelitian Parikh dan Shah 1994 membuktikan bahwa tingkat efisiensi
teknis pertanian tergantung pada fragmentasi lahan. Penelitiannya dilakukan di Provinsi North West Frontier Pakistan dengan menggunakan fungsi produksi
frontier Translog. Data dikumpulkan dari 397 petani. Efisiensi teknis rata-rata diperkirakan mencapai 96 persen. Selanjutnya Parikh, et al. 1995 juga
mendukung bahwa fragmentasi lahan berdampak negatif terhadap efisiensi. Penelitiannya menguji efisiensi ekonomi sektor pertanian Pakistan menggunakan
pendekatan biaya frontier stokastik. Data dikumpulkan dari 436 petani dari Provinsi North West Frontier NWFP Pakistan.