148
provinsi penelitian relatif kecil variannya, serta adanya 8 skenario kebijakan ternyata tidak banyak mengubah keadaan tersebut.
Sebaliknya nilai koefisien variasi coefisien variation Produk Domestik Regional Bruto Sektoral PDRBSEC pada setiap simulasi menunjukkan angka
yang besar berkisar antara 102.2746 pada skenario 5 sampai dengan 110.6147 persen pada skenario 8. Keadaan ini menjelaskan bahwa PDRBSEC antar
provinsi pada 21 provinsi penelitian relatif besar variannya, dan ternyata adanya 8 skenario kebijakan juga tidak banyak mengubah kesenjangan PDRBSEC antar
provinsi tersebut.
Tabel 42. Hasil Ramalan Alternatif Kebijakan terhadap Pemerataan102 Pembangunan Daerah
Skenario IPM
PDRBSEC Rata-
rata Standar
Deviasi Koefisien
Variasi Rata-rata Standar
Deviasi Koefisien
Variasi
0 72.3685 3.6535 5.0484
60 030 658 62 723 934
104.4865 1 72.6186
3.6566 5.0353 60 927 546
63 754 075 104.6392
2 72.8294 3.6632 5.0298
61 329 914 63 123 781
102.9249 3 72.5417
3.6995 5.0998 60 580 106
62 944 943 103.9036
4 72.7158 3.7388 5.1417
61 256 482 63 852 064
104.2372 5 72.9468
3.6290 4.9748 61 605 119
63 006 419 102.2746
6 73.0405 3.6091 4.9412
62 018 235 63 664 761
102.6549 7
72.8004 3.6622
5.0305 61 439 754
63 713 214 103.7000
8 72.8643 3.5156 4.8248
53 182 271 58 827 406
110.6147
Keterangan: Sumulasi 0 : Simulasi Dasar.
Simulasi-1 : Belanja Sektor Pendidikan Naik 20 Persen dan Belanja Sektor Kesehatan Naik 20 persen. Simulasi-2 : Dana Alokasi Umum Naik 20 Persen.
Simulasi 3 : Belanja Sektor Bangunan dan Infrastruktur Naik 20 Persen. Simulasi 4 : Belanja Sektor Pendidikan Naik 20 Persen dan Belanja Sektor Kesehatan Naik 20 Persen dan
Belanja Sektor Bangunan dan Infrastruktur Naik 20 Persen. Simulasi-5 : Dana Alokasi Umum Naik 40 Persen untuk Kelompok Q1, Lainnya Naik 20 Persen.
Simulasi-6 : Dana Alokasi Umum Naik 40 Persen untuk Kelompok Q1 dan Q2, Lainnya Naik 20 Persen. Simulasi-7 : Total Belanja Naik 40 Persen untuk Kelompok Q1 dan Q2, Lainnya Naik 20 Persen
Simulasi-8 : Belanja Sektor Pendidikan Naik 40 Persen dan Belanja Sektor Kesehatan Naik 40 Persen untuk Kelompok Q1 dan Q2, Selainnya Naik 20 Persen.
149
Koefisien variasi yang terkecil sampai yang terbesar untuk Indeks Pembangunan Manusia yang telah dihasilkan oleh delapan skenario kebijakan
secara berurutan adalah skenario 8, skenario 6, skenario 5, skenario 2, skenario 7, skenario 1, skenario 0, skenario 3, dan skenario 4. Adapun koefisien variasi
untuk Produk Domestik Regional Bruto Sektoral urutan terkecil hingga terbesar adalah skenario 5, skenario 6, skenario 2, skenario 7, skenario 3, skenario 4,
skenario 0, skenario 1 dan skenario 8. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, nilai-nilai variabel Indeks
Pembangunan Manusia dan Produk Domestik Regional Bruto Sektoral tersebut milik 21 provinsi penelitian. Ketika skenario kebijakan 8 menghasilkan koefisien
variasi yang terkecil untuk IPM dibandingkan dengan dampak 7 skenario kebijakan lainnya terhadap IPM, maka skenario 8 merupakan skenario kebijakan
terbaik dalam rangka pemerataan pembangunan manusia bagi 21 provinsi dimaksud. Sementara itu, apabila yang menjadi fokus perhatian adalah dalam
rangka pemerataan Produk Domestik Regioanal Bruto Sektoral, maka kebijakan yang terbaik adalah skenario 5.
Sasaran skenario kebijakan 8 meliputi provinsi quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia terendah. Adapun provinsi quantil 1 dimaksud adalah
Provinsi Papua, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Barat, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan provinsi
quantil 2 meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Aceh, Provinsi Maluku, dan Provinsi Bali.
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
8.1 Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan hipotesis penelitian, serta profil model, yang meliputi validasi, simulasi dan peramalan variabel endogen, baik
tanpa maupun dengan alternatif kebijakan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1.
Model persamaan simultan yang mengintegrasikan komponen perekonomian makro dengan indeks pembangunan manusia IPM telah
berhasil dirumuskan dan diduga parameternya, yang terdiri dari 23 persamaan struktural dan 15 persamaan identitas. Setiap model persamaan
struktural, masing masing variabel penjelas mampu menjelaskan keragaman variabel endogennya secara baik dan pada taraf nyata. Terbukti dari
koefisien determinasinya cukup besar pada masing masing persamaan struktural berkisar antara 0.87 hingga 0.99, dan parameter dugaannya
berbeda dengan nol pada taraf nyata α 0.05; 0.10, dan 0.15. Dengan
demikian model yang dibangun ini layak digunakan untuk keperluan peramalan dan simulasi dampak kebijakan fiskal sektor pendidikan dan
sektor kesehatan terhadap indeks pembangunan manusia di Indonesia. 2.
Indeks pembangunan manusia tidak dipengaruhi secara nyata oleh belanja sektor pendidikan dan belanja sektor kesehatan. Hal ini karena, komponen
pembentuk indeks pembangunan manusia tersebut, yaitu: angka harapan hidup AHH, angka melek huruf AMH dan rata-rata lama sekolag RLS,
serta daya beli PPP, tidak dipengaruhi secara nyata oleh belanja sektor pendidikan dan belanja sektor kesehatan.
152
3. Kebijakan fiskal sektor pendidikan dan sektor kesehatan serta sektor
bangunan dan infrastruktur tidak berdampak nyata terhadap indeks pembangunan manusia. Keadaan ini ditunjukkan pada hasil simulasi
alternatif kebijakan yang terdiri atas varian dari belanja sektor tersebut secara sektoral maupun kombinasi antar sektor memiliki parameter yang
kecil dan tidak elastis. Hal ini karena kebijakan fiskal sebagai indikator input makroekonomi memerlukan waktu yang cukup lama untuk mampu
merubah indeks pembangunan manusia sebagai indikator output makroekonomi.
4. Indeks pembangunan manusia beserta komponen pembentuknya diramalkan
tidak dapat dicapai sesuai dengan sasaran tujuan pembangunan milenium tahun 2015, baik tanpa maupun dengan alternatif kebijakan fiskal yang telah
ditetapkan. Karena pembangunan manusia merupakan masalah demografi yang berdimensi waktu panjang, sehingga perubahannya memerlukan waktu
yang cukup panjang pula. Di samping itu, keterbatasan Pemerintah menghimpun anggaran menyebabkan upaya peningkatan indeks
pembangunan manusia melalui belanja Pemerintah juga terbatas. 5.
Indeks pembangunan manusia melalui komponen pembentuknya angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan daya beli
dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita. Karena proporsi pengeluaran konsumsi rumah tangga secara relatif
lebih tinggi dari pengeluaran konsumsi Pemerintah, masing-masing sekitar 53 persen dan 10 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto PDRB
sisi pengeluaran. Padahal belanja setiap sektor, termasuk belanja sektor
153
pendidikan dan belanja sektor kesehatan, berada di dalam pengeluaran konsumsi Pemerintah tersebut.
8.2 Implikasi Kebijakan
Peningkatan indeks pembangunan manusia melalui upaya meningkatkan komponennya di sektor pendidikan, yaitu angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah, sangat berat, karena grafik perkembangan dari data empiris kedua komponen tersebut dari tahun ke tahun sudah rata, khususnya untuk angka melek
huruf yang sudah menuju 100 persen. Oleh karena itu, kualitas belanja sektor pendidikan harus diperbaiki perspektifnya, tidak semata-mata ke arah jangka
panjang dengan meningkatkan rata-rata lama sekolah, tetapi juga ke arah jangka pendek dan menengah, dengan mencetak tenaga kerja yang terampil, sehat,
mandiri, dan berpenghasilan layak. Sementara peningkatan indeks pembangunan manusia melalui upaya
meningkatkan komponen di sektor kesehatan, yaitu melalui peningkatan angka harapan hidup, serta peningkatan indeks pembangunan manusia melalui upaya
meningkatkan komponen daya beli, masih berpeluang tinggi, karena grafik data empiris dari komponen angka harapan hidup dan komponen daya beli
menunjukkan arah positif dan meningkat dari tahun ke tahun. Dengan adanya keterbatasan penyediaan anggaran Pemerintah, maka
kebijakan meningkatkan belanja sektor pendidikan dan belanja sektor kesehatan dalam persentase tertentu pada provinsi quantil 1 dan 2 dengan indeks
pembangunan manusia terendah adalah kebijakan yang paling realistis dibandingkan kebijakan meningkatkan dana alokasi umum maupun kebijakan
menaikkan belanja dalam persentasi yang sama, karena dua kebijakan terakhir ini
154
memerlukan jumlah nominal yang jauh lebih banyak dari kebijakan pertama. Selain itu, kebijakan meningkatkan belanja sektor pendidikan dan belanja sektor
kesehatan tersebut yang disertai kebijakan afirmatif adalah kebijakan yang paling baik dalam rangka mengatasi pengangguran dan memeratakan pembangunan antar
provinsi, serta cukup baik dalam rangka meningkatkan indeks pembangunan manusia dan mengurangi kemiskinan.
Model yang disusun dalam penelitian ini masih dapat terus dikembangkan oleh para peneliti yang juga mengkaji tentang dampak kebijakan fiskal terhadap
indeks pembangunan manusia, dan implikasinya terhadap tujuan pembangunan milenium. Perbaikan terhadap model dapat dilakukan dalam bentuk
penyempurnaan bentuk persamaan dengan melakukan disagregasi belanja sektor pendidikan dan belanja sektor kesehatan, serta melakukan simulasi kebijakan
dengan menaikan nilai nominal belanja Pemerintah sebagai pengembangan dari peningkatan berdasarkan persentase terhadap belanja Pemerintah sebelumnya.
Selain itu, hasil pendugaan parameter model kemungkinan akan semakin baik apabila data yang terkait semakin lengkap dan panjang tersedia di Indonesia
terutama pada Badan Pusat Statistik BPS, Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan Pemerintah Daerah. Untuk mengetahui signifikansi dampak belanja Pemerintah di sektor
pendidikan dan belanja Pemerintah di sektor kesehatan dalam jangka panjang terhadap indeks pembangunan manusia, tingkat kemiskinan, dan angka
pengangguran, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan data deret waktu time series yang lebih lama.
155
DAFTAR PUSTAKA
Alam, J. 2006. Disparitas Pendapatan dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten
Bekasi. Tesis Magister. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.
Ali, N. B. V. 2006. Analisis Hubungan Pembangunan Manusia dan Kinerja Perekonomian di Indonesia: Suatu Pendekatan Simultan pada Model
Data Panel Propinsi. Tesis Magister. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.
Anand, S and A. Sen. 2000. The Income Component of The Human Development Index. Journal of Human Development, 11: 83-105.
Andersen, T.M. 2005. Is There a Role for an Active Fiscal Stabilization ?. CESif0 Economics Studies, 51 4: 511-547.
Asteriou, D and G. M. Agiomirgianakis. 2001. Human Capital and Economic Growth Times Series Evidence from Greece. Journal of Policy Modeling,
23 : 481-489. Aturupane, H., P. Glewwe, and P. Isenman. 1994. Poverty, Human Development,
and Growth: An Emerging Consensus ?. Human Development, 84 2: 244-249.
Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia 2007. Badan Pusat Statitik, Jakarta.
.2008. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 2006- 2007. Katalog BPS 4102002. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
.2009a. Penjelasan Singkat Mengenai Indeks Pembangunan Manusia dan MDGs. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
.2009b. Profil Kemiskinan di Indonesia. Berita Resmi Statistik 4307Th.12. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
.2009c. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2005-2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
.2010a. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi- Provinsi di Indonesia Menurut Penggunaan 2005-2009. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
156
.2010b. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi- Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2005-2009. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. Balitfo Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2010. Informasi
Ketenagakerjaan. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta. Barro, R. J. and X. S. Martin. 2004. Economic Growth. Second Edition. The MIT
Press Cambridge, Massachusetts. Becker, S. O., E. Hornung, and L. Woessmann. 2010. Catch Me If You Can:
Education and Catch-Up in the Industrial Revolution. CESifo Conference Centre, Munich.
Biswas, B. and F. Caliendo. 2001. A Multivariate Analysis of the Human Development Index. The Indian Economic Journal, 49 4: 96-100.
Blackwood, D. L. and R. G. Lynch. 1994. The Measurement of Inequality and Poverty: A Policy Maker’s Guide to the Literature. World Development,
New York. Cahyadhi, P. E. 2005. Pelacakan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks
Pembangunan Manusia Studi Kasus KabKota di Provinsi Bali. Tesis Magister. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.
Departemen Dalam Negeri. 2005. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Departemen Dalam Negeri, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. 2011. Data Keuangan Daerah. Serial Online, http:www.djpk.depkeu.go.id.
Dornbusch, R., S. Fischer, and R. Startz. 2004. Macroeconomics. Ninth Edition. McGraw-Hill International Edition, Singapore.
Easterlin, R.A. 2000. The Worldwide Standard of Living Since 1800. Journal of Economic Perspectives, 14 1: 7-26.
Grubel, H. G. 1988. Economic Freedom and Human Welfare: Some Empirical Findings. Cato Journal, 182: 287-304.
Hicks, N. and P. Sreeten. 1979. Indicators of Development: The Search for Basic Needs Yardstick. World Development, 76: 567-580.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. McMillan Press Ltd, London.
Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga, Jakarta.
157
Marut, D. K. 2009. Perlu Kebijakan Konkrit untuk Percepatan Pencapaian MDGs. INFID, Jakarta.
Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nayak, P. 2005. A Human Development Approach to The Status of Development
in North East India. Paper in 47
th
Annual International Conference of Western Social Science Association at Albuquerque, News Mexico, 13 –
16 April 2005. Pakasi, C. B. D. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian
Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pyndyck, R. S. and D. L. Rubienfeld. 1991. Econometric Model and Econometric Forecast. McGraw-Hill International Edition, Singapore.
Qureshi, M. N. 2010. Evolution of Human Development Approach by Cutting the Heart of Economic Growth Approach - Brief Review of Literature.
European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences - Isue 23-2010 : 8 - 18.
Raiser, M. 1998. Subsidising Inequality: Economics Reforms, Fiscal Transfer and Convergence Across Chinese Provinces. Journal of Development
Studies, 343: 1-26. Ramirez, A., G. Ranis, and F. Stewart. 1997. Economic Growth and Human
Development. Center Discussion Paper, 787: 1-53. Ranis, G. and F. Steward. 2002. Economic Growth and Human Development in
Latin Amerika. Cepal Review, 78: 7-23. Ranis, G. 2004. Human Development and Economic Growth. Economic Growth
Center Yale University, Center Discussion Paper 887: 1-13. Ranis, A., A. Ramirez, and F. Stewart. 2000. Economic Growth and Human
Development. World Development, 28 2: 197. Romer. 2001. Advanced Macroeconomics. Second Edition. McGraw-Hill
International Editions, Singapore. Rostow, W. W. 1960. The Stages of Economic Growth. Cambridge University
Press, New York. Rudra, P. P. and G.S. Sanyal. 2011. Good Governance and Human Development:
Evidence from Indian States. Journal of Social and Development Science, 1 1: 1-8.