Peluang Industri Kreatif Berbasis Jumlah Perusahaan

18 yaitu kebutuhan bersosialisasi social needs, rasa percaya diri esteem needs dan aktualisasi diri self actualization . Demikan pula dengan perilaku konsumsi manusia. Dalam konteks perdagangan, semakin lama manusia semakin menyukai barang‐barang yang tidak hanya mampu memuaskan kebutuhan fungsional saja, namun juga mencari produk yang bisa memberikan dirinya suatu identitas dan membuatnya dirinya lebih dihargai oleh orang‐orang disekitarnya. Industri fesyen adalah contoh yang bagus untuk menggambarkan kondisi ini. Konsumen tidak akan membeli barang yang tidak cantik dan tidak menarik, atau yang tidak cocok dengan tubuh si pemakai. Tom Peters seorang guru manajemen ternama mengatakan, apapun bisnis yang anda geluti, anda ada dibisnis fesyen no matter what business we are in, we are in the fashion business. Ciri ‐ciri konsumen seperti ini sangat identik dengan konsumen di negara‐negara maju. Oleh karena negara ‐negara maju juga merupakan trend‐setter perdagangan internasional, maka perilaku tersebut berimbas pada negara‐negara lain dan menjadi tren global. Sehingga secara perdagangan dan industri, produk‐produk yang dijual ke negara maju haruslah yang memiliki kandungan‐kandungan non‐fungsional yang mampu memuaskan kebutuhan konsumen atas identitas dan penghargaan sosial. Disinilah Industri kreatif memegang peranan yang penting, karena industri kreatif sangat responsif menyerap akumulasi fenomena ‐fenomena sosial di masyarakat dan menuangkan kedalam konteks produk dan jasa, bisa berupa produk pakai seperti fesyen dan kerajinan maupun produk‐produk hiburan seperti musik dan film. Namun, hirarki kebutuhan tersebut di atas tidak hanya diperuntukan secara ekslusif bagi manusia ‐manusia yang telah berkecukupan dalam hal materi maupun SDM yang berlatar belakang pendidikan tinggi. Dalam proporsi tertentu masyarakat di lapisan bawah the bottom of the pyramid yang kurang mengecap pendidikan tinggi pun memiliki motivasi sosial, motivasi kepercayaan diri dan motivasi untuk aktualisasi diri yang sama pentingnya seperti masyarakat lapisan atas. T UMBUHNYA E RA PRODUKSI NON M ASSAL Semakin kritisnya konsumen akhirnya membuat konsumen semakin selektif terhadap barang ‐barang yang akan dikonsumsinya. Konsumen kurang tergerak membeli barang‐ barang generik, sebaliknya konsumen sangat antusias membeli barang‐barang yang unik dan dapat membuat bangga yang memakainya. Semakin lama faktor selera semakin mendominasi perilaku konsumsi. Dan akibatnya daur hidup produk‐produk semakin lama semakin singkat. Ini disebabkan karena bila menyimpan stok terlalu banyak, lebih besar kemungkinan produk tidak terserap pasar. Gambar 15 Hirarki Tingkat Kebutuhan Menurut Abraham Maslow 19 Permintaan konsumen ini consumer demand telah mengubah pendekatan industri. Dahulu industri berorientasi mendorong suplai supply driven. Saat ini pendekatan industri telah berubah menjadi berorientasi konsumen demand driven dan proses produksinya tidak disatu tempat namun tersebar. Efek dari industri yang berorientasi konsumen adalah munculmya era produksi non‐massal. Pada sistim ini barang dibuat dalam jumlah yang tidak terlalu banyak dan dengan variasi‐ variasi yang beraneka ragam. Yang tidak disadari oleh banyak orang dari fenomena ini adalah bahwa sebenarnya faktor kandungan emosional dan selera emotional attachment adalah faktor pendorong perubahan tersebut. Fenomena ini bisa dimanfaatkan dua arah. Industri kreatif yang sarat dengan kandungan emosional dapat mendorong evolusi perkembangan teknologi industri manufaktur non‐ massal, atau kebalikannya, industri kreatif dapat semakin memanfaatkan teknologi manufaktur yang telah semakin fleksibel sebagai salah satu keunggulannya dalam mensuplai produk‐produk yang beraneka ragam. P ORSI K ONSUMSI P RODUK DAN J ASA I NDUSTRI K REATIF YANG R ELATIF BESAR DI N EGARA G­7 Seperti telah dijelaskan sebelumnya, motivasi konsumsi manusia telah meningkat seiring dengan peningkatan taraf hidupnya. Masyarakat dinegara‐negara maju adalah masyarakat yang telah berhasil meningkatkan taraf hidupnya terlebih dahulu dibandingkan negara‐ negara berkembang. Data dari PBB tahun 2003, menunjukkan 50 dari belanja konsumen consumer spending di negara G7 adalah belanja untuk produk‐produk hasil industri kreatif. Industri kreatif menjadi penting karena 23 dari GDP suatu negara berasal dari belanja konsumen. Dapat diartikan bahwa konsumen di negara‐negara G7 lebih selektif dan sangat memperhatikan kualitas dari sisi desain, material, merek dan ciri khusus, dan aspek lainnya. Industri kreatif seperti desain produk, fesyen, kerajinan sangat memahami sisi‐sisi manusiawi tersebut sehingga besar peranannya dalam penyerapan ekspor ke negara‐negara G7. Dengan intensifikasi kreativitas khususnya pada desain untuk produk‐produk yang di ekspor, Indonesia tentunya dapat meningkatkan angka ekspornya. P ORSI P ASAR D ALAM N EGERI Y ANG B ESAR Dari sisi pasar domestik, penduduk Indonesia yang merupakan peringkat 4 terbesar di dunia adalah potensi pasar yang sangat besar apabila dapat menyerap hasil‐hasil produksi dalam negeri. Saat faktor eksternal kurang mendukung, seperti kondisi saat ini, kinerja ekspor bisa saja menurun. Pada saat itu, perekonomian harus ditumpu pada perekonomian domestik. Industri kreatif berbasis barang‐barang fisik dapat mengisi pasar domestik dengan hasil‐ hasil produksi dalam negeri yang memiliki kualitas desain yang sama baiknya dengan produk ‐produk impor. Produk‐produk lokal yang dibuat secara mandiri tanpa lisensi asing mencerminkan potensi kemandirian dunia bisnis anak bangsa. Industri kreatif yang produknya berupa jasa atau bentuk non‐materiil lainnya misalnya musik dan piranti lunak, dapat didistribusikan secara digital sehingga tidak perlu 20 menggunakan cara‐cara distribusi melalui infrastruktur fisik yang sangat terkait dengan konsumsi BBM. K ERAGAMAN S OSIO ­K ULTURAL I NDONESIA Indonesia terkenal karena keragaman sosio‐kulturalnya. Sering kali, kendala yang ditemui dalam promosi budaya Indonesia adalah kesulitan mencari pemirsa audience. Ini disebabkan karena pemirsa kurang tertarik menikmati sajian yang terlalu tradisionil. Apabila dibiarkan, lama kelamaan warisan budaya tersebut akan punah karena tidak adanya regenerasi terhadap generasi muda. Namun sebaliknya, bagi para pelaku industri kreatif, keragaman sosio‐kultural dapat menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering. Dimana‐mana kita dapat melihat bahwa pemirsa lokal maupun internasional akan tertarik apabila menonton pagelaran budaya yang telah mendapat sentuhan lebih modern dan populer dari desainer, arsitek, komposer musik dan koreografer. Usaha ‐usaha pemanfaatan kearifan serta warisan budaya ini, perlu perhatian dan kerjasama antara pemerintah dengan pelaku‐pelaku industri kreatif, sehingga warisan budaya tradisional bangsa Indonesia dapat terlestarikan dan menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia.

B. Tantangan Industri Kreatif di Indonesia

K ESIAPAN SDM K REATIF D I I NDONESIA Di Amerika, Richard Florida menggolongkan SDM kreatif menjadi strata baru disebut creative class. Di era ekonomi kreatif, dimana kreativitas menjadi industri, pekerja kreatif tidak hanya dari dunia seni melainkan juga dari dunia manajemen, sains dan teknologi. Menurut Florida, SDM kreatif meliputi orang‐orang dari bidang sains, insinyur, arsitek, desainer, pendidik, artis, musisi dan entertainer. Mereka adalah orang yang menciptakan ide‐ ide baru, teknologi‐teknologi baru dan konten baru. Juga pekerja dari sektor manajemen yang pekerjaannya mengandalkan daya pikir dalam memecahkan masalah dan pengambilan keputusan. Terdapat 30 pekerja dalam strata kreatif di Amerika, dengan penghasilan sekitar 2 triliun dollar Amerika. Kontribusi yang sangat besar ini menjadi patokan bahwa SDM kreatif patut diperhitungkan. Berkembangnya industri berbasis kreativitas khususnya di Amerika dan Inggris berdampak besar bagi negara‐negara lain khususnya negara‐negara di Asia, berupa kegiatan sub‐ kontrak outsourcing. Perlahan‐lahan negara‐negara Asia mulai menunjukkan kematangannya. Saat ini India telah terkenal dengan industri film dan industri piranti lunak, Jepang dan Korea dikenal sebagai pencipta benda‐benda elektronik, otomotif dan industri konten. Namun, pasar global untuk sub‐kontrak SDM kreatif belum dirasakan penuh oleh pekerja‐ pekerja kreatif di Indonesia. Kendala yang dihadapi SDM kreatif Indonesia saat ini ada tiga bagian besar: 1. SDM kreatif berbasis artistik belum memahami konteks kreativitas di era industri kreatif secara menyeluruh. Sehingga masyarakat melihat dunia artistik sebagai dunia yang eksklusif dan tidak merakyat. 21 2. SDM kreatif berbasis non‐artistik sains dan teknologi terlalu mikroskopis dalam melihat keprofesiannya sehingga kadang terlalu mekanistis dalam berpikir sehingga kurang inovatif. Dalam bekerja orang‐orang ini lebih termotivasi bekerja pada perusahaan ‐perusahaan besar yang membuat mereka tenggelam di dalam rutinitas sehari ‐hari dan memiliki keterbatasan dalam mengekspresikan kreativitas yang ada dalam diri. 3. SDM kreatif baik yang berbasis artistik maupun yang non‐artistik kekurangan sarana untuk bereksperimen dan berekspresi sehingga hasil karya mereka masih kurang kreatif dan kurang inovatif. Akibatnya industri lokal dan internasional belum melihat kepentingan yang besar untuk mengadopsi ide‐ide baru dari mereka. Melihat kondisi seperti ini, maka diperlukan penanaman pola pikir kreatif yang lebih kontekstual dan diterapkan disegala sisi kehidupan, baik dari sisi pendidikan, budaya maupun motivasi kewirausahaan. L EMBAGA P ENDIDIKAN YANG M AMPU M ENGHASILKAN I NSAN K REATIF I NDONESIA Saat ini, telah semakin disadari bahwa kurikulum yang hanya bersifat menghafal, tidak akan berdampak pada daya juang anak didik di kehidupan nyata. Daya juang sebenarnya adalah olah kreativitas, karena daya juang menantang manusia memecahkan suatu permasalahan, bila ia tidak cukup kreatif, permasalahannya tidak selesai dan ia akan tersingkirkan. Banyak ditemui, lulusan‐lulusan pendidikan tinggi dengan IPK tinggi ternyata tidak berprestasi didunia kerja, bahkan jadi pengangguran. Dengan kenyataan ini, sektor pendidikan, sejak dini harus mengimbangi kurikulum berbasis hafal menghafal dengan kurikulum berorientasi kepada kreativitas dan terbentuknya jiwa kewirausahaan. Kreativitas yang dimaksud adalah mengasah kepekaan dan kesiapan untuk proaktif di dalam menghadapi perubahan ‐perubahan yang ditemui dilingkungan nyata. Lembaga pendidikan seharusnya mengarah kepada sistem pendidikan yang dapat menciptakan:

1. Kompetensi yang kompetitif: Sesuai namanya, kompetensi membutuhkan latihan,

sehingga sektor pendidikan harus memperbanyak kegiatan orientasi lapangan, eksperimentasi, riset dan pengembangan serta mengadakan proyek kerjasama multidisipliner yang beranggotakan berbagai keilmuan, dari sains, teknologi maupun seni.

2. Intelejensia Multi Dimensi: Teori‐teori intelejensia saat ini telah mengakui pula bahwa

tidak hanya kecerdasan rasional IQ yang menjadi acuan tingkat pencapaian manusia, tetapi manusia juga memiliki kecerdasaran emosi EQ dan kecerdasan spiritual SQ. Dengan menempatkan porsi yang sama di ketiga dimensi intelejensia ini pada jalur pendidikan formal, diharapkan dapat dihasilkan SDM bertintelejensia rasional yang tinggi dan memiliki daya kreativitas yang tinggi pula. K ERAGAMAN S OSIO ­K ULTURAL I NDONESIA Bali adalah contoh yang baik dalam melihat toleransi keragaman sosio‐kultural. Bali telah menjadi magnet bagi banyak banyak orang didunia dan banyak orang Indonesia dari etnis lainnya. Faktor‐faktornya adalah: