Kondisi Lingkungan Buatan Kondisi Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan

Kerusakan hutan mangrove ternyata juga berimbas pada kerusakan terumbu karang, dan hal ini juga tidak terlepas dari tuntutan kebutuhan hidup. Penyusutan potensi ikan dan nener alam mendorong masyarakat untuk melakukan berbagai cara untuk menangkap ikan termasuk dengan cara melakukan pengeboman dan memanfaatkan karang untuk keperluan bahan bangunan. Berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat tersebut makin menambah dan mempercepat kerusakan wilayah pesisir dan laut Sulawesi Selatan. Sementara itu, sumberdaya alam yang relatif tidak berubah adalah iklim. Kondisi iklim Sulawesi Selatan tahun 2003 tidak berubah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Curah hujan, dan unsur iklim lainnya seperti suhu, kelembaban, angin dan lain-lain sepanjang tahun 2003 berada dalam kondisi normal. Secara umum wilayah Sulawesi Selatan memiliki 3 wilayah iklim yaitu Wilayah Timur, Wilayah Barat dan Daerah Peralihan. Curah hujan yang jatuh pada ketiga wilayah tersebut tidak sama, sehingga berpengaruh pada pola tanam dan produksi. Produksi buah- buahan, padi dan palawija terjadi sepanjang tahun secara bergiliran sesuai dengan pergiliran musim di ketiga wilayah iklim. Perubahan yang terjadi yang terkait dengan unsur iklim adalah tingkat konsentrasi ambien, debu, timbal, SO 2 , CO 2 , NO 2 dan CO di udara di kota-kota besar seperti Makasar, Pare-Pare, Palopo, Bone dan beberapa ibukota kabupaten lainnya. Pada tahun 2003, konsentrasi unsur-unsur tersebut umumnya meningkat dibanding tahun 2001, terutama CO, Pb, debu dan Ambien. Peningkatan konsentrasi tersebut terkait dengan semakin meningkatnya kepadatan lalu lintas, masih banyaknya industri-industri yang tidak menggunakan penangkap polutan dan berbagai aktivitas masyarakat lainnya.

4.4.2. Kondisi Lingkungan Buatan

Lingkungan buatan merupakan sumberdaya yang dibuat dan dikelola oleh manusia. Lingkungan buatan tersebut meliputi: pertanian dan perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, pertambangan dan perindustrian. Secara umum kondisi lingkungan buatan di Sulawesi Selatan tahun 2003 dapat digambarkan sebagai berikut: Pertanian dan perkebunan merupakan sektor yang paling dominan dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan. Sektor ini memberikan kontribusi sebesar 35,8 PDRB tahun 2003. Sumbangan terbesar bersumber dari tanaman bahan makanan yang meliputi padi dan palawija. Permasalahan lingkungan yang muncul dari kegiatan pertanian adalah karena tingginya penggunaan pupuk kimia dan pestisida, erosi tanah dan pembukaan areal hutan serta emisi gas metan CH 4 dari lahan persawahan. Namun berbagai permasalahan tersebut belum mendapat perhatian serius dari masyarakat maupun pengambil kebijakan karena dampaknya belum dirasakan secara langsung merugikan masyarakat. Sebagai contoh tanaman palawija banyak ditanam di lahan kering yang miring di areal hutan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah konservasi lahan dan air, sehingga menimbulkan erosi yang cukup tinggi dan hilangnya vegetasi hutan. Demikian pula kegiatan penanaman perkebunan maupun sayur-sayuran yang umumnya dilakukan di dataran tinggi dan menggunakan pupuk buatan serta pestisida yang tinggi, sangat potensial menimbulkan erosi dan degradasi lahan serta pencemaran lingkungan. Namun kegiatan pertanian yang menimbulkan kerusakan lingkungan tersebut tetap berjalan apa adanya, tanpa pengaturan konservasi dan perlindungan untuk kelestarian lingkungan. Kehutanan sebagai lingkungan buatan adalah kawasan hutan produksi yang luasnya mencapai 1.014.921 ha yang terdiri dari hutan 811,10 ribu ha hutan produksi terbatas dan 203,82 ha hutan produksi biasa. Kawasan hutan tersebut sebagian besar berada di Kabupaten Luwu dan Mamuju. Pada tahun 2003, produksi hutan baik berupa kayu maupun non kayu mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini terjadi karena berkurangnya stok kayu akibat lambatnya kegiatan penanaman kembali dan lambatnya pertumbuhan tanaman. Dikhawatirkan produksi kayu maupun non kayu akan terus menurun dan perambahan areal hutan akan meningkat khususnya di daerah bekas tebangan kayu yang umumnya berupa semak belukar. Kegiatan perikanan di Sulawesi Selatan didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap laut dan budidaya pada tambak-tambak di sepanjang pesisir pantai. Sementara kegiatan perikanan air tawar terutama dilakukan penduduk di sekitar danau Tempe, Kabupaten Wajo. Kegiatan perikanan tangkap menghasilkan jenis- jenis ikan kerapu, cakalang dan sejenisnya, sedangkan perikanan tambak menghasilkan udang dan ikan bandeng. Produksi perikanan tahun 2003 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Namun kegiatan perikanan tersebut memberikan tekanan terhadap kelestarian lingkungan karena cara penangkapan yang dilakukan sebagian tidak bersahabat dengan lingkungan, sementara kegiatan budidaya menimbulkan pencemaran yang berasal dari pupuk dan pestisida, serta sisa pakan yang membusuk. Di samping itu tambak-tambak yang dibuka petani umumnya adalah lahan-lahan mangrove di sepanjang pantai, sehingga makin memperparah kerusakan hutan mangrove di sepanjang pantai Sulawesi Selatan. Peternakan sebagai lingkungan buatan meliputi berbagai jenis ternak, baik ternak besar maupun ternak unggas. Pada tahun 2003, jenis ternak besar yang paling banyak dipelihara adalah sapi, disusul kambing, babi, kerbau, kuda dan domba. Jumlah peliharaan ternak besar mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya kecuali ternak babi dan kerbau yang mengalami sedikit penuruan. Dari segi lingkungan, kegiatan peternakan hampir tidak mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan. Limbah atau kotoran ternak umumnya digunakan petani untuk pelengkap atau pengganti pupuk buatan. Pertambangan di Sulawesi Selatan di dominasi oleh kegiatan pertambangan galian C yang menghasilkan pasir, kerikil dan batu kali. Di samping itu juga terdapat kegiatan tambang oleh perusahaan besar yaitu pertambangan nikel oleh PT. Inco di Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur, serta penambangan batu kapur dan tanah liat oleh PT. Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep dan PT. Bosowa di kabupaten Maros. Selain itu masih terdapat beberapa perusahan tambang yang memproduksi marmer. Dampak lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penambangan adalah berubahnya bentang alam, hilangnya vegetasi dan flora yang ada di atasnya serta berubahnya alur sungai dan dasar sungai. Perindustrian di Sulawesi Selatan dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu: industri kimia, agro dan hasil hutan, dan industri logam, mesin dan aneka. Pada tahun 2003, industri kimia, agro dan hasil hutan tercatat sebanyak 45,382 buah dan menyerap sebanyak 135.433 orang tenaga kerja. Sedangkan industri logam, mesin dan aneka tercatat sebanyak 33.246 buah dengan melibatkan 101.840 orang tenaga kerja. Secara individual masing-masing industri tidak memberikan dampak lingkungan yang signifikan, tetapi secara bersama-sama kegiatan industri tersebut telah menimbulkan pencemaran, baik pencemaran perairan maupun udara.

4.4.3. Penurunan Kualitas Lingkungan