Sektor Ekonomi Tanaman Bahan Makanan lainnya

Di samping itu pengusahaan padi sawah di Sulawesi Selatan dilakukan secara intensif dengan pemberian pupuk urea yang cukup tinggi. Mengacu pada hasil penelitian Partohardjono 1999, maka lahan persawahan Sulawesi Selatan akan menghasilkan emisi gas N 2 O sebesar 351,15 ton atau setara dengan 108.865,5 ton CO 2 . Dengan demikian nilai biaya lingkungan dari emisi N 2 O adalah Rp 4,90 milyar. Sementara itu, kegiatan penanaman padi di lahan kering di Sulawesi Selatan tersebar di beberapa kabupaten antara lain Kabupaten Mamuju, Majene, Janeponto dan Takalar. Pada tahun 2003 areal tanam padi lahan kering tercatat seluas 7.225 ha dan dengan asumsi bahwa kondisi lahan padi gogo rata-rata berkemiringan 2, panjang lereng 25 m, erodibilitas K=0,205 dan penutupan tanah padi gogo C= 0,56, serta curah hujan rata-rata 2.000 mmtahun, maka besarnya erosi tanah yang terjadi rata-rata 24,22 tonhatahun. Dengan menggunakan hasil analisis tanah dari beberapa lokasi lahan pertanian di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang menunjukkan bahwa rata-rata kandungan unsur hara utamanya sebesar Rp 14.468ton tanah yang tererosi maka untuk mengganti kehilangan unsur hara tersebut paling tidak diperlukan biaya sebesar Rp 350.363 hatahun. Jadi total biaya pengganti unsur hara yang hilang akibat erosi pada lahan usaha padi gogo mencapai Rp 2,53 milyar. Dengan demikian total biaya eksternalitas dari sektor ekonomi padi yang perlu diperhitungkan adalah sebesar Rp 315,23 milyar.

5.1.1.2. Sektor Ekonomi Tanaman Bahan Makanan lainnya

Sektor ekonomi tanaman bahan makanan selain padi meliputi: jagung, ketela pohon, umbi-umbian, kacang tanah, kedelai, kacang-kacangan lainnya, buah-buahan, serealia padi-padian dan bahan makanan lainnya, serta hasil pertanian lainnya. Jenis tanaman bahan makanan ini umumnya ditanam di lahan sawah pada saat musim kemarau dan sebagian kecil di lahan kering. Pengusahaan tanaman bahan makanan berpotensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta alih fungsi lahan. Namun hasil identifikasi menunjukkan bahwa penggunaan pupuk dan pestisida pada sektor ekonomi ini relatif kecil dan tidak menimbulkan dampak negatif secara nyata, sehingga dapat diabaikan. Dampak negatif yang perlu diperhitungkan sebagai biaya eksternalitas adalah pengusahaan tanaman bahan makanan yang dilakukan di lahan kering yang miring atau areal hutan. Kegiatan usaha di lahan kering sebagian dilakukan dengan cara perladangan berpindah dan umumnya tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi lahan dan air, sehingga menimbulkan erosi lahan cukup tinggi. Pada tahun 2003, areal tanaman bahan makan non padi ini yang cukup luas adalah jagung yang tercatat seluas 213.818 ha jagung, kacang tanah 43.385 ha, ubi kayu 40.808 ha, kacang hijau 33.180 ha, kedelai 16.992 ha dan ubi jalar 5.748 ha. Sebagian besar penanaman tanaman bahan makanan non padi ini dilakukan di lahan persawahan khususnya jagung dan kacang-kacangan. Sedangkan tamanan lainnya seperti ubi kayu, ubi jalar dan sayuran umumnya ditanam di lahan kering. Penanaman tanaman bahan makanan non padi di areal persawahan tidak teridentifikasi menimbulkan dampak negatif. Sedangkan penanaman tanaman bahan makanan non padi di lahan kering menimbulkan beberapa dampak negatif khususnya yang memasuki kawasan hutan. Luas lahan kering yang digunakan untuk tanaman bahan makanan dengan pola perladangan pada tahun 2003 tercatat seluas 90.990 ha, masing-masing 26.501 ha di kawasan hutan dan 64.479 ha di luar kawasan hutan. Apabila di asumsikan bahwa rotasi atau efektivitas pemanfaatan lahan rata-rata hanya tiga tahun, maka setiap tahunnya akan terjadi alih fungsi lahan hutan atau semak belukar menjadi lahan perladangan seluas 30.330 ha. Adanya alih fungsi lahan yang pembukaan lahannya umumnya dilakukan dengan cara tebang, tebas dan bakar akan menimbulkan dampak negatif berupa emisi karbon dioksida, penyusutan keanekaragaman hayati, dan kerusakan tata air serta peningkatan erosi tanah. Kegiatan usaha tanaman bahan makanan non-padi di lahan kering dengan pola perladangan berpindah dengan rotasi penggunaan lahan rata-rata 3 tahun memaksa petani untuk membuka ladang baru dari hutan rata-rata 8.834 ha per tahun dan 21.496 ha dari semak belukar yang telah diberakan. Dengan demikian akan terjadi emisi gas CO 2 akibat pembakaran kayu, ranting dan daun-daunan saat penyiapan lahan seluas 30.330 ha sebesar 151.650 ton atau senilai Rp 6,824 milyar, penyusutan keanekaragaman hayati dari lahan hutan seluas 8.834 ha senilai Rp 795,06 juta, hilangnya jasa hutan untuk pengendalian banjir dan penyedia air Rp 954,07 juta. Di samping itu, dengan asumsi bahwa kondisi perladangan berpindah rata-rata berkemiringan 3, panjang lereng 25 m, erodibilitas K=0,205, penutupan tanah pertanian campuran C=0,43 dan curah hujan rata-rata 2.000 mmtahun, maka besarnya erosi tanah yang terjadi rata-rata sebesar 32,93 tonha. Mengacu pada hasil analisis tanah di beberapa lokasi pertanian, maka adanya erosi tersebut menyebabkan hilangnya unsur hara Nitrogen, Posfat dan Kalium senilai Rp 14.468ton tanah yang tererosi. Dengan demikian nilai kerugian yang perlu diperhitungkan untuk penggantian unsur hara yang hilang tersebut adalah sebesar Rp 474.598ha, sehingga total biaya ekaternalitas yang perlu diperhitungkan akibat erosi dari sektor ekonomi tanaman bahan makan non padi adalah sebesar Rp 14,395 milyar. Total biaya eksternalitas yang perlu diperhitungkan dari sektor ekonomi tanaman makan non padi adalah sebesar Rp 22,968 milyar Tabel 15. Tabel 15. Biaya eksternalitas sektor ekonomi tanaman bahan makanan non padi No. Jenis Biaya Eksternalitas Areal lahan ha Biaya Rpha Total biaya Rp milyar 1. Emisi CO2 30.330 225.000 6,824 2. Penyusutan KR hayati 8.834 90.000 0,795 3. Pengendalian banjir dan penyedia air 8.834 108.000 0,954 4. Erosi lahan 30.330 474.598 14,395 Total 22,968

5.1.1.3. Sektor Ekonomi Kopi