Sektor Ekonomi Kakao Sektor Pertanian

Tabel 16. Sebaran areal perkebunan kopi dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 No. Kemiringan Areal Kebun ha TBM1 TBM1 TT TM Total 1. 0 539,2 3.372,2 7.342,8 11.254,2 2. 5 1.078,5 6.744,3 14.685,6 22.508,4 3. 10 1.348,1 8.430,4 18.357,0 28.135,5 4. 20 1.348,1 8.430,4 18.357,0 28.135,5 5. 30 1.078,5 6.744,3 14.685,6 22.508,4 Total 5.392,4 33.722,6 73.428,0 112.542,0 Erosi Tanah ton 1. 0 2. 5 63.831 266.113 289.727 619.671 3. 10 196.964 821.149 894.016 1.912.129 4. 20 439.304 1.831.470 2.184.308 4.455.081 5. 30 554.533 2.311.865 2.517.016 5.383.415 Total 1.254.632 5.230.596 5.885.067 12.370.295 Pata Tabel 16 tersebut tampak bahwa erosi tanah yang terjadi di perkebunan kopi tahun 2003 mencapai 12.370.295 ton tanah. Dengan menggunakan hasil analisis tanah dari beberapa lokasi yang menunjukkan bahwa rata-rata tiap ton tanah yang tererosi tersebut mengandung unsur hara Nitrogen, Posfor dan Kalium senilai Rp 14.468, sehingga total biaya eksternalitas yang perlu diperhitungkan untuk mengganti kehilangan unsur hara tersebut adalah sebesar Rp 178,973 milyar. Sementara itu, kegiatan pengembangan perkebunan kopi selama tiga tahun terakhir rata-rata 5.392,4 hatahun. Dengan asumsi bahwa 75 areal pengembangannya mengkonversi hutan atau semak belukar maka biaya eksternalitas akibat emisi gas CO2 diperkirakan mencapai Rp 181,99 juta. Sementara kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati masing-masing sebesar Rp 436,78 juta dan Rp 363,99 juta. Dengan demikian total biaya ekaternalitas yang perlu diperhitungkan dari sektor ekonomi kopi adalah sebesar Rp 179,955 milyar

5.1.1.4. Sektor Ekonomi Kakao

Tanaman kakao dikembangkan mulai dari dataran rendah sampai pada daerah pegunungan hingga ketinggian 600 m dpl. Areal pengembangan umumnya pada areal bekas kebun campuran, areal perladangan dan areal bekas hutan dan semak belukar. Sentra utama perkebunan kakao adalah di Kabupaten Mamuju, Luwu Utara, Polmas, Bone dan Pinrang. Biaya lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh pengusahaan kakao adalah karena pencemaran oleh pupuk kimia dan pestisida, erosi lahan, rusaknya tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati. Namun hasil wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dan pestisida tidak teridentifikasi menimbulkan pencemarankerusakan lingkungan hidup. Demikian pula halnya dengan kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati tidak teridentifikasi secara nyata. Pengembangan kakao yang dilakukan petani umumnya tidak bersifat monokultur, tetapi diselang selingi dengan tanaman buah-buahan, kemiri, kelapa dan tanaman pelindung lainnya. Pada beberapa kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Pinrang yang areal pengembangannya relatif datar dan lahannya sebagian berupa lahan kritis, maka pengembangan perkebunan kakao ikut andil dalam memperbaiki dan menyelamatkan lingkungan hidup. Pada tahun 2003, dari total areal 296.039 ha terdiri dari 54.522 ha areal belum menghasilkan TBM, 213.489 ha areal tanaman menghasilkan TM dan 28.028 ha tanaman tua TT. Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan, areal perkebunan kakao tersebut diperkirakan tersebar di berbagai kawasan dengan kemiringan lahan rata-rata berkisar antara 0 sampai 20. Sebaran areal perkebunan kakao berdasarkan kondisi tanaman dan kemiringan lahan serta perkiraan erosi yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Sebaran areal perkebunan kakao dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 No. Kemiringan Areal Kebun ha TBM1 TBM1 TT TM Total 1. 0 3.636,1 12.873,9 42.697,8 59.207,8 2. 5 3.636,1 12.873,9 42.697,8 59.207,8 3. 10 4.545,2 16.092,4 53.372,3 74.009,8 4. 15 3.636,1 12.873,9 42.697,8 59.207,8 5. 20 2.727,1 9.655,4 32.023,4 44.405,9 Total 18.180,6 64.369,4 213.489,0 296.039,0 Erosi Tanah ton 1. 0 2. 5 215.207 507.969 842.370 1.565.546 3. 10 664.069 1.567.448 2.599.316 4.830.832 4. 15 867.676 2.048.035 3.396.280 6.311.990 5. 20 888.674 2.097.598 3.478.470 6.464.742 Total 2.635.625 6.221.050 10.316.436 19.173.111 Pata Tabel 17 tersebut tampak bahwa erosi tanah yang terjadi di perkebunan kakao tahun 2003 mencapai 19.173.111 ton tanah. Dengan menggunakan hasil analisis tanah dari beberapa lokasi yang menunjukkan bahwa rata-rata tiap ton tanah yang tererosi tersebut mengandung unsur hara Nitrogen, Posfor dan Kalium senilai Rp 14.468, maka total biaya eksternalitas untuk mengganti kehilangan unsur hara tersebut adalah sebesar Rp 277,397 milyar. Sementara itu, kegiatan pengembangan perkebunan kakao selama tiga tahun terakhir rata-rata 18.181 hatahun. Dengan asumsi bahwa 75 areal pengembangannya mengkonversi hutan atau semak belukar maka biaya eksternalitas akibat emisi gas CO 2 diperkirakan mencapai Rp 3,068 milyar. Sementara kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati masing-masing sebesar Rp 1,474 milyar dan Rp 1,227 milyar. Dengan demikian total biaya ekaternalitas yang perlu diperhitungkan dari sektor ekonomi kakao adalah sebesar Rp 283,166 milyar

5.1.1.5. Sektor Ekonomi Perkebunan Lainnya