5.2. Biaya Lingkungan Sebagai Eksternalitas
Hasil analisi dari berbagai sektor perekonomian regional Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pada tahun 2003 biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai
biaya eksternalitas dari berbagai kegiatan perekonomian di Sulawesi Selatan mencapai Rp 1,76 triliun atau 2,53 dari nilai total output. Nilai biaya eksternalitas yang berhasil
diidentifikasi dan dianalisis tersebut relatif lebih kecil dari yang seharusnya karena keterbatasan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan. Pada kondisi saat ini,
rendahnya biaya lingkungan tersebut masih dapat diterima karena daya dukung lingkungan Sulawesi Selatan untuk mengasimilasi berbagai limbah, baik padatan, cairan
maupun gas relatif masih cukup baik. Kemampuan lingkungan memberikan jasa untuk asimilasi limbah tersebut dalam penelitian ini tidak diperhitungkan karena dapat dianggap
sebagai penyeimbang dari biaya-biaya lingkungan yang tidak bisa diperhitungkan. Beban biaya eksternalitas yang terbesar dihasilkan oleh sektor perkebunan selain
kopi dan kakao yaitu sebesar Rp 754,28 milyar. Biaya eksternalitas terbesar berikutnya adalah dari sektor ekonomi padi, kakao, kopi dan industri semen yaitu masing-masing Rp
315,23 milyar, Rp. 283,17 milyar, Rp. 179,95 milyar dan Rp. 158,07 milyar Tabel 19. Tabel 19. Biaya ekternalitas berbagai sektor ekonomi, 2003
Sektor Ekonomi Erosi
KR hayati
Tata air
CO2 CH4 N2O Total Persen dari
……………………….. Rp milyar ……………… Output
Padi 2,53 0
0 0 307,80
4,90 315,23
6,47 Tabama
lainnya 14,40 0,80
0,95 6,83 0 22,97 0,73
Kopi 178,97 0,36
0,44 0,18 0 179,95
63,58 Kakao
277,40 1,23 1,47 3,07
0 283,17 10,95
Perkeb. Lainnya 750,86 0,73
0,87 1,82 0 754,28
31,62 Peternakan
0 0 0 0
50,76 0 50,76
7,21 Industri
semen 0 0
158,07 0 0 158,07
6,00 Lainnya
0 0 0 0 0 0 0,00
0,00 Total
1.224,16 3,12 3,73
169,97 358,56 4,90
1.764,43 2,53
Pada Tabel 19. tersebut tampak bahwa biaya eksternalitas persatuan output terbesar adalah dari sektor ekonomi kopi dengan pangsa 63,58. Hal ini berarti bahwa
setiap peningkatan satu satuan nilai output menimbulkan biaya eksternalitas sebesar
0,6358 satuan. Sementara sektor ekonomi kakao menibulkan biaya eksternalitas sebesar 0,1095 satuan untuk setiap peningkatan satu satuan nilai output.
Secara keseluruhan beban biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regioanl Sulawesi Selatan relatif kecil yaitu sebesar 2,53 dari nilai
output total perekonomian regional. Hal ini disebabkan oleh berbagai keterbatasan terutama terbatasnya ketersediaan data dan informasi. Oleh karena itu perlu kajian yang
lebih mendalam mengenai biaya eksternalitas khususnya terhadap sektor-sektor ekonomi yang secara teoritis menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan seperti
pertambangan nikel dan industri semen. Melalui kajian tersebut diharapkan dapat diperoleh informasigambaran peran yang sesungguhnya dan biaya eksternalitas masing-
masing sektor ekonomi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Disadari bahwa penelitian ini belum sepenuhnya dapat mengungkap besarnya
biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas, tetapi sebagai langkah awal keberhasilan mengungkapkan adanya beban biaya eksternalitas tersebut
diharapkan dapat menjadi informasi yang berharga sebagai peringatan dini untuk ditindak lanjuti. Adanya biaya eksternalitas meskipun nilainya relatif kecil, perlu diperhitungkan
dan diwaspadai karena pada umumnya biaya eksternalitas bersifat kumulatif dan menjadi beban yang makin besar bagi generasi berikutnya. Beban biaya eksternalitas yang
teridentifikasi dalam penelitian ini sebagian besar 69,38 merupakan biaya pengganti unsur hara yang hilang akibat erosi. Kehilangan unsur hara secara terus menerus akan
menyebabkan lahan terdegradasi dan akan memperluas lahan kritis di Sulawesi Selatan. Meluasnya lahan kritis berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif bagi
lingkungan dan akan menjadi beban bagi masyarakat sekitarnya karena rawan terhadap bencana alam berupa banjir, tanah longsor dan kekeringan. Pada akhir Pelita VI, di
Sulawesi Selatan terdapat lebih dari sejuta ha lahan kritis masing-masing 581.297 ha di dalam kawasan hutan dan 451.505 ha di luar kawasan hutan dan diperkirakan terus
meluas dengan laju 1-2 per tahun. Di sisi lain kegiatan untuk merehabilitasi lahan kritis berjalan lambat dan biayanya cukup mahal. Kegiatan rehabilitasi lahan kritis sejak tahun
1999 sampai tahun 2002 hanya seluas 74.241 ha dari 580.279 ha yang direncanakan atau rata-rata hanya 18.560 hatahun dan sebagian besar 77,7 berada diluar kawasan hutan.
Lebih lanjut, besarnya tanah yang tererosi akan menimbulkan dampak turunan berupa pendangkalan sungai, danau dan perairan pantai, sehingga merugikan masyarakat.
Kasus pendangkalan danau yang dampak negatifnya sudah sangat dirasakan masyarakat adalah pendangkalan Danau Sidenreng di Kabupaten Sidrap dan Danau Buaya serta
Danau Tempe di Kabupaten Wajo. Ketiga danau tersebut tidak lagi dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan air tawar karena pada musim kemarau mengalami
kekeringan dan meluap atau menimbulkan banjir pada musim hujan. Di samping itu berbagai potensi ekonomi khususnya perikanan air tawar ketiga danau tersebut terus
menurun. Oleh karena perlu adanya kebijakan terutama yang menyangkut penataan ruang
wilayah dan penegakan hukum bagi setiap pelanggaran. Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi terkini, sehingga perlu direvisi.
Menurut hasil kajian Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan 2004, kebijakan tata ruang di setiap kabupaten pada umumnya lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi jangka
pendek dan kurang berpihak pada kepentingan kelestarian lingkungan. Penetapan fungsi kawasan, khususnya kawasan non budidayakawasan lindung dan kawasan konservasi
serta pelestarian alam tidak didasarkan pada kriteria-kriteria yang tepat. Faktor lereng, sifat dan ciri tanah, intensitas curah hujan, kondisi sosial budaya, struktur pemilikan
lahan adat dan lain-lain tidak digunakan secara tepat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupatenkecamatan. Kondisi ini menuntut perlunya dilakukan revisi
terhadap rencana tata ruang wilayah, baik pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupatenkota.
Revisi terhadap rencana tata ruang wilayah Provinsi Sulawesi Selatan hendaknya dilakukan berdasarkan pendekatan ekosistem yaitu ekosistem Daerah Aliran Sungai
DAS untuk daerah daratan dan pegunungan terrestrial dan ekosistem wilayah pesisir dan pantai WPP untuk wilayah bawah. Sementara itu kebijakan tata ruang
kabupatenkota disusun mengacu pada tata ruang provinsi yang didasarkan pada pendekatan ekosistem-ekosistem utamalintas kabupaten. Dengan menggunakan
pendekatan ini, RTRW yang dihasilkan diharapkan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan khususnya kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup.
Dengan kondisi yang ada saat ini, revisi terhadap rencana tata ruang wilayah RTRW dapat menimbulkan permasalahan baru terutama apabila sebagian ruang telah
dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang kurang sesuai dengan prinsip dasar revisi RTRW. Sebagai contoh, pada beberapa kawasan non budidaya pertanian telah
dimanfaatkan untuk budidaya kakao. Apabila secara teknis dan ekologis pemanfaatan ruang tersebut masih layak dipertahankan maka perlu adanya perbaikan sistem budidaya
kearah budidaya konservasi yang berwawasan lingkungan. Perbaikan sistem budidaya ini merupakan salah satu alternatif aplikasi atau penerapan internalisasi biaya eksternalitas,
sehingga dapat memperkecil atau menghilangkan biaya lingkungan yang diperlakukan sebagai biaya eksternalitas.
Namun apabila secara teknis dan ekologis pemanfaatan ruang kawasan non- budidaya pertanian tersebut tidak layak untuk dipertahankan, maka perlu upaya untuk
mengembalikan pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW hasil revisi agar tidak melanggar peraturan. Sebagai contoh, adanya perkebunan kakao di kawasan DAS yang
seharusnya menjadi kawasan lindung, maka perlu dilakukan penyesuaian atau perbaikan dengan mengembalikannya menjadi kawasan hutan lindung. Mekanisme pengembalian
kawasan tersebut dapat dilakukan secara bertahap dengan cara penyisipan tanaman kehutanan dan mengurangi tanaman kakao hingga pada akhirnya terbentuk kawasan
hutan lindung sesuai dengan RTRW. Langkah ini perlu ditempuh untuk menjaga keberlanjutan pembangunan dan menghindari dampak kerusakan lingkungan, sehingga
sasaran pembangunan untuk mensejahterakan seluruh masyarakat dapat terwujud.
VI. PERAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL
Pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan biofisik, terutama pada tahap awal
pengembangannya dan pada saat kondisi kebun kakao rusak karena tidak terawat. Nilai kerusakan lingkungan yang teridentifikasi dan masih diperlakukan sebagai
biaya eksternalitas relatif besar yaitu lebih dari 10 nilai output sektor ekonomi kakao. Oleh karena itu dalam rangka melaksanakan pembangunan perkebunan kakao
yang berkelanjutan, berbagai biaya eksternalitas tersebut perlu diinternalisasikan dalam proses produksi sehingga peran sektor ekonomi kakao yang diperhitungkan
tidak bersifat semu dan dampak negatif pengembangan areal perkebunan kakao dapat diminimalisir.
Internalisasi biaya eksternalitas dapat dilakukan dengan penerapan teknologi budidaya konservasi seperti pembuatan teras sehingga dapat memperbaiki tata air,
mengurangi laju erosi dan kehilangan unsur hara. Penerapan teknologi konservasi memang membutuhkan biaya yang lebih besar dari pada sistem budidaya tradisional,
tetapi teknologi konservasi akan memberikan manfaat yang cukup besar terutama dalam mendukung terlaksananya siklus hara secara baik dan penyediaanresapan air
yang lebih baik, sehingga kesuburan tanah tetap terpelihara dan produktif dalam jangka panjang.
Petani kakao di Sulawesi Selatan umumnya tidak menerapkan teknologi budidaya konservasi dan hanya memberikan masukaninput pupuk yang relatif
rendah, sehingga produktivitas perkebunan kakao hanya sekitar 40-50 produktivitas potensialnya Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004.
Meskipun demikian, usahatani kakao di daerah ini masih tetap menguntungkan dan peran sektor ekonomi kakao semakin nyata. Berikut ini akan diuraikan secara singkat
perkembangan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.