52
2.5.3 Sistem Pengolahan Dialog
Sistem Pengolahan Dialog memfasilitasi interface antara pengguna dengan SPK. Fungsi utamanya adalah menerima input dan memberikan output yang
dikehendaki pengguna. Input dari pengguna ditransformasikan menjadi bahasa yang dapat dibaca oleh oleh Sistem Manajemen Basis Data SMBD dan Sistem
Manajemen Basis Model SMBM dan selanjutnya output dari SMBD dan SMBM diterjemahkan ke dalam bentuk informasi yang dapat dimengerti oleh pengguna
seperti: tabel, penyajian grafis dan lain sebagainya.
2.5.4 Sistem Pengolahan Problematik
Subsistem ini berfungsi sebagai koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Subsistem ini menerima input dari ketiga subsistem
lainnya dalam bentuk baku, dan menyerahkan output ke subsistem yang dikehendaki dalam bentuk baku juga. Fungsi utamanya ad alah adalah sebagai
penyangga untuk menjamin adanya keterkaitan antar sistem. Subsistem ini sering pula disebut sebagai subsistem pengolahan terpusat.
2.6 Penelitian Terdahulu
Pada tahun 2001, Departemen Perindustrian dan Perdagangan Depperindag telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk merumuskan
pilihan-pilihan restrukturisasi di b idang teknis, kebijakan dan kelembagaan, rekomendasi dan strategi, dalam rangka mentransformasikan keunggulan
komparatif beberapa kelompok agroindustri menjadi kenggulan kompetitif di pasar domestik dan pasar global Dep perindag 2001. Penelitian dilakukan
terhadap tujuh kelompok agroindustri, yang berdasarkan penelitian pendahuluan berpotensi untuk dikembangkan menjadi klaster agroindustri yang kompetitif.
Kelompok agroindustri yang dipilih adalah : minyak kelapa sawit, pengalengan ikan, pengolahan karet, pengolahan kayu, pengolahan tembakau, pengolahan
coklat dan pengolahan buah. Pendekatan yang dipilih untuk penelitian ini adalah pendekatan klaster industri dengan alat analisa menggunakan Porter’s Diamond
dan “Determinants of national advantage” nya. Penelitian difokuskan pada pemetaan, penggolongan dan analisa yang mendalam terhadap kelompok
53 agroindustri yang yang menjadi obyek penelitian yang mencakup : industri inti,
industri pendukung hulu maupun hilir, industri terkait dan pemasok. Langkah -langkah penelitian yang dilakukan adalah: 1 Studi pustaka
mengenai model-model klaster yang telah berhasil di beberapa negara, 2 Mengadopsi model klaster Porter dengan penyesuaian yang diperlukan, 3
Melakukan pertemuan dengan berbagai pihak terkait untuk melakukan appraisal mengenai kelompok agroindustri yang sedang dikaji, 4 Wawancara dan survei
lapangan, termasuk penggunaan kuesioner, 5 Dialog konsultasi dengan para stakeholder mengenai pengaruh -pengaruh internal dan eksternal dan penyusunan
analisa SWOT, 6 Melakukan penilaian dan analis a mengenai teknologi, rantai nilai, iklim dan lingkungan bisnis, daya saing, dan kebijakan, 7 Melakukan
analisa kuantitatif mengenai daya saing global dan keuntungan rantai nilai. Metode yang digunakan untuk mengukur indikator kuantitatif dalam
pendekatan klaster ini adalah: 1 Analisa rantai nilai tambah value added chain analysis dan analisa profitabilitas net profitability analysis, 2 Analisa global
competitive advantage dengan menggunakan price competitiveness analysis dan cost competitiveness analysis.
Penelitian ini mengidentifikasi potensi pembentukan klaster ag roindustri dengan industri inti: pengolahan minyak kelapa sawit, pengolahan dan
pengalengan ikan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, industri berbasis tembakau, industri pengalahan cokelat cocoa dan industri minuman berasal dari
buah di daerah sebagaimana dalam Tabel 2.2. Tab el 2.2 Klaster Agroindustri dan Lokasi Geografis
Klaster Lokasi
1 Industri Pengolahan Minyak Kelapa Sawit
Sumatera bagian Utara Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi
2 Industri Pengolahan dan Pengalengan Ikan
Indonesia bagian Timur Sulawesi, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan Bali
3 Industri Pengolahan Berbasis Karet
Sumater Selatan sebagai pusat, Sumatera dan Kalimantan 4 Industri Pengolahan Berbasis
Kayu Kalimantan bahan baku dan pengolahan dan Jawa
Tengah pengolahan 5 Industri Pengolahan Berbasis
Tembakau Jawa Timur dan Nusa Tenggara
6 Industri Pengolahan Cacao Sulawesi Selatan
7 Industri Jus Buah-buahan Jawa Barat, Jawa Tengah
Sumber : Depprindag 2001
54 Pertimbangan ataupun kriteria yang digunakan dalam penyusunan opsi-opsi
strategi dan usulan restrukturisasi kelompok agroindustri tersebut di atas adalah : 1 Kontribusi terhadap pembangunan sosial ekonomi nasional, 2 Kontribusi dan
pemberdayaan daerah, 3 Dampak sosial dan kesejahteraan, 4 Sinergi antara industri inti, industri pendukung dan industri terkait, 5 Kebutuhan dan akses
kepada teknologi pertanian dan agroindustri, serta kesempatan untuk meningkatkan nilai tambah, 6 Liberalisasi perdagangan dan investasi yang lebih
luas, 7 Meningkatkan kualitas produk, 8 Meningkatkan penetrasi pasar, 9 Peningkatan kemampuan market intelligence dan promosi, 10 Pen capaian skala
ekonomi dari perusahaan -perusahaan yang termasuk dalam klaster, 11 Memperbaiki iklim berusaha dan insentif untuk berusaha, 12 Mengembangkan
sumber daya manusia, 13 Menjaga kelestarian lingkungan Depperindag 2001. Dari rekomendasi yan g dihasilkan oleh penelitian ini, terlihat bahwa
cakupan geografis untuk suatu klaster yang direkomendasikan meliputi wilayah antar propinsi, dan bahkan ada wilayah yang antar pulau. Dalam era otonomi
daerah sekarang ini, dapat diantisipasi bahwa kordinasi yang dibutuhkan untuk pengembangan klaster jenis ini tidak akan terlalu mudah dan akan banyak
mengalami kendala. Akan lebih baik apabila dapat dilakukan pengembangan klaster yang cakupan geografisnya berada dalam suatu daerah administrasi,
misalnya kecamatan dan atau kabupaten. Pada awal tahun 2006 Departemen Perindustrian melakukan penelitian
mengenai pengembangan industri kecil dan menengah furniture Depperin 2006. Studi tersebut melakukan diagnosa, kajian rantai nilai dan kompetensi inti industri
furn iture dan merumuskan pola pengembangan industri funiture dengan pendekatan klaster.
Sebelum penelitian tersebut di atas, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor 2000 telah pula melakukan penelitian mengenai industri rotan di Cirebon.
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1 Melakukan diagnosa terhadap industri rotan, 2 Mengkaji rantai nilai industri rotan, 3 Perumusan strategi pengembangan
klaster industri rotan di Cirebon, 4 Melakukan identifikasi langkah -langkah yang diperlukan serta tindakan yang diperlukan, 5 Merancang model kelembagaan
yang mendukung klaster, 6 Merumuskan model klaster industri rotan di Cirebon.
55 Rekomendasi sebagai hasil dari penelitian ini adalah: 1 Untuk peningkatan daya
saing dan kemandirian industri rotan, diperlu kan pendekatan klaster industri rotan, 2 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi pengembangan
klaster dengan memberikan fasilitas untuk meningkatkan daya saing, 3 Perlu dilakukan kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam rangka pemenuhan
kebutuhan bahan baku, 4 Anggota klaster perlu membina kerjasama sesama anggota klaster untuk peningkatan produktiv itas dan pemasaran, 5 Anggota
klaster perlu bekerjasama dengan pemeritah, perguruan tinggi dan lembaga lainnya untuk meningkatkan kemampuan berusaha dan penyediaan infrastruktur
yang diperlukan. UNIDO juga telah melakukan beberapa studi diagnostik di Indonesia
mengenai klaster industri beberapa jenis agroindustri seperti: kulit, rotan, kopi, bawang goreng UNIDO 1998a, 1998b, 1998c, 1998d. Studi-studi ini baru pada
tahapan diagnostik dan belum membahas masalah -masalah strategi. Di samping itu terdapat pula beberapa penelitian lainnya dari beberapa peneliti asing, seperti:
Burger et al. 2001; Sandee dan Rietveld 2001; Weyland 1999 dan peneliti Indonesia, seperti: Kuncoro 2002, yang membahas mengenai klaster industri di
Indonesia dari berbagai aspek, tetapi tidak dari aspek strategi pengembangannya. Hartmann 2002 melakukan penelitian mengenai klaster industri dan
strategi peng embangannya diberbagai daerah di negara-negara di Eropa. Salah satunya adalah penelitian di wilayah Styria yang merupakan salah satu pusat
industri di Austria. Styria merupakan salah satu wilayah yang pada saat ini oleh Pemerintah Austria maupun dunia internasional dianggap berhasil dalam
membangun klaster industri. Keberhasilan ini merupakan fenomena yang baru belakangan ini dicapai oleh daerah tersebut.
Dalam tahun delapan puluhan, Styria merupakan daerah industri yang sedang mengalami kemunduran yang parah dengan tingkat pengangguran yang
lebih tinggi dari rata-rata nasional. Pendekatan klaster telah memberi perspektif baru kepada pemimpin -pemimpin ekonomi dan politik daerah tersebut, sehingga
memberikan kontribusi terhadap munculnya filosofi baru tentang pembangunan daerah. Pendekatan klaster telah mempengaruhi strategi pengembangan ekonomi
yang ditetapkan oleh para pengambil kebijakan, dimana kebijkan-kebijakan
56 sekarang lebih difokuskan pada kolaborasi antara perusahaan dan institusi-
institusi yang terkait. Menurut Hartmann 2002, pada saat ini di dalam perekonomian Styria
terdapat 5 klaster industri yang sangat berperan. Kelima klaster ini diidentifikasi melalui analisa terhadap data sekunder dan survei terhadap perusahaan -
perusahaan dengan fokus pada perilaku inovatif dan kolaborasi perusahaan - perusahaan tersebut. Salah satu dari klaster tersebut adalah klaster agroindustri
kayu dan kertas. Sedang empat klaster lainnya adalah klaster industri kend araan bermotor, klaster industri kimia dan farmasi, klaster industri logam dan mesin,
dan klaster industri teknologi informasi. Mulai tahun 1990-an telah berkembang filosofi baru kebijakan ekonomi di
daerah ini yang timbul dari pengalaman menghadapi krisis yang dialami. Kebijakan ekonomi yang baru memiliki tiga perspektif baru: 1 Perspektif yang
pertama adalah digunakannya “pendekatan lunak” sebagai ganti dari kebijakan cara lama. Yang dimaksud dengan pendekatan lunak adalah pemberian dukungan
yang immaterial barang tidak berwujud sebagai ganti dari dukungan yang berupa modal. Kebijakan perekonomian daerah difokuskan kepada dukungan
proaktif untuk melakukan kolaborasi, merangsang perilaku inovatif, alih teknologi dan pengetahuan serta penyediaan jasa konsultasi kepada perusahaan-perusahaan.
Selanjutnya program-program akan ditujukan kepada jaringan perusahaan dan bukan kepada perusahaan sendiri-sendiri. 2 Perspektif kedua diarahkan kepada
potensi ekonomi yang endogenous. Kalau dimasa lalu perhatian dipusatkan kepada upaya menarik investasi asing, sekarang yang menjadi tujuan dari
kebijakan adalah meningkatkan potensi dari perusahaan -perusahaan di daerah dan elemen dari infrastruktur daerah yang berhubungan dengan inovasi. Dari
perubahan orientasi ini, maka timbul permintaan untuk informasi mengenai keunggulan daerah tersebut. 3 Perspektif ketiga adalah mengenai konsepsi
kebijakan ekonomi itu sendiri. Dimasa lalu, penetapan kebijakan merupakan proses top-down yang dilakukan oleh Pemerintah, sedang pelaku ekonomi lain
semata-mata berperan sebagai pihak yan g meminta bantuan. Dalam kebijakan baru, implementasi kebijakan dilakukan oleh suatu organisasi yang ramping dan
57 fleksibel, dan bukan lagi oleh oleh badan –badan Pemerintah yang cenderung
lamban dalam bergerak. Perspektif baru ini membuka jalan bagi timbulnya suatu pengertian yang
baru tentang kebijakan ekonomi daerah. Hal ini juga mengakibatkan perubahan yang besar pada kerangka organisasi untuk penentuan kebijakan perekonomian
daerah yang memungkinkan dikeluarkannya instrumen -instrumen kebijakan yang baru. Selanjutnya akan tercipta landasan bagi pengembangan pendekatan klater
industri dalam pembangunan ekonomi daerah Styria. Klaster industri kayu dan kertas di Styria berawal pada tahun 1994, ketika
suatu penelitian yang dilakukan di daerah itu mengidentifikasi suatu klaster kayu dan kertas yang memiliki potensi untuh bertumbuh yang terdiri dari industri
pengolahan kayu dan industri pembuatan kertas. Pemerintah Daerah Styria memutuskan untuk memfokuskan kebijakannya pada industri pengolahan kayu,
karena industri ini telah memiliki asosiasi bisnis yang kuat yang dapat digunakan sebagai landasan untuk melakukan manajemen bagi klaster tersebut. Pada tahun
1997 Pemerintah setempat telah memutuskan untuk melakukan proses pengembangan klaster kayu tersebut.
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengembangan klaster ini adalah sebagai berikut :
1 Tahap pertama: menyusun suatu strategi klaster yang terperinci. Pelaksanaan penyusunan strategi ini cukup sulit untuk dilaksanakan
karena sektor pengolahan kayu ternyata sangat heterogen, dimana klaster ini terdiri dari perusahaan yang sangat terpisah -pisah lokasinya dan
sangat berbeda produknya. Dialami kesulitan untuk merumuskan masalah yang dapat diangkat menjadi masalah bersama, di samping
budaya kolaborasi serta saling percaya yang belum tumbuh sehingga perusahaan dalam kelompok ini masih bergerak sendiri-sendiri.
2 Tahapan kedua: memeriksa kesediaan melakukan kolaborasi di dalam klaster industri. Tujuan tahapan ini adalah untuk memeriksa kesediaan
perusahaan-perusahaan berkolaborasi dan pengembangan kerangka organisasi untuk melakukan pengelolaan terhadap pengembangan klaster.
Disepakati untuk menyusun kegiatan pengembangan klaster dalam 5
58 bidang strategis berikut ini: 1 Teknologi informasi, 2 Program
penelitian dan pengembangan, 3 Kolaborasi antar perusahaan yang memproduksi kayu lembaran, 4 Implementasi pilot project diketiga
bidang yang disebut di atas, 5 Pemasaran dan menumbuhkan kesadaran berklaster.
3 Tahap ketiga: merumuskan proyek inti untuk pengembangan klaster. Tahap ini bertujuan untuk menyiapkan rencana pengembangan yang
terinci yang dapat diimplementasikan segera. 4 Tahap keempat: pengembangan klaster melalui asosiasi bisnis. Pada
tahap ini Pemerintah tidak lagi mendanai kegiatan pengembangan klaster ini karena diharapkan sudah dapat mandiri. Tanggung jawab
pengembangan klaster diserahkan pada badan usaha yang dibentuk untuk itu, yang kepemilikannya adalah Pemerintah dan asosiasi bisnis.
5 Untuk pengembangan dimasa-masa yang akan datang, maka manajemen klaster telah menetapkan 5 langkah kunci strategis : 1 Pengembangan
jaringan network dan manjemen serta pelaksanaan proyek kerjasama, 2 Pengembangan sumber daya pada tingkatan perusahaan dan antar
perusahaan, 3 Jasa konsultasi klaster: benchmarking dan ekspor, 4 Penelitian dan pengembangan, 5 Pemasaran dan lobbying untuk
anggota klaster. Dari tahapan kegiatan pengembangan yang dilakukan, ditemui banyak
kesulitan dalam pengembangan klaster kertas dan kayu ini. Hal ini disebabkan karena struktur industri pengolahan kayu ini sangat ter-fragmentasi sehingga jauh
dari struktur klaster menurut teori diamond dari Porter. Klaster ini terdiri dari jaringan terbatas perusahaan yang umumnya berskala kecil dan mikro yang
memproduksi barang berdasarkan pesanan dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan flexible industrial production . Di samping itu, klaster ini kurang
memiliki produk akhir yang kompetitif dan bernilai tinggi. Sebagaian besar perusahaan -perusahaan belum berpengalaman berkolaborasi dalam jaringan yang
besar, sehingga pada awalnya sulit untuk bekerjasama dalam menghadapi masalah bersama yang dihadapi perusahaan-perusahaan di daerah itu. Dari hal ini dapat
59 disimpulkan bahwa upaya pengembangan klaster harus memperhatikan budaya
dari perusahaan di dalam klaster dan mengambil langkah -langkah yang disesuaikan untuk itu. Pada Tabel 2.3 di bawah ini disajikan ringkasan penelitian
terdahulu. Tabel 2.3 Ringkasan Penelitian Klaster Industri Terdahulu
Peneliti Tujuan Penelitian
Metode Penelitian Hasil Penelitian
1. Depperindag 2001
- Merumuskan restrukturisasi
agroindustri - Merumuskan
intervensi Pemerintah
- Survei lapangan - Workshop
- Porter’s diamond - Rantai Nilai
- Model klaster agroindustri
- Usulan reformasi kebijakan
2. LP – IPB 2000
- Diagnosa industri rotan
- Merumus kan strategi
pengembangan - Merancang model
kelembagaan - Survei lapangan
- Rantai nilai - Revealed
Comparative Advantage RCA
- Kompetensi Inti - Alternatif strategi
pengembangan - Model
kelembagaan
3. Hartmann 2002
- Merancang strategi pengembangan
klaster kayu - Survei lapangan
- Merumuskan langkah kunci
strategi 4. UNIDO
1998a,1998b 1998c,1998d
- Diagnosa agroindustri kulit,
rotan, kopi dan bawang goreng
- Survei lapangan - Workshop
- Identifikasi permasalahan
agroindustri 5. Sandee dan
Rietveld 2001
- Inovasi pada klaster genteng
- Survei lapangan - Clustering dapat
meningkatkan penyerapan
teknologi 6. Burger et al.
2001 - Pengaruh pasar
pada interaksi anggota klaster
klaster furnitur dan gula kelapa
- Survei lapangan - Pasar ekspor
sangat mempengaruhi
kerjasama dalam klaster
7. Weijland 1999
- Mempelajari peranan
microcluster dalam perkembangan
industri - Survei lapangan
- Microcluster berperan cukup
penting dalam perkembangan
industri
8. Depperin 2006
- Melakukan diagnosa klaster
furnitur - Melakukan kajian
rantai nilai dan pola pengembangan
dengan pendekatan klaster
- Survei lapangan - Diperlukan
penguatan kelembagaan
sebagai forum komunikasi dan
pemberdayaan sumber daya
produksi
III. LANDASAN TEORI
3.1 Multi Sectoral Qualitative Analysis
Teknik Multi Sectoral Qualitative Analysis MSQA yang
dikembangkan oleh Roberts dan Stimson 1998 digunakan untuk mengevaluasi daya saing dan potensi suatu daerah untuk berbagai sektor
industri. Teknik ini membantu mengidentifikasi kompetensi inti suatu daerah yang mendukung sektor industri yang ada di daerah tersebut, peluang-peluang
ekonomi, peluang-peluang pasar dan risiko -risiko ekonomi yang dihadapi. Dari analisa ini dapat diperoleh dua macam indeks, yaitu indeks kompetensi
inti daerah untuk setiap sektor industri dan indeks kriteria kompetensi inti daerah.
Dengan metod e MSQA ini, dapat dilakukan pengamatan atas hubungan - hubungan antara variabel-variabel ekonomi yang dipilih kriteria antara
berbagai kegiatan sektor industri yang ditetapkan. Hubungan ini dapat dinyatakan secara deskriptif atau dengan skor numerik dalam suatu matriks
sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.1. Tabel 3.1 Matriks Model Multi Sectoral Qualitative Analysis MSQA
Sektor Industri Kriteria Evaluasi
A B
C Jumlah
X 1
1 Y
1 3
4 Z
2 2
Jumlah 1
4 2
Sumber : Robert dan Stimson 1998
Skor akan dijumlahkan secara vertikal maupun secara horizontal, dan akan dapat menghasilkan indeks kompetensi inti daerah untuk masing-masing
sektor industri yang dievaluasi dan indeks kriteria kompetensi inti daerah untuk masing-masing kriteria. Untuk penggunaan metode MSQA ini, maka
Roberts dan Stimson 1998 menggunakan 34 kriteria kompetensi inti, yang terbagi atas 8 kelompok, yaitu: kekuatan ekonomi domestik, orientasi
perdagangan, teknologi dan pengembangan, pengembangan sumber daya