Data Biofisik Data Pemanfaatan Lahan Data Demografi, Infrastruktur, Budaya, dan Kelembagaan IMPLIKASI KEBIJAKAN

44 Tabel 2 Kebutuhan data penelitian NO KATEGORI JENIS DATA SUMBER KET

1. Data Biofisik

a Fisika, kimia, oseangografi Kedalaman perairan, kecerahan, kecepatan arus, suhu perairan, salinitas, pH, DO, phosphat, nitrat, tembaga, ammonia, sulfida, pasut, gelombang, dan material dasar perairan. Ground check insitu di lokasi penelitian Data Primer hasil sampling pada 7 stasiun pengamatan b Ekosistem dan sumberdaya Mangrove, terumbu karang, lamun, ikan, kerang, dan biota laut lainnya Ground check insitu di lokasi penelitian Data Primer dan Data Sekunder

2. Data Pemanfaatan Lahan

a Pemanfaatan lahan darat pemukiman, pemerintahan, industri, dan pariwisata Instansi terkait Data Sekunder b Pemanfaatan lahan perairan pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri perikanan, dan pariwisata Instansi terkait Data Sekunder

3. Data Demografi, Infrastruktur, Budaya, dan Kelembagaan

a Demografi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, dan mata pencarian BPS Kab. Malra Kota Tual Data Sekunder b Infrastruktur sarana dan prasarana umum, pemukiman, pemerintahan, perekonomian, dan transportasi Bappeda Kab. Malra Kota Tual Data Sekunder c Sosial Budaya budaya lokal, pranata sosial, dan kearifan lokal masyarakat. Instansi terkait, lembaga adat Data Sekunder

4. Data Pendukung

a Citra Satelit Citra Landsat 7 ETM+ P.106R.064 liputan terakhir BTIC LAPAN Data Sekunder b Peta Peta Rupa Bumi RBI, Peta Lingkungan Pantai LPI, Peta Wilayah Administratif. Bakosurtanal, Dishidros TNI- AL, Bappeda Kota Tual Data Sekunder c Buku Laporan RTRW, RPJMD, Renstra, Administrasi dan Pemerintahan, Kebijakan Pembangunan Sektoral dan data lainnya yang terkait Bappeda, BPS, Instansi Terkait di Kab. Malra Kota Tual Data Sekunder 45 Gambar 5 Peta stasiun pengamatan 46 Pemodelan dinamik dilakukan dengan cara simulasi terhadap beberapa skenario pengelolaan dengan menggunakan perangkat lunak STELLA Version 9.0.2 sebagai alat bantu analisis. Dari hasil simulasi skenario pengelolaan ini kemudian dibuat implikasi kebijakan dari skenario pengelolaan yang dianggap paling optimal untuk diterapkan. Diagram alir tahapan analisis data seperti ditunjukan pada Gambar 6.

3.4.1 Analisis Kesesuaian Lahan

Dalam dimensi ekologis, penempatan setiap kegiatan pembangunan haruslah bersesuaian dengan ciri biologi-fisik-kimianya sehingga terbentuk suatu kesatuan yang harmonis dalam arti saling mendukung satu sama lainnya. Untuk mencapai hal tersebut maka dibutuhkan analisis kesesuaian lahan. Analisis kesesuaian lahan yang dilakukan adalah untuk minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi dengan kategori aktivitas sebagai berikut: a minawisata bahari pancing; b minawisata bahari pengumpulan kerang moluska; c minawisata bahari karamba pembesaran ikan; d minawisata bahari selam; dan e minawisata bahari mangrove. Semua kategori minawisata bahari ini memanfaatkan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut yang terkait sebagai objek. Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang akan dilakukan yaitu 1 penyusunan peta kawasan; 2 penyusunan matriks kesesuaian setiap kegiatan yang akan dilakukan; 3 pembobotan dan pengharkatan; dan 4 melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian dari setiap kegiatan yang akan dilakukan. 1. Penyusunan Peta Kawasan Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan kedalam satu kategori dan dapat diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominasinya. Penyusunan peta kawasan Pulau Dullah dilakukan dengan cara tumpang susun berbagai peta yang didapat dari berbagai sumber. 47 Gambar 6 Diagram alir tahapan analisis data. Sistem Pulau-Pulau Kecil Pulau Dullah MULAI Analisis Kesesuaian Lahan Geographic Information System Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Bahari T A H A P I INPUT OUTPUT PROSES INPUT Peta Kesesuaian Lahan Analisis Skala Prioritas Pemanfaatan Ruang dan Daya Dukun g Lingkungan PROSES Alokasi Ruang OUTPUT Kesesuaian Lahan Daya Dukung Lingkungan Valuasi Ekonomi Manfaat-Biaya INPUT Skenario Pengelolaan dan Simulasi Skenario Dynamic Model Model Pengelolaan Optimal dan Implikasi Kebijakan SELESAI PROSES OUTPUT T A H A P II T A H A P III 48 Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis SIG, yaitu melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip- prinsip pemanfaatan kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui: a Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan pembangunan dan kawasan mana saja yang dijadikan sebagai kawasan lindung. b Kegiatan penggunaan kawasan apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak diperbolehkan. c Konflik pemanfaatan ruang yang terjadi antara lain kesesuaian kawasan dengan peruntukannya dan penggunaan lahan dengan peruntukannya. d Hasil penyusunan peta kawasan yang telah sesuai dengan peruntukannya dapat saja berbeda dengan penggunaan kawasan pada saat sekarang. 2. Penyusunan Matriks Kesesuaian Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari dengan berbagai kategori aktivitas seperti tersebut diatas, didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan untuk setiap aktivitas. Kriteria ini dibuat berdasarkan parameter biofisik yang cocok untuk masing-masing aktivitas. Matriks kesesuaian lahan dibuat berdasarkan justifikasi ilmiah hasil studi pustaka dan informasi dari pakar yang ahli dalam bidangnya. Matriks ini sangat penting karena dari matriks tersebut akan dapat diketahui parameter yang digunakan dan kisaran yang diperbolehkan. Dalam penelitian ini kesesuaian lahan dibagi kedalam 3 kelas: 1 Kelas S sesuai, yaitu lahan yang tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas lahan serta tidak akan menambah masukan input dari pengusahaan lahan tersebut. 2 Kelas SB sesuai bersyarat, yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang cukup berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari akan tetapi masih memungkinkan untuk diatasidiperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai jika dilakukan perbaikan dengan tingkat introduksi teknologi yang lebih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya rasional. 49 3 Kelas TS tidak sesuai, yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat secara permanen untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, pembatas tersebut akan menghambat produktivitas lahan serta dapat meningkatkan masukan input dari pengusahaan lahan tersebut, sehingga lahan tersebut tidak layak untuk diusahakan. Matriks kesesuaian lahan yang digunakan adalah sebagaimana yang ditunjukan pada Tabel 3 sampai 7. 3. Pembobotan Weighting, dan Pengharkatan Scoring Pembobotan weighting pada setiap parameter faktor pembatas ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan, besarnya pembobotan ditunjukkan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi lahan. Pemberian nilai scoring ditujukan untuk menilai beberapa parameter faktor pembatas terhadap satu evaluasi kesesuaian. 4. Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan terhadap 5 jenis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari dengan kategori aktivitas sebagai berikut: 1 minawisata bahari pancing, 2 minawisata bahari karamba pembesaran ikan, 3 minawisata bahari pengumpulan kerang, 4 minawisata bahari selam, dan 5 minawisata bahari mangrove. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana menghasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian lahan. Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun overlay terhadap parameter yang berbentuk poligon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan union masing-masing layers untuk tiap jenis kesesuaian lahan. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai indeks kesesuaian overlay indeks dari masing- masing jenis kesesuaian lahan tersebut. Pengolahan data Sistem Informasi Geografis ini dilakukan dengan menggunakan Arch-Info GIS Version 3.4.2 dan Arch-View GIS Version 3.3. 50 Tabel 3 Matriks kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing NO PARAMETER SUMBER BOBOT KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S SKOR SB SKOR TS SKOR 1. Kelompok jenis ikan Madduppa, 2009. 5 Ikan Target, Ikan Indikator, Ikan Mayor 3 Ikan Target, Ikan Indikator, 2 Ikan Mayor 1 2. Kecepatan arus cmdet Polanunu, 1998. 5 20 3 20 - 100 2 100 1 3. Tinggi gelombang cm Sugiarti, 2000. 5 50 3 50 - 100 2 100 1 4. Kecerahan perairan m Sugiarti, 2000. 3 8 3 8 - 10 2 10 1 5. Suhu perairan o Nybakken, 1988. Mulyanto, 1992. C 1 25 – 30 3 30 - 32 2 25 32 1 6. Salinitas o oo Nontji, 2003. Romimohtarto dan Juwana, 1999. 1 20 - 32 3 32 - 36 2 20 36 1 7. Kedalaman perairan m Sugiarti, 2000. 1 10 3 10 - 15 2 15 1 8. Jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya m Bengen, 2008. 1 500 3 300 - 500 2 300 1 Nilai maksimum Bobot X Skor = 78 Nilai minimum Bobot X Skor = 26 Selang Kelas = 3 Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian IK : MB = N maks - N min IK SK MB N = Indeks Kesesuaian Minawisata Bahari maks N = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari min SK = Selang Kelas = Nilai minimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari IK MB = 17.33 Evaluasi Kelayakan 60.67 – 78.00 : Sesuai : 43.34 – 60.66 : Sesuai Bersyarat 26.00 – 43.33 : Tidak Sesuai 51 Tabel 4 Matriks kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan kerang moluska NO PARAMETER SUMBER BOBOT KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S SKOR SB SKOR TS SKOR 1 Jenis moluska Peneliti, 2009. 5 3 2 1 2 Kelimpahan indm 2 Peneliti, 2009. 5 2 3 1 - 2 2 1 1 3 Lebar dataran pasut m Renjaan 2006 dalam DPK 2006a. Bengen, 2008. 5 100 3 10 - 100 2 10 1 4 Tipe substrat pantai Latale, 2003. Natan, 2008. 3 Pasir berlumpur, Pasir halus 3 Pasir sedang, Pasir kasar, Karang berpasir 2 Batu, Karang 1 5 Kemiringan pantai Peneliti 3 Landai 3 Curam 2 Terjal 1 6 Suhu perairan o Razak, 2002. C 1 25 - 28 3 28 - 30 2 25 30 1 7 Salinitas o oo Setiobudiandi, 1995. 1 29 - 34 3 34 - 36 2 29 36 1 Anadara sp, Tridacna sp, Hippopus sp, Haliotis sp, Tripneustes sp, Littorina sp, Cerithium sp, Chlamys sp, Lioconcha sp Phenacovolva sp, Strombus sp, Lambis sp, Guilfordia sp, Clanculus sp, Tectus sp, Cypraea sp, Donax sp, Euspira sp, Siliquaria, sp Spesies moluska lainnya. Nilai maksimum Bobot X Skor = 69 Nilai minimum Bobot X Skor = 23 Selang Kelas = 3 Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian IK : MB = N maks - N min IK SK MB N = Indeks Kesesuaian Minawisata Bahari maks N = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari min SK = Selang Kelas = Nilai minimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari IK MB = 15.33 Evaluasi Kelayakan 53.67 – 69.00 : Sesuai : 38.34 – 53.66 : Sesuai Bersyarat 23.00 – 38.33 : Tidak Sesuai 52 Tabel 5 Matriks kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan NO PARAMETER SUMBER BOBOT KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S SKOR SB SKOR TS SKOR 1 Kecepatan arus mdet DKP-RI, 2002. 5 0,75 3 0,76 - 1,0 2 1,0 1 2 Tinggi gelombang m DKP-RI, 2002. 5 0,5 3 0,5 – 1,0 2 1,0 1 3 Kedalaman air dari dasar jaring m DKP-RI, 2002. 5 4,0 – 7,0 3 7,1 – 10,0 2 4,0 10,0 1 4 Suhu perairan o Nybakken, 1988. Mulyanto, 1992. LP Undana, 2006. C 3 29 - 30 3 26 - 29 2 26 30 1 5 Salinitas o oo Nontji, 2003. Romimohtarto dan Juwana, 1999. LP Undana, 2006. 3 25 - 30 3 30 - 33 2 25 33 1 6 Oksigen terlarut mgl LP Undana, 2006. 3 6 3 3 – 6 2 3 1 7 pH perairan LP Undana, 2006. 3 6,6 – 8,0 3 6,0 – 6,5 2 6,0 8,0 1 8 Nitrat mgl Tiensongrusmee et al , 1986. 1 0,1 3 0,1 – 0,9 2 0,9 1 9 Phospat mgl Tiensongrusmee et al , 1986. 1 0,1 3 0,1 – 0,9 2 0,9 1 10 Jarak dari alur - pelayaran dan kawasan lainnya m Bengen, 2008. 1 500 3 300 - 500 2 300 1 Nilai maksimum Bobot X Skor = 90 Nilai minimum Bobot X Skor = 30 Selang Kelas = 3 Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian IK : MB = N maks - N min IK SK MB N = Indeks Kesesuaian Minawisata Bahari maks N = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari min SK = Selang Kelas = Nilai minimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari IK MB = 20 Evaluasi Kelayakan 71 – 90 : Sesuai : 51 – 70 : Sesuai Bersyarat 30 – 50 : Tidak Sesuai 53 Tabel 6 Matriks kesesuaian lahan untuk minawisata bahari selam NO PARAMETER SUMBER BOBOT KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S SKOR SB SKOR TS SKOR 1 Jenis ikan karang sp Yulianda, 2007. 5 75 3 20 - 75 2 20 1 2 Kecerahan perairan Yulianda, 2007. Suharsono dan Yosephine, 1994. 5 65 3 20 - 65 2 20 1 3 Tutupan komunitas karang Yulianda, 2007. Gomes dan Yap, 1998. 3 65 3 25 - 65 2 25 Atau tdk ada karang 1 4 Jenis life-form sp Yulianda, 2007. 3 10 3 4 - 10 2 4 Atau tdk ada karang 1 5 Suhu perairan o Nybakken, 1988. Mulyanto, 1992. Hubbard, 1990. Tamrin, 2006. C 3 23 - 25 3 26 - 36 2 23 36 1 6 Salinitas o oo Nontji, 2003. Kinsman, 2004. 3 30 - 36 3 28 - 30 2 28 36 1 7 Kedalaman ter. karang m Yulianda, 2007. Nybakken, 1988. 3 3 - 20 3 21 - 30 2 3 30 1 8 Kecepatan arus cmdet Yulianda, 2007. Jokiel dan Morrissey, 1993. 1 0 - 25 3 26 - 50 2 50 1 Nilai maksimum Bobot X Skor = 78 Nilai minimum Bobot X Skor = 26 Selang Kelas = 3 Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian IK : MB = N maks - N min IK SK MB N = Indeks Kesesuaian Minawisata Bahari maks N = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari min SK = Selang Kelas = Nilai minimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari IK MB = 17.33 Evaluasi Kelayakan 60.67 – 78.00 : Sesuai : 43.34 – 60.66 : Sesuai Bersyarat 26.00 – 43.33 : Tidak Sesuai 54 Tabel 7 Matriks kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove NO PARAMETER SUMBER BOBOT KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S SKOR SB SKOR TS SKOR 1 Ketebalan mangrove m Yulianda, 2007. 5 300 3 50 - 300 2 50 1 2 Kerapatan mangrove ind100 m 2 Yulianda, 2007. 5 10 - 25 3 5 – 10 25 2 5 1 3 Jenis mangrove sp Yulianda, 2007. MERDI dalam DPK 2006a. 3 3 3 1 - 3 2 1 4 Jenis biota Yulianda, 2007. MERDI dalam DPK 2006a. 3 Ikan, Udang, Kepiting, Moluska, Reptil, Burung. 3 Ikan, Moluska 2 Salah satu biota air 1 5 Tinggi Pasut m Yulianda, 2007. 1 0 - 2 3 2 - 5 2 5 1 6 Jarak dari kawasan lainnya m Bengen, 2000. 1 500 3 300 - 500 2 300 1 Nilai maksimum Bobot X Skor = 54 Nilai minimum Bobot X Skor = 18 Selang Kelas = 3 Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian IK : MB = N maks - N min IK SK MB N = Indeks Kesesuaian Minawisata Bahari maks N = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari min SK = Selang Kelas = Nilai minimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari IK MB = 12 Evaluasi Kelayakan 43 – 54 : Sesuai : 31 – 42 : Sesuai Bersyarat 18 – 30 : Tidak Sesuai 5. Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan terhadap 5 jenis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari dengan kategori aktivitas seperti tersebut diatas. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana menghasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian lahan. 55 Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun overlay terhadap parameter yang berbentuk poligon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan union masing-masing layers untuk tiap jenis kesesuaian lahan. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai indeks kesesuaian overlay indeks dari masing- masing jenis kesesuaian lahan tersebut. Pengolahan data Sistem Informasi Geografis ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Arch-Info GIS Version 3.4.2 dan Arch-View GIS Version 3.3.

3.4.2 Analisis Skala Prioritas Pemanfaatan Ruang

Analisis skala prioritas pemanfaatan ruang ini menggunakan metode multi criteria decision making MCDM dan diarahkan pada relevansi keputusan jenis pemanfaatan ruang di pulau kecil yang akan lebih tepat, cocok, dan representatif sebagai skala prioritas bagi pengembangan melalui urutan rangking. Pada analisis pemilihan prioritas dengan MCDM, pembobotan suatu kriteria dan alternatif yang diambil, disusun berdasarkan matriks pembobotan kriteria dalam penentuan prioritas pemanfaatan ruang, sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik simple multi atribute rating technique SMART. Teknik SMART merupakan keseluruhan proses dari peratingan alternatif- alternatif dan pembobotan atribut-atribut. Proses ini terdiri dari 2 tahap yaitu: 1 mengurutkan tingkat kepentingan perubahan-perubahan dalam atribut mulai dari atribut terburuk peringkat terendah sampai atribut terbaik peringkat tertinggi; dan 2 melakukan estimasi rasio kepentingan relatif dan ranking setiap atribut terhadap atribut yang paling rendah tingkat kepentingannya. Analisis selanjutnya adalah penggabungan kedua hasil analisis data di atas menjadi satu dengan menggunakan persamaan agregasi sebagai berikut: γ = π Si 1n ………………………………………………………………… 1 dimana γ = rata-rata geometrik : Si = nilai skor akhir hasil analisis prioritas berdasarkan kelompok kriteria analisis n = 2 56 Sehingga persamaan menjadi: γ = √ S 1 x S 2 Berdasarkan hasil analisis di atas maka diperoleh hasil akhir untuk peringkat dalam menentukan prioritas pemanfaatan lahan yang perlu dikembangkan. ………………………………………………………………… 2 Matriks pembobotan kriteria dalam penentuan prioritas pemanfaatan ruang seperti yang ditunjukan pada Tabel 8. Tabel 8 Matriks pembobotan kriteria dalam penentuan prioritas pemanfaatan ruang Kriteria C C 1 ... 2 C n Alternatif W W 1 ... 2 W n A A 1 A 11 ... 21 A A 1n A 2 A 12 ... 22 A ... 2n ... ... ... ... A A m A m1 ... m2 A mn Sumber : Subandar 1999. dimana A : i C , i = 1,2,3, … ,m = menunjukkan pilihan alternatif yang ada j , j = 1,2,3, … ,n = merujuk pada kriteria dengan bobot W A j ij A , i = 1, ... ,m, j = 1, ... ,n = adalah pengukuran keragaan dari suatu alternatif i berdasarkan kriteria C j Untuk menyusun peringkat jenis pemanfaatan lahan yang dikembangkan, maka dilakukan penentuan kriteriasubkriteria yang telah disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teknik SMART dengan bantuan perangkat lunak criterium decision plus Cdplus version 3.0. sehingga pengukuran terhadap kriteria ekologi; ekonomi; sosial budaya; dan kelembagaan dapat dilakukan. Masing-masing kriteria dapat dikembangkan lagi menjadi subkriteria. Subkriteria diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dan juga bersumber dari data sekunder. Kriteria ekologi; ekonomi; sosial budaya, dan kelembagaan dapat diuraikan seperti berikut: . 57 a. Kriteria ekologi, antara lain kesesuaian lahan, dan daya dukung lingkungan. b. Kriteria ekonomi, antara lain manfaat ekonomi, dan tingkat pendapatan masyarakat. c. Kriteria sosial budaya, antara lain kebiasaan masyarakat, dan penyerapan tenaga kerja. d. Kriteria kelembagaan, antara lain bentuk kelembagaan, dan aturan pengelolaan.

3.4.3 Analisis Daya Dukung Lingkungan

Untuk menentukan daya dukung lingkungan bagi model pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi ini digunakan 2 pendekatan yaitu: 1 Pendekatan yang mengacu pada daya dukung fisik, yaitu jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam suatu kawasan tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Metoda yang digunakan adalah daya dukung lahan dan daya dukung kawasan. 2 Pendekatan yang mangacu pada daya dukung ekologis, yaitu tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya sebelum terjadi penurunan dalam kualitas ekologis kawasan atau ekosistem tersebut. Metoda yang digunakan adalah pendugaan kapasitas asimilasi lingkungan perairan. Pendekatan 1: Berkaitan dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk, maka kebutuhan lahan juga semakin bertambah yang akhirnya berdampak kepada semakin terbatasnya lahan, baik untuk tempat tinggal maupun untuk kegiatan pemanfaatan yang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis untuk menentukan seberapa besar daya dukung suatu lahan untuk menampung kegiatan pemanfaatan pada suatu wilayah tanpa merusak kelestarian lingkungan yang ada. Daya dukung lahan DDL menunjukkan kemampuan maksimum lahan untuk mendukung suatu aktivitas tertentu secara terus menerus tanpa menimbulkan penurunan kualitas baik lingkungan biofisik maupun sosial. DDL yang dianalisis dalam penelitian ini dibatasi pada kemampuan lahan dalam menampung suatu aktivitas tertentu ditinjau dari aspek kesesuaian fisik, hasil dari analisis ini akan memberikan informasi mengenai berapa besar luas lahan yang 58 dapat dimanfaatkan. Kapasitas Lahan KL diartikan sebagai luasan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk suatu aktivitas tertentu secara terus menerus tanpa mengalami gangguan dan merusak ekosistem yang ada. Besarnya kapasitas lahan yang digunakan dalam model pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi di Pulau Dullah ini adalah 30 dari luas lahan yang sesuai. Kapasitas lahan ditetapkan sebesar 30 karena berdasarkan morfogenesis pulau, Pulau Dullah termasuk kelompok pulau oseanik dengan kategori pulau karang koral dimana sebagian besar dari pulau-pulau ini tergolong pulau kecil Bengen dan Retraubun 2006. Disamping itu berdasarkan ukurannya Pulau Dullah termasuk kategori pulau kecil dimana sangat peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia sehingga dalam pengelolaannya harus memperhatikan prinsip dan kriteria pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil. Berdasarkan pendekatan tersebut di atas maka daya dukung lahan dapat dihitung dengan rumus atau formula yang dikemukakan dalam KMNLH dan FPIK IPB 2002 sebagai berikut: DDL = LLS X KL ………………………………………………………… 3 dimana DDL = Daya Dukung Lahan : LLS = Luas Lahan yang Sesuai KL = Kapasitas Lahan Sedangkan untuk menghitung jumlah unit sarana pemancingan ikan dan karamba pembesaran ikan maka digunakan rumus yang dimodifikasi dari formula yang dikemukakan dalam KMNLH dan FPIK IPB 2002 sebagai berikut: JU = DDL LOG ………………………………………………………… 4 dimana JU = Jumlah Unit : DDL = Daya Dukung Lahan LO = Luas Olah Gerak Luasan optimal sarana pemancingan ikan adalah besaran yang menunjukkan luasan dari 1 unit perahu bercadik dengan ukuran panjang perahu 4 meter dan 59 lebar perahu termasuk cadiknya adalah 3 meter, sementara luas olah gerak LOG untuk 1 unit sarana pemancingan ikan agar dapat bergerak dengan leluasa tanpa menggangu atau terganggu oleh sarana pemancingan lainnya adalah 900 m 2 30 m X 30 m. Sedangkan luasan optimal karamba pembesaran ikan adalah besaran yang menunjukkan luasan dari 1 unit rakit dengan 4 buah karamba berukuran 3m X 3m X 3m, luasan optimal untuk 1 unit rakit agar ikan-ikan yang dipelihara dapat bertumbuh dengan baik adalah 144 m 2 12 m X 12 m, luasan ini merupakan ukuran optimal yang digunakan secara umum di perairan Indonesia Sunyoto 1993, sementara luas olah gerak untuk 1 unit rakit karamba agar perahu yang menuju dan kembali dari rakit karamba tersebut dapat bergerak dengan leluasa tanpa menggangu atau terganggu oleh perahu lainnya adalah 3600 m 2 Selanjutnya untuk menghitung berapa jumlah orang yang dapat ditampung di kawasan tersebut maka digunakan metoda daya dukung kawasan DDK. DDK adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. DDK untuk minawisata bahari pancing dan minawisata bahari karamba pembesaran ikan dihitung dengan menggunakan rumus yang dimodifikasi dari formula yang dikemukakan dalam KMNLH dan FPIK IPB 2002 sebagai berikut: 60 m X 60 m. DDK = JU X JP ………………………………………………………… 5 dimana DDK = Daya Dukung Kawasan : JU = Jumlah Unit JP = Jumlah Pengunjung Sedangkan DDK untuk minawisata bahari pengumpulan kerang moluska, minawisata bahari selam, dan minawisata bahari mangrove dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Yulianda 2007 sebagai berikut: ………………………………………… 6 Wp Wt x Lt Lp x K DDK = 60 dimana DDK = Daya dukung kawasan : K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu Potensi ekologis pengunjung K dan unit area Lt ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan seperti ditunjukan pada Tabel 9. Tabel 9 Potensi ekologis pengunjung K dan luas area kegiatan Lt Jenis Kegiatan K ∑ Pengunjung Unit Area Lt Keterangan Minawisata bahari pengumpulan kerang 1 2500 Setiap orang dalam 50 m x 50 m Minawisata bahari selam 2 2000 m 2 Setiap 2 orang dalam 200 m x 10 m Minawisata bahari mangrove 1 50 m Dihitung panjang track, setiap 1 orang sepanjang 50 m Sumber : Yulianda 2007. Waktu kegiatan pengunjung Wp dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata. Waktu pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan oleh kawasan Wt seperti yang disajikan pada Tabel 10. Pendekatan 2 : Pendekatan yang mangacu pada daya dukung ekologis untuk pengembangan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi adalah kapasitas asimilasi lingkungan perairan. Penentuan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas asimilasi lingkungan perairan seperti yang dikemukakan oleh Quano 1993 61 Tabel 10 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Jenis Kegiatan Waktu yang dibutuhkan Wp jam Total waktu 1 hari Wt jam Minawisata bahari pengumpulan kerang 4 8 Minawisata bahari selam 2 8 Minawisata bahari mangrove 2 8 Sumber : Yulianda 2007. adalah metode hubungan antara konsentrasi limbah dengan beban limbahnya. Variabel yang diamati adalah debit air yang masuk ke teluk oleh pasut dan konsentrasi limbah di lingkungan perairan. Metode ini cukup dapat menggambarkan atau menunjukan kapasitas asimilasi dari lingkungan perairan dimaksud. Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter limbah di lingkungan perairan dengan total beban limbah parameter tersebut di muara sungai, dan selanjutnya dianalisis dengan cara memotongkan dengan garis baku mutu air laut yang diperuntukan bagi biota laut dan kegiatan wisata bahari berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Pola hubungan antara konsentrasi limbah dengan beban pencemaran yang dimaksud disajikan pada Gambar 7. Jika pola hubungan tersebut direpresentasikan terhadap nilai baku mutu air laut maka akan dapat diketahui kapasitas asimilasi lingkungan perairan tersebut terhadap suatu parameter limbah tertentu. Nilai kapasitas asimilasi didapat dari titik potong beban pencemaran dengan nilai baku mutu yang berlaku untuk setiap parameter, dan selanjutnya dianalisis seberapa besar peran masing-masing parameter terhadap beban pencemarannya. Beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1 Nilai kapasitas asimilasi hanya berlaku di lingkungan perairan pada batas yang telah ditetapkan dalam lokasi penelitian. 62 2 Nilai hasil pengamatan, baik di muara sungai maupun di lingkungan perairan diasumsikan telah mencerminkan dinamika yang ada di perairan tersebut. 3 Perhitungan beban pencemaran dibatasi hanya yang berasal dari land based, sedangkan apabila ada pencemaran dari kegiatan lainnya di lingkungan perairan dan laut sekitarnya, maka itu tidak dihitung. Gambar 7 Grafik hubungan antara beban pencemaran dan kualitas air. Data yang diamati merupakan data pencemaran yang mempengaruhi kualitas air dilokasi penelitian. Hubungan yang ingin dilihat adalah pengaruh nilai parameter yang ada di muara sungai terhadap nilai parameter tersebut di lingkungan perairan. Alat analisis yang digunakan untuk melihat hubungan tersebut adalah ”regresi linier” dimana sebagai peubah bebas independent adalah nilai parameter di muara sungai, dan sebagai peubah tak bebas dependent adalah nilai parameter di lingkungan perairan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peubah pencemaran di lingkungan perairan dapat dijelaskan oleh peubah pencemaran di muara sungai atau dapat dituliskan dalam bentuk hubungan matematik yaitu : Y = fx sehingga menurut Quano 1993 bentuk hubungan tersebut dalam regresi linier dapat dituliskan sebagai berikut: K ua li tas A ir K ons en tra si L im ba h Beban Pencemaran Baku Mutu 63 Y = a + bx ………………………………………………………………… 7 dimana Y = nilai parameter di lingkungan perairan : a = nilai tengah atau rataan umum b = koefisien regresi untuk parameter di muara sungai x = nilai parameter di muara sungai x dan y adalah jenis dari parameter yang sama, yang diukur di muara sungai dan di lingkungan perairan. Peubah x merupakan jumlah nilai dari semua muara yang diamati untuk parameter tertentu, dan peubah y merupakan nilai parameter lingkungan perairan yang dianggap tepat untuk mewakili seluruh nilai parameter yang ada di lingkungan perairan, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa y merupakan penduga terbaik untuk nilai parameter di lingkungan perairan tersebut.

3.4.4 Analisis Ekonomi

Barbier et al. 1997 in Adrianto 2006b menyediakan sebuah kerangka pendekatan penilaian ekonomi, dimana terdapat 3 tahapan utama dalam melakukan valuasi ekonomi sumberdaya pesisir dan laut, yaitu : 1 Tahap pertama, adalah mendefinisikan problem dan memilih pendekatan yang tepat untuk melakukan penilaian ekonomi. 2 Tahap kedua, adalah mendefinisikan ruang lingkup dan batasan dari analisis yang dilakukan serta informasi yang diperlukan untuk melakukan pendekatan terpilih. 3 Tahap ketiga, adalah mendefinisikan metoda pengumpulan data dan teknik valuasi termasuk analisis dan distribusi dampak yang mungkin dari pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Ketiga tahapan tersebut diatas dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan penilaian ekonomi secara utuh yang menggambarkan willingness to pay yang benar dari masyarakat terhadap manfaat yang dihasilkan dari ekosistem pesisir dan laut. Berdasarkan kerangka pendekatan tersebut diatas, maka analisis nilai ekonomi minawisata bahari yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan 64 pendekatan extended cost-benefit analysis ECBA yang diawali dengan metoda Valuasi Ekonomi. Barton 1994 in Adrianto 2006b mengemukakan bahwa Total Economic Value TEV dalam valuasi ekonomi dikategorikan kedalam 2 dua komponen yaitu Use Value UV dan Non Use Value NUV sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut: TEV = UV + NUV ………………………………………………………… 8 dimana TEV = Total Economic Value nilai ekonomi total : UV = Use Value nilai guna NUV = Non Use Value bukan nilai guna Pada dasarnya nilai guna use value diartikan sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumberdaya alam dimana individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan, yang didalamnya termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam misalnya ikan, kayu, dan lain-lain yang bisa dikonsumsi langsung atau dijual. Nilai guna ini secara lebih rinci menurut Barton 1994 in Adrianto 2006b adalah sebagai berikut : UV = DUV + IUV + OV ……...………..…...........…………..….....…..…... 9 dimana UV = Use Value nilai guna : DUV = Direct Use Value nilai guna langsung IUV = Indirect Use Value nilai guna tidak langsung OV = Option Value nilai pilihan Nilai guna langsung direct use value merujuk langsung pada konsesi sumberdaya alam seperti kayu sebagai bahan bakar, sedangkan nilai guna tidak langsung indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan seperti pencegahan banjir dan nursery ground dari ekosistem mangrove, sedangkan nilai pilihan option value merupakan suatu nilai yang 65 menunjukan pilihan seorang individu untuk membayar dalam melestarikan sumberdaya alam bagi pengguna lainnya dimasa mendatang. Komponen bukan nilai guna non use value adalah nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya meskipun tidak digunakan secara langsung, yang lebih bersifat sulit diukur karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pengamatan langsung. Bukan nilai guna ini secara lebih rinci menurut Barton 1994 in Adrianto 2006b adalah sebagai berikut : NUV = BV + EV + QOV .………...…………….......................………….. 10 dimana NUV = Non Use Value bukan nilai guna : BV = Bequest Value nilai pewarisan EV = Existence Value nilai keberadaan QOV = Quasi Option Value nilai pilihan untuk menghindari kerusakan yang irreversible Pada dasarnya nilai keberadaan adalah penilaian yang didasarkan kepada penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan, nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan sumberdaya alam dan lingkungan kepada generasi mendatang, nilai pilihan untuk menghindari kerusakan yang irreversible quasi option value mengandung makna ketidak-pastian dimana nilai ini merujuk pada nilai barang dan jasa dari sumberdaya alam yang mungkin timbul sehubungan dengan ketidak-pastian permintaan dimasa mendatang. Dari persamaan 9 dan 10 tersebut, maka nilai ekonomi total total economic value menurut Barton 1994 in Adrianto 2006b dapat dirumuskan sebagai berikut: TEV = UV + NUV = DUV+IUV+OV + BV+EV+QOV ……………...………… 11 dengan demikian yang dimaksud dengan nilai ekonomi sumberdaya menyeluruh adalah nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari nilai guna use value dan bukan nilai guna non use value beserta komponen-komponennya. 66 Dalam kondisi ketiadaan data dilapangan karena belum ada pemanfaatan sumberdaya secara intensif oleh masyarakat maka untuk melakukan valuasi ekonomi terhadap sumberdaya dimaksud dapat digunakan metoda benefit transfer. Menurut Boyle and Bergstrom 1992 in Atkinson 2006 benefit transfer BT adalah pendugaan nilai guna sumberdaya dengan cara menggunakan nilai yang sudah ada dari yang bukan nilai pasar untuk mendapatkan perkiraan nilai baru yang lain dari nilai yang mula-mula diduga. Nilai dugaan ini diperoleh dengan pendekatan nilai pasar NP dan indeks harga konsumen IHK dengan formula sebagai berikut: ……………...……………...………… 12 dimana ND = Nilai Dugaan : NP = Nilai Pasar IHK = Indeks Harga Konsumen Selanjutnya, agar nilai dugaan tersebut mendekati nilai pasar dilokasi studi maka dihitung dengan cara merata-ratakan nilai guna sumberdaya tersebut yang didapat dari beberapa lokasi lain yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan lokasi studi dengan formula sebagai berikut: ……………………………………...……………...………… 13 dimana x = Nilai hasil benefit transfer : X i 1,2,3, … n n = Jumlah lokasi asal benefit transfer = Nilai pasar lokasi asal transfer ke-i Dari hasil Valuasi Ekonomi tersebut maka nilai bersih sekarang net present value dari manfaat dan biaya suatu proyekusaha dapat diperoleh melalui pendekatan Extended Cost Benefit Analysis ECBA. Pada prinsipnya Extended Cost Benefit Analysis adalah lanjutan dari Cost Benefit Analysis CBA, disebut Extended karena dalam perhitungan Cost Benefit kita tambahkan biaya lingkungan sebagai salah satu komponennya. ND = NP X IHK lokasi studi IHK lokasi asal transfer ∑ x i n x = 67 Barton 1994 menjelaskan bahwa salah satu kriteria yang digunakan dalam evaluasi kebijakan adalah menghitung Net Present Value NPV dimana keuntungan bersih suatu proyekusaha adalah pendapatan kotor dikurangi jumlah biaya. Dengan demikian maka NPV suatu proyekusaha adalah selisih PV arus benefit dengan PV arus cost. Suatu proyekusaha dapat dikatakan bermanfaat atau layak untuk dilaksanakan bila NPV proyekusaha tersebut lebih besar dari atau sama dengan nol NPV 0 dan sebaliknya bila NPV proyekusaha tersebut lebih kecil dari nol NPV 0 maka proyekusaha tersebut merugikan atau tidak layak untuk dilaksanakan. Selain itu, dapat juga dengan melihat BC Rasio, bila BC Rasio 1 maka usaha layak untuk dilaksanakan, bila BC Rasio = 1 maka usaha perlu ditinjau kembali karena tidak memberikan keuntungan, sedangkan bila BC Rasio 1 maka usaha tidak layak untuk dilaksanakan. Selanjutnya, dengan mengadopsi pendekatan extended cost-benefit analysis ECBA, maka menurut Barton 1994 net present value NPV dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: NPV = B d + B e – C d – C e – C p …………………………………………. 14 dimana NPV = Net Present Value nilai bersih sekarang : B d B = direct benefit manfaat langsung e lingkungan = external andor environmental benefit manfaat eksternal danatau C d C = direct cost biaya langsung e C = external andor environmental cost biaya eksternal danatau lingkungan p biaya mitigasi = environmental protection cost mitigation cost biaya proteksi lingkungan

3.4.5 Analisis Sosial

Analisis sosial yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metoda analisis deskriptif, data yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis ini didapat dengan melakukan wawancara langsung dengan stakeholders dan dengan menggunakan kuesioner. Informasi yang akan digali dari stakeholders antara lain: 68 bagaimana keinginan masyarakat terhadap rencana pengembangan Pulau Dullah ke depan, bentuk partisipasi dari masyarakat terhadap model pengelolaan minawisata bahari yang akan dikembangkan, identifikasi konflik pemanfaatan, sistem pengelolaan yang diinginkan, serta kemungkinan dampaknya bagi masyarakat.

3.4.6 Analisis Kelembagaan

Analisis kelembagaan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metoda analisis deskriptif, data yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis ini didapat dengan melakukan wawancara langsung dengan stakeholders dan dengan menggunakan kuesioner. Informasi yang akan digali dari stakeholders antara lain: bagaimana bentuk kelembagaan baik formal maupun non formal yang diinginkan oleh masyarakat terkait dengan model pengelolaan minawisata bahari yang akan dibangun di Pulau Dullah, identifikasi semua aturan-aturan regulasi yang terkait yang dapat menunjang model pengelolaan yang akan dibangun, mengkaji peranan berbagai institusi dan kelembagaan yang terkait dengan model pengelolaan yang akan dibangun.

3.5 Sintesis

Model dinamik yang digunakan untuk melakukan sintesis terhadap rancang bangun pengelolaan minawisata bahari dalam penelitian ini adalah model gabungan dari dimensi ekologi dan dimensi ekonomi. a Dimensi ekologi, memiliki atribut: luas ekosistem terumbu karang, laju pertumbuhan karang, laju degradasi karang, upaya penambahan luasan terumbu karang, luas ekosistem mangrove, laju pertumbuhan mangrove, laju degradasi mangrove, upaya penambahan luasan mangrove, luas lahan yang sesuai untuk masing-masing aktivitas minawisata bahari, daya dukung lingkungan, dan jumlah unit usaha masing-masing aktivitas minawisata bahari. b Dimensi ekonomi, memiliki atribut: manfaat langsung, manfaat lingkungan, biaya langsung, biaya lingkungan, biaya mitigasi, NPV tahunan dan NPV kumulatif dari masing-masing aktivitas minawisata bahari, serta NPV tahunan total minawisata bahari berbasis konservasi. 69 Model tersebut diatas selanjutnya dibangun dalam bentuk causal loop sehingga membentuk suatu sistem dinamik yang kemudian akan disimulasikan dengan menggunakan perangkat lunak STELLA Version 9.0.2. Simulasi dari model dinamik ini akan menggunakan 3 skenario pengelolaan, dimana dari ketiga skenario tersebut akan dipilih salah satu yang paling optimal untuk dijadikan model pengelolaan terpadu. Terpenuhinya syarat kecukupan struktur dari suatu model sistem dinamik adalah dengan melakukan validasi atas perilaku yang dihasilkan oleh suatu struktur model. Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara perilaku yang dihasilkan oleh model dan perilaku pada sistem nyata. 70

4. KONDISI AKTUAL LOKASI PENELITIAN

4.1 Kota Tual

Pada awalnya Kota Tual berada dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku Tenggara namun dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku maka sejak tanggal 10 Agustus 2007 sebagian wilayah administratif Kabupaten Maluku Tenggara telah dialihkan ke dalam wilayah administratif Kota Tual. Kecamatan-kecamatan yang dialihkan diantaranya: 1 Kecamatan Pulau-Pulau Kur 2 Kecamatan Dullah Utara 3 Kecamatan Dullah Selatan 4 Kecamatan Tayando Tam Dengan pemekaran wilayah tersebut, maka secara astronomis posisi koordinat Kota Tual menjadi terletak antara 5º - 6º LS dan 131º - 133º BT. Peta wilayah administratif Kota Tual seperti ditunjukan pada Gambar 8. Gambar 8 Peta wilayah administratif Kota Tual. 72 Secara geografis wilayah ini dibatasi oleh Laut Banda di sebelah Barat dan di sebelah Utara; Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara di sebelah Timur; dan Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara serta Laut Arafura di sebelah Selatan. Luas wilayah administratif Kota Tual tercatat sebesar 19.095,84 km 2 yang terdiri dari daratan seluas 352,29 km 2 1,84 dan lautan seluas 18.743,55 km 2 98,16. Kota Tual merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 66 pulau, yang dihuni sebanyak 13 pulau dan 53 pulau belum berpenghuni. Pada umumnya pulau-pulau yang tidak berpenghuni dipergunakan sebagai lahan pertanianperkebunan atau sebagai tempat singgah kapal, keseluruhan pulau tersebut adalah merupakan pulau-pulau kecil. Data jumlah pulau yang dirinci per kecamatan sebagaimana ditunjukan pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah pulau dan luas wilayah administratif Kota Tual Kecamatan Jumlah Pulau buah Luas Daratan Km 2 Luas Lautan Km 2 Luas Total Km 2 Pulau-Pulau Kur 9 60,78 5607,00 5.667,78 Dullah Utara 27 115,51 4217,00 4.332,51 Dullah Selatan 23 77,68 3209,00 3.286,68 Tayando Tam 7 98,32 5710,55 5.808,87 Jumlah Total 66 352,29 18.743,55 19.095,84 Sumber: Diolah kembali dari Maluku Tenggara Dalam Angka Tahun 2008. Dengan kondisi laut yang cukup luas dan dengan sumberdaya pulau-pulau kecil yang ada tersebut menjadikan Kota Tual memiliki potensi kelautan dan perikanan yang cukup melimpah dan potensi pariwisata yang cukup mempesona.

4.1.1 Penduduk

Jumlah penduduk Kota Tual pada tahun 2009 berdasarkan data statistik penduduk pada Dinas Tenaga Kerja, Kesra, Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tual tahun 2010 adalah sebanyak 70.367 jiwa yang tersebar pada 4 kecamatan. Penyebaran penduduk di Kota Tual tidak merata, berdasarkan data statistik penduduk terlihat bahwa persentase penduduk di Kecamatan 73 Dullah Selatan tercatat lebih tinggi bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu 41.930 jiwa 59,59 sementara di Kecamatan Pulau-Pulau Kur hanya mencapai 5.883 jiwa 8,46 , hal ini karena sejak masih menjadi bagian dari wilayah administratif Kabupaten Maluku Tenggara hingga saat ini, kecamatan Dullah Selatan merupakan kawasan pemukiman padat penduduk, pusat pemerintahan, dan pusat kegiatan perekonomian. Data jumlah penduduk Kota Tual tahun 2005 - 2009 sebagaimana ditunjukan pada Tabel 12. Tabel 12 Perkembangan jumlah penduduk Kota Tual tahun 2005 - 2009 Kecamatan Jumlah Penduduk Jiwa 2005 2006 2007 2008 2009 Pulau-Pulau Kur 5.600 5.716 5.873 5.879 5.883 Dullah Utara 12.536 12.785 13.163 15.620 16.011 Dullah Selatan 25.050 25.566 26.013 40.451 41.930 Tayando Tam 6.856 7.014 7.213 6.494 6.543 Total 50.042 51.081 52.262 68.444 70.367 Sumber : Diolah kembali dari Maluku Tenggara dalam Angka Tahun 2008. Dinas Tenaga Kerja, Kesra, Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tual dalam RPJM Kota Tual Tahun 2010. Dari Tabel 12 terlihat bahwa jumlah penduduk di Kota Tual menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah penduduk ini dibarengi dengan tingkat pertumbuhan yang relatif berbeda untuk setiap kecamatan. Pertumbuhan jumlah penduduk juga diikuti dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Secara total, laju pertumbuhan penduduk Kota Tual untuk tahun 2009 adalah sebesar 12,70 bila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2008, sementara untuk tahun 2008 laju pertumbuhan penduduk mencapai angka 14,94 bila dibandingkan jumlah penduduk untuk tahun 2007.

4.1.2 Mata Pencaharian

Berdasarkan jenis mata pencaharian, masyarakat Kota Tual dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, baik secara formal maupun informal. Komposisi struktur penduduk berdasarkan jenis pekerjaan yaitu petanipekebun, wiraswasta, serta pegawai negeri sipil merupakan jenis pekerjaan yang dominan 74 yaitu sebesar 37,24 dari total jumlah penduduk Kota Tual; kemudian diikut i oleh kelompok penduduk yang belum bekerja atau tidak bekerja sebesar 32,60 ; setelah itu pelajarmahasiswa serta mengurus rumah tangga sebesar 23,07 . Disamping itu masih terdapat jenis pekerjaan lain yang digeluti seperti pedagang, karyawan swastaBUMNBUMD, buruh harian, tukang, gurudosen, dan pekerjaan informal lainnya sebesar 5,92 ; sementara yang berprofesi sebagai nelayan masih sangat sedikit yaitu sekitar 1,17 dari total jumlah penduduk Kota Tual. Khusus untuk yang berprofesi sebagai nelayan, jumlah penduduk yang bekerja sebagai nelayan adalah 826 orang yang terdiri dari nelayan sebanyak 739 orang dan buruh nelayan sebanyak 87 orang, kondisi ini tentunya sangat ironis bila dibandingkan dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Kota Tual yang tersedia yang seharusnya menjadi salah satu lapangan pekerjaan dominan di Kota Tual.

4.1.3 Potensi Kelautan dan Perikanan

Berdasarkan pembagian Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP di Indonesia, perairan Kota Tual adalah termasuk dalam WWP 8 Laut Arafura dan WPP 5 Laut Banda sehingga dapat dianggap mewakili potensi perikanan tangkap perairan laut Kota Tual. Potensi total sumberdaya ikan laut dari WPP 5 dan WPP 8 adalah sebanyak 1.040.600 tontahun. Kelompok ikan dengan potensi terbesar adalah kelompok ikan pelagis kecil 600.660 tontahun, diikuti kelompok ikan demersal 256.070 tontahun dan ikan pelagis besar 154.980 tontahun. Pemanfaatan potensi perikanan ini khususnya ikan pelagis kecil dan ikan demersal rata-rata masih di bawah 10 sementara untuk ikan pelagis besar baru 42,60 sehingga peluang pengembangannya masih cukup besar. Aktivitas pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada selama ini adalah perikanan tangkap yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu perikanan artisanal kecil oleh sebagian besar masyarakat, dan perikanan industri yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Tual. Jumlah produksi dan nilai produksi perikanan Kota Tual sesuai data tahun 2007 seperti ditunjukan pada tabel 13. 75 Tabel 13 Jumlah produksi dan nilai produksi perikanan Kota Tual tahun 2007 Kecamatan Produksi Ton Nilai Produksi Rp Pulau-Pulau Kur 2.212,00 11.038.489,00 Dullah Utara 2.949,40 14.717.985,00 Dullah Selatan 127.422,40 564.230.747,00 Tayando Tam 2.394,30 11.958.363,00 Jumlah 134.978,10 601.945.584,00 Sumber : Diolah kembali dari Maluku Tenggara Dalam Angka Tahun 2008. Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa total produksi tahun 2007 mencapai 134,978,10 ton dengan total nilai produksi Rp.601.945.584,00 bila dibandingkan dengan kondisi 2 tahun sebelumnya dimana produksi perikanan yang dicapai pada tahun 2005 adalah sebesar 131.353.90 ton maka dari sisi produksi telah terjadi peningkatan sebanyak 3.624,20 ton. Kegiatan perikanan tangkap yang berkembang saat ini adalah usaha penangkapan ikan karang, perikanan demersal dan perikanan pelagis serta pengumpulan organisme bentos yang bernilai ekonomis seperti Lola Trochus sp, Batu Laga Turbo, Kima Tridacna sp dan Teripang Holothuria sp. Potensi sumberdaya ikan karang dan ikan hias pada beberapa lokasi seperti di sekitar pulau Rumadan Dullah Laut, Ngadi, Teluk Un, Teluk Vid Bangir, Pulau Tam serta Tayando adalah sekitar 307 jenis.

4.1.4 Potensi Pariwisata

Sebagai wilayah kepulauan yang banyak memiliki pulau-pulau kecil, obyek wisata bahari di kawasan ini sangatlah banyak. Obyek wisata bahari tersebar hampir di seluruh kecamatan. Umumnya obyek wisata bahari yang ada berupa keindahan alam dan pantai, taman laut, ekosistem terumbu karang dengan ikan hiasnya, ekosistem mangrove, dan lamun. Selain memiliki obyek wisata bahari, Kota Tual juga memiliki obyek wisata budaya yang tersebar di Kepulauan Kei antara lain sejarah peninggalan Jepang. 76 Beberapa obyek wisata yang telah berkembang dan potensial untuk dikembangkan di Kota Tual antara lain sebagai berikut: 1 Obyek wisata Pantai Difur 2 Obyek wisata Pantai Nam Indah 3 Obyek wisata Pulau Adranan 4 Obyek wisata budaya Dullah Darat 5 Obyek wisata Pulau Duroa 6 Obyek wisata Pulau Burung 7 Obyek wisata taman laut Pulau Barak New 8 Obyek wisata Goa Tengkorak Ular Kepala Tujuh 9 Obyek wisata desa nelayan Pulau Fair 10 Obyek wisata Pulau Ubur 11 Obyek wisata Teluk Un Walapun potensi wisata Kota Tual tersebut diatas masih belum banyak dikenal dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Maluku, tetapi beberapa barang khas dari Kota Tual seperti mutiara dan perahu tradisional sudah mulai dikenal oleh masyarakat luas. Data perkembangan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke Kabupaten Maluku Tenggara termasuk Kota Tual sekarang dari tahun 2004 - 2008 seperti ditunjukan pada tabel 14. Tabel 14 Jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke Kabupaten Maluku Tenggara termasuk Kota Tual tahun 2004 - 2008 Tahun Jumlah Wisatawan orang Total orang Pertumbuhan Domestik Mancanegara 2004 2005 2006 2007 2008 7.010 10.500 12.500 15.907 20.910 120 165 190 263 346 7.130 10.665 12.690 16.170 21.256 - 49,58 18,99 27,42 31,45 Pertumbuhan Rata-Rata 31,86 Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tual Tahun 2009. 77 Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa total jumlah wisatawan pada tahun 2008 adalah 21.256 orang yang terdiri dari 20.910 orang wisatawan domestik dan 346 orang wisatawan mancanegara, bila dibandingkan dengan total jumlah wisatawan tahun 2007 sebanyak 16.170 orang maka terdapat peningkatan sebanyak 5.086 orang atau bila dihitung persentase pertumbuhannya mencapai 31,45. Sedangkan rata-rata pertumbuhan kunjungan wisatawan selama 5 tahun terakhir yaitu dari tahun 2004 - 2008 adalah sebesar 31,86.

4.1.5 Sarana dan Prasarana Vital

a. Sarana Transportasi Dalam rangka menunjang pergerakan orang serta barang dan jasa melalui transportasi darat, di wilayah Kota Tual telah tersedia jaringan jalan yang menghubungkan antara pusat-pusat pemukiman, pusat-pusat produksi dan pusat-pusat pemasaran dan pelayanan. Secara umum jaringan jalan di Kota Tual terdiri dari jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten. Pada umumnya kondisi jalan provinsi cukup baik, hal ini terkait dengan struktur geologi Pulau Dullah berupa batu kapur yang cenderung keras. Jalan provinsi pada umumnya merupakan jalan utama di sepanjang pantai dan jalur di dalam kota, namun demikian jaringan jalan yang menghubungkan daerah-daerah yang jauh dari Kota Tual dan yang menghubungkan kantong-kantong produksi masih sangat terbatas. Total panjang ruas jalan di Kota Tual adalah 137,45 km yang terdiri dari jalan aspal sepanjang 44,05 km, hotmix sepanjang 24,90 km, jalan setapak 63,50 km, dan jalan tanah sepanjang 5,00 km. Sedangkan jumlah jembatan yang ada di Kota Tual sebanyak 17 unit dengan panjang keseluruhan 6,4 km. Sarana angkutan umum yang berkembang di Kota Tual adalah berupa Angkutan Pedesaan dan Angkutan Perkotaan. Sarana angkutan umum ini adalah mobil berjenis carry atau kijang yang telah dimodifikasi. Trayek angkutan umum yang terdapat di Kota Tual berjumlah 9 trayek dengan jumlah armada yang beroperasi mencapai 57 unit. Rute-rute trayek yang ada masih terbatas pada rute-rute tertentu seperti Tual - Tamedan sebanyak 7 unit; Tual - Dullah sebanyak 9 unit; Tual - Fiditan sebanyak 20 unit; Tual - BTN sebanyak 8 unit; Tual - Ohoitel sebanyak 9 unit; dan Tual - Taar sebanyak 4 unit. Sedangkan Trayek sarana angkutan umum yang menghubungkan Kota Tual dengan Kabupaten 78 Maluku Tenggara berjumlah 40 trayek dengan jumlah armada yang beroperasi mencapai 382 unit. Rute-rute trayek yang ada masih terbatas pada rute-rute tertentu seperti Tual, Langgur dan desa-desa kecil yang berada di Pulau Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Terminal di Kota Tual terdapat 2 unit yaitu Terminal Lodar El dan Terminal Wara dengan klasifikasi Tipe C, yaitu terminal yang melayani rute angkutan pedesaan dan angkutan perkotaan yang terdapat di dua pulau yang berbeda. Terminal Lodar El yang terdapat di Pasar Tual melayani angkutan umum pada trayek-treyak di Pulau Dullah dan Pulau Kei Kecil. Selain kedua terminal tersebut di Kota Tual juga terdapat sub-subterminal yang berguna sebagai penghubung terminal-terminal utama. Untuk transportasi udara, Kota Tual belum memiliki bandara komersil, angkutan udara masih dilayani oleh Bandara Dumatubun Milik TNI AU yang berlokasi di Langgur - Kabupaten Maluku Tenggara, dengan kelas layanan 4 dan panjang runway 900 x 25 meter. Bandara ini melayani penerbangan domestik dan regional Maluku dengan dengan rute reguler Ambon - Tual yang dioperasikan oleh Trigana Air dengan pesawat Fokker 27, dan Wings Air dengan pesawat DAS dengan frekuensi penerbangan 5 kali seminggu. Selain kedua maskapai tersebut, rute Tual - Ambon juga dilayani oleh Merpati Airlines dengan frekuensi penerbangan 3 kali seminggu dengan menggunakan pesawat Cassa 212, sedangkan penerbangan Tual - Dobo oleh Merpati Airlines belum terjadwal. Peranan transportasi laut di Kota Tual sangat penting karena Kota Tual adalah kota kepulauan dan sebagain besar wilayahnya merupakan perairan laut. Keberadaan sarana dan prasarana transportasi laut ini sangat vital karena selain sebagai sarana mobilitas orang serta dan barang dan jasa dari dan ke luar Kota Tual, juga sekaligus berfungsi sebagai penggerak roda ekonomi daerah. Prasarana transportasi laut yang terdapat di Kota Tual antara lain: 1 Pelabuhan Yos Sudarso, merupakan pelabuhan umum yang ada di Kota Tual yang berfungsi bagi sarana mobilitas orang serta barang dan jasa di wilayah Indonesia Timur karena banyak disinggahi oleh kapal-kapal dari dalam negeri dan luar negeri. Pelabuhan ini memiliki causeway sepanjang 236 meter. 79 Selain itu, pelabuhan ini juga dimanfaatkan untuk aktifitas bongkar muat barang kontainer. 2 Dermaga penyeberangan ferry dengan ukuran 50 x 6 meter dengan causeway sepanjang 50 meter. Selain berfungsi sebagai pelabuhan penyeberangan dan pelabuhan pelayaran nusantara, dermaga ini juga melayani pelayaran rakyat ke pulau-pulau disekitarnya. 3 Pelabuhan Kur, merupakan pelabuhan lokal yang terdapat di Desa Lokwirin, Pulau Kur yang dipergunakan untuk kegiatan bongkar-muat penumpang dan barang. 4 Dermaga Ngadi, milik PT. Maritim Timur Jaya, merupakan pelabuhan khusus yang berlokasi di Desa Ngadi dengan ukuran 330 x 15 meter dengan causeway sepanjang 330 meter. 5 Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Dumar, dengan tipe jetty yang berukuran 120 x 6 meter dengan 2 causeway berukuran 60 x 6 meter. 6 Pelabuhan Pangkalan TNI - AL. 7 Pelabuhan Pertamina. 8 Pelabuhan Pendaratan Ikan PPI Kalvik, di Pulau Kalvik. Selain prasarana diatas, maka ada beberapa sarana transportasi laut yang menghubungkan Kota Tual dengan kota-kota lainnya yaitu: 1 Kapal penumpang umum milik PT. PELNI KM. Ciremai dan KM. Kelimutu yang menghubungkan Kota Tual dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia. 2 Kapal-kapal kargo milik swasta, yang melayani pengiriman barang dan jasa lainnya dari dan ke Kota Tual. 3 Kapal-kapal perintis milik swasta, yang melayani hubungan antar pulau di Provinsi Maluku. 4 Kapal ferry milik PT. ASDP KMP Kormomolin, yang melayani hubungan antar pulau di Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. 5 Pelayaran rakyatlokal perahu motor 7 GT yang melayani hubungan antar pulau di Kota Tual. b. Sarana Air Bersih Air bersih bagi Kota Tual adalah sesuatu yang sangat berarti. Pulau Dullah sebagai pusat Kota Tual sebagian besar tersusun dari jenis tanahbatuan berupa 80 kapur dan karang yang menjadikan pulau ini sangat minim sumber air bersih. Sumber air bersih bagi masyarakat yang tinggal di Pulau Dullah selama ini disuplai oleh Perusahaan Daerah Air Minum PDAM dimana sumber air bersih berasal dari mata air Evu dengan debit 1.400 literdetik. Selain itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat masih memanfaatkan aliran air permukaan. Untuk mengantisipasi kebutuhan akan air bersih yang semakin banyak dan berkurangnya debit mata air Evu, maka alternatif sumber air yang akan dimanfaatkan adalah air dari Danau Ngadi dan Danau Fanil. Kondisi terakhir menunjukkan bahwa belum semua masyarakat mendapatkan layanan air bersih dari jaringan PDAM, masyarakat yang belum terlayani oleh jaringan PDAM memenuhi kebutuhannya dari PAH Penampungan Air Hujan dan membeli air dari pihak swasta yang disuplai melalui mobil tangki kapasitas 4 m 3 dengan harga beli sebesar Rp.60.000. 4.2 Pulau Dullah 4.2.1 Keadaan Sosial Budaya Masyarakat Dalam perspektif stratifikasi sosial budaya, masyarakat pesisir bukanlah masyarakat yang homogen. Masyarakat pesisir terbentuk oleh kelompok- kelompok sosial yang beragam. Karena masyarakat nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir, maka budaya yang mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum. Kehidupan masyarakat yang banyak berkaitan dengan lokasi geografis menjadikan masyarakat Kota Tual termasuk masyarakat yang mendiami Pulau Dullah sebagai masyarakat bahari dengan segala aktifitas ekonominya yang berbasis pada sumberdaya laut. Karakteristik budaya masyarakat Kota Tual cukup majemuk dan dapat digolongkan berdasarkan basis geografis dan kulturalnya dialek bahasa. Penduduk setempat memahami hidupnya berdasarkan kesadaran bahwa mereka memiliki hubungan kekeluargaan yang sama atau berasal dari satu nenek moyang sehingga karakter tersebut kemudian ditransformasikan kedalam kehidupan sosial masyarakat mereka seperti pranata gotong royong yang dikenal dengan budaya “maren” yaitu tradisi tolong-menolong antara satu dengan yang lain misalnya 81 dalam mendirikan rumah, memagar kebun, hajatan, pekerjaan-pekerjaan lainnya yang berhubungan dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti dibidang perikanan, pertanian, dan lain-lain. Ketergantungan masyarakat pada alam, terutama pada sektor perikanan dan pertanian menjadikan budaya mereka mempunyai konstruksi yang terasa alamiah. Konstruksi adat yang naturalistik ini bisa dilihat dari kuatnya nilai adat pantangan, keseimbangan tindakan pada alam, kemampuan membaca tanda-tanda alam dan kelebihan-kelebihan supranatural lainnya dalam kultur masyarakat Kei. Perilaku khas bagi masyarakat Kei adalah citra diri orang laut. Hal ini ditandai dengan mobilitas yang tinggi, sikap terbuka, dan penghargaan pada kaidah-kaidah hidup nenek moyang, terutama yang menyangkut bagaimana seharusnya mengelola sumberdaya alam. Karena adanya struktur nilai yang berhirarki supranaturalistik dan terlembagakan sedemikian rupa maka masyarakat Kota Tual juga memiliki pantangan-pantangan hidup. Salah satu budaya yang merupakan bentuk kearifan lokal yaitu Sasi atau Hawear yang dikenal masyarakat sebagai tradisi dalam mengatur waktu pemanfaatan sumberdaya alam. Saat ini budaya-budaya tersebut telah banyak mengalami pergeseran. Sasi Darat dan Sasi Laut lambat laun mulai ditinggalkan. Kondisi ini memberikan isyarat bahwa Sasi sebagai tradisi warisan dalam praktek pengelolaan sumberdaya alam perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah di masing-masing Desa, karena tujuan pelaksanaan Sasi adalah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana dan berkelanjutan.

4.2.2 Hak Masyarakat Adat dalam Dimensi Legislasi Nasional dan Daerah

Pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya termasuk masyarakat adat Kei di Pulau Dullah telah mendapatkan tempat yang istimewa dalam dinamika pembangunan hukum di Indonesia. Hal ini termanifestasi dalam beberapa aturan formal dilevel konstitusi diantaranya: 1. Undang-Undang Dasar 1945. a. Pasal 18B Ayat 2 Amandemen Kedua, menyatakan bahwa: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat 82 serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. b. Pasal 28I UUD 1945 Amandemen Kedua, ditegaskan bahwa: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 2. Tap MPR Nomor XVIIMPR1998 Tantang Hak Asasi Manusia. Pasal 41 menyebutkan: Identitas budaya masyarakat tradisional termasuk hak- hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Ketetapan ini menegaskan bahwa pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat hukum adat merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pada level Undang-Undang, telah ditetapkan berbagai produk hukum yang memberikan posisi istemewa dan strategis bagi eksistensi masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut termasuk ekosistem hutan mangrove. Produk Undang-Undang tersebut antara lain:

1. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Jo UU No. 19 tahun 2004 Tentang

Kehutanan Pasal 67 ayat 1 dinyatakan bahwa: Masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak atas: . a. Pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan. b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang. 2. Dalam Pasal 2 Ayat 9 disebutkan bahwa: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. 3. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 83

a. Pasal 5 disebutkan bahwa:

b. Pasal 6, dinyatakan bahwa: Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaiman dimaksud Pasal 5 wajib melakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan : Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. a. Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. Antar-Pemerintah Daerah; c. Antar sektor; d. Antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat; e. Antara ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan f. Antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen. Selain itu pada konteks lokal, Pemerintah Provinsi Maluku sebagai sikap responsif terhadap implementasi Peraturan Perundang-Undangan Nasional maupun menjawab dinamika dan kebutuhan lokal dalam koridor otonomi daerah, menetapkan berbagai Peraturan Daerah sebagai ekspresi terhadap pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Hal ini dilatari oleh realitas keberadaan masyarakat adat dan susunan pemerintahannya yang masih hidup dan tumbuh dalam dinamika kehidupan pembangunan di daerah termasuk di Pulau Dullah - Kota Tual - Provinsi Maluku. Adapun berbagai produk hukum tersebut diantaranya: 1. Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku. 2. Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 3 Tahun 2008 tentang Wilayah Petuanan. Berbagai produk hukum peraturan perundang-undangan baik pada level Konstitusi, Undang-Undang, maupun Peraturan Daerah yang dikemukakan di atas 84 memberikan penjelasan bahwa secara makro eksistensi masyarakat adat dan hak-hak tradisonalnya termasuk di dalamnya pengelolaan terhadap wilayah pesisir dan laut di Maluku secara normatif diakui, dihormati, dan dilindungi oleh hukum positif di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah.

4.2.3 Isu-Isu Kerusakan Lingkungan

Dengan adanya pemekaran wilayah Kota Tual maka pertumbuhan penduduk akan semakin tinggi dan kegiatan pembangunan di pesisir akan semakin pesat, dengan demikian tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya akan semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya akan memberikan dampak seperti terjadinya kerusakan lingkungan yang akan mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Isu-isu yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di Pulau Dullah antara lain:  Penambangan Pasir Pantai  Pengrusakan hutan bakau mangrove  Pengrusakan Karang  Pembuangan sampah ke laut  Tumpahan minyak di laut  Pembuangan air balast kapal Diantara ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut yang ada di Pulau Dullah, yang saat ini mulai berada dalam kondisi memprihatinkan adalah ekosistem pantai berpasir, mangrove, dan terumbu karang. Oleh karena itu agar ekosistem dan sumberdaya ini dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan upaya-upaya perlindungan dari berbagai ancaman degradasi yang ditimbulkan dari berbagai aktivitas pemanfaatan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Salah satu upaya perlindungan yang dapat dilakukan adalah dengan menjadikan kawasan-kawasan tertentu di wilayah pesisir dan laut sebagai kawasan konservasi yang antara lain bertujuan untuk melindungi ekosistem, sumberdaya, dan habitat-habitat kritis; mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya; melindungi keanekaragaman hayati; dan melindungi proses-proses ekologi yang terjadi didalamnya. 85 4.3 Teluk Un 4.3.1 Status dan Sejarah Kawasan Teluk Un Teluk Un adalah merupakan perairan semi tertutup yang berada di dalam petuanan Desa Taar dengan posisi geografis 132 o 45`26`` - 132 o 45`44`` BT dan 5 o 38`18`` - 5 o Pemanfaatan potensi sumberdaya laut teluk ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Apalagi karena berada dalam pusat pengembangan Kota Tual maka dikhawatirkan dimasa datang akan terjadi tekanan eksploitasi maupun tekanan lingkungan lainnya terhadap sumberdaya teluk ini bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk sebagai konsekuensi pengembangan Kota Tual. Teluk ini merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional dan lokasi budidaya. Untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya yang ada, maka sejak tahun 2003 telah disepakati sistim penutupan areal perairan moratorium bagi eksploitasi segala jenis biota di dalam teluk ini oleh masyarakat Desa Taar. Pranata sosial budaya ini disebut dengan istilah Sasi atau yang dalam bahasa lokal disebut Yutut dan dikenal sebagai salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat yang ada disana. Praktek pelaksanaan sasi seperti ini sudah dilaksanakan berkali- kali di Teluk Un oleh masyarakat desa Taar sebagai pemilik adat teluk tersebut. 38`40`` LS dan membujur dari Timur laut ke Barat daya. Teluk ini berjarak kurang lebih 2 km dari pusat kota. Teluk Un memiliki kanal sepanjang kurang lebih 100 m dengan lebar 52 m yang menghubungkannya dengan Teluk Vid Bangir di bagian Barat daya Teluk Un. Potensi sumberdaya hayati laut Teluk Un banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Taar dan penduduk lain yang tinggal berdekatan dengan teluk tersebut. Teluk ini dikenal sebagai ladang ikan beronang Siganus sp, kepiting rajungan Portunus pelagicus, dan berbagai jenis moluska seperti teripang Holothuria sp, tiram Saccostrea cucullata dan Saccostrea echinata yang telah lama dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan protein masyarakat.

4.3.2 Kondisi Lingkungan

a. Kondisi Fisik Pulau Dullah merupakan dataran yang relatif landai dengan ketinggian ±100 meter diatas permukaan laut dengan beberapa bukit rendah di tengah pulau Dullah. Kemiringan lereng di pulau Dullah secara umum berkisar antara 0 - 8 86 dan 8 - 15. Desa-desa pada umumnya berada pada wilayah dengan ketinggian antara 0 - 100 meter diatas permukaan laut. Topografi daratan di sekitar Teluk Un sangat landai terutama daratan di bagian Timur teluk tersebut, terkecuali bagian barat pulau Kalvik yang berbukit-bukit dengan tingkat kemiringan lebih dari 40 yang terbentang dari Utara ke Selatan. Kemiringan topografi daratan bagian Barat laut Teluk Un lebih besar dari 1 terhitung dari batas pasang tertinggi. Untuk lingkungan perairan, batimetri dasar perairan Teluk Un sangat datar terutama pada bentangan Utara-Selatan. Kemiringan rata-rata dasar perairan Teluk Un termasuk dataran pasang surut adalah sebesar 0,12. Persentase kemiringan dasar perairan ini tergolong sangat landai menuju kedalaman terbesar di bagian Selatan teluk tersebut yaitu berdekatan dengan ujung Timur kanal teluk tersebut. Kedalaman terbesar teluk ini adalah 12 meter pada saat surut terendah Z o atau akan mencapai 14,60 meter pada saat pasang tertinggi karena tunggang pasut tidal range perairan kepulauan Kei adalah ±2,60 meter. Bentuk batimetri dataran pasang surut Teluk Un seperti ditunjukan pada Gambar 9. Gambar 3 . Topografi rata-rata dasar perairan Un diukur terhadap batas pasang tertinggi sebagai referensi. Jarak dari batas pasang tertinggi m 20 40 60 80 100 K et inggi an dar i pas ang ter ti nggi m 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 Gambar 9 Batimetri rata-rata dasar perairan Teluk Un diukur terhadap batas pasang tertinggi. Sumber: Laporan Hasil Identifikasi Calon KKLD Maluku Tahun 2006. 87 Gambar 9 memperlihatkan bahwa dari garis pantai hingga jarak 20 meter ke arah bagian tengah Teluk Un kedalaman perairan bertambah secara perlahan- lahan, pada jarak 20 hingga 60 m hampir tidak ada penambahan kedalaman datar, kemudian pada jarak 60 hingga 80 m kedalaman berkurang makin dangkal dan setelah 80 m kedalaman makin bertambah secara perlahan-lahan menuju bagian Selatan teluk tersebut . Iklim di sekitar kawasan Teluk Un dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia, juga dibayangi oleh Pulau Irian di bagian Timur dan Benua Australia di bagian Selatan, sehingga sewaktu-waktu dapat terjadi perubahan iklim. Keadaan musim teratur, musim Timur kemarau berlangsung dari bulan April sampai Oktober, sedangkan musim Barat penghujan berlangsung dari bulan Oktober sampai Pebruari. Musim Pancaroba berlangsung dalam bulan MaretApril peralihan pertama dan OktoberNopember peralihan kedua. Biasanya pada bulan April sampai Oktober bertiup angin Timur Tenggara. Angin kencang bertiup pada bulan Januari dan Pebruari diikuti dengan hujan deras dan laut bergelora. Curah Hujan antara 2.000 – 3.000 mmtahun, suhu rata-rata untuk tahun 2007 sesuai data dari Stasiun Meteorologi Dumatubun - Langgur adalah 27,7ºC dengan suhu minimum 21,3ºC dan maksimum 33,6ºC. Kelembaban rata-rata 83,1, penyinaran matahari rata-rata 62,2 dan tekanan udara rata-rata 1.010,1 milibar. Untuk lingkungan pantai dan perairan, kisaran ukuran partikel substrat perairan Teluk Un terdiri dari pebbles hingga lempung. Lebar dataran pasut dapat mencapai lebih dari 200 meter dan memiliki dasar perairan yang sangat landai. Karena kondisi dasar perairannya yang landai dan kisaran pasut wilayah ini yang tergolong dalam mesotidal 2,50 meter menyebabkan saat surut sebagian besar perairan ini mengalami kekeringan. Kecuali di areal sekitar kanal dan kanal itu sendiri yang tidak memiliki mintakad pasang surut karena relatif lebih dalam. Teluk Un berhubungan dengan Teluk Vid Bangir melalui kanal tersebut. Batuan penyusun pantai kawasan Teluk Un umumnya terdiri dari terumbu karang dan batuan kapur. Pada ujung Utara teluk ini terdapat sumber air tanah yang merembes ke dalam teluk tersebut. Substrat lumpur di teluk ini umumnya berasosiasi dengan ekosistem bakau, sehingga kandungan lumpur ini umumnya 88 terdiri dari serasah daun mangrove. Perairan teluk ini relatif belum tercemar walaupun jumlah pemukiman di sekitar teluk tersebut semakin meningkat. Kepekaan teluk ini terhadap pencemaran relatif kecil karena memiliki waktu menetap massa air yang singkat yaitu kurang lebih 9 jam. Hal ini disebabkan karena kondisi perairan yang sempit dan dangkal dengan kecepatan arus di kanal yang umumnya mencapai 0,5 mdetik Renjaan dan Pattisamalo 1999. b. Kondisi Oseanografi Arus dominan di Teluk Un adalah arus pasang surut, dari hasil pengukuran arus secara tertambat eularian berdasarkan laju disolusi kapur tulis pada bulan Oktober dan November 1997 diketahui bahwa bahwa kecepatan arus di dalam Teluk Un baik di dalam maupun di luar areal padang lamun memiliki kisaran antara 0,35 - 1,12 mdetik. Pada saat air bergerak pasang kecepatan arus rata-rata adalah 0,31 mdetik sedangkan pada saat surut adalah 0,24 mdetik. Kehadiran padang lamun dapat mereduksi kecepatan arus sebesar 0,002 – 0,025 mdetik Polanunu 1998. Hal ini menunjukkan bahwa zonasi di belakang padang lamun relatif kurang dinamis dibandingkan di depannya, hal ini tentu akan berpengaruh terhadap suplai oksigen, makanan, maupun proses remineralisasi sedimen. Kecepatan rata-rata arus pada kanal menunjukan kondisi yang sama yaitu pada saat pasang kecepatan rata-rata adalah 0,54 mdetik sedangkan pada saat surut kecepatan rata-ratanya adalah 0,51 mdetik Renjaan dan Pattisamalo 1999. Karena tipe pasang surut perairan ini adalah pasang campuran mirip harian ganda maka arus pasang surut pada suatu titik di Teluk Un akan berubah arah dan kecepatannya sebanyak empat kali. Kecepatan arus pada kanal teluk ini sangat mempengaruhi cepat lambatnya pergantian massa air di dalam teluk tersebut, hal ini berkaitan dengan kepekaan teluk tersebut terhadap polusi maupun dalam menentukan input dan output bibit propagule, misalnya larva biota laut yang terbawa arus ke teluk tersebut. Renjaan dan Pattisamalo 1999 mengemukakan bahwa lama waktu menetap residence time atau lama waktu singgah transit time massa air di teluk tersebut diperkirakan kurang dari 9 jam. Dalam kurun waktu yang singkat ini Teluk Un dapat memperbaharui massa airnya maupun kondisi bio-ekologisnya. 89 Nilai salinitas sangat mempengaruhi sebaran fauna maupun flora pada suatu perairan teluk. Distribusi jenis mangrove tertentu atau distribusi kerang tertentu sangat dipengaruhi oleh nilai kisaran salinitas. Misalnya Saccostrea echinata tidak mampu bertoleransi terhadap salinitas rendah, sebaliknya Saccostrea cucullata mampu bertoleransi terhadap salinitas Tinggi. Hal ini menentukan keberadaan species-species ini di dalam teluk Un. Berdasarkan pengukurun secara terus menerus selama 15 hari pada kanal teluk tersebut, maka diketahui bahwa nilai salinitas berkisar antara 31 - 35‰, dimana salinitas pada saat surut lebih rendah dari salinitas pada saat pasang Renjaan dan Pattisamalo 1999. Sedangkan nilai salinitas yang dipantau selama sebulan Oktober - November 1999 di dalam Teluk Un menunjukkan bahwa nilai salinitas berkisar antara 33 - 35‰. Pola angin di Pulau Dullah khususnya di sekitar Teluk Un pada umumnya sama dengan di wilayah lain di Kepulauan Kei. Karena luas kawasan Teluk Un yang relatif kecil, maka angin tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap permukaan laut di dalam teluk tersebut. Hasil pengukuran Polanunu 1998 menunjukan bahwa pada bulan Oktober dan Nopember musim peralihan II arah angin umumnya datang dari Barat daya lokasi kanal. Disamping itu berdasarkan pengukuran menggunakan Anemometer pada ketinggian dua meter di atas permukaan laut Teluk Un memperlihatkan bahwa kecepatan angin berkisar antara 0,3 - 4,7 knot. Kecepatan ini hanya mampu menimbulkan riak karena wilayah pembentukan gelombang fetch dari teluk ini relatif sangat sempit. Tipe pasang surut di kawasan Teluk Un adalah pasang campuran mirip harian ganda mixed predominantly semi-diurnal tide. Tipe pasang ini dicirikan dengan dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari dimana pasang pertama lebih besar dari pada pasang yang kedua. Pasang tertinggi di perairan ini terjadi pada bulan April dan Desember. Hal ini bersamaan dengan musim pemijahan cacing laor Perinereis cultrifera atau dalam bahasa setempat disebut Es’u. Oleh karena itu masyarakat setempat menyebutnya Metruat Es’u yang berarti pasang laor cacing laut, sedangkan surut terendah terjadi pada bulan Oktober. Karena kondisi topografi Teluk Un yang sangat landai, maka sebagian besar wilayah perairannya mengalami kekeringan. Pada saat itu terjadi eksploitasi pengumpulan berbagai hasil laut secara besar-besaran oleh masyarakat setempat. 90 Surut terbesar di bulan Oktober itu dikenal sebagai Meti Kei atau dalam bahasa setempat disebut Met Ef yang umumnya bersamaan dengan musim kemarau dan suhu udara yang relatif tinggi. Berdasarkan pengukuran suhu permukaan di kanal Teluk Un secara terus- menerus selama 15 hari pada bulan Oktober - Nopember 1997, dengan interval waktu pengukuran tiap 30 menit, diketahui bahwa suhu permukaan massa air yang masuk inflow dan yang keluar outflow dari Teluk Un berkisar antara 27 - 33°C. Suhu rata-rata inflow adalah 27,5 o C sedangkan suhu rata-rata outflow adalah 27,7 o C Renjaan dan Pattisamalo 1999. Sedangkan suhu rata-rata di dalam teluk tersebut berdasarkan pengukuran selama sebulan adalah berkisar antara 29 - 31 o c. Kondisi Biologis C. Tingginya suhu air laut di dalam teluk dan yang ditransport dari bagian dalam teluk, dibandingkan dengan suhu air laut yang ditransport dari luar Teluk Un, diduga berhubungan dengan kondisi batimetri Teluk Un yang dangkal dan relatif sempit, sehingga proses pemanasan tubuh air di bagian dalam teluk relatif lebih cepat di bandingkan dengan bagian luar teluk yang relatif lebih dalam. Flora dan fauna darat di sekitar kawasan Teluk Un diantaranya adalah tumbuhan Nipah Nypa fruticans yang tumbuh di bagian darat ekosistem mangrove. Pada bagian Utara tumbuhan pantai tersebut tumbuh pohon jenis Ketapang Terminalia catapa, Waru laut Hibiscus tiliaceus, lebih jauh ke darat tumbuh Pandan darat Pandanus tectorius. Terdapat pula Cemara darat Casuaria equisetifolia, demikian pula berbagai jenis tumbuhan anggrek Dendrobium sp yang mendiami batang dan dahan mangrove. Pepohonan tersebut juga menjadi habitat bagi berbagai jenis burung seperti Kakatua Cacatua sp dan Nuri Lorius sp. Kakatua Tanimbar Cacatua gofini merupakan jenis endemik yang hanya ada di Kepulauan Yamdena dan Kepulauan Kei, serta Kakatua Cacatua galerita eleonora yang juga merupakan jenis endemik kepulauan Kei Kecil, Aru dan Seram Timur, kedua jenis kakatua ini dilindungi Undang-Undang dan terdaftar sebagai species langka dalam CITES Convention on International Trade in Endangered Species . Pada pepohonan dengan kanopi yang besar dan lebat, hidup berbagai jenis Kuskus antara lain seperti Kuskus 91 coklat biasa Phalanger orientalis, Kuskus kelabu Phalanger gymnotis, dan Kuskus totol hitam Phalanger rufoniger. Untuk flora dan fauna laut, mangrove dan lamun mendominasi kawasan perairan Teluk Un, sedangkan karang hanya terdapat pada ujung timur kanal kanal tersebut. Mangrove mengitari hampir keseluruhan teluk, demikian pula lamun yang hampir menutupi 50 dasar perairan teluk tersebut. Mangrove, lamun dan karang merupakan ekosistem produktif perairan tropis, kehadiran ketiga ekosistem ini menopang keberlanjutan ekosistem perairan karena merupakan habitat bagi berbagai fauna, yakni sebagai daerah pemijahan spawning ground, daerah asuhan nursery ground dan daerah mencari makan feeding ground bagi berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Mangrove sendiri memasok unsur hara ke dalam perairan karena serasah mangrove dirombak oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara nutrien terlarut yang dapat dimanfaatkan fitoplankton, alga ataupun mangrove itu sendiri dalam fotosintesis, sebagiannya sebagai partikel serasah detritus yang dimakan oleh ikan, kepiting, dan udang. Selain mangrove, lamun, dan karang, pada kawasan perairan Teluk Un juga dijumpai makrofauna yang terdiri dari kelompok Moluska, Ekinodermata, Arthropoda, Annelida, dan beberapa spesies dari kelompok lainnya. Hasil sampling dari 10 transek pengamatan seperti ditunjukan pada Tabel 15. Dari Tabel 16 diketahui bahwa Bronia sp dari kelas Annelida merupakan jumlah terpadat yakni 1,55 indm 2 diikuti oleh Eunice sp dari kelas yang sama dengan tingkat kepadatan 1,42 indm 2 , kemudian Pitar manilae dari kelas Molluska dengan tingkat kepadatan sebesar 1,42 indm 2 , sedangkan Owenia sp dari kelas Annelida merupakan jenis dengan jumlah paling jarang yakni 0,06 indm 2 . Disamping itu, keberadaan plankton juga tidak dapat diabaikan. Dalam struktur tropik, phytoplankton merupakan kelompok organisme yang berada pada struktur dasar atau produksi primer di dalam rantai makanan di laut. Dari hasil analisis terhadap populasi plankton terlihat bahwa kondisi plankton cukup baik dengan tingkat kestabilan komunitas berada pada kondisi sedang. Zooplankton merupakan spesies yang pada struktur tropik rantai makanan berada pada tingkatan kedua. Berdasarkan tingkat kepadatan, populasi zooplankton lebih rendah dibandingkan dengan populasi phytoplankton. 92 Tabel 15 Kelas dan spesies makrofauna di Teluk Un No. KelasSpesies Kepadatan indm 2 MOLUSKA 1 Abra sp. 0,26 2 Donax variagatus 0,34 3 D. vittatus 1,32 4 D. compresus 0,56 5 Perna viridis 0,18 6 Pitar manilae 1,42 7 Rhinoclavis vertagus 0,72 8 Tellina radiate 2,80 9 Terebellum terebellum 0,22 EKINODERMATA 1 Amphiura sp. 0,42 2 Dendraster excentrias 0,38 3 Holothuria atra 0,18 4 Protoreaster nodosus 0,44 5 Synapta recta 0,22 ARTHROPODA 1 Macropthalmus sp. 0,24 2 M. ceratophorus 0,32 3 Penaeus sp. 1,34 ANNELIDA 1 Autolytus sp. 0,56 2 Axiotella sp. 1,12 4 Bronia sp. 1,55 5 Capitella sp. 1,12 6 Eunice sp. 1,52 7 Nereis sp. 0,80 8 Owenia sp. 0,06 9 Polynea sp. 0,86 KELOMPOK LAIN 1 Aspidosiphon sp. 0,22 2 Sipunculus sp. 0,42 3 Plumularia sp. 0,30 Sumber: Laporan Hasil Identifikasi Calon KKLD Maluku Tahun 2006. Hasil sampling larva selama 15 hari berturut-turut yang dilakukan dengan interval waktu sampling 30 menit selama bulan Oktober - November 1997 di kanal Teluk Un Renjaan dan Pattisamallo 1999 seperti ditunjukan pada Tabel 16. 93 Tabel 16 Plankton yang terbawa arus pasut dari dan ke Teluk Un Arah arus Klas Ordo Genus Arus masuk inflow ke Teluk Un saat pasang Gastropods Heteropod Atlanta Pteropod Limacina Archeogastropod Nerita Bivalvia Un-identified Un-identifed Arus keluar outflow dari Teluk Un saat surut Gastropods Heteropod Atlanta Pteropod Limacina Peraclis Diacria Creseis Archeogastropod Nerita Bivalvia Un-identified Un-identified Sumber: Laporan Hasil Identifikasi Calon KKLD Maluku Tahun 2006. Dari hasil sampling tersebut diketahui bahwa jumlah jenis plankton yang terbawa oleh arus dari dalam ke luar Teluk Un lebih banyak bila dibandingkan dengan yang terbawa oleh arus dari luar ke dalam Teluk Un. Tercatat 3 jenis plankton holoplankton yang hanya didapatkan terbawa oleh arus dari dalam laguna ke luar laguna, hal ini mengindikasikan bahwa Teluk Un pada saat itu merupakan wilayah sumber source bagi ketiga jenis plankton tersebut. Demikian pula bahwa jumlah kepadatan plankton untuk setiap jenis yang terbawa oleh arus surut dari dalam Teluk Un lebih banyak dari yang terbawa oleh arus pasang dari luar teluk tersebut. d. Kondisi Kimia Perairan Salah satu indikator yang dijadikan tolok ukur dalam menilai kualitas perairan adalah pengamatan parameter kimia perairan. Dari hasil analisis terlihat bahwa kualitas perairan di sekitar perairan Kei Kecil dan Pulau Dullah berada dalam kondisi yang relatif baik dan tidak mengalami perubahan akibat masukan bahan-bahan kimia dan logam berat ke lingkungan perairan, sehingga dapat digunakan untuk kegiatan budidaya laut. Namun di beberapa tempat perairan Kei Kecil telah terjadi kelebihan kandungan logam cadmium yang melebihi ambang batas yang diperbolehkan dalam badan air. Tingginya kandungan logam cadmium 94 ini banyak disebabkan oleh buangan limbah dari kegiatan penduduk disekitar perairan dan aktivitas lainnya di sekitar pelabuhan Tual. Kondisi kimia perairan di sekitar perairan Kei Kecil dan Pulau Dullah seperti ditunjukan pada Tabel 17. Tabel 17 Nilai parameter kimia air laut di sekitar perairan Kei Kecil dan Pulau Dullah No Parameter Satuan Nilai 1 PH - 7,71 2 DO mgl 6,912 3 Sulfida H 2 mgl S 0,01 4 COD mgl 20,45 5 Amonia NH 3 mgl -N 0,007 6 Nitrat NO3-N mgl 0,015 7 Nitrit NO2-N mgl 0,006 8 Sianida CN mgl 0,01 9 Phosfat mgl 0,002 10 Raksa Hg mgl 0,001 11 Kadmium Cd mgl 0,041 12 Timah Hitam Pb mgl 0,006 13 Tembaga Cu mgl 0,017 Sumber : Data Spasial Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Tahun 2003.

4.3.3 Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut

a. Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung seperti halnya di perairan Teluk Un dan Vid Bangir. Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting yaitu sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang 95 diangkut oleh aliran air permukaan; sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok; sebagai daerah asuhan nursery ground, daerah mencari makan feeding ground dan daerah pemijahan spawning ground berbagai macam biota perairan seperti ikan, udang dan kekerangan, baik yang hidup di perairan pantai maupun di laut lepas. Ditemukan 3 jenis mangrove yang tumbuh disekitar perairan Teluk Un yakni Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorhiza, dan Soneratia alba, serta 5 jenis mangrove yang tumbuh disekitar perairan Teluk Vid Bangir, yakni Aegiceras corniculatum, Rhizophora apiculata, Avicenia rumpiana , Soneratia alba, dan Xylocarpus granatum. Khusus yang tumbuh di sekitar perairan Teluk Vid Bangir, sebagian ekosistem ini telah terdegradasi akibat pembangunan jalan namun masih berpeluang untuk ditanami kembali, hal ini ditunjang oleh kestabilan sedimen berlumpur karena jauh dari pengaruh langsung faktor fisik seperti ombak dan gelombang karena posisinya yang terlindung. Luas keseluruhan ekosistem mangrove di kawasan ini adalah 153,58 ha dengan kerapatan 300 pohonha, persen penutupannya adalah sebesar 35, tumbuh diperairan dengan suhu 29 - 32 o b. Lamun C, salinitas 30 - 33‰, dengan dasar perairan berlumpur, pasir halus dan patahan karang. Suksesi ekosistem ini cenderung masih berlangsung, hal ini terindikasi dengan adanya kehadiran anakan mangrove yang tumbuh dan berkembang di kawasan perairan Teluk Un dan Vid Bangir. Kondisi ini diharapkan dapat mengimbangi ekosistem mangrove yang telah terdegradasi akibat pembangunan jalan yang melalui sebagian ekosistem ini. Lamun seagrass merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga Angiospermae yang memiliki rhyzoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam dalam laut. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut yaitu produsen detritus dan zat hara; mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati 96 masa dewasanya dilingkugan ini; serta sebagai tudung pelindung yang melindungi padang lamun dari sengatan matahari. Lamun hidup diperairan dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 - 12 meter dengan sirkulasi air yang baik seperti halnya di perairan Teluk Un dan Vid Bangir. Ditemukan 2 spesies lamun yang tumbuh disekitar perairan Teluk Un yakni Enhalus accroides dan Halodule pinivolia, serta 3 spesies lamun yang tumbuh di sekitar perairan Teluk Vid Bangir yaitu Enhalus accroides, Thallasia hemprichii dan Halophila ovalis. Khusus yang tumbuh di sekitar peraitan Teluk Vid Bangir, spesies Thallasia hemprichii mendominasi hampir sebagian besar perairan ini karena memilki frekuensi kehadiran terbanyak pada setiap kuadran, setelah itu diikuti oleh jenis Halophila ovalis dan Enhalus accroides. Luas keseluruhan ekosistem lamun di kawasan ini adalah 55,14 ha dengan persen penutupan sebesar 61,20, tumbuh diperairan dengan suhu 29 - 32 o c. Karang C, salinitas 30 - 33‰, dengan dasar perairan pasir halus. Di dalam padang lamun ini umumnya dijumpai berbagai krustasea, moluska, ekinodermata dan ikan. Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas yang terdapat di wilayah pesisir dan laut daerah tropis. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan- endapan masif kalsium karbonat CaCO 3 yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu karang hermatipik dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan Zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat. Secara ekologis terumbu karang mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut yaitu sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut; sebagai habitat atau tempat tinggal, daerah mencari makan feeding ground, daerah asuhan nursery ground, dan daerah pemijahan spawning ground bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya. Terumbu karang ditemukan diperairan dangkal dan jernih di daerah tropis dengan suhu perairan rata-rata tahunan 18 o C perairan yang cerah pada kedalaman kurang dari 50 meter dengan sirkulasi air yang baik seperti halnya di perairan Teluk Un dan Vid Bangir. 97 Karang di perairan Teluk Un hanya berupa beberapa koloni pada ujung Utara dan sepanjang kanal yang menghubungkannya dengan Teluk Vid Bangir. Tipe terumbu karang di kawasan ini terutama di Teluk Vid Bangir adalah tergolong sebagai terumbu karang pantai fringing reef. Ditemukan 35 spesies karang batu yang tergolong dalam 19 genera dan 10 famili, dengan spesies dominan adalah Porites lutea. Substrat dasar perairan di bagian tubir Teluk Vid Bangir didominasi oleh komponen biotik yang memiliki persen penutupan sebesar 53,4 dan didominasi oleh karang keras. Sedangkan komponen abiotik terdiri dari pasir dan patahan karang mati gravel. Luas keseluruhan ekosistem terumbu karang di kawasan ini adalah 62,78 ha dengan persen penutupan sebesar 47,4 dan tergolong dalam kondisi kurang baik. Pada areal pengamatan selebar 2,5 m pada sisi kiri dan kanan garis transek, juga dijumpai berbagai biota laut lainnya seperti jenis-jenis ikan karang baik dari kelompok ikan mayor, ikan indikator, maupun ikan target; moluska Tridacna spp ; alga; dan ekinodermata teripang. Disamping itu dijumpai juga adanya bekas-bekas kerusakan terumbu karena penggunaan bahan peledak bom. Hasil sensus ikan karang memperlihatkan bahwa jenis-jenis ikan karang yang hidupnya secara bergerombol dari famili Caesionidae dijumpai dalam jumlah yang cukup besar.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Rancang bangun pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi ini bertujuan untuk mendesain aspek pengelolaan ekosistem dan sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang ada di Pulau Dullah, khususnya di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan cara mengintegrasikan kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan wisata bahari dalam satu model pengelolaan terpadu, sekaligus juga mengkaji keterpaduan ekologi- ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut tersebut dengan pendekatan konservasi. Untuk dapat menjawab tujuan dimaksud maka rancang bangun ini dimulai dengan menganalisis potensi perikanan dan pariwisata serta ekosistem dan sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang mendukungnya melalui analisis kesesuaian lahan; analisis skala prioritas pemanfaatan ruang; dan analisis daya dukung lingkungan dengan menggunakan alokasi ruang spatial sebagai variabel konservasi terhadap kondisi fisik Pulau Dullah, kemudian menghitung nilai ekonomi sumberdaya melalui valuasi ekonomi dan analisis manfaat-biaya dengan menggunakan alokasi waktu temporal sebagai variabel konservasi non fisik. Tahapan selanjutnya adalah mendesain model pengelolaannya.

5.1 Analisis Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Bahari Berbasis Konservasi

Pengelolaan pada hakekatnya adalah mengatur perilaku para pengguna ekosistem dan sumberdaya alam. Ekosistem dan sumberdaya alam yang dimaksud dalam konteks ini adalah ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan lautan termasuk di dalamnya adalah ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang dan sumberdaya perikanan, karena ekosistem dan sumberdaya alam ini paling banyak mendapat tekanan sehingga perlu diselamatkan dari kerusakan. Pengelolaan juga dimaksud untuk menata kembali pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya alam tersebut sesuai peruntukannya berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan dengan tetap mengakomodir berbagai kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat yang ada di sekitar kawasan tersebut misalnya dalam bentuk ekowisata bahari, minawisata bahari dan lain-lain. 100 Ekowisata bahari merupakan kegiatan rekreasi yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan lingkungan perairan laut yang dilakukan di sekitar pantai dan lepas pantai, antara lain seperti berenang; berjemur; diving; snorkeling; dan tracking di hutan mangrove. Selain memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan lautan, kegiatan ekowisata bahari juga terkait dengan pemanfaatan potensi sumberdaya manusia yang dimiliki melalui nilai-nilai adat istiadat dan budaya setempat Dodds 2007. Sementara minawisata bahari merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya perikanan dan wisata bahari secara terintegrasi dengan tujuan untuk meningkatkan nilai ekonomi dari sumberdaya tersebut.

5.1.1 Kesesuaian Pemanfaatan Ruang untuk Masing-Masing Aktivitas a. Minawisata Bahari Pancing

Pada dasarnya, memancing ikan dapat dibedakan dalam 2 kategori yaitu memancing ikan dalam konteks berproduksi, dan memancing ikan dalam konteks berwisata. Dalam konteks berproduksi, memancing ikan adalah aktivitas nelayan menangkap ikan dimana hasil pancingannya kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan dalam konteks berwisata, memancing ikan merupakan aktivitas wisatawan menangkap ikan dimana hasil pancingannya diutamakan untuk mencapai kepuasan selama berwisata. Hasil pancingan dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga, atau bisa juga dibawa pulang ke rumah untuk dinikmati bersama keluarga. Dengan dasar pemikiran tersebut maka aktivitas perikanan dan pariwisata ini dapat dipadukan dan dikemas dalam bentuk minawisata bahari, yaitu berwisata sambil memancing ikan. Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional dan dikenal sebagai ladang ikan baronang siganus sp dan juga jenis-jenis ikan target lainnya seperti ikan kerapu grouper dan ikan maming napoleon yang telah lama dimanfaatkan oleh penduduk Desa Taar dan sekitarnya bagi pemenuhan kebutuhan protein. Pemanfaatan sumberdaya laut di teluk ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu, apalagi karena berada dalam pusat pengembangan Kota Tual, maka dikhawatirkan dimasa datang akan terjadi tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya teluk ini bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk sebagai konsekuensi pengembangan Kota Tual. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dicarikan suatu bentuk 101 pemanfaatan sumberdaya yang berbasis konservasi agar dapat mengurangi tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya yang ada. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu untuk menjaga kelestarian ekosistem dan sumberdaya yang ada termasuk sumberdaya ikan. Dengan pertimbangan tersebut maka minawisata bahari pancing adalah merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya yang berbasis konservasi yang dapat dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing mempertimbangkan 8 parameter kesesuaian biofisik yaitu kelompok jenis ikan; kecepatan arus; tinggi gelombang; kecerahan perairan; suhu perairan; salinitas; kedalaman perairan; serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari pancing seperti ditunjukan pada Tabel 18. Tabel 18 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing No Kelas Kesesuaian Luasan ha Luasan 1. Sesuai S 169,22 58,52 2. Sesuai Bersyarat SB 119,95 41,48 3. Tidak Sesuai TS - - Total 289,17 100,00 Tabel 18 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai S untuk minawisata bahari pancing adalah sebesar 169,22 ha 58,52 dan yang sesuai bersyarat SB adalah sebesar 119,95 ha 41,48 dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, sedangkan untuk kelas kesesuaian yang tidak sesuai TS tidak ditemukan dalam perairan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, hal ini karena kondisi biofisik kawasan perairan ini memenuhi 8 parameter kesesuaian yang digunakan untuk analisis dan dari hasil ground check masing-masing parameter tersebut berada dalam kisaran yang dipersyaratkan untuk kelas sesuai dan sesuai bersyarat. Menurut Madduppa 2009 ikan dapat dikelompokkan berdasarkan perannya yaitu kelompok ikan target; kelompok ikan indikator; dan kelompok ikan mayor. Kelompok ikan target adalah ikan-ikan yang mempunyai nilai 102 ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat, atau ikan-ikan yang merupakan target penangkapan ikan ekonomis penting antara lain Serranidae; Lutjanidae; Lethrinidae; Acanthuridae; Mulidae; Siganidae; Labridae; dan Haemulidae. Kelompok ikan indikator adalah ikan-ikan yang menjadi parameter terhadap kesehatan terumbu karang karena keberadaan ikan-ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang antara lain Chaetodontidae; dan Variegatus. Sedangkan kelompok ikan mayor adalah ikan-ikan yang berperan secara umum dalam sistem rantai makanan di daerah terumbu karang, biasanya ditemukan dalam jumlah banyak dan seringkali dijadikan sebagai ikan hias air laut antara lain Pomacentridae; Pomachantidae; dan Apogonidae. Dalam hubungannya dengan minawisata bahari pancing di kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, Polanunu 1998 menemukan bahwa arus dominan di Teluk Un adalah arus pasang surut. Dari hasil pengukuran arus secara tertambat eularian pada bulan Oktober dan November 1997 diketahui bahwa kecepatan arus di Teluk Un baik di dalam maupun di luar areal padang lamun memiliki kisaran antara 0,35 - 1,12 mdetik, dan kisaran kecepatan arus ini baik untuk kehidupan ikan. Menurut Sugiarti 2000 tinggi gelombang merupakan salah satu parameter yang harus diperhatikan dalam menentukan alokasi ruang untuk suatu peruntukan pemanfaatan sumberdaya laut, karena hal ini berkaitan dengan faktor keamanan dan keselamatan nelayan atau wisatawan selama melakukan berbagai aktivitas di laut. Tinggi gelombang yang dipersyaratkan untuk aktivitas penangkapan ikan di laut adalah kurang dari 1 meter. Dengan tinggi gelombang yang kurang dari 1 meter maka nelayan atau wisatawan akan berada dalam kondisi aman dari hempasan gelombang perairan yang terjadi di lokasi tersebut. Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor yang cukup menentukan keberadaan ikan, baik kelompok ikan target; ikan indikator; ataupun ikan mayor, karena keberadaan ikan-ikan tersebut erat hubungannya dengan kondisi kesehatan dan kesuburan terumbu karang. Perairan yang cerah dan jernih sangat baik untuk pertumbuhan terumbu karang yang menjadi habitat dari berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Semakin sehat ekosistem terumbu karang di suatu lokasi maka 103 semakin banyak pula ikan dan organisme laut yang dapat kita temukan di lokasi tersebut. Kecerahan perairan berbanding terbalik dengan kekeruhan. Pada perairan yang cerah jarak tembus pandang dalam kolom air semakin besar atau jauh, selain itu kondisi perairan yang cerah baik untuk kehidupan ikan dan organisme laut lainnya. Dalam kenyataannya, banyak terdapat ikan dan organisme laut lainnya yang hidup pada kondisi perairan yang cerah. Sebaliknya pada perairan yang keruh terdapat banyak partikel-partikel yang tersuspensi dalam kolom air sehingga membuat jarak tembus pandang dalam kolom air semakin kecil atau dekat, selain itu kondisi perairan yang keruh tidak sehat bagi kehidupan ikan dan organisme laut lainnya. Dalam hubungannya dengan minawisata bahari pancing, Sugiarti 2000 menjelaskan bahwa kegiatan pemancingan ikan biasanya dilakukan di perairan dengan jarak tembus pandang dalam kolom air kecerahan kurang dari 10 meter, karena ikan-ikan yang menjadi target penangkapan biasanya banyak terdapat di perairan dengan kondisi kecerahan seperti tersebut diatas. Menurut Nybakken 1988 dalam kondisi normal suhu dipermukaan laut berkisar antara 25,6 - 32,3 o C, disamping itu Mulyanto 1992 menjelaskan bahwa suhu perairan yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25 - 32 o Selain parameter biofisik dan oseanografi perairan tersebut diatas, pengembangan minawisata bahari pancing di suatu lokasi tertentu perlu mempertimbangkan jarak lokasi pengembangan dari alur pelayaran, kawasan budidaya dan kawasan lainnya seperti sentra pemukiman; perekonomian; aktivitas pemerintahan; dan lain-lain. Idealnya jarak untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah lebih dari 500 meter, hal ini agar aktivitas minawisata bahari pancing yang dikembangkan di lokasi tersebut tidak sampai mengganggu alur pelayaran. Demikian pula sebaliknya semua kegiatan masyarakat yang ada di sekitar lokasi tersebut tidak sampai berpengaruh kepada aktivitas minawisata bahari C. Untuk salinitas, Nontji 2003 menjelaskan bahwa nilai salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 - 37‰. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32 - 34‰ sedangkan untuk laut terbuka umumnya berkisar antara 33 - 37‰ dengan rata-rata adalah 35‰. Kisaran salinitas ini baik untuk kehidupan organisme laut khususnya ikan Romimohtarto dan Juwana 1999. 104 pancing yang dikembangkan di lokasi tersebut Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi. Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S sesuai pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti kecepatan arus; tinggi gelombang; kecerahan perairan; suhu perairan; salinitas; dan jarak lokasi pengembangan dari alur pelayaran, kawasan budidaya dan kawasan lainnya memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan perairan menjadi sesuai bersyarat SB yaitu kedalaman perairan dan kelompok jenis ikan. Di beberapa bagian perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir kedalaman perairan ditemukan berada pada kisaran kurang dari 2,5 meter. Dengan tunggang pasut lebih dari 2,5 meter maka pada saat surut terendah bagian perairan tersebut akan kering sehingga yang tadinya sesuai kini menjadi tidak sesuai lagi untuk aktivitas pemancingan. Selain itu juga ada bagian perairan yang kedalamannya berada pada kisaran lebih dari 10 meter. Jika dikaitkan dengan sasaran dari aktivitas minawisata bahari pancing hal ini juga akan menjadi faktor pembatas, karena ikan-ikan yang menjadi target penangkapan adalah ikan-ikan ekonomis penting dari kelompok ikan pelagis dimana perairan yang sesuai untuk aktivitas ini adalah perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter karena ikan- ikan yang menjadi target penangkapan biasanya hidup pada kedalaman tersebut. Kelompok jenis ikan juga merupakan faktor pembatas lainnya. Ikan target yaitu ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat seperti dari family Serranidae; Lutjanidae; Lethrinidae; Acanthuridae; Mulidae; Siganidae; Labridae; dan Haemulidae Madduppa 2009 tidak tersebar merata tetapi ditemukan terkonsentrasi pada lokasi tertentu dengan kondisi terumbu karang yang masih baik. Dengan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari pancing seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 10. Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan potensi dan sumberdaya perikanan yang ada di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari pancing, maka perlu disiapkan sarana pendukung 105 Gambar 10 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing. 106 lainnya seperti dermaga kecil jetty; perahu boat; dan peralatan pancing. Dilokasi ini tersedia jetty milik masyarakat Desa Taar yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas tersebut, sedangkan yang masih perlu dibenahi adalah penyediaan perahu berikut peralatan pancingnya.

b. Minawisata Bahari Pengumpulan Kerang Moluska

Di daerah Kepulauan Kei ada satu aktivitas masyarakat yang sudah berlangsung secara turun temurun yaitu pengumpulan biota laut dari jenis kerang moluska untuk dikonsumsi oleh keluarga. Aktivitas ini sering dilakukan pada bulan Oktober karena biasanya pada bulan tersebut temperatur udara tertinggi sepanjang tahun dan kekuatan angin sangat lemah sehingga kondisi laut sangat tenang, bersamaan dengan kondisi tersebut terjadi juga air surut terbesar yang dikenal dengan Met Ef atau Meti Kei. Moluska adalah salah satu kelompok dari berbagai biota laut yang banyak terdapat di daerah pasang surut intertidal. Daerah intertidal merupakan daerah pesisir yang paling banyak diminati dan dikunjungi baik untuk kegiatan penelitian maupun untuk berwisata. Dengan melihat kebiasaan masyarakat tersebut dan didukung oleh kondisi fisik alam dan potensi sumberdaya yang tersedia maka aktivitas masyarakat ini dapat dikembangkan dan dikemas dalam bentuk minawisata bahari yaitu berwisata sambil mengumpulkan dan menikmati makanan laut sea-food dari jenis moluska. Pengumpulannya dilakukan sendiri oleh wisatawan dan selanjutnya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata, atau bisa juga dibawa pulang ke rumah untuk dinikmati bersama keluarga. Minawisata bahari pengumpulan moluska dapat dikembangkan di kawasan ini karena kondisi topografi Kepulauan Kei khususnya kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang landai, kondisi ini mengakibatkan sebagian besar wilayah mintakad pasang surut pada kawasan tersebut mengalami kekeringan, lebar dataran pasut dapat mencapai lebih dari 200 meter sehingga dapat dijadikan area pengumpulan moluska. Pemanfaatan potensi sumberdaya moluska di teluk ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu, apalagi karena aktivitas ini telah berlangsung lama dan secara turun-temurun sehingga pengelolaannya perlu diarahkan pada aktivitas yang berbasis konservasi. 107 Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan moluska mempertimbangkan 7 parameter biofisik yaitu jenis moluska; kelimpahan; lebar dataran pasut; tipe substrat pantai; kemiringan pantai; suhu perairan; dan salinitas. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari pengumpulan moluska seperti ditunjukan pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan moluska No Kelas Kesesuaian Luasan ha Luasan 1. Sesuai S 107,23 37,08 2. Sesuai Bersyarat SB 69,15 23,92 3. Tidak Sesuai TS 112,79 39,00 Total 289,17 100,00 Tabel 19 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai S untuk minawisata bahari pengumpulan moluska adalah sebesar 107,23 ha 37,08, yang sesuai bersyarat SB adalah sebesar 69,15 ha 23,92, sedangkan yang tidak sesuai TS adalah sebesar 112,79 ha 39,00 dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Renjaan 2006 in DPK 2006a menjelaskan bahwa dari hasil analisis terhadap data dari 10 transek pengamatan yang dilakukan pada bulan Oktober - Nopember 1997 di kawasan perairan Teluk Un teridentifikasi beberapa jenis moluska dengan kepadatan masing-masing sebagai berikut Abra sp. 0,26; Donax variagartus 0,34; D. vittatus 1,32; D. compresus 0,56; Perna viridis 0,18; Pitar manilae 1,42; Rhinoclavis vertagus 0,72; Tellina radiate 2,8; dan Terebellum terebellum 0,22 dengan kepadatan rata-rata berkisar antara 0,18 - 2,8 individum 2 Disamping itu, hasil pengamatan lapangan menunjukan bahwa selain yang tersebut diatas terdapat juga beberapa jenis moluska yang teridentifikasi berada di daerah intertidal kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan kepadatannya masing-masing sebagai berikut Anadara sp. 2,53; Cerithium sp. 2,37; Chlamys sp. 0,85; Clanculus sp. 0,16; Cypraea sp. 0,28; Donax sp. 1,32; Euspira sp. 0,64; Guilfordia sp. 0,23; Haliotis sp. 2,47; Hippopus sp. 0,12; Lambis sp. 0,23; Lioconcha sp. 0,85; Littorina sp. 2,76; . 108 Phenacovolva sp. 1,63; Siliquaria sp. 1,93; Strombus sp. 1,63; Tectus sp. 0,16; Tridacna sp. 0,12; dan Tripneustes sp. 1,14, dengan kepadatan rata-rata berkisar antara 0,12 - 2,76 individum 2 . Berkaitan dengan kebutuhan lahan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska pada saat terjadinya surut, maka lebar dataran pasut diukur mulai dari garis pantai sampai dengan batas surut terendah. Menurut Bengen 2008 untuk kebutuhan aktivitas ini, maka lebar dataran pasut yang ideal adalah lebih dari 100 meter, dengan pertimbangan bahwa apabila lebar dataran pasut cukup luas, maka wisatawan dapat melakukan aktivitas pengumpulan moluska dengan aman sekaligus dapat menikmati keindahan alam di lokasi pengumpulan moluska. Menurut Renjaan 2006 in DPK 2006a, lebar dataran pasut di sekitar Teluk Un dapat mencapai lebih dari 200 meter dan memiliki dasar perairan yang sangat landai. Karena kondisi dasar perairannya yang landai dan kisaran pasut wilayah ini yang tergolong kedalam mesotidal 2,50 m menyebabkan saat surut sebagian besar perairan ini mengalami kekeringan. Hasil penelitian dari Latale 2003 in Natan 2008 menemukan bahwa salah satu spesies moluska dari famili Lucinidae yakni kerang lumpur Anodontia edentula mendiami substrat bersedimen pasir sangat kasar very coarse sand sampai lumpur silt atau clay, dan umumnya didominasi oleh pasir kasar coarse sand dan pasir berukuran sedang medium sand, dan mempunyai nilai porositas antara 41,71 - 55,58. Kemiringan pantai merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi minawisata bahari pengumpulan moluska. Pada umumnya aktivitas ini dapat dilakukan di daerah intertidal dengan kemiringan pantai yang landai karena lama waktu untuk berwisata sambil mengumpulkan moluska akan lebih panjang dan relatif aman bagi wisatawan. Untuk daerah intertidal dengan kemiringan pantai yang curam, aktivitas ini masih dapat dilakukan tetapi waktunya relatif lebih pendek dan cukup beresiko terhadap keselamatan wisatawan dalam hubungannya dengan proses naiknya permukaan air laut akibat pasang karena dataran pasut pada pantai yang curam akan cepat tergenang air laut, sedangkan daerah intertidal dengan kemiringan pantai yang terjal tidak dimungkinkan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska. 109 Perubahan suhu akan berpengaruh terhadap pola kehidupan organisme perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran hewan dan tumbuhan. Suhu mempengaruhi secara langsung aktifitas organisme seperti pertumbuhan dan metabolisme bahkan menyebabkan kematian organisme, sedangkan pengaruh tidak langsung adalah meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunkan kadar oksigen dalam air. Setiap spesies hewan moluska mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu. Suhu optimum bagi moluska bentik berkisar antara 25 - 28 o Tunggang pasut tidal range sangat erat hubungannya dengan tipe pantai dan lebar dataran pasut. Menurut Renjaan 2006 in DPK 2006a tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil umumnya lebih dari 2,5 meter, dengan kondisi tunggang pasut sedemikian pada topografi yang landai seperti halnya di Teluk Un maka pada saat surut terendah sebagian besar dataran pasut muncul dipermukaan C Hutagalung 1988 dan Huet 1972 in Razak 2002. Sejalan dengan itu, salinitas secara tidak langsung mempengaruhi kerang melalui perubahan kualitas air seperti pH dan oksigen terlarut. Menurut Setiobudiandi 1995 salinitas optimum bagi hewan moluska berkisar antara 2 - 36 ppt. Renjaan 2006 in DPK 2006a menjelaskan bahwa jenis pasut di kawasan Teluk Un adalah pasut campuran mirip harian ganda mixed predominantly semi- diurnal tide , tipe pasut ini dicirikan dengan dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari. Dengan jenis pasut seperti ini maka aktivitas pengumpulan moluska oleh wisatawan dapat dilakukan selama 2 kali dalam 1 hari, dengan demikian minawisata bahari pengumpulan moluska dapat dikembangkan di daerah-daerah dengan tipe pasut seperti ini, salah satunya adalah di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi. Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S sesuai pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti jenis moluska; kelimpahan; suhu perairan; salinitas; lebar dataran pasut; tipe substrat pantai; dan kemiringan pantai memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan perairan menjadi sesuai bersyarat SB dan tidak sesuai TS yaitu tunggang pasut. 110 air. Sementara itu menurut BAKOSURTANAL 1992 in DPK 2006a tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil berdasarkan pengukuran selama 30 hari di stasiun TNI AL Tual adalah 2,6 meter. Daerah-daerah dengan tunggang pasutnya besar sangat sesuai untuk lokasi minawisata bahari pengumpulan moluska, hal ini karena dengan tunggang pasut yang lebih dari 2 meter pada pantai yang landai, maka pada saat surut akan membuat pantai tersebut menjadi cukup luas dan mengalami kekeringan sehingga dapat digunakan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska. Sedangkan pada saat air laut bergerak pasang, daerah intertidal tersebut masih relatif aman bagi wisatawan karena permukaan air laut akan naik secara perlahan dalam waktu yang cukup lama untuk menutupi pandai yang landai. Sebaliknya untuk daerah- daerah dengan tunggang pasutnya kecil kurang dari 2 meter tidak sesuai untuk lokasi minawisata bahari pengumpulan moluska. Hal ini karena dengan tunggang pasut yang kurang dari 2 meter pada pantai yang relatif curam maka walaupun pada saat surut, lebar dataran pasut lebar pantai tidak cukup luas sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari pengumpulan moluska seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 11. Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan potensi dan sumberdaya moluska di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari pengumpulan moluska maka perlu disiapkan sarana pendukung lainnya seperti peralatan pengumpul kerang berikut peralatan pengolahannya, sehingga moluska yang terkumpul dapat diolah dan dinikmati saat itu juga oleh wisatawan.

c. Minawisata Bahari Karamba Pembesaran Ikan

Ikan-ikan karang seperti dari jenis baronang Siganus gutatus; kerapu bebek Cromileptes altivelis; kerapu sunu Plectropomus leopardus; kerapu lumpur Epinephelus tauvina; kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus; napoleonmaming Cheilinus undulatus; dan beberapa jenis lainnya merupakan ikan konsumsi yang saat ini banyak dipasarkan dalam keadaan hidup, umumnya 111 Gambar 11 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan kerang moluska. 112 ikan-ikan jenis ini tersebar di daerah tropis dan subtropis. Selain dapat diambil dari habitatnya, saat ini ikan-ikan tersebut mulai ditangkar dibesarkan dan dibudidaya. Metoda pemeliharaan yang paling produktif dengan teknik akuakultur adalah dengan metoda karamba jaring apung yang dilakukan diperairan pantai, hal ini karena jumlah dan kualitas air selalu memadai dan juga mudah dipanen. Saat ini banyak wisatawan yang selain melakukan kegiatan wisata pantai atau wisata bahari juga mencari bentuk aktivitas lain yang berhubungan dengan ekosistem dan sumberdaya laut sebagai bentuk lain dalam berwisata. Dengan melihat peluang tersebut maka aktivitas pembesaran ikan dalam karamba jaring apung dapat dikembangkan dan dikemas dalam bentuk minawisata bahari yaitu berwisata sambil menikmati makanan laut sea-food dari berbagai jenis ikan karang. Aktivitas pembesaran ikan dalam karamba jaring apung yang dimaksud dalam minawisata bahari ini adalah bukan dalam konteks berproduksi tetapi semata-mata untuk kepentingan berwisata. Wisatawan diberikan kesempatan untuk memilih ikan dalam karamba yang pengambilannya dilakukan sendiri oleh wisatawan dan selanjutnya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata, atau bisa juga dibawa pulang kerumah untuk dinikmati bersama keluarga. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan ini dapat dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena kondisi perairannya relatif tenang serta terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Kelompok ikan yang menjadi target pembesaran dalam karamba jaring apung adalah ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat, atau ikan-ikan yang merupakan target penangkapan ikan ekonomis penting. Tentunya aktivitas yang akan dikembangkan ini adalah aktivitas yang berbasis konservasi, karena ikan-ikan tersebut tidak dibudidaya melainkan hanya diambil dari habitatnya dan dibesarkan dalam karamba jaring apung sehingga beban limbah yang dihasilkan tidak sampai mencemari lingkungan perairan. Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan mempertimbangkan 10 parameter kesesuaian yaitu kecepatan arus; tinggi gelombang; kedalaman air dari dasar jaring; suhu perairan; salinitas; oksigen terlarut; pH perairan; nitrat; phospat; serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan 113 lainnya. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan seperti ditunjukan pada Tabel 20. Tabel 20 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan No Kelas Kesesuaian Luasan ha Luasan 1. Sesuai S 44,97 15,55 2. Sesuai Bersyarat SB 136,97 47,37 3. Tidak Sesuai TS 107,24 37,08 Total 289,17 100,00 Tabel 20 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai S untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan adalah sebesar 44,97 ha 15,55, yang sesuai bersyarat SB adalah sebesar 136,97 ha 47,37, sedangkan yang tidak sesuai TS adalah sebesar 107,24 ha 37,08 dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Menurut DKP-RI 2002, kondisi perairan dengan kecepatan arus yang dipersyaratkan untuk kegiatan budidaya ikan dalam karamba jaring apung di laut adalah kurang dari 0,75 mdetik dengan tinggi gelombang kurang dari 0,5 meter. Sedangkan kedalaman air dari dasar jaring adalah lebih dari 10 meter, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kualitas dan sirkulasi air serta limbah yang dihasilkan dari kegiatan karamba jaring apung. Folke et al. l994 menjelaskan bahwa beban limbah yang dihasilkan untuk memproduksi 100 ton ikan dari kegiatan budidaya dengan karamba jaring apung adalah sama dengan beban limbah pemukiman penduduk yang didiami oleh 850 - 3.200 orang. Namun demikian menurut Kasnir dkk 2004 beban limbah tersebut dapat dikurangi dengan memberikan pakan alami berupa ikan hidup yang sudah dipotong ekornya seperti ikan mujair atau ikan lainnya, pakan alami ini dapat menghasilkan pertumbuhan sebesar 12 - 16 gramminggu. Suhu perairan adalah merupakan salah satu parameter ekologis yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Menurut Nybakken 1988 dalam kondisi normal suhu dipermukaan laut berkisar antara 25,6 – 32,3 o C, disamping itu Mulyanto 1992 menjelaskan bahwa suhu perairan yang baik untuk kehidupan 114 ikan di daerah tropis berkisar antara 25 - 32 o C, sementara menurut LP Undana 2006 suhu perairan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu berkisar antara 24 - 31 o Selain parameter fisika kimia dan oseanografi perairan tersebut diatas, pengembangan minawisata bahari karamba pembesaran ikan di suatu lokasi tertentu juga harus mempertimbangkan jarak lokasi pengembangan dari alur pelayaran, kawasan budidaya dan kawasan lainnya seperti sentra pemukiman; perekonomian; aktivitas pemerintahan; dan lain-lain. Idealnya jarak untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah lebih dari 500 meter, hal ini agar aktivitas minawisata bahari karamba pembesaran ikan yang dikembangkan di lokasi C. Selain suhu perairan, salinitas juga merupakan parameter ekologis lainnya yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Nontji 2003 menjelaskan bahwa nilai salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 - 37‰. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32 - 34‰ sedangkan untuk laut terbuka umumnya berkisar antara 33 - 37‰ dengan rata-rata adalah 35‰, kisaran ini baik untuk kehidupan organisme laut khususnya ikan Romimohtarto dan Juwana 1999 sementara menurut LP Undana 2006 salinitas yang baik untuk pertumbuhan ikan kerapu berkisar antara 30 - 33‰. Oksigen adalah salah satu gas terlarut yang memegang peranan penting untuk menunjang kehidupan organime dalam proses respirasi dan metabolisme sel. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan ikan kerapu adalah 3,5 ppm. Demikian juga dengan kadar ion hydrogen pH perairan yang merupakan parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme. Dalam skala 0 - 14 setiap organisme mempunyai pH optimal, dimana pH optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu berkisar antara 7,8 - 8 LP Undana 2006. Menurut Tiensongrusmee et al. 1986 kandungan nitrat dalam kolom air yang dipersyaratkan untuk budidaya ikan dalam karamba jaring apung adalah lebih kecil dari 0,9 mgl, sedangkan nilai optimalnya adalah kurang dari 0,1 mgl. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa kandungan phospat dalam kolom air yang dipersyaratkan untuk budidaya ikan dalam karamba jaring apung adalah lebih kecil dari 0,9 mgl, sedangkan nilai optimalnya adalah kurang dari 0,1 mgl. 115 tersebut tidak sampai mengganggu alur pelayaran. Demikian pula sebaliknya semua kegiatan masyarakat yang ada di sekitar lokasi tersebut tidak sampai berpengaruh kepada aktivitas minawisata bahari karamba pembesaran ikan yang dikembangkan dilokasi tersebut Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi. Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S sesuai pada umumnya parameter fisika kimia dan oseanografi perairan seperti kecepatan arus; tinggi gelombang; kedalaman air dari dasar jaring; suhu perairan; salinitas; oksigen terlarut; pH perairan; nitrat; phospat; serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan perairan menjadi sesuai bersyarat SB dan tidak sesuai TS yaitu kedalaman perairan. Di beberapa bagian Teluk Un, kedalaman perairan ditemukan berada pada kisaran kurang dari 15,5 meter sehingga dengan tunggang pasut 2,5 meter maka pada saat surut terendah, kedalaman perairan di bagian tersebut akan menjadi kurang dari 13 meter. Dengan kedalaman jaring karamba sekitar 3 meter dan persyaratan kedalaman air dari dasar jaring harus lebih dari 10 meter maka bagian perairan tersebut menjadi tidak sesuai untuk menempatkan karamba jaring apung. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari karamba pembesaran ikan seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 12. Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan potensi dan sumberdaya ikan karang di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan, perlu disiapkan sarana pendukung lainnya seperti peralatan untuk mengambil ikan dari dalam karamba berikut peralatan pengolahannya sehingga ikan-ikan tersebut dapat diolah dan dinikmati saat itu juga oleh wisatawan.

d. Minawisata Bahari Selam

Wisata selam merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam bawah laut dan dinamika air lautnya untuk kepuasan manusia yang dikembangkan 116 Gambar 12 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan. 117 dengan pendekatan konservasi laut. Objek kegiatannya adalah berupa penyelaman dengan objek ekosistemnya adalah terumbu karang, sedangkan objek komoditinya adalah ikan-ikan dan berbagai biota laut penghuni ekosistem terumbu karang. Selain sebagai kegiatan wisata bahari, selam juga dapat dikemas dalam bentuk minawisata bahari yaitu mengintroduksikan kegiatan menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan seperti spear-gun atau peralatan penangkap ikan lainnya kedalam aktivitas selam tersebut. Dengan demikian selain dapat menikmati keindahan bawah laut, wisatawan juga dapat menangkap ikan-ikan target atau ikan-ikan konsumsi. Hasil tangkapannya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata, atau bisa juga dibawa pulang kerumah untuk dinikmati bersama keluarga. Minawisata bahari selam ini dapat dikembangkan di kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena selain memiliki terumbu karang sebagai objek ekosistem, teluk ini juga merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional dan dikenal sebagai ladang ikan baronang, kerapu, maming, dan juga jenis-jenis ikan target lainnya yang telah lama dimanfaatkan oleh penduduk Desa Taar dan sekitarnya bagi pemenuhan kebutuhan protein. Tentunya minawisata bahari selam yang akan dikembangkan ini adalah yang berbasis konservasi. Pengembangan minawisata bahari selam ini tentunya membutuhkan berbagai sarana pendukung seperti perahu, spear gun atau alat penangkap ikan lainnya, peralatan selam, dan pemandu selam buddies, namun sampai saat ini kondisi riil di lokasi penelitian menunjukan bahwa semua sarana pendukung tersebut belum ada yang menyediakannya. Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari selam mempertimbangkan 8 parameter kesesuaian yaitu jenis ikan karang; kecerahan perairan; tutupan komunitas karang; jenis life-form; suhu perairan; salinitas; kedalaman terumbu karang; dan kecepatan arus. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari selam seperti ditunjukan pada Tabel 21. Tabel 21 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai S untuk minawisata bahari selam adalah sebesar 24,12 ha 8,34, yang sesuai bersyarat SB adalah sebesar 157,82 ha 54,58, sedangkan yang tidak sesuai TS adalah sebesar 107,24 ha 37,08 dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. 118 Tabel 21 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari selam No Kelas Kesesuaian Luasan ha Luasan 1. Sesuai S 24,12 8,34 2. Sesuai Bersyarat SB 157,82 54,58 3. Tidak Sesuai TS 107,24 37,08 Total 289,17 100.00 Jumlah jenis ikan karang merupakan parameter penting dalam minawisata bahari selam, suatu perairan dapat dikategorikan sesuai untuk minawisata bahari selam apabila terdapat minimal 75 spesies ikan karang, dan 20 - 75 spesies untuk kelas sesuai bersyarat, sedangkan apabila jumlah jenisnya kurang dari 20 spesies maka perairan tersebut tidak sesuai untuk minawisata bahari selam. Menurut DPK 2003 berdasarkan hasil sensus visual yang dilakukan pada beberapa titik di perairan Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan bahwa kepadatan dan sediaan cadang ikan karang relatif cukup tinggi terutama pada daerah perairan karang dekat tubir. Jumlah jenis ikan karang yang teridentifikasi di sekitar perairan Pulau Dullah termasuk di Ngadi, Teluk Un, dan Teluk Vid Bangir adalah sebanyak 109 spesies. Untuk kecerahan perairan, hasil penelitian Suharsono dan Yosephine 1994 menunjukan bahwa terdapat korelasi positif antara kecerahan perairan dengan persentase tutupan karang di 27 buah pulau di Kepulauan Seribu. Semakin tinggi transparansi air semakin besar persentase tutupan karang hidup, demikian pula sebaliknya semakin rendah transparansi air semakin kecil pula persentase tutupan karang hidup. Data lapangan menunjukan bahwa kecerahan perairan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah mencapai 100 pada kedalaman 12 meter. Kedalaman terbesar perairan Teluk Un adalah 14,6 meter dan Teluk Vid Bangir adalah 17,8 meter pada saat pasang tertinggi. Dengan kecerahan 100 pada kedalaman 12 meter tersebut maka bila dihitung dalam persentase kecerahan perairan di Teluk Vid Bangir mencapai 68 dan di Teluk Un mencapai 82. Salah satu indikator kesehatan suatu perairan adalah keberadaan terumbu karang dengan tingkat persentase penutupan karang relatif tinggi. Kategori untuk mengukur persentase penutupan karang yang sering digunakan adalah mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Gomes dan Yap 1998 dengan 119 kategori 0 - 24,9 maka tergolong dalam kondisi buruk, 25 - 49,9 adalah sedang, 50 - 74,9 adalah baik, dan 75 - 100 adalah baik sekali. DKP 2003 menemukan bahwa persentase penutupan karang di perairan sekitar Pulau Dullah adalah 68,74, bila mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Gomes dan Yap tersebut diatas maka ekosistem terumbu karang di kawasan ini berada dalam kategori baik sehingga dapat dikembangkan untuk minawisata bahari selam. Untuk jenis life-form, Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata selam mengemukakan bahwa jumlah jenis life-form yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah lebih dari 10 spesies, untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah 4 - 10 spesies, sedangkan apabila jumlah jenis life-form kurang dari kurang dari 4 spesies atau tidak ada karang sama sekali maka perairan tersebut tidak sesuai untuk ekowisata selam. Konsep ini yang kemudian diadopsi sebagai salah satu parameter kesesuaian dalam minawisata bahari selam. Demikian pula dengan suhu yang merupakan salah satu parameter penting bagi biota perairan, perubahan suhu yang drastis dapat menimbulkan kematian bagi biota perairan. Menurut Nybakken 1988 dalam kondisi normal, suhu dipermukaan laut berkisar antara 25,6 – 32,3 o C, disamping itu Mulyanto 1992 menjelaskan bahwa suhu perairan yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25 - 32 o C. Selanjutnya menurut Hubbard 1990, ekosistem terumbu karang pada umumnya terbatas pada suhu 18 - 36 o C, dengan nilai optimal antara 26 - 28 o C. Pertumbuhan karang hermatypic tumbuh dan berkembang dengan subur antara 25 - 29 o C Tamrin, 2006. Data lapangan menunjukan bahwa suhu rata-rata di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah 29 - 32 o Menurut Nontji 2003 nilai salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 - 37‰. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32 - 34‰ sedangkan untuk laut terbuka umumnya berkisar antara 33 - 37‰ dengan rata-rata adalah 35‰. Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan hewan karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35‰, dan hewan karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34 - 36‰ Kinsman 2004. Dengan batasan yang dikemukakan diatas maka perairan Teluk Un dan C, kondisi ini memungkinkan untuk kehidupan terumbu karang dan ikan sehingga dapat dijadikan lokasi minawisata bahari selam. 120 Teluk Vid Bangir dapat dijadikan lokasi minawisata bahari selam karena salinitasnya masih berada pada kisaran yang dipersyaratkan yaitu 30 - 33‰. Kedalaman perairan meskipun merupakan faktor pembatas kehidupan terumbu karang tetapi pada perairan yang jernih dan kondisi lingkungannya memungkinkan, terumbu karang dapat tumbuh sampai kedalaman 50 meter. Menurut Nybakken 1988 terumbu karang tidak dapat berkembang diperairan yang lebih dalam dari 50 - 70 meter. Kebanyakan terumbu karang tumbuh pada kedalaman kurang dari 25 meter. Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata selam mengemukakan bahwa kedalaman terumbu karang yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah antara 3 - 20 meter, untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah 21 - 30 meter, sedangkan apabila kedalaman terumbu karang kurang dari 3 meter danatau lebih dari 30 meter maka tidak sesuai untuk ekowisata selam. Konsep ini juga yang kemudian diadopsi sebagai salah satu parameter kesesuaian dalam minawisata bahari selam. Data lapangan menunjukan bahwa terumbu karang yang ada di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir berada pada kedalaman 5 - 17 meter sehingga memenuhi kisaran yang dipersyaratkan untuk lokasi minawisata bahari selam. Disamping kecerahan perairan, kecepatan arus juga sangat menentukan bagi kegiatan wisata selam maupun untuk ekologi terumbu karang. Menurut Jokiel dan Morrissey 1993 pergerakan arus mempengaruhi struktur komunitas dan distribusi jenis karang pada suatu daerah. Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di daerah yang terbuka presentase tutupan karangnya relatif rendah. Arus yang kuat berkorelasi dengan meningkatnya perpindahan pecahan-pecahan karang yang akan mengganggu proses pemulihan karang. Selain itu kecepatan arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam. Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata selam mengemukakan bahwa kecepatan arus yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah antara 0 - 25 cmdetik, untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah 26 - 50 cmdetik, sedangkan apabila kecepatan arusnya lebih dari 50 cmdetik maka tidak sesuai untuk ekowisata selam. Konsep ini pula yang kemudian diadopsi sebagai salah satu parameter kesesuaian dalam minawisata bahari selam. Hasil pengukuran kecepatan arus pada saat pengambilan data lapangan 121 menunjukan bahwa kecepatan arus di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir berkisar antara 19 - 33 cmdetik dengan demikian memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, kecuali pada kanal dan mulut kanal yang menghubungkan kedua teluk tersebut kecepatan arusnya berkisar antara 76 - 91 cmdetik. Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S sesuai pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti jenis ikan karang; kecerahan perairan; tutupan komunitas karang; jenis life-form ; suhu perairan; salinitas; kedalaman terumbu karang; dan kecepatan arus memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan sebagian dari lokasi perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang sesuai bersyarat SB akan menjadi tidak sesuai TS yaitu tunggang pasut. Dengan tunggang pasut tidal range lebih dari 2,5 meter maka pada saat surut sebagian wilayah akan mengalami kekeringan sehingga tidak bisa digunakan untuk kegiatan penyelaman. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari selam seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 13. Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan ekosistem terumbu karang serta potensi dan sumberdaya ikan karang di Teluk Un yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari selam maka perlu disiapkan sarana pendukung lainnya seperti perahu, spear gun atau alat penangkap ikan lainnya, peralatan selam, dan pemandu selam buddies. Perahu digunakan sebagai salah satu sarana untuk mencapai lokasi penyelaman, oleh karena minawisata bahari selam yang akan dikembangkan adalah yang berbasis konservasi, maka jenis perahu yang disarankan adalah yang terbuat dari bahan kayu dan pengoperasiannya adalah dengan cara didayung oleh wisatawan perahu tidak bermotor dengan kapasitas muat sekitar 3 - 4 orang. Hal ini selain untuk menambah kenikmatan selama berwisata, juga bertujuan untuk menghindari adanya tumpahan minyak yang dapat mencemari perairan di sekitar lokasi penyelaman apabila menggunakan perahu bermotor. Selain itu agar kelihatan menarik dan artistik, perahu tersebut dapat diberi hiasan dengan 122 Gambar 13 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari selam. 123 corak khas budaya daerah setempat. Selain perahu, peralatan penunjang lainnya adalah spear gun atau alat penangkap ikan lainnya yang akan digunakan oleh wisatawan untuk menangkap ikan pada saat melakukan penyelaman. Peralatan selam yang akan digunakan dalam aktivitas ini adalah peralatan standar scuba diving yang terdiri dari baju selam, tabung oksigen dan regulator udara, masker, sepatu dayung fins, timah pemberat, dan beberapa aksesoris tambahan lainnya yang memang dibutuhkan dalam aktivitas tersebut. Sesuai aturan POSSI bahwa setiap melakukan aktivitas penyelaman seorang penyelam wisatawan harus didampingi oleh seorang pemandu selam buddies, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan pada saat berada didalam laut, seperti panik; kehabisan oksigen; kehilangan arah; dan lain-lain. Pemandu selam yang dipersyaratkan adalah yang telah memiliki lisensi yang dikeluarkan oleh POSSI dan telah mengenal kondisi fisik lingkungan perairan di lokasi penyelaman.

e. Minawisata Bahari Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, oleh karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai Teluk yang dangkal dan daerah pantai yang terlindung, salah satunya seperti yang terdapat di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Salah satu bentuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove yang ada di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah dengan mengembangkan konsep minawisata bahari yaitu berwisata menikmati ekosistem mangrove dengan semua proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Minawisata bahari mangrove dapat dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena selain cocok untuk aktivitas perikanan dan pariwisata terpadu dan berbasis konservasi, teluk ini juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk pendidikan bahari. 124 Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove mempertimbangkan 6 parameter kesesuaian yaitu ketebalan mangrove; kerapatan mangrove; jenis mangrove; jenis biota; tinggi pasut; dan jarak dari kawasan lainnya. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari mangrove seperti ditunjukan pada Tabel 22. Tabel 22 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove No Kelas Kesesuaian Luasan ha Luasan 1. Sesuai S - - 2. Sesuai Bersyarat SB 29,29 72,39 3. Tidak Sesuai TS 11,17 27,61 Total 40,46 100,00 Tabel 22 menunjukan bahwa ekosistem mangrove yang ada di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai, namun demikian masih terdapat sebagian ekosistem mangrove yang memenuhi kriteria untuk kelas kesesuaian yang sesuai bersyarat SB yaitu sebesar 29,29 ha 72,39, sedangkan luasan ekosistem mangrove yang tidak sesuai TS untuk aktivitas ini adalah sebesar 11,17 ha 27,61 dari luas ekosistem mangrove yang ada di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata mangrove mengemukakan bahwa ketebalan mangrove yang dipersyaratkan untuk kelas S sesuai adalah lebih dari 300 meter, untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah 50 - 300 meter, sedangkan apabila ketebalan mangrovenya kurang dari 50 meter maka tidak sesuai untuk ekowisata mangrove. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa untuk kerapatan mangrove, kisaran yang dipersyaratkan untuk kelas S sesuai adalah lebih dari 10 - 25 ind100 m 2 , untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah 5 - 10 ind100 m 2 danatau lebih dari 25 ind100 m 2 , sedangkan apabila kerapatan mangrovenya kurang dari 5 ind100 m 2 maka tidak sesuai untuk ekowisata mangrove. Konsep ini yang kemudian diadopsi sebagai parameter kesesuaian dalam minawisata bahari mangrove. Hasil penelitian MERDI in DPK 2006a menunjukan bahwa tingkat kerapatan individu mangrove di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah 1,52 indm 2 dengan nilai rerata kepadatan per spesies 125 0,28 indm 2 . Sedangkan kisaran tingkat kerapatan per spesies berkisar antara 0,13 indm 2 Avicenia rumpiana; Xylocarpus granatum hingga 0,44 indm 2 Soneratia alba . Jika nilai dari selisih kisaran kepadatan individu mangrove 0,31 indm 2 Menurut Bengen 2001, komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran 2 kelompok, yaitu 1 kelompok fauna daratanterestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas serangga, ular, primata dan burung; dan 2 kelompok fauna perairanakuatik yang umumnya terdiri atas 2 tipe : a yang hidup dikolom, air terutama berbagai jenis ikan dan udang; dan b yang menempati substrat baik keras akar dan batang pohon mangrove, maupun lunak lumpur, terutama kepiting, kerang, dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Selanjutnya MERDI in DPK 2006a menjelaskan bahwa vegetasi pantai di bagian darat ekosistem mangrove di Teluk Un umumnya adalah tumbuhan Nipah Nypa fruticans, pada bagian Utara vegetasi pantai tersebut tumbuh pohon jenis Ketapang Terminalia catapa; Waru laut Hibiscus tiliaceus ; Pandan darat Pandanus tectorius. Terdapat pula Cemara darat Casuaria equisetifolia, dan berbagai jenis tumbuhan anggrek Dendrobium sp. yang mendiami batang dan dahan mangrove. Pepohonan tersebut juga menjadi habitat bagi berbagai jenis burung seperti Kakatua Cacatua sp. dan Nuri Lorius sp.; Kakatua Tanimbar Cacatua gofini; dan Kakatua Cacatua galerita eleonora . Pada Pepohonan dengan kanopi yang besar dan lebat, hidup berbagai , dibandingkan dengan nilai rerata kepadatan Mangrove dilokasi ini maka diketahui bahwa perbedaan nilai kepadatan per spesies mangrove cukup bervariasi. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa pada ujung Utara teluk ini terdapat sumber air tanah yang merembes ke dalam teluk tersebut, substrat lumpur di teluk ini umumnya berasosiasi dengan ekosistem mangrove khususnya dari jenis api-api Avicennia alba dan jenis bakau Rhizophora mucronata, sehingga kandungan lumpur ini umumnya terdiri dari serasah daun mangrove. Di bagian pantai Teluk Vid Bangir terdapat 5 jenis mangrove yakni Aegiceras corniculatum; Rhizophora apiculata; Avicenia rumpiana; Soneratia alba, dan Xylocarpus granatum. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, mangrove dan lamun mendominasi kawasan perairan Teluk Un. Mangrove mengitari keseluruhan teluk sedangkan lamun hampir menutupi 50 dasar perairan teluk tersebut. 126 jenis Kuskus antara lain Kuskus coklat biasa Phalanger orientalis, Kuskus kelabu Phalanger gymnotis, kuskus totol hitam Phalanger rufoniger. Dalam hubungannya dengan jenis biota yang mendiami ekosistem mangrove tersebut, Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata mangrove mengemukakan bahwa jenis biota yang dipersyaratkan untuk kelas S sesuai antara lain ikan; udang; kepiting; moluska; reptile; dan burung, untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat antara lain ikan dan moluska, sedangkan apabila hanya terdapat salah satu biota air maka ekosistem mangrove tersebut tidak sesuai untuk dijadikan lokasi ekowisata mangrove. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa bahwa bahwa tinggi pasut yang dipersyaratkan untuk kelas S sesuai adalah kurang dari 2 meter, untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah 2 - 5 meter, sedangkan apabila tinggi pasutnya lebih dari 5 meter maka tidak sesuai untuk ekowisata mangrove. Konsep ini pula yang kemudian diadopsi sebagai parameter kesesuaian dalam minawisata bahari mangrove. Hasil pengukuran tinggi pasut pada saat pengambilan data lapangan menunjukan bahwa tinggi pasut di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir berkisar antara 2 - 2,5 meter. Kondisi seperti ini juga sama dengan yang ditemukan oleh Renjaan 2006 in DPK 2006a yang menjelaskan bahwa tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil umumnya lebih dari 2,5 meter. Sementara menurut BAKOSURTANAL 1992 in DPK 2006a tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil berdasarkan pengukuran selama 30 hari di stasiun TNI AL Tual adalah 2,6 meter. Salah satu parameter yang perlu diperhatikan dalam menentukan lokasi pengembangan minawisata bahari mangrove adalah jarak lokasi pengembangan dari kawasan lainnya seperti sentra pemukiman; perekonomian; aktivitas pemerintahan; dan lain-lain. Idealnya jarak untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah lebih dari 500 meter. Hal ini untuk menjaga agar kegiatan masyarakat disekitarnya tidak sampai berpengaruh terhadap aktivitas minawisata bahari mangrove yang dikembangkan di lokasi tersebut Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi. Data lapangan menunjukan bahwa untuk kelas kesesuaian S sesuai pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti kerapatan mangrove; jenis mangrove; jenis biota; tinggi pasut, dan jarak dari kawasan 127 lainnya memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi sesuai bersyarat SB dan tidak sesuai TS yaitu ketebalan mangrove. Ketebalan mangrove yang dipersyaratkan untuk minawisata bahari mangrove adalah lebih dari 300 meter, namun hasil interpretasi citra satelit menunjukan bahwa ketebalan ekosistem mangrove di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir tidak ada yang mencapai 300 meter. Ketebalan terbesar hanya sekitar 180 meter, dengan demikian ekosistem mangrove di kawasan ini tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai. Dibagian Barat Teluk Un ketebalan mangrove berkisar antara 100 - 180 meter sehingga masih dapat dikembangkan untuk aktivitas minawisata bahari mangrove walaupun hanya masuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat, sedangkan di bagian lainnya ketebalan mangrove berada pada kisaran 50 - 100 meter, bahkan ada juga yang kurang dari 50 meter sehingga tidak sesuai untuk aktivitas minawisata bahari mangrove. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak ada kawasan yang sesuai untuk minawisata bahari mangrove, namun masih ada sebagian yang masuk dalam kategori sesuai bersyarat SB seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 14. Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan ekosistem mangrove yang ada di Teluk Un maka perlu disiapkan sarana pendukung lainnya seperti jembatan kayu trail; anjungan hut; pondok peristirahatan; menara pengamatan burung; dan pemandu jejak tracker. Lain halnya dengan para peneliti yang mengeksplorasi ekosistem mangrove dengan tujuan untuk melakukan penelitian, masuknya wisatawan ke dalam areal ekosistem mangrove semata-mata hanya merupakan bagian dari aktivitas selama berwisata. Agar dapat memberikan nilai tambah dalam wisata tersebut, maka dibutuhkan jembatan kayu trail sebagai sarana untuk melakukan tracking sehingga dapat meningkatkan minat wisatawan untuk masuk kedalam areal ekosistem mangrove sekaligus dapat mengeksplorasi semua proses alami yang terjadi di dalam ekosistem mangrove. 128 Gambar 14 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove. 129 Lebar trail adalah sekitar 2 - 3 meter, sedangkan panjang trail dan rutenya disesuaikan dengan kondisi dan luas ekosistem mangrove yang ada atau disesuaikan dengan kebutuhan. Anjungan adalah sarana tambahan lainnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari trail dan berfungsi sebagai tempat istirahat bagi wisatawan yang melakukan tracking. Luas anjungan adalah sekitar 25 m 2 5 x 5 m atau disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan letaknya dibuat agak menjorok ke laut sehingga sambil beristirahat wisatawan juga dapat memancing ikan dan menikmati indahnya suasana alam dari atas laut. Agar terlihat artistik dan alami, bentuk anjungan di desain sedemikian rupa sehingga dapat menggambarkan adat budaya setempat. Sama halnya dengan anjungan, pondok peristirahatan adalah sarana tambahan berikutnya yang dapat digunakan sebagai tempat untuk berlindung pada saat terjadi hujan atau untuk beristirahat sejenak sambil menikmati bekal makanan yang dibawa oleh wisatawan. Luas bangunan pondok peristirahatan adalah sekitar 36 m 2 Trail, anjungan, pondok peristirahatan, dan menara pengamatan burung tersebut diatas sebaiknya dibuat dengan memanfaatkan bahan dari sumberdaya alam yang tersedia di daerah tersebut tetapi konstruksinya harus cukup kuat dan dapat digunakan dalam waktu yang relatif lama. Selain itu, agar wisatawan dapat menikmati suasana alam dalam hutan mangrove dan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan selama melakukan aktivitas minawisata bahari mangrove maka 6 x 6 m atau disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan letaknya disesuaikan dengan kondisi alam setempat sehingga dapat menjamin keamanan wisatawan. Agar terlihat artistik dan alami, bentuk pondok peristirahatan di desain sedemikian rupa sehingga dapat menggambarkan adat budaya setempat. Menara pengamatan burung juga dibutuhkan untuk melengkapi fasilitas pendukung minawisata bahari mangrove, tinggi menara sebaiknya 2 kali tinggi pohon yang paling tertinggi di lokasi tersebut atau sekitar 10 meter agar wisatawan dapat mengamati pergerakan burung dan menikmati suasa sekitar dari posisi yang cukup tinggi. Biasanya konstruksi menara dibuat dari besi dengan pertimbangan agar cukup kuat dan dapat tahan lama, tapi untuk daerah yang dekat dengan laut, konstruksi menara yang terbuat dari besi tidak efektif karena sifat bahannya yang mudah berkarat. 130 dibutuhkan pemandu jejak. Pemandu jejak yang dipersyaratkan adalah yang telah mengenal kondisi fisik lokasi minawisata bahari mangrove, dan memiliki pengetahuan tentang ekosistem mangrove seperti deskripsi jenis-jenis mangrove, zonasi, struktur vegetasi, daur hidup, jenis-jenis adaptasi pohon mangrove, fauna hutan mangrove, fungsi ekologis, pemanfaatan, dan juga dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove. Dengan bekal pengetahuan tersebut pemandu jejak diharapkan dapat menuntun wisatawan untuk mengeksplorasi ekosistem mangrove dan semua proses alami yang terjadi didalamnya sebagai manfaat yang bisa dipetik selama melakukan aktivitas minawisata bahari mangrove.

5.1.2 Tumpang Susun Kesesuaian Pemanfaatan Ruang

Tumpang susun overlay kesesuaian pemanfaatan ruang dilakukan untuk mendapatkan luasan lahan untuk kelas sesuai S dan sesuai bersyarat SB. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan kelima peta kesesuaian lahan minawisata bahari. Hasil overlay kelima peta kesesuaian lahan untuk kelas sesuai S seperti ditunjukan pada Tabel 23 sedangkan peta kesesuaian lahannya seperti yang ditunjukan pada Gambar 15. Tabel 23 Hasil tumpang susun semua kategori minawisata bahari untuk kelas sesuai S No Kategori Luasan ha 1. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan 1.09 2. Minawisata bahari pancing 86.89 3. Minawisata bahari pengumpulan kerang moluska 81.00 4. Minawisata bahari pancing dan selam 12.22 5. Minawisata bahari pancing dan pengumpulan kerang moluska 26.24 6. Minawisata bahari pancing dan karamba pembesaran ikan 31.98 7. Minawisata bahari pancing, karamba pembesaran ikan, dan selam 11.89 131 Gambar 15 Peta kesesuaian lahan semua kategori minawisata bahari untuk kelas sesuai. 132 Hasil overlay kelima peta kesesuaian lahan minawisata bahari untuk kelas sesuai bersyarat SB seperti ditunjukan pada Tabel 24 sedangkan peta kesesuaian lahannya seperti yang ditunjukan pada Gambar 16. Tabel 24 Hasil tumpang susun semua kategori minawisata bahari untuk kelas sesuai bersyarat SB No Kategori Luasan ha 1. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan dan pengumpulan kerang moluska 1.00 2. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan dan selam 42.51 3. Minawisata bahari pancing dan selam 1.09 4. Minawisata bahari pancing, karamba pembesaran ikan, dan selam 14.09 5. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan, selam, dan pengumpulan kerang moluska 44.38 6. Minawisata bahari pancing, karamba pembesaran ikan, selam, dan pengumpulan kerang moluska 23.76 7. Minawisata bahari mangrove 29.29 8. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan 11.22 9. Minawisata bahari pancing 81.00 10. Minawisata bahari selam 31.98 Berdasarkan kedua peta kesesuaian lahan yang ditunjukan pada Gambar 15 dan 16, secara biofisik ternyata masih terdapat tumpang tindih pemanfaatan ruang kawasan Teluk Un dan Vid Bangir diantara berbagai kategori aktivitas minawisata bahari sehingga dibutuhkan analisis lebih lanjut untuk menentukan skala prioritas pemanfaatan ruang tersebut yaitu dengan menggunakan pertimbangan ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan. Metoda yang digunakan adalah dengan multi criteria decision making MCDM dimana untuk analisis data menggunakan simple multi atribute rating technique SMART. 133 Gambar 16 Peta kesesuaian lahan semua kategori minawisata bahari untuk kelas sesuai bersyarat. 134

5.1.3 Penentuan Skala Prioritas Pemanfaatan Ruang

Penentuan skala prioritas pemanfaatan ruang untuk berbagai kategori aktivitas minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dilakukan dengan menggunakan metoda multi criteria decision making MCDM. Prinsip penilaian dalam MCDM adalah membandingkan tingkat kepentingan prioritas antara satu elemen dengan elemen lainnya yang berada pada tingkatan atau level yang sama berdasarkan pertimbangan tertentu. Selain kesesuaian biofisik yang telah didapatkan melalui hasil analisis kesesuaian lahan, pertimbangan lainnya yang digunakan adalah kesesuaian secara ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan. Dengan metoda MCDM ini diharapkan dapat menghasilkan keputusan yang tepat tentang kategori aktivitas mana dari model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi yang harus diprioritaskan apabila terjadi tumpah tindih dalam pemanfaatan ruang. Analisis MCDM dilakukan dengan cara pembobotan dimana bobot dari masing-masing kriteria dan subkriteria diperoleh dari hasil analisis, hasil focus group discussion FGD dan hasil kuesioner. Struktur yang dibangun terdiri atas empat tingkatan keputusan yaitu: Tujuan: Kriteria; Subkriteria; dan Alternatif, sebagaimana yang ditunjukan pada Gambar 17. 1 Tujuan Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk kelima kategori aktivitas minawisata bahari berbasis konservasi ternyata ada tumpang tindih pemanfaatan lahan perairan antara satu dengan yang lain khususnya antara minawisata bahari pancing, pengumpulan kerang, karamba pembesaran ikan dan selam, sedangkan terhadap minawisata bahari mangrove tidak ada tumpang tindih pemanfaatan lahan karena sebagian besar aktivitas minawisata bahari mangrove menggunakan lahan darat. Untuk dapat mengakomodir semua kategori aktivitas minawisata bahari tersebut hampir dapat dipastikan akan menimbulkan konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya di antara berbagai pemangku kepentingan. Salah satu cara untuk menghindari konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya adalah dengan metoda MCDM. Tujuan yang ingin dicapai adalah menentukan skala prioritas pemanfaatan ruang Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk model pengelolaan minawisata bahari 135 pulau kecil berbasis konservasi, sehingga semua kategori aktivitas minawisata bahari dapat dilakukan secara terencana, terpadu, terarah dan sistematis berdasarkan skala prioritas. Gambar 17 Struktur hirarki penentuan skala prioritas pemanfaatan ruang. 2 Kriteria Untuk mencapai tujuan diatas, maka ada empat kriteria yang harus dijadikan bahan pertimbangan yaitu 1 dimensi ekologi; 2 dimensi ekonomi; 3 dimensi sosial budaya; dan 4 dimensi kelembagaan. Hasil pengolahan data dengan Criterium DecisionPlus Version 3.0 menunjukan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing kriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai seperti ditunjukan pada Tabel 25. Tabel 25 Kontribusi masing-masing kriteria terhadap terhadap tujuan yang ingin dicapai Kriteria Bobot Persentase Ekologi 0,270 27,0 Ekonomi 0,282 28,2 Sosial Budaya 0,254 25,4 Kelembagaan 0,194 19,4 Total 1 100 TUJUAN KRITERIA SUBKRITERIA ALTERNATIF 136 Dari Tabel 25 terlihat bahwa total bobot seluruh kriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai adalah 1. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa secara hirarki kriteria yang paling penting dalam upaya mencapai tujuan diatas adalah pertimbangan ekonomi dengan bobot 0,282. Agar aktivitas minawisata bahari yang dikembangkan di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir bisa berkelanjutan maka pertimbangan ekonomi menjadi salah satu faktor yang penting. Secara finansial, biaya investasi untuk mengembangkan suatu unit usaha minawisata bahari tertentu harus dapat dijangkau oleh masyarakat, selain itu juga unit usaha tersebut harus dapat memberikan manfaat ekonomi dan dapat memberikan kontribusi secara langsung terhadap peningkatan pendapatan dan ekonomi masyarakat setempat. Kriteria yang merupakan urutan kedua adalah pertimbangan ekologi dengan bobot 0,270. Terkadang untuk mendukung berbagai kegiatan pembangunan, sumberdaya alam yang ada dieksploitasi sedemikian rupa sehingga terjadi pemanfaatan berlebih bahkan sampai menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Untuk itu pengembangan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus dilakukan dengan bijaksana dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan serta memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Selain hasil analisis kesesuaian lahan, pengembangan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus mempertimbangkan daya dukung lahan dan daya dukung kawasan agar pengelolaannya dapat berkelanjutan. Dalam bentuk fisik, jumlah maksimum unit usaha yang ditempatkan diperairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus sesuai dengan daya dukung lahan, disamping itu juga jumlah pengunjungwisatawan tidak boleh melampaui daya dukung kawasan sehingga dapat meminimalisir kerusakan lingkungan. Kriteria yang merupakan urutan ketiga adalah pertimbangan sosial budaya dengan bobot 0,254. Agar dapat berkelanjutan, pengembangan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus mempertimbangkan faktor kebiasaan masyarakat atau budaya masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia, dengan demikian maka akan timbul rasa memiliki yang berdampak pada keinginan untuk menjaga kelestarian sumberdaya dan lingkungannya. Disamping itu tenaga kerja yang dibutuhkan akan cukup tersedia karena 137 masyarakat sudah terbiasa dengan aktivitas yang akan dikembangkan dan mampu mengatasi masalah yang timbul kemudian dilapangan. Kriteria yang merupakan urutan terakhir adalah pertimbangan kelembagaan dengan bobot 0,194. Semua bentuk aktivitas yang akan dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus mempertimbangkan aspek kelembagaanya baik lembaga pengelola maupun lembaga pengawas dan perlu diatur dalam aturan formal atau aturan adat sehingga keamanan pemilik usaha dan unit usahanya maupun keamanan wisatawan yang datang berkunjung di kawasan tersebut dapat terjamin. 3 Subkriteria Dari keempat kriteria diatas, selanjutnya diuraikan lagi menjadi sub- subkriteria. Kriteria ekologi terbagi dalam 3 subkr iteria yaitu kesesuaian lahan, daya dukung lahan, dan daya dukung kawasan. Kriteria ekonomi terbagi dalam 3 subkriteria yaitu kemudahan berinvestasi, manfaat ekonomi, dan tingkat pendapatan masyarakat. Kriteria sosial budaya terbagi dalam 2 subkriteria yaitu kebiasaan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan kriteria kelembagaan terbagi dalam 2 subkriteria yaitu aturan pengelolaan dan tingkat keamanan. Hasil pengolahan data dengan Criterium DecisionPlus Version 3.0 menunjukan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing subkriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai seperti ditunjukan pada Tabel 26. Tabel 26 Kontribusi masing-masing subkriteria terhadap terhadap tujuan yang ingin dicapai Kriteria Subkriteria Bobot Persentase Ekologi Kesesuaian Lahan 0,083 8.3 Daya Dukung Lahan 0,082 8.2 Daya Dukung Kawasan 0,105 10.5 Ekonomi Kemudahan Berinvestasi 0,074 7.4 Manfaat Ekonomi 0,073 7.3 Tingkat Pendapatan Masyarakat 0,135 13.5 Sosial Budaya Kebiasaan Masyarakat 0,124 12.4 Penyerapan Tenaga Kerja 0,130 13.0 Kelembagaan Aturan Pengelolaan 0,104 10.4 Tingkat Keamanan 0,090 9.0 Total 1 100 138 4 Alternatif Berdasarkan struktur yang telah dibangun terdapat 4 alternatif kategori aktivitas minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi yang akan dicarikan skala prioritas dalam pemanfaatan ruang kawasan perairan Teluk Un dan Vid Bangir yaitu 1 minawisata bahari pancing, 2 minawisata bahari pengumpulan kerang moluska, 3 minawisata bahari karamba pembesaran ikan, dan 4 minawisata bahari selam. Berdasarkan hasil analisis Criterium DecisionPlus Version 3.0 diketahui prioritas alternatif kategori aktivitas minawisata bahari berbasis konservasi yang akan dikembangkan di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir seperti yang ditunjukan pada Tabel 27 dan Gambar 18. Tabel 27 Skala prioritas alternatif aktivitas berdasarkan kriteria dan subkriteria No Alternatif Bobot Persentase Prioritas 1. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan 0,288 28,8 1 2. Minawisata bahari pancing 0,269 26,9 2 3. Minawisata bahari selam 0,249 24,9 3 4. Minawisata bahari pengumpulan kerang moluska 0,194 19,4 4 Total 1 100 - Gambar 18 Diagram batang skala prioritas alternatif aktivitas berdasarkan kriteria dan subkriteria. 139 Dari Tabel 27 dan Gambar 18 terlihat bahwa total bobot seluruh alternatif terhadap tujuan yang ingin dicapai adalah 1. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa berdasarkan keempat kriteria diatas untuk model pengelolaan yang berbasis konservasi, minawisata bahari karamba pembesaran ikan menempati prioritas pertama dengan bobot 0,288. Hal ini karena rakit karamba yang akan ditempatkan di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir bukan dalam konteks berproduksi tetapi semata-mata hanya bertujuan untuk mencapai kepuasan selama berwisata. Ikan-ikan yang dipelihara di dalam karamba juga tidak dari hasil budidaya tetapi diambil dari alam dan selanjutnya dibesarkan di dalam karamba sehingga hanya butuh sedikit pakan alami untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Dengan demikian jelaslah bahwa pembesaran ikan dalam karamba merupakan salah satu alternatif pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan dan berbasis konservasi. Kategori minawisata bahari yang menjadi prioritas kedua adalah minawisata bahari pancing dengan bobot 0,269. Hal ini karena aktivitas memancing ikan yang akan dikembangkan di perairan Teluk Un bukan juga dalam konteks berproduksi tetapi lebih pada memancing ikan dalam konteks berwisata, dengan konsep seperti ini maka ketersediaan stok ikan dan keberlangsungan hidupnya dapat tetap terjaga dengan baik. Kategori minawisata bahari yang menjadi prioritas ketiga adalah minawisata bahari selam dengan bobot 0,249. Selain dapat menikmati keindahan alam bawah laut dengan ekosistem terumbu karang dan biota laut yang ada disekitarnya, aktivitas selam ini juga ditujukan untuk menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan seperti spear-gun sehingga sensasi yang dirasakan oleh wisatawan lain dari yang biasa dirasakan pada aktivitas penyelaman pada umumnya. Sedangkan kategori minawisata bahari yang menjadi urutan terakhir adalah minawisata bahari pengumpulan kerang moluska dengan bobot 0,194. Aktivitas pengumpulan kekerangan ini menjadi menarik karena dilakukan pada saat terjadinya surut terbesar dan kondisi laut sangat tenang meti kei sehingga selain berwisata, pengumpulan kekerangan dapat dilakukan sendiri oleh wisatawan dan 140 selanjutnya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata. Selanjutnya dari hasil pengolahan data dengan menggunakan Criterium DecisionPlus Version 3.0 tergambar besarnya kontribusi dari masing-masing kriteria terhadap alternatif kategori aktivitas minawisata bahari berdasarkan skala prioritas pemanfaatan ruang seperti yang ditunjukan pada Gambar 19. 0,288 0,269 0,249 0,194 Karamba Pancing Selam Kerang Gambar 19 Kontribusi masing-masing kriteria terhadap alternatif kategori aktivitas minawisata bahari. Gambar 19 menunjukan bahwa skala prioritas “ alternatif ” pemanfaatan lahan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir berturut-turut adalah 1 minawisata bahari karamba pembesaran ikan dengan persentase 28,8, 2 minawisata bahari pancing 26,9, 3 minawisata bahari selam 24,9, dan 4 minawisata bahari pengumpulan kerang 19,4. Dengan demikian total persentase seluruh “alternatif” terhadap tujuan yang ingin dicapai adalah 100. Skala prioritas tersebut didasarkan atas “kriteria” sebagai berikut: ekologi dengan persentase 27,0; ekonomi 28,2; sosial budaya 25,4; dan kelembagaan 19,4. Dengan demikian total persentase seluruh ”kriteria” terhadap tujuan yang ingin dicapai adalah 100. 141

5.1.4 Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Untuk Semua Aktivitas

Berdasarkan skala prioritas pemanfaatan ruang kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, selanjutnya dapat dilihat hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ruang untuk semua aktivitas yang merupakan hasil overlay dari semua peta kesesuaian lahan untuk kelas sesuai. Sedangkan untuk minawisata bahari mangrove, karena tidak ada ekosistem mangrove yang memenuhi syarat untuk kelas kesesuaian S sesuai, maka luasannya diambil dari kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat seperti yang ditunjukan pada Tabel 28. Tabel 28 Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ruang untuk semua aktivitas No Kategori Luasan ha 1. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan 44,97 2. Minawisata bahari pancing 113,12 3. Minawisata bahari selam 12,22 4. Minawisata bahari pengumpulan kerang moluska 81,00 5. Minawisata bahari mangrove 29,29 Tabel 28 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai S untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan adalah sebesar 44,97 ha, minawisata bahari pancing adalah sebesar 113,12 ha, minawisata bahari selam adalah sebesar 12,22 ha, minawisata bahari pengumpulan kerang moluska adalah sebesar 81,00 ha, dan luas perairan yang sesuai bersyarat SB untuk minawisata bahari mangrove adalah sebesar 29,29 ha. Peta kesesuaian lahan untuk semua aktivitas minawisata bahari tersebut seperti ditunjukan pada Gambar 20.

5.2 Analisis Daya Dukung Lingkungan

Menurut PPLKPL-KLHFPIK IPB 2002 in Rauf 2007 konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Mengacu pada konsep ini, maka daya dukung merupakan tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan 142 Gambar 20 Peta kesesuaian lahan semua kategori minawisata bahari. 143 sumberdaya dan lingkungan, atau dengan kata lain jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik, tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. Konsep inilah yang digunakan dalam menghitung daya dukung lingkungan untuk model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi di Pulau Dullah. Mengingat model pengelolaan minawisata bahari ini tidak bersifat mass tourism dimana sumberdaya dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, maka perlu dilakukan analisis untuk menentukan daya dukung lingkungan. Pendekatan yang digunakan adalah 1 daya dukung fisik, dengan konsep daya dukung lahan dan daya dukung kawasan, 2 daya dukung ekologis, dengan konsep beban limbah organik, ketersediaan oksigen terlarut dalam kolom air, dan kapasitas asimilasi lingkungan perairan.

5.2.1 Daya Dukung Fisik

Daya dukung fisik yang dianalisis dalam kajian ini dibatasi pada kemampuan lahan ruang dalam menampung berbagai kegiatan pembangunan ditinjau aspek kesesuaian lahan. Hasil dari analisis ini akan memberikan informasi mengenai seberapa besar luas lahan dan jumlah unit usaha serta jumlah maksimum orang yang dapat ditampung oleh kawasan tersebut. Konsep yang digunakan adalah daya dukung lahan dan daya dukung kawasan. Daya dukung lahan DDL adalah kemampuan maksimum lahan untuk mendukung suatu aktivitas tertentu secara terus menerus tanpa menimbulkan penurunan kualitas lingkungan baik biofisik maupun sosial, sedangkan daya dukung kawasan DDK menunjukan jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Mengingat model pengelolaan minawisata bahari yang akan dikembangkan di Teluk Un ini adalah pengelolaan yang berbasis konservasi dan dikembangkan di pulau sangat kecil, maka daya dukung lahan perlu dibatasi dengan kapasitas lahan KL dimana areal yang diizinkan untuk dikembangkan adalah 30 dari luas lahan yang sesuai. 144 a. Minawisata bahari pancing Analisis daya dukung untuk minawisata bahari pancing dilakukan dengan pendekatan luas lahan yang sesuai, kapasitas lahan perairan, dan luasan optimal sarana pemancingan ikan. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan didapatkan luas lahan yang sesuai untuk aktivitas ini adalah seluas 113,12 ha atau 1.131.200 m 2 , apabila kapasitas lahan perairan adalah 30 dari luas lahan yang sesuai maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung lahan diperoleh DDL untuk minawisata bahari pancing adalah seluas 339.360 m 2 . Luasan optimal sarana pemancingan ikan adalah besaran yang menunjukkan luas dari 1 unit perahu bercadik dengan ukuran panjang perahu 4 meter dan lebar perahu termasuk cadiknya adalah 3 meter sehingga luasan optimalnya adalah 12 m 2 , sementara luas olah gerak untuk 1 unit sarana pemancingan ikan agar dapat bergerak dengan leluasa tanpa menggangu atau terganggu oleh sarana pemancingan lainnya adalah 900 m 2 b. Minawisata bahari pengumpulan kerang 30 m X 30 m. Dengan dasar perhitungan tersebut maka jumlah unit sarana pemancingan ikan yang diperbolehkan untuk beroperasi di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah sebanyak 377 unit perhari. Selanjutnya, jika 1 unit sarana pemancingan ikan dapat menampung 3 orang 2 orang wisatawan dan 1 orang pendayung perahu maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung kawasan diperoleh DDK untuk minawisata bahari pancing adalah 1.131 orang perhari. Analisis daya dukung untuk minawisata bahari pengumpulan kerang dilakukan dengan pendekatan potensi ekologis pengunjung per satuan unit area, luas area yang dapat dimanfaatkan, unit area, waktu yang disediakan oleh kawasan dalam 1 hari, dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan pengumpulan kerang. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan didapatkan luas lahan yang sesuai untuk aktivitas ini adalah seluas 81 ha atau 810.000 m 2 , apabila kapasitas lahan perairan adalah 30 dari luas lahan yang sesuai maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung lahan diperoleh DDL atau luas area yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengumpulan kerang menjadi 243.000 m 2 . 145 Unit area adalah besaran yang menunjukkan luasan optimal dari lahan yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas pengumpulan kerang. Jika diasumsikan bahwa unit area untuk 1 orang pengunjung agar dapat leluasa melakukan aktivitas pengumpulan kerang tanpa menggangu pengunjung lainnya adalah 2500 m 2 c. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan 50 m X 50 m, potensi ekologis pengunjung per satuan unit area adalah 1 orang, waktu yang disediakan oleh kawasan dalam 1 hari adalah 8 jam, dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan aktivitas ini adalah 4 jam Yulianda 2007, maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung kawasan diperoleh DDK untuk minawisata bahari pengumpulan kerang adalah sebanyak 194 orang per event. Satuannya ditentukan per event karena sesuai adat dan kebiasaan masyarakat setempat untuk menjaga ketersediaan dan kelestarian sumberdaya yang ada, aktivitas pengumpulan kerang tidak dapat dilakukan setiap hari oleh masyarakat setempat karena terikat dengan atusan Sasi Yutut, aktivitas ini hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu yaitu pada saat kondisi laut surut terbesar Meti Kei. Analisis daya dukung untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan dilakukan dengan pendekatan luas lahan yang sesuai, kapasitas lahan perairan, dan luasan optimal karamba pembesaran ikan. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, didapatkan luas lahan yang sesuai untuk aktivitas ini adalah seluas 44,97 ha atau 449.700 m 2 , apabila kapasitas lahan perairan adalah 30 dari luas lahan yang sesuai maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung lahan diperoleh DDL untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan adalah seluas 134.910 m 2 Luasan optimal karamba pembesaran ikan adalah besaran yang menunjukkan luas dari 1 unit rakit dengan empat buah karamba berukuran 3m X 3m X 3m, luasan optimal untuk 1 unit rakit agar ikan-ikan yang dipelihara dapat bertumbuh dengan baik adalah 144 m . 2 12 m X 12 m, luasan ini merupakan ukuran optimal yang digunakan secara umum di perairan Indonesia Sunyoto 1993. Sementara luas olah gerak untuk 1 unit rakit karamba agar perahu yang menuju dan kembali dari rakit karamba dapat bergerak dengan leluasa tanpa 146 menggangu atau terganggu oleh perahu lainnya adalah 3.600 m 2 d. Minawisata bahari selam 60 m X 60 m. Dengan dasar perhitungan tersebut maka jumlah rakit karamba pembesaran ikan yang diperbolehkan untuk ditempatkan di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah sebanyak 37 unit. Selanjutnya, jika 1 unit rakit dapat menampung 5 orang 4 orang wisatawan dan 1 orang penjaga karamba maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung kawasan diperoleh DDK untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan adalah 185 orang perhari. Analisis daya dukung untuk minawisata bahari selam dilakukan dengan pendekatan potensi ekologis pengunjung per satuan unit area, luas area yang dapat dimanfaatkan, unit area, waktu yang disediakan oleh kawasan dalam 1 hari, dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan penyelaman. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan didapatkan luas lahan yang sesuai untuk aktivitas ini adalah seluas 12,22 ha atau 122.200 m 2 , apabila kapasitas lahan perairan adalah 30 dari luas lahan yang sesuai maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung lahan diperoleh DDL atau luas area yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas penyelaman menjadi 36.660 m 2 . Unit area adalah besaran yang menunjukkan luasan optimal dari lahan yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas penyelaman. Menurut Yulianda 2007, unit area untuk 1 orang pengunjung agar dapat leluasa melakukan aktivitas penyelaman tanpa menggangu penyelam lainnya adalah 2000 m 2 e. Minawisata bahari mangrove 200 m X 10 m, potensi ekologis pengunjung per satuan unit area adalah 2 orang 1 orang penyelam dan 1 orang pemandu selam, waktu yang disediakan oleh kawasan dalam 1 hari adalah 8 jam, dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan aktivitas ini adalah 2 jam, maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung kawasan diperoleh DDK untuk minawisata bahari selam adalah sebanyak 146 orang per hari. Menurut Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata mangrove, ketebalan ekosistem mangrove yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah lebih dari 300 meter, parameter ini juga digunakan 147 dalam melakukan analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove. Hasil interpretasi citra satelit menunjukan bahwa ketebalan ekosistem mangrove di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir tidak ada yang mencapai 300 meter, ketebalan terbesar hanya mencapai 180 meter, dengan demikian ekosistem mangrove yang ada di kawasan ini tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai. Namun untuk kepentingan konservasi dan pendidikan bahari, ekosistem mangrove yang ada di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir ini dapat digunakan untuk minawisata bahari mangrove walaupun hanya dengan memanfaatkan luasan ekosistem mangrove yang masuk dalam kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan didapatkan luas ekosistem mangrove yang masuk dalam kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah 29,29 ha atau 292.900 m 2 dan letaknya tersebar mengitari Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Apabila kapasitas lahan adalah 30 dari luas ekosistem mangrove yang sesuai bersyarat tersebut, maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung lahan diperoleh DDL atau luas area yang dapat dimanfaatkan untuk minawisata bahari mangrove menjadi 87.870 m 2 Analisis daya dukung untuk minawisata bahari mangrove dilakukan dengan pendekatan potensi ekologis pengunjung per satuan unit area, luas area yang dapat dimanfaatkan, unit area, waktu yang disediakan oleh kawasan dalam 1 hari, dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan tracking. Jika diasumsikan bahwa areal untuk membuat rute tracking adalah 10 dari luas area yang dapat dimanfaatkan untuk minawisata bahari mangrove, maka luas area yang dapat digunakan untuk melakukan tracking adalah 8.787 m . 2 . Unit area adalah besaran yang menunjukkan jarak optimal dari panjang track yang dapat dimanfaatkan oleh pengunjung untuk melakukan tracking. Menurut Yulianda 2007, unit area untuk 1 orang pengunjung agar dapat leluasa melakukan tracking tanpa menggangu pengunjung lainnya adalah 50 meter, potensi ekologis pengunjung per satuan unit area adalah 1 orang, waktu yang disediakan oleh kawasan dalam 1 hari adalah 8 jam, dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan tracking adalah 2 jam, maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung kawasan diperoleh DDK untuk minawisata bahari mangrove adalah 148 sebanyak 702 orang per hari. Apabila lebar area tracking yang dibuat adalah 2 meter, maka minawisata bahari mangrove ini dapat dinikmati dengan cara mengekplorasi sekaligus menikmati ekosistem mangrove dengan semua proses alami yang terjadi di dalamnya mengikuti rute tracking sepanjang 4.394 meter.

5.2.2 Daya Dukung Ekologis

Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung ekologis adalah dengan pendekatan kapasitas asimilasi lingkungan perairan. Perairan teluk memiliki kemampuan menampung beban pencemaran sampai pada batas-batas tertentu, kemampuan ini dipengaruhi oleh proses pengenceran dan perombakan yang terjadi di dalamnya. Kapasitas asimilasi didefenisikan sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima beban pencemar limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Apabila beban limbah yang masuk ke perairan melebihi kemampuan asimilasinya maka akan menyebabkan terjadinya pencemaran. Perhitungan kapasitas asimilasi lingkungan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dalam menampung beban pencemar dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan metoda regresi sederhana antara konsentrasi masing-masing parameter kualitas air di lingkungan perairan dengan beban pencemarnya, hasil regresi sederhana tersebut selanjutnya dianalisis dengan cara memotongkannya dengan nilai baku mutu air laut untuk biota laut dan wisata bahari sesuai standar baku mutu yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jika nilai kapasitas asimilasinya belum terlampaui, maka beban pencemar yang masuk masih tergolong rendah, dimana beban pencemar yang masuk akan mengalami proses difusi atau dispersi atau penguraian di dalam lingkungan perairan, hal ini ditandai oleh nilai konsentrasi parameter beban pencemar yang masih berada dibawah nilai ambang batas baku mutu air laut. Begitu pula sebaliknya, jika nilai kapasitas asimilasinya telah melampaui kemampuan asimilasinya maka kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Data hasil pengukuran parameter kualitas air di lingkungan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir serta standar baku mutu air laut yang dipersyaratkan seperti yang ditunjukan pada Tabel 29. 149 Tabel 29 Status kualitas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir Parameter Baku Mutu Hasil Pengukuran Biota Laut Wisata Bahari St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 Nitrat mgl 0,008 0,008 0,008 0,003 0,002 0,003 0,004 0,003 0,003 Phosphat mgl 0,015 0,015 0,009 0,002 0,004 0,005 0,002 0,002 0,004 Tembaga mgl 0,008 0,050 0,017 0,007 0,008 0,008 0,007 0,007 0,009 Ammonia mgl 0,3 nihil 0,006 0,007 0,009 0,008 0,007 0,007 0,011 Sulfida mgl 0,01 nihil 0,011 0,006 0,007 0,007 0,006 0,006 0,007 Selanjutnya data hasil regresi sederhana fungsi y, beban pencemar dan kapasitas asimilasinya seperti ditunjukan pada Tabel 30. Persamaan regresi yang terbentuk merupakan hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter kualitas air di lingkungan perairan dengan beban pencemarnya. Apabila garis regresi yang terbentuk ditarik lurus sehingga berpotongan dengan garis baku mutu air laut sesuai peruntukannya maka akan didapatkan nilai kapasitas asimilasinya seperti yang ditunjukan pada Gambar 21. Tabel 30 Beban pencemar dan kapasitas asimilasi lingkungan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir No Paramater Fungsi y R Beban Pencemar mgdet 2 Kapasitas Asimilasi mgdet 1 Nitrat NO 3 y = 3,025 + 0,002x –N R 2 1,286 = 0,999 2,772 2 Phosphat PO 4 y = 4,990 + 0,002x R 2 1,386 = 0,999 5,198 3 Tembaga Cu y = 6,370 + 0,002x R 2 3,119 = 0,999 2,772 4 Ammonia NH 3 y = - 9,610 + 0,002x –N R 2 2,703 = 0,999 103,967 5 Sulfida H 2 y = 1,050 + 0,002x S R 2 2,475 = 0,999 3,465 150 a. Kapasitas Asimilasi Nitrat NO 3 -N b. Kapasitas Asimilasi Phosphat PO 4 c. Kapasitas Asimilasi Tembaga Cu d. Kapasitas Asimilasi Ammonia NH 3 -N e. Kapasitas Asimilasi Sulfida H 2 Gambar 21 Kapasitas asimilasi dari 5 paramater kualitas air di lingkungan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. -S a. Kapasitas Asimilasi Nitrat NO 3 Penentuan nilai kapasitas asimilasi untuk NO -N 3 -N dilakukan dengan persamaan regresi y = 3,025 + 0,002x dan R 2 = 0,999. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 151 2,772 mgdet 0,007 tonbulan. Jika beban pencemar yang ada sebesar 1,286 mgdet 0,003 tonbulan dibandingkan dengan nilai kapasitas asimilasi tersebut maka terlihat bahwa beban pencemar yang masuk masih tergolong rendah karena berdasarkan hasil pengukuran kualitas air di 7 stasiun pengamatan ternyata konsentrasi NO 3 -N pada 6 stasiun pengamatan masih berada dibawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu di Stasiun 2, 3, 4, 5, 6, dan 7, kecuali pada stasiun pengamatan 1 di bagian utara Teluk Un terlihat bahwa nilai konsentrasi NO 3 b. Kapasitas Asimilasi Phosphat PO -N telah mencapai batas kapasitas asimilasinya. 4 Berdasarkan persamaan regresi y = 4,990 + 0,002x dan R 2 = 0,999 maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi PO 4 di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 5,198 mgdet 0,013 tonbulan. Jika beban pencemar yang ada sebesar 1,386 mgdet 0,003 tonbulan dibandingkan dengan nilai kapasitas asimilasi tersebut maka beban pencemar yang masuk masih tergolong rendah karena hasil pengukuran kualitas air di 7 stasiun pengamatan semuanya menunjukan bahwa konsentrasi PO 4 c. Kapasitas Asimilasi Tembaga Cu masih berada dibawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan. Nilai kapasitas asimilasi untuk Cu ditentukan berdasarkan persamaan regresi y = 6,370 + 0,002x dan R 2 = 0,999. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 2,772 mgdet 0,007 tonbulan. Jika beban pencemar yang ada sebesar 3,119 mgdet 0,008 tonbulan dibandingkan dengan nilai kapasitas asimilasi tersebut maka terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir telah tercemar oleh Cu karena ada 2 stasiun pengamatan yang konsentasi Cu telah melampaui nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu pada Stasiun 1 dan 7. Selain itu juga ada 2 stasiun pengamatan yang konsentrasi Cu sama dengan baku mutu yang dipersyaratkan yaitu pada Stasiun 3 dan 4, sedangkan konsentrasi Cu pada 3 stasiun pengamatan lainnya masih berada di bawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu pada Stasiun 2, 5, dan 6. 152 d. Kapasitas Asimilasi Ammonia NH 3 Penentuan nilai kapasitas asimilasi untuk NH -N 3 -N dilakukan dengan persamaan regresi y = - 9,610 + 0,002x dan R 2 = 0,999. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 103,967 mgdet 0,269 tonbulan. Nilai kapasitas asimilasi ini cukup besar karena konsentrasi NH 3 -N yang ada di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 0,3 mgl. Jika beban pencemar yang ada sebesar 2,703 mgdet 0,007 tonbulan dibandingkan dengan nilai kapasitas asimilasi tersebut maka jelas terlihat bahwa beban pencemar yang masuk masih tergolong rendah karena hasil pengukuran kualitas air pada 7 stasiun pengamatan, semuanya menunjukan konsentrasi NH 3 - N e. Kapasitas Asimilasi Sulfida H masih berada jauh dibawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan. 2 Berdasarkan persamaan regresi y = 1,050 + 0,002x dan R -S 2 = 0,999 maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi H 2 S di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 3,465 mgdet 0,008 tonbulan. Jika beban pencemar yang ada sebesar 2,475 mgdet 0,006 tonbulan dibandingkan dengan nilai kapasitas asimilasi tersebut maka terlihat bahwa beban pencemar yang masuk masih tergolong rendah karena berdasarkan hasil pengukuran kualitas air di 7 stasiun pengamatan ternyata konsentrasi H 2 S pada 6 stasiun pengamatan masih berada dibawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu di Stasiun 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Sama halnya dengan nitrat, pada stasiun pengamatan 1 di bagian utara Teluk Un terlihat bahwa konsentrasi H 2 Dari kelima parameter kualitas air tersebut diatas, dapat dijelaskan bahwa unsur pencemar seperti nitrat, tembaga, dan sulfida yang konsentrasinya telah mencapai atau bahkan melampaui batas kapasitas asimilasinya diduga keberadaannya karena adanya limbah pemukiman penduduk yang masuk ke lingkungan perairan, namun kondisi ini belum terlalu membahayakan karena beban pencemar tersebut akan terbilas pada saat air bergerak pasang dan kemudian terbawa oleh arus ke luar teluk pada saat air bergerak surut. S telah melampaui batas kapasitas asimilasinya. 153 Menurut MERDI in DPK 2006a, tipe pasang surut di perairan Kei Kecil adalah pasang campuran mirip harian ganda. Dengan tipe pasut seperti ini maka arus pasang surut pada suatu titik di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir akan berubah arah dan kecepatannya sebanyak 4 kali. Kecepatan arus pada kanal teluk ini sangat mempengaruhi cepat lambatnya pergantian massa air di dalam teluk tersebut, hal ini berkaitan dengan kepekaan teluk tersebut terhadap polusi maupun dalam menentukan input dan output bibit propagule, misalnya larva biota laut yang terbawa arus ke teluk tersebut. Renjaan dan Pattisamalo 1999 mengemukakan bahwa lama waktu menetap residence time atau lama waktu singgah transit time massa air di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir diperkirakan kurang dari 9 jam, dalam kurun waktu yang singkat ini Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat memperbaharui massa airnya maupun kondisi bio-ekologisnya.

5.3 Alokasi Ruang Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir

Alokasi ruang adalah teknik pengaturan pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya, hasil analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Hasil olahan data menunjukan bahwa luas kawasan perairan yang dapat dimanfaatkan untuk minawisata bahari pancing, pengumpulan kerang, karamba pembesaran ikan, dan selam adalah 2.891.715,47 m 2 sedangkan luas kawasan ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan adalah 404.602,75 m 2 Dari Tabel 31 terlihat bahwa perbandingan luas area yang dapat dimanfaatkan untuk masing-masing kategori aktivitas minawisata bahari terhadap luas kawasan berkisar antara 1,27 - 21,72, luasan ini terlihat cukup kecil bila dibandingkan dengan luas kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, hal ini menunjukan bahwa model pengelolaan minawisata bahari yang akan dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah model . Selanjutnya alokasi ruang kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dibuat berdasarkan potensi sumberdaya, hasil analisis kesesuaian lahan dan analisis daya dukung lingkungan dari masing-masing kategori aktivitas minawisata bahari. Tabel 31 menunjukan luas area peruntukan lahan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi. 154 pengelolaan yang berbasis konservasi karena masih menyisakan sebagian besar lahan untuk menjamin ketersediaan dan kelestarian sumberdaya yang ada. Selanjutnya peta alokasi ruang kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk minawisata bahari berbasis konservasi seperti ditunjukan pada Gambar 22. Tabel 31 Luas area peruntukan lahan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir Peruntukan Lahan Luas Area m 2 Persentase Minawisata Bahari Pancing 339.360 11,74 Minawisata Bahari Pengumpulan Kerang 243.000 8,40 Minawisata Bahari Karamba Pembesaran Ikan 134.910 4,67 Minawisata Bahari Selam 36.660 1,27 Minawisata Bahari Mangrove 87.870 21,72

5.4 Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi untuk mendukung model pengelolaan minawisata bahari di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir ini menggunakan pendekatan valuasi ekonomi dan analisis manfaat-biaya dengan menambahkan komponen lingkungan didalam perhitungannya extended cost-benefit analysis dengan tujuan untuk mendapatkan penilaian ekonomi secara utuh yang menggambarkan willingness to pay yang benar dari masyarakat terhadap manfaat yang dihasilkan dari ekosistem pesisir dan laut.

5.4.1 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Teluk Un dan Teluk Vid Bangir

Kawasan pesisir dan laut yang termasuk kategori teluk seperti halnya Teluk Un dan Teluk Vid Bangir memerlukan sebuah rencana pengelolaan sehingga kajian komprehensif terhadap dinamika kegiatan ekonomi maupun dampak lingkungan menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini karena Teluk Un dan Teluk Vid Bangir memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat, baik manfaat langsung seperti perikanan dan wisata bahari maupun tidak langsung seperti peran ekosistem terumbu karang dan mangrove bagi lingkungan yang ada disekitarnya. Manfaat ini harus dinilai secara ekonomi agar input kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dilakukan secara komprehensif dalam konteks manfaat dan biayanya. 155 Gambar 22 Peta alokasi ruang kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk model pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi. 156 Masyarakat adat yang ada di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir tentu saja menginginkan adanya pembangunan ekonomi di wilayahnya, namun pada saat yang sama mereka juga memahami arti penting kelestarian sumberdaya pesisir dan laut yang ada diwilayah tersebut, dengan kata lain mereka ingin mengetahui manfaat dan biaya dari ekosistem yang ada yang nantinya dapat dimanfaatkan secara bijaksana untuk kesejahteraan mereka. Dalam konteks inilah maka valuasi ekonomi sumberdaya digunakan. Peran valuasi ekonomi terhadap ekosistem dan sumberdaya yang ada disuatu wilayah penting dalam perumusan kebijakan pembangunan termasuk dalam hal ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya yang ada merupakan masalah ekonomi karena akan menghilangkan kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Pilihan kebijakan pembangunan yang akan mempertahankan ekosistem tersebut seperti apa adanya atau akan dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi, dalam hal ini kuantifikasi manfaat benefit dan kerugian cost harus dilakukan agar pengambilan keputusan dapat dilakukan secara bijaksana.

a. Ekosistem Hutan Mangrove

1 Nilai Guna Langsung Direct Use Value Nilai guna langsung dari ekosistem hutan mangrove Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dapat terukur nilainya adalah pemanfaatannya untuk dijadikan bahan bangunan rumah, kayu bakar, ikan, dan kepiting bakau. Metoda yang digunakan dalam penaksiran manfaat langsung adalah dengan menggunakan pendekatan manfaat dan biaya berdasarkan nilai pasar melalui proses benefit transfer. Pendekatan ini menghitung jenis dan jumlah produk langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat dikalikan dengan harga pasar yang berlaku dari setiap unit produk. Tabel 32 menunjukan hasil benefit transfer dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai dasar perhitungan valuasi ekonomi ekosistem mangrove di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, sedangkan Tabel 33 menunjukan nilai guna langsung ekosistem hutan mangrove berdasarkan hasil benefit transfer tersebut. 157 Tabel 32 Hasil benefit transfer harga pasar pemanfaatan langsung ekosistem mangrove dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya. MANFAAT LANGSUNG 1 2 3 4 5 RATA RATA PEMBULATAN Harga Pasar Harga Pasar Harga Pasar Harga Pasar Harga Pasar Rasio IHK Lokasi Studi 123,71 123,71 123,71 123,71 123,71 Rasio IHK Lokasi Asal 125,33 126,37 123,71 120,26 121,30 Potensi kayu Rpm3 59.224 127.264 61.721 82.736 82.740 Ranting kayu bakar per ikat 296 2.750 2.550 1.865 1.870 Ikan per kg 2.961 3.000 5.354 3.772 3.770 Kepiting bakau per kg 9.871 10.000 40.795 20.222 20.220 Sumber : 1 Harga pasar di Buton - Sulawesi Tenggara Fitrawati, 2001. 2 Harga pasar di Bontang - Kalimantan Timur Astuti, 2005. 3 Harga pasar di Seram Bagian Barat - Maluku Supriyadi, 2005. 4 Harga pasar di Jepara - Jawa Tengah, Pariyono 2006. 5 No. Harga Pasar di Malili - Sulawesi Selatan, Sribiyanti 2008. Tabel 33 Nilai guna langsung ekosistem mangrove di Teluk Un dan Teluk Vid - Bangir per hektar per tahun Jenis Pemanfaatan Harga Pasar Rp Satuan Volume Produksi Nilai Ekonomi Rp 1. Kayu bahan bangunan 82.740 m 47 m 3 3.888.780 3 2. Ranting kayu bakar 1.870 ikat 1.780 ikat 3.328.600 3. Ikan 3.770 kg 2.056 kg 7.751.120 4. Kepiting bakau 20.220 kg 600 kg 12.132.000 J umlah 27.100.500 Sumber : Hasil olahan dari proses benefit transfer. Dari tabel 33 diperoleh nilai guna langsung ekosistem hutan mangrove adalah Rp.27.100.500 per ha per tahun. Dengan luas hutan mangrove kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sebanyak 153,58 ha maka nilai guna langsung ekosistem hutan mangrove kawasan tersebut adalah sebesar Rp.4.162.094.790 per tahun. 2 Nilai Guna Tidak Langsung Indirect Use Value Salah satu fungsi dari hutan mangrove adalah sebagai pencegah abrasi pantai, sehubungan dengan sebagian besar masyarakat Pulau Dullah tinggal di pesisir pantai, maka pengukuran nilai guna tidak langsung diarahkan pada fungsi 158 diatas. Pendekatan manfaat hutan mangrove sebagai pencegah abrasi pantai dilakukan dengan pembangunan talud penahan pantai apabila ekosistem hutan mangrove tersebut rusak atau tidak ada. Menurut Sjafrie 2010 biaya pembangunan talud penahan pantai diperkirakan sekitar Rp.300.000 per m 3 . Selanjutnya dikatakan bahwa pada umumnya talud yang dibangun mempunyai tinggi penampang 1 meter dan lebar penampang 0,5 meter dengan bentuk memanjang mengikuti garis pantai. Dengan demikian bila panjang garis pantai di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang ditumbuhi hutan mangrove adalah 6.837,6 meter maka volume talud penahan pantai yang harus dibangun adalah 3.418,8 m 3 1m x 0,5 m x 6.837,6 m sehingga biaya dan nilai guna tidak langsung dari hutan mangrove sebagai pencegah abrasi pantai dapat diperkirakan yaitu 3.418,8 m 3 3 Nilai Pilihan Option Value x Rp.300.000 atau sebesar Rp.1.025.640.000 per tahun dengan daya tahan selama 10 tahun, atau sebesar Rp.102.564.000 per tahun. Untuk menentukan nilai pilihan dari ekosistem hutan mangrove digunakan nilai keanekaragaman hayati biodiversity seperti yang dikemukakan oleh Ruitenbeek 1992 dimana nilai biodiversity ekosistem hutan mangrove adalah USD 1.500 per km 2 4 Nilai Keberadaan Existence Value per tahun atau USD 15,00 per ha per tahun. Bila dikonversikan kedalam nilai Rupiah dimana USD 1,00 diasumsikan adalah Rp.10.000 maka nilainya menjadi Rp.150.000 per ha per tahun. Dengan luas hutan mangrove kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sebanyak 153,58 ha maka nilai pilihan dari ekosistem hutan mangrove tersebut adalah sebesar Rp.23.037.000 per tahun. Pendekatan untuk menghitung nilai keberadaan hutan mangrove adalah dengan menggunakan contingent value method CVM dimana nilai keberadaan ekosistem mangrove berdasarkan hasil benefit transfer dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya adalah sebesar Rp.2.825.680 per ha per tahun lihat Lampiran 7b. Dengan luas hutan mangrove kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sebanyak 153,58 ha maka nilai keberadaan dari ekosistem hutan mangrove tersebut adalah sebesar Rp.433.967.930 per tahun. 159 5 Nilai Ekonomi Total Total Economic Value Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan hutan mangrove sebanyak 153,58 ha memiliki manfaat yang cukup besar dan beragam mulai dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat keberadaan. Tabel 34 menunjukan nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yaitu sebesar Rp.4.721.663.740 per tahun. Tabel 34 Nilai ekonomi total ekosistem mangrove kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir per tahun No. Nilai Kegunaan Nilai per Hektar Rp Nilai Total Rp 1. Nilai guna langsung 27.100.500 4.162.094.790 2. Nilai guna tidak langsung 667.820 102.564.000 3. Nilai pilihan 150.000 23.037.000 4. Nilai keberadaan 2.825.680 433.967.930 Nilai Ekonomi Total 30.744.000 4.721.663.720 Tabel 34 menunjukan bahwa dari hasil perhitungan, nilai guna langsung memberikan nilai yang terbesar dalam pemanfaatannya sebagai bahan bangunan rumah, bahan kayu bakar, ikan, dan kepiting bakau. Nilai guna tidak langsung dari ekosistem hutan mangrove juga memberikan nilai yang cukup besar setelah nilai guna langsung yaitu sebagai pencegah abrasi pantai dan penyedia pakan. Sedangkan nilai keberadaan menunjukan bahwa masyarakat telah mampu memberikan penilaian terhadap keberadaan ekosistem hutan mangrove tersebut.

b. Ekosistem Terumbu Karang

1 Nilai Guna Langsung Direct Use Value Berdasarkan hasil identifikasi nilai guna langsung dari ekosistem terumbu karang di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dapat terukur nilainya adalah pemanfaatannya untuk perikanan terumbu, lola, teripang, dan penelitian. Metoda yang digunakan dalam penaksiran manfaat langsung adalah dengan menggunakan pendekatan manfaat dan biaya berdasarkan nilai pasar melalui proses benefit transfer. Pendekatan ini menghitung jenis dan jumlah produk langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat dikalikan dengan harga pasar 160 yang berlaku dari setiap unit produk. Tabel 35 menunjukan hasil benefit transfer dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai dasar perhitungan valuasi ekonomi terumbu karang di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, sedangkan Tabel 36 menunjukan nilai guna langsung ekosistem terumbu karang berdasarkan hasil benefit transfer tersebut. Tabel 35 Hasil benefit transfer harga pasar pemanfaatan langsung ekosistem terumbu karang dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya. MANFAAT LANGSUNG 1 2 3 4 RATA RATA PEMBULATAN Harga Pasar Harga Pasar Harga Pasar Harga Pasar Rasio IHK Lokasi Studi 123,71 123,71 123,71 123,71 Rasio IHK Lokasi Asal 123,71 126,37 121,30 125,33 Perikanan terumbu per kg 5.000 7.342 63.742 44.418 30.126 30.130 Lola per kg 26.750 39.878 33.314 33.310 Teripang per kg 18.750 50.993 118.449 62.731 62.730 Sumber : 1 Harga pasar di Pulau Nusalaut - Maluku Wawo, 2000. 2 Harga pasar di Bontang - Kalimantan Timur Astuti, 2005. 3 Harga pasar di Barrang Lompo - Sulawesi Selatan Hamzah, 2005. 4 No. Harga pasar di Wakatobi - Sulawesi Tenggara Coremap II, 2008. Tabel 36 Nilai guna langsung ekosistem terumbu karang di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir per hektar per tahun Jenis Pemanfaatan Harga Pasar Rp Satuan Volume Produksi Nilai Ekonomi Rp 1. Perikanan terumbu 30.130 kg 144 kg 4.338.720 2. Lola 33.310 kg 120 kg 3.997.200 3. Teripang 62.730 kg 54 kg 3.387.420 J u m l a h 11.723.340 Sumber : Hasil olahan dari proses benefit transfer. Dari tabel 36 diperoleh nilai guna langsung ekosistem terumbu karang untuk perikanan terumbu, lola, dan teripang adalah Rp.11.723.340 per ha per tahun. 161 Dengan luas terumbu karang Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sebanyak 62,78 ha maka nilai guna langsung ekosistem terumbu karang tersebut adalah sebesar Rp.735.991.285 per tahun. Disamping ketiga manfaat langsung diatas, kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir juga merupakan tempat yang menarik untuk dijadikan lokasi penelitian karena selain merupakan habitat berbagai biota laut dan daerah penangkapan ikan, Teluk Un dan Vid Bangir juga merupakan daerah sumber source terutama yang berkaitan dengan distribusi bibit kehidupan propagule ‘misalnya larva’ yang mengendalikan keberlangsungan kehidupan di perairan sekitarnya sehingga sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian. Nilai guna langsung untuk penelitian dari ekosistem terumbu karang di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir didekati dengan biaya yang dikeluarkan oleh 1 orang peneliti selama melakukan penelitian dilokasi tersebut. Dalam 1 tahun diperkirakan ada sekitar 4 orang peneliti yang melakukan penelitian. Berdasarkan hasil benefit transfer dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya terlihat bahwa besar biaya penelitian adalah Rp.40.855.650 per orang sehingga nilai guna langsung untuk penelitian dari ekosistem terumbu karang di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah Rp.163.422.600 per tahun. Dengan demikian jika nilai guna langsung ekosistem terumbu karang untuk perikanan terumbu, lola, dan teripang ditambah dengan nilai guna langsung untuk penelitian maka total nilai guna langsungnya menjadi Rp.899.413.885 per tahun. 2 Nilai Guna Tidak Langsung Indirect Use Value Nilai guna tidak langsung yang dapat diidentifikasi dari ekosistem terumbu karang di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah sebagai pencegah abrasi pantai. Pendekatan manfaat terumbu karang sebagai pencegah abrasi pantai dilakukan dengan pembangunan pemecah gelombang break water apabila ekosistem terumbu karang tersebut rusak atau tidak ada. Menurut Sjafrie 2010 biaya pembangunan pemecah gelombang diperkirakan sekitar Rp.300.000 per m 3 . Pada umumnya pemecah gelombang yang dibangun mempunyai kedalaman 3 m dan lebar penampang 2,5 m dengan bentuk memanjang mengikuti garis pantai. Dengan demikian bila panjang garis pantai dari luasan ekosistem terumbu karang di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah 11.019,31 meter maka 162 volume pemecah gelombang yang harus dibangun adalah 82.644,83 m 3 3m x 2,5 m x 11.019,31 m sehingga biaya dan nilai guna tidak langsung dari ekosistem terumbu karang sebagai pencegah abrasi pantai dapat diperkirakan yaitu 82.644,83 m 3 3 Nilai Pilihan Option Value x Rp.300.000 atau sebesar Rp.24.793.447.500 dengan daya tahan selama 10 tahun, atau sebesar Rp.2.479.344.750 per tahun. Untuk menentukan nilai pilihan dari ekosistem terumbu karang digunakan nilai keanekaragaman hayati biodiversity. Hatcher dkk 1992 in Sawyer 1992 menyatakan bahwa terumbu karang mempunyai nilai konservasi yang setara dengan hutan basah tropis, sedangkan menurut Ruitenbeek 1992 keuntungan yang diperoleh dari ekosistem yang tinggi nilai keragamannya dan mempunyai nilai ekologis yang tinggi seperti hutan basah tropis memiliki nilai potensi sebesar USD 1.500 per km 2 4 Nilai Keberadaan Existence Value per tahun atau USD 15 per ha per tahun. Bila dikonversikan kedalam nilai Rupiah dimana USD 1,00 diasumsikan adalah Rp.10.000 maka nilainya menjadi Rp.150.000 per ha per tahun. Dengan luas terumbu karang Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sebanyak 62,78 ha maka nilai pilihan dari ekosistem terumbu karang tersebut adalah sebesar Rp.9.417.000 per tahun. Pendekatan untuk menghitung nilai keberadaan terumbu karang adalah dengan menggunakan contingent value method CVM, dimana nilai keberadaan ekosistem terumbu karang berdasarkan hasil benefit transfer dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya adalah sebesar Rp.6.992.550 per ha per tahun lihat Lampiran 7c. Dengan luas terumbu karang Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sebanyak 62,78 ha maka nilai keberadaan dari ekosistem terumbu karang tersebut adalah sebesar Rp.438.992.290 per tahun. 5 Nilai Ekonomi Total Total Economic Value Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan luas ekosistem terumbu karang sebanyak 62,78 ha memiliki nilai guna yang cukup besar dan beragam mulai dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai pilihan, dan nilai keberadaan. Tabel 37 menunjukan nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang 163 kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yaitu sebesar Rp.3.827.167.925 per tahun. Tabel 37 Nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir per tahun No. Nilai Kegunaan Nilai per Hektar Rp Nilai Total Rp 1. Nilai guna langsung 14.326.440 899.413.885 2. Nilai guna tidak langsung 39.492.590 2.479.344.750 3. Nilai pilihan 150.000 9.417.000 4. Nilai keberadaan 6.992.550 438.992.290 Nilai Ekonomi Total 60.961.580 3.827.167.925 Tabel 37 menunjukan bahwa dari hasil perhitungan, nilai guna tidak langsung dari ekosistem terumbu karang memberikan nilai yang terbesar yaitu sebagai pencegah abrasi pantai. Nilai guna langsung juga memberikan nilai yang cukup besar dalam pemanfaatannya untuk perikanan terumbu, lola, teripang, dan penelitian. Sedangkan nilai keberadaan menunjukan bahwa masyarakat telah mampu memberikan penilaian terhadap keberadaan ekosistem terumbu karang tersebut.

5.4.2 Analisis Manfaat-Biaya

Analisis yang digunakan untuk menghitung kelayakan usaha berbagai aktivitas minawisata bahari ini adalah dengan pendekatan extended cost-benefit analysis ECBA. Pada prinsipnya ECBA adalah pengembangan dari cost-benefit analysis , disebut extended karena dalam perhitungan cost-benefit kita tambahkan nilai manfaat dan biaya lingkungan sebagai bagian dari komponennya. Nilai manfaat dan biaya lingkungan dimaksud didapat dari hasil valuasi ekonomi sumberdaya yang akan digunakan yaitu ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove. Untuk minawisata bahari pancing; pengumpulan kerang; karamba pembesaran ikan; dan selam, komponen manfaat lingkungan atau environmental benefit B e yang ditambahkan dalam perhitungan adalah nilai manfaat langsung ekosistem terumbu karang sebagai penghasil perikanan terumbu, lola, teripang, 164 dan untuk kegiatan penelitian, sedangkan komponen biaya lingkungan atau environmental cost C e adalah total nilai ekonomi ekosistem terumbu karang dengan luasan tertentu apabila kita mengkonversi terumbu karang tersebut untuk suatu jenis pemanfaatan, sementara biaya mitigasi lingkungan atau environmental protection cost C p adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki kualitas lingkungan misalnya untuk pembuatan artificial reef, restocking, dan pungutan adat pengganti sasi yang akan digunakan untuk perbaikan lingkungan. Untuk minawisata bahari mangrove, komponen manfaat lingkungan atau environmental benefit B e yang ditambahkan dalam perhitungan adalah nilai manfaat langsung ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu bahan bangunan, kayu bakar, ikan, dan kepiting bakau, sedangkan komponen biaya lingkungan atau environmental cost C e adalah total nilai ekonomi ekosistem mangrove dengan luasan tertentu apabila kita mengkonversi mangrove tersebut untuk suatu jenis pemanfaatan, sementara biaya mitigasi lingkungan atau environmental protection cost C p adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki lingkungan dan ekosistem mangrove yang rusak misalnya untuk menanam kembali anakan mangrove, dan pungutan adat pengganti sasi yang akan digunakan untuk perbaikan lingkungan. Barton 1994 menjelaskan bahwa salah satu kriteria yang digunakan dalam evaluasi kebijakan adalah dengan menghitung net present value NPV dimana keuntungan bersih suatu proyekusaha adalah pendapatan kotor dikurangi jumlah biaya. Dengan demikian maka NPV suatu proyekusaha adalah selisih PV arus benefit dengan PV arus cost. Suatu proyekusaha dapat dikatakan bermanfaat atau layak untuk dilaksanakan bila NPV proyekusaha tersebut lebih besar dari atau sama dengan nol NPV 0 dan sebaliknya bila NPV proyekusaha tersebut lebih kecil dari nol NPV 0 maka proyekusaha tersebut merugikan atau tidak layak untuk dilaksanakan. Selain itu, dapat juga dengan melihat BC Rasio, bila BC Rasio 1 maka usaha layak untuk dilaksanakan, bila BC Rasio = 1 maka usaha perlu ditinjau kembali karena tidak memberikan keuntungan, sedangkan bila BC Rasio 1 maka usaha tidak layak untuk dilaksanakan. Tabel 38 menunjukan hasil analisis usaha masing-masing kategori aktivitas minawisata bahari dengan menggunakan pendekatan ECBA. 165 Tabel 38 Manfaat-Biaya untuk minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir per 1 unit usaha per tahun nilai dalam Rupiah Kategori Aktivitas Manfaat Langsung B d Manfaat Eksternal B e Biaya Langsung C d Biaya Eksternal C e Biaya Proteksi C p NPV BC Minawisata Bahari Pancing 6.800.000 76.440 3.010.000 397.500 127.000 3.341.940 3,96 Minawisata Bahari Pengumpulan Kerang 800.000 1.400 450.000 7.300 37.000 307.100 2,33 Minawisata Bahari Karamba Pemb. Ikan 78.200.000 327.600 39.700.000 1.703.500 909.000 36.215.100 4,29 Minawisata Bahari Selam 18.700.000 21.800 10.600.000 113.600 365.000 7.643.200 1,93 Minawisata Bahari Mangrove 119.000.000 22.189.700 50.150.000 25.173.000 3.230.000 62.636.700 5,28 Tabel 38 menunjukan bahwa semua kategori aktivitas minawisata bahari layak untuk dikembangkan di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena nilai NPV dari masing-masing kategori aktivitas tersebut lebih besar dari nol dan BC Rasio lebih besar dari 1. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, daya dukung lingkungan, valuasi ekonomi sumberdaya, dan analisis manfaat- biaya maka uraiannya dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Minawisata bahari pancing Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat menampung 377 unit usaha pemancingan ikan dengan memanfaatkan ekosistem terumbu karang seluas 28,26 ha dimana tiap 1 unit usaha akan memanfaatkan 0,07 ha terumbu karang. Unit usaha ini akan memberikan keuntungan sebesar Rp.3.341.940 per tahun 34 minggu dengan nilai BC 3,96. b. Minawisata bahari pengumpulan kerang Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat menampung 194 unit usaha pengumpulan kerang dengan memanfaatkan ekosistem terumbu karang seluas 20,24 ha dimana tiap 1 unit usaha akan memanfaatkan 0,10 ha terumbu karang. Unit usaha ini akan memberikan keuntungan sebesar Rp.307.100 per tahun 4 minggu dengan nilai BC 2,33. 166 c. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat menampung 37 unit usaha karamba pembesaran ikan dengan memanfaatkan ekosistem terumbu karang seluas 11,23 ha, dimana tiap 1 unit rakit karamba akan memanfaatkan 0,30 ha terumbu karang. Unit usaha ini akan memberikan keuntungan sebesar Rp.36.215.100 per tahun 34 minggu dengan nilai BC 4,29. d. Minawisata bahari selam Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat menampung 146 unit usaha penyelaman dengan memanfaatkan ekosistem terumbu karang seluas 20,24 ha dimana tiap 1 unit usaha penyelaman akan memanfaatkan 0,02 ha terumbu karang. Unit usaha ini akan memberikan keuntungan sebesar Rp.7.643.200 per tahun 34 minggu dengan nilai BC 1,93. e. Minawisata bahari mangrove Di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir hanya dapat dikembangkan 1 unit usaha minawisata bahari mangrove yang memanfaatkan ekosistem mangrove seluas 8,79 ha. Minawisata bahari mangrove ini akan memberikan keuntungan sebesar Rp.62.636.700 per tahun 34 minggu dengan nilai BC 5,28.

5.5 Analisis Sosial

Analisis sosial untuk pengelolaan minawisata bahari dilakukan terhadap kondisi sosial masyarakat Desa Taar sebagai pemilik adat kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Jumlah penduduk Desa Taar pada tahun 2009 adalah 2.412 jiwa yang tersebar dalam 509 Kepala Kelarga KK. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata setiap rumah tangga di Desa Taar terdiri dari 5 anggota keluarga. Selanjutnya berdasarkan jenis kelamin, perempuan berjumlah 1.230 orang 51 dan laki-laki berjumlah 1.182 orang 49. Jumlah ini menunjukkan sebuah perbandingan yang relatif seimbang. Walaupun memiliki wilayah pesisir dan laut yang luas guna pengembangan usaha perikanan namun berkaitan dengan pengembangan ekonomi produktif masyarakat berbasis sumberdaya lokal, penduduk Desa Taar cenderung memilih sektor pertanian sebagai sektor andalan. Berkaitan dengan upaya ini ketersediaan sumberdaya manusia sebagai pelaku aktif dirasakan cukup memadai sesuai dengan keberadaan 1.138 orang 47,18 167 dari total jumlah penduduk, yang telah melalui pendidikan umum sebanyak 44,49 dan 8 telah melalui pendidikan khusus tidak termasuk jumlah anak usia sekolah. Hal ini merupakan salah satu kekuatan sosial penting bagi Desa Taar. Pola pemukiman penduduk cenderung mengarah ke pusat desa dimana sangat berkaitan erat dengan pusat layanan ekonomi dan sosial desa. Selain itu pemukiman penduduk dibangun sejajar garis pantai dan jalan utama desa. Informasi tentang perkembangan penduduk secara kuantitatif sulit diperoleh sebab tidak ada pencatatan di tingkat desa. Tetapi ada hal lain yang dapat dilihat secara kualitatif, yakni tingkat kelahiran natalitas, kematian mortalitas dan migrasi penduduk. Tingkat kelahiran dan kematian tidak seimbang, dimana angka kematian lebih rendah dari angka kelahiran dalam beberapa tahun terakhir, sehingga perbandingan yang ada memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan jumlah penduduk. Bagi Desa Taar, migrasi penduduk sebenarnya tidak bisa menjadi indikator untuk melihat perkembangan atau pertumbuhan penduduk, sebab migrasi penduduk keluar yang terjadi sangat kecil, kalaupun ada hal ini disebabkan oleh adanya penduduk yang harus melanjutkan studi dan mencari pekerjaan di luar Kota Tual. Dari total penduduk Desa Taar, jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 540 orang, berdasarkan jenis mata pencaharian persentase terbesar adalah Pegawai NegeriSwasta dan TNIPOLRI, ketertarikan masyarakat terhadap jenis pekerjaan jasa dan layanan publik sangat besar misalnya pada sektor ekonomi, pemerintahan dan jasa lainnya. Itu berarti akses masyarakat sangat tinggi terhadap pusat pemerintahan dan jasa, hal ini karena secara geografis posisi Desa Taar sangat dekat dengan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Kota Tual. Dengan dikembangkannya model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir maka akan membuka kesempatan dan lapangan kerja bagi penduduk Desa Taar. Prediksi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas ini seperti ditunjukan dalam Tabel 39. 168 Tabel 39 Prediksi jumlah tenaga kerja untuk mendukung aktivitas minawisata bahari Kategori Aktivitas Jumlah Unit Usaha Tenaga Kerja per Unit Usaha Jumlah Tenaga Kerja Minawisata Bahari Pancing 377 1 orang unit 377 Minawisata Bahari Pengumpulan Kerang 194 1 orang 10 unit 19 Minawisata Bahari Karamba Pembesaran Ikan 37 1 orang unit 37 Minawisata Bahari Selam 146 1 orang unit 146 Minawisata Bahari Mangrove 1 10 orang unit 10 Jumlah total tenaga kerja yang dibutuhkan 589

5.6 Analisis Kelembagaan

Menurut Kartodiharjo 1999, kelembagaan dapat berarti bentuk atau wadah atau organisasi sekaligus juga mengandung pengertian tentang norma-norma, aturan dan tata cara atau prosedur yang mengatur hubungan antar manusia, bahkan kelembagaan merupakan sistem yang kompleks, rumit dan abstrak. Kelembagaan merupakan aspek penting yang menunjang keberhasilan suatu rancang bangun pengelolaan dan aplikasinya dilapangan. Suatu kelembagaan yang kuat akan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanannya. Oleh karena itu perlu dijabarkan pengorganisasian kelembagaan dalam pelaksanaan rancang bangun pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang meliputi Lembaga Pengelola, Lembaga Pengawas, dan aturan-aturan pelaksanaannya. Berdasarkan hasil focus group discussion FGD, agar pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi ini dapat berkelanjutan stakeholder menginginkan adanya badan pengelola dan badan pengawas yang berperan untuk mengelola dan mengawasi semua aktivitas dilapangan dibawah koordinasi Pemerintah Desa Taar sebagai pemilik adat kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Badan Pengelola adalah unsur pelaksana teknis sedangkan Badan Pengawas adalah unsur pelaksana pengawasan yang berfungsi sebagai pelaksana dan pengawas dalam model pengelolaan minawisata bahari. Keanggotaan kedua lembaga ini terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat danatau pegawai instansi terkait 169 yang dipilih dan dipercaya oleh masyarakat melalui suatu musyawarah umum. Musyawarah pemilihan pengurus dan anggota Badan Pengelola dan Badan Pengawasan dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa BPD dengan jangka waktu kepengurusan tertentu 5 tahun atau sesuai kebutuhan masyarakat. Badan Pengelola dan Badan Pengawasan bertanggung jawab kepada Pemerintah Desa dan BPD. Kedua lembaga ini dipercayakan untuk membuat aturan-aturan pelaksanaan yang berkaitan dengan model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi merupakan suatu kesempatan sekaligus tantangan bagi Pemerintah Desa dan masyarakat Desa Taar dalam mewujudkan harapan atau visi masa depan kawasan teluk tersebut yang lebih baik. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan ini membutuhkan komitmen dan partisipasi aktif semua pihak terkait untuk melaksanakan semua aktivitas secara bertanggung jawab. Kunci keberhasilan utama adalah perhatian masyarakat dan Pemerintah Desa Taar terhadap perbaikan kehidupan mereka maupun kelestarian lingkungan hidup dimana mereka menggantungkan hidup sehari-hari.

5.7 Keberlanjutan Pengelolaan Minawisata Bahari Berbasis Konservasi

Keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir ini dianalisis dengan pemodelan dinamik melalui dinamika inter-koneksiinter-relasi antara elemen vital seiring dengan perubahan waktu dari sistem ekologi-ekonomi yang dikaji dalam penelitian ini. Konsep dasar perumusan model mengacu pada efek berantai cyclic effect dimana terjadinya perubahan dalam indeks dan atribut pengelolaan dapat mempengaruhi sistem keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari tersebut. Tahapan analisis dimulai dengan membangun diagram simpal umpan-balik causal loop, kemudian membuat basis model, memasukkan nilai-nilai atribut yang telah diperoleh pada analisis sebelumnya ke dalam model yang dibangun, menyususn scenario modek pengelolaan, dan terakhir melakukan simulasi model. Nilai-nilai atribut yang digunakan dalam menganalisis keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari 170 berasal dari hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya yaitu analisis kesesuaian lahan, analisis daya dukung kawasan, valuasi ekonomi sumberdaya terumbu karang dan mangrove, analisis manfaat-biaya, dan penelusuran pustaka. Beberapa nilai atribut yang digunakan diperoleh dari metode pendugaan yang sifatnya ilmiah, namun disadari bahwa keakuratan pendugaan parameter tergantung dari ketersediaan data dari sumbernya dan metode analisis yang digunakan. Perangkat lunak yang digunakan untuk merumuskan dan menganalisis model yang dibangun dalam penelitian ini adalah Stella version 9.0.2.

5.7.1 Diagram Simpal Model Pengelolaan

Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan bentuk kepada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan-balik yang menyusun struktur model, mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam unjuk kerja level dari suatu model sistem dinamis. Diagram simpal umpan-balik causal loop dibuat dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat seperti yang ditunjukan pada Gambar 23, sedangkan model dinamik pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi seperti yang ditunjukan pada Gambar 24.

5.7.2 Basis Model

Basis model pengelolaan minawisata bahari merupakan gambaran kondisi ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove, jumlah maksimum unit usaha minawisata bahari, manfaat langsung, manfaat lingkungan, biaya langsung, biaya lingkungan, dan biaya proteksi lingkungan mitigasi yang dapat dicapai dari masing-masing kategori aktivitas minawisata bahari berdasarkan kondisi riil saat ini. Nilai dugaan atribut pada basis model seperti yang ditunjukan pada Tabel 41. 171 172 Gambar 24 Model dinamik pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi. Tabel 40 Nilai dugaan atribut pada basis model pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi No. Dimensi dan Atribut Nilai Dugaan Keterangan Ekologi Terumbu Karang 1 Initial ekosistem terumbu karang untuk minawisata bahari ha 62,78 Hasil interpretasi Citra Satelit 2 Laju pertumbuhan terumbu karang 0,073 Data sekunder 3 Jumlah fee konservasi terumbu karang Rp 141.980.000 Hasil perhitungan ECBA 4 Fraksi fee konservasi terumbu karang 0,003 Hasil olahan data lapangan 173 5 Upaya konservasi terumbu karang 0,012 Hasil olahan data lapangan 6 Laju degradasi terumbu karang 0,052 Data sekunder 7 Jumlah penduduk Desa Taar orang 2.412 Data lapangan 8 Fraksi pencemaran 0,0000595 Data sekunder Ekologi Mangrove 9 Initial ekosistem mangrove untuk minawisata bahari ha 153,58 Hasil interpretasi Citra Satelit 10 Laju pertumbuhan mangrove 0,073 Data sekunder 11 Jumlah fee konservasi mangrove Rp 3.230.000 Hasil perhitungan ECBA 12 Fraksi fee konservasi mangrove 0,00001 Hasil olahan data lapangan 13 Upaya konservasi mangrove 0,033 Hasil olahan data lapangan 14 Luasan mangrove yang dikonversi ha 8,7 Hasil olahan data lapangan 15 Laju degradasi mangrove 0,00851 Data sekunder Dimensi Ekonomi 16 Umur teknis unit usaha tahun 5 Asumsi peneliti 17 Discount Rate 0,1 Asumsi peneliti ECBA MB Pancing 377 Unit 18 B d 2.563.600.000 1 Rp Hasil perhitungan ECBA 19 B e 28.817.880 1 Rp Hasil perhitungan ECBA 20 C d 1.134.770.000 1 Rp Hasil perhitungan ECBA 21 C e 149.857500 1 Rp Hasil perhitungan ECBA 22 C p 47.879.000 1 Rp Hasil perhitungan ECBA 23 ECBA MB P. Kerang 194 Unit 24 B d 155.200.000 2 Rp Hasil perhitungan ECBA 25 B e 271.600 2 Rp Hasil perhitungan ECBA 26 C d 87.300.000 2 Rp Hasil perhitungan ECBA 27 C e 1.416.200 2 Rp Hasil perhitungan ECBA 28 C p 7.178.000 2 Rp Hasil perhitungan ECBA ECBA MB Karamba 37 Unit 29 B d 2.893.400.000 3 Rp Hasil perhitungan ECBA 30 B e 12.121.200 3 Rp Hasil perhitungan ECBA 31 C d 1.468.900.000 3 Rp Hasil perhitungan ECBA 32 C e 63.029.500 3 Rp Hasil perhitungan ECBA 33 C p 33.633.000 3 Rp Hasil perhitungan ECBA ECBA MB Selam 146 Unit 34 B d 2.730.200.000 4 Rp Hasil perhitungan ECBA 35 B e 3.182.800 4 Rp Hasil perhitungan ECBA 35 C d 1.547.600.000 4 Rp Hasil perhitungan ECBA 37 C e 16.585.600 4 Rp Hasil perhitungan ECBA 38 C p 53.290.000 4 Rp Hasil perhitungan ECBA 174 ECBA MB Mangrove 1 Unit 39 B d 119.000.000 5 Rp Hasil perhitungan ECBA 40 B e 22.189.700 5 Rp Hasil perhitungan ECBA 41 C d 50.150.000 5 Rp Hasil perhitungan ECBA 42 C e 25.173.000 5 Rp Hasil perhitungan ECBA 43 C p 3.230.000 5 Rp Hasil perhitungan ECBA Nilai level stock, variabel driving, auxiliary dan konstanta yang tercantum pada Tabel 40 dapat dijelaskan sebagai berikut: Atribut pada Dimensi Ekologi Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam submodel terumbu karang pada dimensi ekologi adalah luasan terumbu karang yang ada di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Nilai awal initial level diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit yaitu seluas 62,78 ha, sementara yang berfungsi sebagai inflow adalah pertambahan luasan terumbu karang dengan atributnya adalah laju pertumbuhan,upaya konservasi, alokasi dana untuk konservasi, dan fraksi fee konservasi, sedangkan yang berfungsi sebagai outflow adalah pengurangan luasan terumbu karang dengan atributnya adalah laju degradasi, pencemaran, fraksi pencemaran, jumlah penduduk, dan fraksi kesadaran lingkungan. Laju pertumbuhan terumbu karang sebesar 0,073, laju degradasi terumbu karang sebesar 0.052 dan fraksi pencemaran sebesar 0,0000595 in Laapo 2010. Biaya proteksi lingkungan pemanfaatan terumbu karang didapat dari hasil perhitungan analisis manfaat-biaya lanjutan, sedangkan proporsi alokasi dana untuk konservasi terumbu karang diperoleh pada saat melakukan FGD dengan stakeholder di lokasi penelitian dimana Pemerintah Desa Taar sebagai pemilik adat kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir menginginkan proporsi 70 dari biaya proteksi lingkungan diperuntukan untuk pembangunan desa sebagai biaya pengganti adat sasi, dan 30 dari biaya proteksi lingkungan tersebut diperuntukan sebagai alokasi dana untuk konservasi terumbu karang dalam bentuk pembuatan artificial reef. Fraksi fee konservasi terumbu karang sebesar 0,003 adalah perbandingan antara besarnya dana dari fee konservasi terumbu karang dengan luasan terumbu karang buatan yang dihasilkan dari dana konservasi tersebut. Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam submodel mangrove pada dimensi ekologi adalah luasan mangrove yang ada di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Nilai awal initial level diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit yaitu seluas 153,58 ha, sementara yang berfungsi sebagai inflow adalah pertambahan luasan mangrove dengan atributnya adalah laju pertumbuhan,upaya konservasi, alokasi dana untuk konservasi, dan 175 fraksi fee konservasi, sedangkan yang berfungsi sebagai outflow adalah pengurangan luasan mangrove dengan atributnya adalah laju degradasi dan luasan mangrove yang dikonversi. Laju pertumbuhan mangrove sebesar 0,073 dan laju degradasi terumbu karang sebesar 0.00851 in Laapo 2010. Biaya proteksi lingkungan pemanfaatan mangrove didapat dari hasil perhitungan analisis manfaat-biaya lanjutan, sedangkan proporsi alokasi dana untuk konservasi mangrove diperoleh pada saat melakukan FGD dengan stakeholder di lokasi penelitian dimana pemerintah Desa Taar sebagai pemilik adat kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir menginginkan proporsi 70 dari biaya proteksi lingkungan diperuntukan untuk pembangunan desa sebagai biaya pengganti adat sasi, dan 30 dari biaya proteksi lingkungan tersebut diperuntukan sebagai alokasi dana untuk konservasi mangrove dalam bentuk penanaman kembali anakan mangrove. Fraksi fee konservasi mangrove sebesar 0,00001 adalah perbandingan antara besarnya dana dari fee konservasi mangrove dengan luasan mangrove yang dihasilkan dari dana konservasi tersebut. Atribut pada Dimensi Ekonomi Dalam dimensi ekonomi ada 5 kategori aktivitas minawisata bahari yang masing- masing berfungsi sebagai submodel yaitu: 1 minawisata bahari pancing, 2 minawisata bahari pengumpulan kerang; 3 minawisata bahari karamba pembesaran ikan; 4 minawisata bahari selam; dan 5 minawisata bahari mangrove. Berdasarkan hasil analisis daya dukung kawasan, perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat menampung 377 unit usaha minawisata bahari pancing, 194 unit usaha minawisata bahari pengumpulan kerang, 37 unit usaha minawisata bahari karamba pembesaran ikan, 146 unit usaha minawisata bahari selam, dan 1 unit usaha minawisata bahari mangrove. Umur teknis masing-masing unit usaha yang digunakan sebagai waktu usaha adalah selama 5 tahun, dan discount rate yang digunakan untuk kegiatan usaha ini adalah sebesar 10 per tahun. Selanjutnya, yang berfungsi sebagai stok dalam sub-submodel pada dimensi ekonomi ini adalah nilai NPV tahunan dari masing-masing kategori aktivitas minawisata bahari. Nilai awal initial level diperoleh dari hasil perhitungan manfaat dikurangi dengan biaya berdasarkan hasil analisis manfaat-biaya lanjutan atau extended cost-benefit analysis ECBA, sementara yang berfungsi sebagai inflow adalah manfaat 1,2,3,4,5 dengan atributnya adalah manfaat langsungdirect benefit B d , manfaat lingkungan environmental benefit B e , sedangkan yang berfungsi sebagai outflow adalah biaya 1,2,3,4,5 dengan atributnya adalah biaya langsungdirect cost C d , biaya lingkungan 176 environmental cost C e , dan biaya proteksi lingkunganprotection cost C p Tahun . Semua nilai atribut ini juga diperoleh dari hasil analisis manfaat-biaya lanjutan. Hasil runing basis model pengelolaan minawisata bahari di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan simulasi kondisi sampai 5 tahun ke depan sesuai umur teknis unit usaha disajikan pada Tabel 41 dan Gambar 25. Tabel 41 Hasil runing untuk basis model pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir NPV Tahunan Total Rp Alokasi Dana Konservasi TK Rp Luasan TK ha Alokasi Dana Konservasi Mangrove Rp Luasan Mangrove ha -5,013,400,000 42,594,000 62.78 969,000 153.58 1 3,504,464,855 38,760,540 64.00 881,790 154.79 2 3,206,021,976 35,353,020 65.25 804,270 156.08 3 2,905,720,410 31,945,500 66.52 726,750 157.45 4 2,641,431,834 28,963,920 67.82 658,920 158.91 5 2,413,766,132 26,408,280 69.14 600,780 160.46 Jumlah 9,658,005,207 204,025,260 - 4,641,510 - Gambar 25 Grafik basis model pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. 22:05 Sun, Dec 18, 2011 Page 1 0.00 1.25 2.50 3.75 5.00 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 5: 5: 5: -5.5e+009 -1e+009. 3.5e+009 35000000 50000000 65000000 63 66 70 900000 1200000 1500000 154 157 161 1: NPV …AN TOTAL 2: Aloka…erv asi TK 3: LUA…U KARANG 4: Aloka… Mangrov e 5: LUA…ANGROVE 1 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 177 Tabel 41 dan Gambar 25 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil simulasi dengan 5 kategori aktivitas minawisata bahari tersebut diatas dengan jumlah unit usaha maksimum sesuai daya dukung kawasan, pada tahun kelima semua unit usaha minawisata bahari memberikan keuntungan dengan nilai NPV total tahunan adalah sebesar Rp.9.658.005.207 dimana secara kolektif akan menyumbangkan Rp.204.025.260 untuk alokasi dana konservasi terumbu karang sehingga dengan dana tersebut akan menambah luasan terumbu karang sebesar 23,84 ha, namun demikian sejalan dengan pertambahan luasan tersebut, terumbu karang juga mengalami pengurangan luasan akibat laju degradasi dan pencemaran yaitu sebesar 17,47 ha sehingga secara keseluruhan ekosistem terumbu karang hanya mengalami penambahan luas sebesar 6,36 ha dari yang semula 62,78 ha kini menjadi 69,14 ha. Demikian pula dengan ekosistem mangrove, unit usaha minawisata bahari mangrove secara kolektif akan menyumbangkan Rp.4.641.510 untuk alokasi dana konservasi mangrove sehingga dengan dana tersebut akan menambah luasan mangrove sebesar 57,03 ha, namun demikian sejalan dengan pertambahan luasan tersebut, ekosistem mangrove juga mengalami pengurangan luasan akibat laju degradasi dan konversi untuk areal minawisata bahari yaitu sebesar 50,14 ha sehingga secara keseluruhan ekosistem mangrove hanya mengalami penambahan luas sebesar 6,88 ha dari yang semula 153,58 ha kini menjadi 160,46 ha.

5.7.3 Skenario Model Pengelolaan

Penyusunan skenario model pengelolaan minawisata bahari untuk optimasi didasarkan pada basis model yang telah dibangun sebelumnya dan dikembangkan dalam model ini, kemudian menentukan atribut yang sensitif dari dimensi ekologi dan ekonomi serta memilih skenario yang terbaik untuk diaplikasikan. Penyusunan skenario ini ditujukan untuk memilih alternatif kebijakan yang memungkinkan untuk ditempuh dalam menyelesaikan masalah yang dapat terjadi di kemudian hari berdasarkan kondisi saat ini. Ada beberapa atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yakni: 1. Dalam dimensi ekonomi, atribut penting yang berpengaruh terhapan keberlanjutan minawisata bahari ini adalah discount factor, semakin tinggi 178 discount factor maka semakin kecil tingkat keuntungan usaha, hal ini juga akan berpengaruh terhadap dimensi ekologi yang ditunjukan dengan semakin kecilnya jumlah alokasi biaya proteksi lingkungan. Sebaliknya, semakin rendah discount factor maka tingkat keuntungan usaha akan semakin besar, dan semakin besar pula jumlah alokasi biaya proteksi lingkungan. 2. Dalam dimensi ekologi, atribut penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan minawisata bahari ini adalah upaya konservasi terumbu karang dan mangrove. Upaya konservasi ini sangat bergantung dari besarnya alokasi dana untuk pembuatan artificial reef dan untuk penanaman anakan mangrove, sementara besarnya alokasi dana tersebut sangat bergantung dari kebijakan stakeholder dalam menentukan pembagian proporsi biaya proteksi lingkungan antara kepentingan untuk memperbaiki kualitas ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove dengan kepentingan untuk pembiayaan pembangunan desa sebagai biaya pengganti adat sasi yang ditiadakan sebagai akibat dari pengembangan model minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Selanjutnya, ada 2 skenario pengelolaan yang dibangun untuk keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yaitu skenario pesimistik dan skenario konservatif.

5.7.4 Simulasi Skenario Model Pengelolaan

Simulasi skenario model pengelolaan minawisata bahari dilakukan untuk mencari bentuk pengelolaan terbaik yang berkelanjutan. Dalam simulasi, akan dicari atribut yang berpengaruh secara nyata dan didesain untuk mendapatkan bentuk pengelolaan yang terbaik. Disadari bahwa dalam model ini masih ada atribut yang belum terakomodir akan tetapi dengan model yang ada diharapkan minimal dapat dijadikan sebagai gambaran tentang model pengelolaan minawisata bahari yang berkelanjutan.

a. Simulasi skenario pesimistik

Skenario pesimistik yang dibangun dalam model ini adalah apabila discount factor bergerak naik dari 10 menjadi 15, dan kita merubah kebijakan pembagian proporsi biaya proteksi lingkungan antara alokasi dana untuk konservasi terumbu karang dan mangrove 30 dan alokasi dana untuk 179 pembangunan desa 70, menjadi 10 untuk kepentingan konservasi pembuatan artificial reef dan penanaman anakan mangrove dan 90 untuk kepentingan pembangunan desa sebagai biaya pengganti adat sasi. Perubahan nilai atribut pada skenario pesimistik seperti dintujukan pada Tabel 42. Tabel 42 Perubahan nilai atribut pada skenario pesimistik No Atribut Perubahan Nilai Basis Pesimistik 1. Discont Rate DR 10 15 2. Alokasi dana untuk konservasi 30 10 3. Alakosi dana untuk pembangunan desa 70 90 Hasil runing terhadap skenario pesimistik pengelolaan minawisata bahari di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan simulasi kondisi sampai 5 tahun ke depan sesuai umur teknis unit usaha disajikan pada Tabel 43 dan Gambar 26. Tabel 43 Hasil runing untuk skenario pesimistik pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir Tahun NPV Tahunan Total Rp Alokasi Dana Konservasi TK Rp Luasan TK ha Alokasi Dana Konservasi Mangrove Rp Luasan Mangrove ha -5,013,400,000 14,198,000 62.78 323,000 153.58 1 3,355,475,752 12,352,260 64.00 281,010 154.79 2 2,943,359,753 10,790,480 65.24 245,480 156.07 3 2,565,659,435 9,370,680 66.51 213,180 157.44 4 2,223,246,058 8,092,860 67.81 184,110 158.89 5 1,955,298,190 7,099,000 69.13 161,500 160.44 Jumlah 8,029,639,188 61,903,280 - 1,408,280 - Tabel 43 dan Gambar 26 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil simulasi dengan 5 kategori aktivitas minawisata bahari tersebut diatas dengan jumlah unit usaha maksimum sesuai daya dukung kawasan, pada tahun kelima semua unit usaha minawisata bahari telah memberikan keuntungan dengan nilai NPV total tahunan adalah sebesar Rp.8.029.639.188 dimana secara kolektif akan 180 menyumbangkan Rp.61.903.280 untuk alokasi dana konservasi terumbu karang sehingga dengan dana tersebut akan menambah luasan terumbu karang sebesar 23,83 ha, namun demikian sejalan dengan pertambahan luasan tersebut, terumbu karang juga mengalami pengurangan luasan akibat laju degradasi dan pencemaran yaitu sebesar 17,47 ha sehingga secara keseluruhan ekosistem terumbu karang hanya mengalami penambahan luas sebesar 6,35 ha dari yang semula 62,78 ha kini menjadi 69,13 ha. Demikian pula dengan ekosistem mangrove, unit usaha minawisata bahari mangrove secara kolektif akan menyumbangkan Rp.1.408.280 untuk alokasi dana konservasi mangrove sehingga dengan dana tersebut akan menambah luasan mangrove sebesar 57,00 ha, namun demikian sejalan dengan pertambahan luasan tersebut, ekosistem mangrove juga mengalami pengurangan luasan akibat laju degradasi dan konversi untuk areal minawisata bahari yaitu sebesar 50,14 ha sehingga secara keseluruhan ekosistem mangrove hanya mengalami penambahan luas sebesar 6,86 ha dari yang semula 153,58 ha kini menjadi 160,44 ha. Gambar 26 Grafik skenario pesimistik pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. 22:05 Sun, Dec 18, 2011 Page 1 0.00 1.25 2.50 3.75 5.00 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 5: 5: 5: -5.5e+009 -1e+009. 3.5e+009 35000000 50000000 65000000 63 66 70 900000 1200000 1500000 154 157 161 1: NPV …AN TOTAL 2: Aloka…erv asi TK 3: LUA…U KARANG 4: Aloka… Mangrov e 5: LUA…ANGROVE 1 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 181

b. Simulasi skenario konservatif

Skenario konservatif yang dibangun dalam model ini adalah apabila discount factor bergerak turun dari 10 menjadi 8, dan kita merubah kebijakan pembagian proporsi biaya proteksi lingkungan antara alokasi dana untuk konservasi terumbu karang dan mangrove 30 dan alokasi dana untuk pembangunan desa 70, menjadi 50 untuk kepentingan konservasi pembuatan artificial reef dan penanaman anakan mangrove dan 50 untuk kepentingan pembangunan desa sebagai biaya pengganti adat sasi. Perubahan nilai atribut pada skenario optimis seperti ditunjukan pada Tabel 44. Tabel 44 Perubahan nilai atribut pada skenario konservatif No Atribut Perubahan Nilai Basis Konservatif 1. Discont Rate DR 10 8 2. Alokasi dana untuk konservasi 30 50 3. Alakosi dana untuk pembangunan desa 70 50 Hasil runing terhadap skenario konservatif pengelolaan minawisata bahari di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan simulasi kondisi sampai 5 tahun ke depan sesuai umur teknis unit usaha disajikan pada Tabel 45 dan Gambar 27. Tabel 45 Hasil runing untuk skenario konservatif pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir Tahun NPV Tahunan Total Rp Alokasi Dana Konservasi TK Rp Luasan TK ha Alokasi Dana Konservasi Mangrove Rp Luasan Mangrove ha -5,013,400,000 70,990,000 62.78 1,615,000 153.58 1 3,578,785,154 66,020,700 64.00 1,501,950 154.80 2 3,318,155,871 61,051,400 65.25 1,388,900 156.09 3 3,056,103,529 56,082,100 66.52 1,275,850 157.46 4 2,868,052,025 52,532,600 67.82 1,195,100 158.93 5 2,641,431,834 48,273,200 69.15 1,098,200 160.48 Jumlah 10,449,128,413 354,950,000 - 8,075,000 - 182 Gambar 27 Grafik skenario konservatif pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Tabel 45 dan Gambar 27 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil simulasi dengan jumlah unit usaha maksimum sesuai daya dukung kawasan, pada tahun kelima semua unit usaha minawisata bahari telah memberikan keuntungan dengan nilai NPV total tahunan adalah sebesar Rp.10.449.128.413 dimana secara kolektif akan menyumbangkan Rp.354.950.000 untuk alokasi dana konservasi terumbu karang sehingga dengan dana tersebut akan menambah luasan terumbu karang sebesar 23,84 ha, namun terumbu karang juga mengalami pengurangan luasan akibat laju degradasi dan pencemaran yaitu sebesar 17,47 ha sehingga secara keseluruhan ekosistem terumbu karang hanya mengalami penambahan luas sebesar 6,37 ha dari yang semula 62,78 ha kini menjadi 69,15 ha. Demikian pula dengan ekosistem mangrove, unit usaha minawisata bahari mangrove secara kolektif akan menyumbangkan Rp.8.075.000 untuk alokasi dana konservasi mangrove sehingga dengan dana tersebut akan menambah luasan mangrove sebesar 57,05 ha, namun ekosistem mangrove juga mengalami pengurangan luasan akibat laju degradasi dan konversi untuk areal minawisata bahari yaitu sebesar 50,15 ha sehingga secara keseluruhan ekosistem mangrove hanya mengalami penambahan luas sebesar 6,90 ha dari yang semula 153,58 ha kini menjadi 160,48 ha. 22:05 Sun, Dec 18, 2011 Page 1 0.00 1.25 2.50 3.75 5.00 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 5: 5: 5: -5.5e+009 -1e+009. 3.5e+009 35000000 50000000 65000000 63 66 70 900000 1200000 1500000 154 157 161 1: NPV …AN TOTAL 2: Aloka…erv asi TK 3: LUA…U KARANG 4: Aloka… Mangrov e 5: LUA…ANGROVE 1 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5

6. IMPLIKASI KEBIJAKAN

Implikasi hasil analisis dalam penelitian ini pada dasarnya ditujukan untuk melihat kondisi stok sumberdaya akibat perubahan pada atribut dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Atribut ini dinilai dari aspek kepentingan dan besarnya pengaruh terhadap perubahan dimensi ekonomi dan ekologi setelah dilakukan analisis dengan pemodelan dinamik. Apabila kedua persyaratan tersebut terpenuhi, maka atribut yang dianalisis dapat diimplementasikan dalam suatu program yang berkaitan dengan pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi. Implikasi dari skenario atau simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa diperlukan suatu kebijakan dalam wujud program yang terpadu. Kebijakan terpadu dimaksudkan sebagai suatu tindakan yang dilakukan secara simultan bagi seluruh dimensi yang memiliki atribut penting guna keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi. Dari ketiga skenario pengelolaan yang dianalisis yaitu skenario basis, skenario pesimistik, dan skenario konservatif, hasil simulasi dengan pemodelan dinamik menunjukkan bahwa skenario optimum yang dapat menjawab keinginan semua pemangku kepentingan stakeholders sesuai tujuan penelitian ini adalah skenario konservatif, dimana dalam skenario ini jika atribut discount factor bergerak turun ke level 8, dan kita merubah kebijakan pembagian proporsi biaya proteksi lingkungan antara alokasi dana untuk konservasi terumbu karang dan mangrove, menjadi 50 untuk kepentingan konservasi pembuatan artificial reef dan penanaman anakan mangrove dan 50 untuk kepentingan pembangunan desa sebagai biaya pengganti adat sasi, maka kebijakan ini akan memberikan keuntungan usaha yang terlihat dari semakin meningkatnya nilai NPV tahunan total, keuntungan usaha yang diperoleh masyarakat tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan jumlah fee konservasi sehingga akan berdampak pada semakin bertambahnya luasan ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Berdasarkan hasil simulasi skenario tersebut, maka implikasi dari hasil penelitian ini dituangkan dalam bentuk kebijakan pemerintah melalui program- 184 program yang terpadu dan simultan guna pencapaian tujuan pengelolaan minawisata bahari yang optimal di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Ini berarti bahwa rencana dan pelaksanaan program aksi pada satu dimensi pembangunan diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas dimensi lainnya. Ada 2 dimensi yang menjadi dasar dalam menyusun strategi dan kebijakan untuk keberlanjutan model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi ini yaitu dimensi ekologi dan dimensi ekonomi, objek yang menjadi sasaran adalah lingkungan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, ekosistem terumbu karang dan upaya konservasinya, ekosistem mangrove dan upaya konservasinya, sumberdaya ikan, kerang moluska dan biota laut lainnya, sedangkan yang menjadi aspek pengembangan adalah perekonomian masyarakat dan daerah, sosial budaya masyarakat, serta kelembagaan dalam pengelolaan. Implikasi kebijakan pengelolaan minawisata bahari berdasarkan hasil kajian selengkapnya disajikan dalam bentuk matriks pada Lampiran 9.

7. KESIMPULAN DAN SARAN