44
Tabel 2 Kebutuhan data penelitian
NO KATEGORI
JENIS DATA SUMBER
KET
1. Data Biofisik
a Fisika, kimia,
oseangografi Kedalaman perairan, kecerahan,
kecepatan arus, suhu perairan, salinitas, pH, DO, phosphat,
nitrat, tembaga, ammonia, sulfida, pasut, gelombang, dan
material dasar perairan. Ground check
insitu di lokasi penelitian
Data Primer hasil sampling
pada 7 stasiun pengamatan
b Ekosistem
dan sumberdaya
Mangrove, terumbu karang, lamun, ikan, kerang, dan biota
laut lainnya Ground check
insitu di lokasi penelitian
Data Primer dan Data
Sekunder
2. Data Pemanfaatan Lahan
a Pemanfaatan
lahan darat pemukiman, pemerintahan,
industri, dan pariwisata Instansi terkait
Data Sekunder b
Pemanfaatan lahan perairan
pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, perikanan tangkap,
perikanan budidaya, industri perikanan, dan pariwisata
Instansi terkait Data Sekunder
3. Data Demografi, Infrastruktur, Budaya, dan Kelembagaan
a Demografi
jumlah penduduk, kepadatan penduduk, pertumbuhan
penduduk, dan mata pencarian BPS Kab. Malra
Kota Tual Data Sekunder
b Infrastruktur
sarana dan prasarana umum, pemukiman, pemerintahan,
perekonomian, dan transportasi Bappeda Kab.
Malra Kota Tual Data Sekunder
c Sosial Budaya budaya lokal, pranata sosial, dan
kearifan lokal masyarakat. Instansi terkait,
lembaga adat Data Sekunder
4. Data Pendukung
a Citra Satelit
Citra Landsat 7 ETM+ P.106R.064 liputan terakhir
BTIC LAPAN Data Sekunder
b Peta
Peta Rupa Bumi RBI, Peta Lingkungan Pantai LPI, Peta
Wilayah Administratif. Bakosurtanal,
Dishidros TNI- AL, Bappeda
Kota Tual Data Sekunder
c Buku Laporan RTRW, RPJMD, Renstra,
Administrasi dan Pemerintahan, Kebijakan Pembangunan Sektoral
dan data lainnya yang terkait Bappeda, BPS,
Instansi Terkait di Kab. Malra Kota
Tual Data Sekunder
45
Gambar 5 Peta stasiun pengamatan
46
Pemodelan dinamik dilakukan dengan cara simulasi terhadap beberapa skenario pengelolaan dengan menggunakan perangkat lunak STELLA Version
9.0.2 sebagai alat bantu analisis. Dari hasil simulasi skenario pengelolaan ini
kemudian dibuat implikasi kebijakan dari skenario pengelolaan yang dianggap paling optimal untuk diterapkan. Diagram alir tahapan analisis data seperti
ditunjukan pada Gambar 6.
3.4.1 Analisis Kesesuaian Lahan
Dalam dimensi ekologis, penempatan setiap kegiatan pembangunan haruslah bersesuaian dengan ciri biologi-fisik-kimianya sehingga terbentuk suatu
kesatuan yang harmonis dalam arti saling mendukung satu sama lainnya. Untuk mencapai hal tersebut maka dibutuhkan analisis kesesuaian lahan. Analisis
kesesuaian lahan yang dilakukan adalah untuk minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi dengan kategori aktivitas sebagai berikut: a minawisata
bahari pancing; b minawisata bahari pengumpulan kerang moluska; c minawisata bahari karamba pembesaran ikan; d minawisata bahari selam;
dan e minawisata bahari mangrove. Semua kategori minawisata bahari ini memanfaatkan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut yang terkait sebagai
objek. Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang akan dilakukan yaitu 1 penyusunan peta kawasan; 2 penyusunan matriks kesesuaian setiap kegiatan
yang akan dilakukan; 3 pembobotan dan pengharkatan; dan 4 melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian dari setiap kegiatan yang akan
dilakukan. 1. Penyusunan Peta Kawasan
Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada
jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan kedalam satu kategori
dan dapat diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominasinya. Penyusunan peta kawasan Pulau Dullah dilakukan dengan cara tumpang susun berbagai
peta yang didapat dari berbagai sumber.
47
Gambar 6 Diagram alir tahapan analisis data.
Sistem Pulau-Pulau Kecil Pulau Dullah
MULAI
Analisis Kesesuaian Lahan Geographic Information
System
Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Bahari
T A
H A
P I
INPUT
OUTPUT PROSES
INPUT Peta Kesesuaian Lahan
Analisis Skala Prioritas Pemanfaatan Ruang dan
Daya Dukun g Lingkungan PROSES
Alokasi Ruang OUTPUT
Kesesuaian Lahan Daya Dukung Lingkungan
Valuasi Ekonomi Manfaat-Biaya
INPUT
Skenario Pengelolaan dan Simulasi Skenario
Dynamic Model
Model Pengelolaan Optimal dan Implikasi
Kebijakan
SELESAI PROSES
OUTPUT T
A H
A P
II
T A
H A
P III
48
Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis SIG, yaitu melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-
prinsip pemanfaatan kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui: a Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan pembangunan dan
kawasan mana saja yang dijadikan sebagai kawasan lindung. b Kegiatan penggunaan kawasan apa saja yang diperbolehkan dan apa saja
yang tidak diperbolehkan. c Konflik pemanfaatan ruang yang terjadi antara lain kesesuaian kawasan
dengan peruntukannya dan penggunaan lahan dengan peruntukannya. d Hasil penyusunan peta kawasan yang telah sesuai dengan peruntukannya
dapat saja berbeda dengan penggunaan kawasan pada saat sekarang. 2. Penyusunan Matriks Kesesuaian
Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari dengan berbagai kategori aktivitas seperti tersebut diatas, didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan
untuk setiap aktivitas. Kriteria ini dibuat berdasarkan parameter biofisik yang cocok untuk masing-masing aktivitas. Matriks kesesuaian lahan dibuat
berdasarkan justifikasi ilmiah hasil studi pustaka dan informasi dari pakar yang ahli dalam bidangnya. Matriks ini sangat penting karena dari matriks
tersebut akan dapat diketahui parameter yang digunakan dan kisaran yang diperbolehkan.
Dalam penelitian ini kesesuaian lahan dibagi kedalam 3 kelas: 1 Kelas S sesuai, yaitu lahan yang tidak mempunyai pembatas yang berat
untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap
produktivitas lahan serta tidak akan menambah masukan input dari pengusahaan lahan tersebut.
2 Kelas SB sesuai bersyarat, yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang cukup berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari akan tetapi
masih memungkinkan untuk diatasidiperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai jika dilakukan perbaikan dengan tingkat
introduksi teknologi yang lebih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya rasional.
49
3 Kelas TS tidak sesuai, yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat secara permanen untuk suatu penggunaan tertentu secara
lestari, pembatas tersebut akan menghambat produktivitas lahan serta dapat meningkatkan masukan input dari pengusahaan lahan tersebut,
sehingga lahan tersebut tidak layak untuk diusahakan. Matriks kesesuaian lahan yang digunakan adalah sebagaimana yang ditunjukan
pada Tabel 3 sampai 7. 3. Pembobotan Weighting, dan Pengharkatan Scoring
Pembobotan weighting pada setiap parameter faktor pembatas ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu
peruntukan, besarnya pembobotan ditunjukkan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi lahan. Pemberian nilai scoring ditujukan untuk menilai
beberapa parameter faktor pembatas terhadap satu evaluasi kesesuaian. 4. Analisis Spasial
Analisis spasial dilakukan terhadap 5 jenis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari dengan kategori aktivitas sebagai berikut: 1 minawisata
bahari pancing, 2 minawisata bahari karamba pembesaran ikan, 3 minawisata bahari pengumpulan kerang, 4 minawisata bahari selam, dan
5 minawisata bahari mangrove. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat
dalam bentuk layers atau coverage dimana menghasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian
lahan. Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun overlay terhadap parameter yang berbentuk poligon. Proses
overlay dilakukan dengan cara menggabungkan union masing-masing layers
untuk tiap jenis kesesuaian lahan. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai indeks kesesuaian overlay indeks dari masing-
masing jenis kesesuaian lahan tersebut. Pengolahan data Sistem Informasi Geografis ini dilakukan dengan menggunakan Arch-Info GIS Version 3.4.2
dan Arch-View GIS Version 3.3.
50
Tabel 3 Matriks kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing
NO PARAMETER
SUMBER BOBOT
KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S
SKOR SB
SKOR TS
SKOR
1. Kelompok
jenis ikan Madduppa, 2009.
5 Ikan Target,
Ikan Indikator,
Ikan Mayor 3
Ikan Target, Ikan
Indikator, 2
Ikan Mayor 1
2. Kecepatan arus
cmdet Polanunu, 1998.
5 20
3 20 - 100
2 100
1 3.
Tinggi gelombang
cm Sugiarti, 2000.
5 50
3 50 - 100
2 100
1 4.
Kecerahan perairan m
Sugiarti, 2000. 3
8 3
8 - 10 2
10 1
5. Suhu perairan
o
Nybakken, 1988. Mulyanto, 1992.
C 1
25 – 30 3
30 - 32 2
25 32
1 6.
Salinitas
o oo
Nontji, 2003. Romimohtarto
dan Juwana, 1999. 1
20 - 32 3
32 - 36 2
20 36
1 7.
Kedalaman perairan m
Sugiarti, 2000. 1
10 3
10 - 15 2
15 1
8. Jarak dari alur
pelayaran dan kawasan lainnya
m Bengen, 2008.
1 500
3 300 - 500
2 300
1
Nilai maksimum Bobot X Skor = 78 Nilai minimum Bobot X Skor = 26
Selang Kelas
= 3 Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian
IK
:
MB
= N
maks
- N
min
IK SK
MB
N = Indeks Kesesuaian Minawisata Bahari
maks
N = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari
min
SK = Selang Kelas
= Nilai minimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari
IK
MB
= 17.33
Evaluasi Kelayakan 60.67 – 78.00 : Sesuai
: 43.34 – 60.66 : Sesuai Bersyarat
26.00 – 43.33 : Tidak Sesuai
51
Tabel 4 Matriks kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan kerang moluska
NO PARAMETER
SUMBER BOBOT
KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S
SKOR SB
SKOR TS
SKOR
1 Jenis moluska
Peneliti, 2009. 5
3 2
1 2
Kelimpahan indm
2
Peneliti, 2009. 5
2 3
1 - 2 2
1 1
3 Lebar dataran
pasut m Renjaan 2006
dalam DPK
2006a. Bengen, 2008.
5 100
3 10 - 100
2 10
1
4 Tipe substrat
pantai Latale, 2003.
Natan, 2008. 3
Pasir berlumpur,
Pasir halus 3
Pasir sedang,
Pasir kasar, Karang
berpasir 2
Batu, Karang
1
5 Kemiringan
pantai Peneliti
3 Landai
3 Curam
2 Terjal
1 6
Suhu perairan
o
Razak, 2002. C
1 25 - 28
3 28 - 30
2 25
30 1
7 Salinitas
o oo
Setiobudiandi, 1995.
1 29 - 34
3 34 - 36
2 29
36 1
Anadara sp, Tridacna sp, Hippopus sp, Haliotis sp, Tripneustes sp, Littorina sp, Cerithium sp, Chlamys sp, Lioconcha sp
Phenacovolva sp, Strombus sp, Lambis sp, Guilfordia sp, Clanculus sp, Tectus sp, Cypraea sp, Donax sp, Euspira sp, Siliquaria, sp
Spesies moluska lainnya. Nilai maksimum Bobot X Skor = 69
Nilai minimum Bobot X Skor = 23 Selang Kelas
= 3 Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian
IK
:
MB
= N
maks
- N
min
IK SK
MB
N = Indeks Kesesuaian Minawisata Bahari
maks
N = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari
min
SK = Selang Kelas
= Nilai minimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari
IK
MB
= 15.33
Evaluasi Kelayakan 53.67 – 69.00 : Sesuai
: 38.34 – 53.66 : Sesuai Bersyarat
23.00 – 38.33 : Tidak Sesuai
52
Tabel 5 Matriks kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan
NO PARAMETER
SUMBER BOBOT
KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S
SKOR SB
SKOR TS
SKOR
1 Kecepatan arus
mdet DKP-RI, 2002.
5 0,75
3 0,76 - 1,0
2 1,0
1 2
Tinggi gelombang m
DKP-RI, 2002. 5
0,5 3
0,5 – 1,0 2
1,0 1
3 Kedalaman air
dari dasar jaring m
DKP-RI, 2002. 5
4,0 – 7,0 3
7,1 – 10,0 2
4,0 10,0
1 4
Suhu perairan
o
Nybakken, 1988. Mulyanto, 1992.
LP Undana, 2006. C
3 29 - 30
3 26 - 29
2 26
30 1
5 Salinitas
o oo
Nontji, 2003. Romimohtarto
dan Juwana, 1999. LP Undana, 2006.
3 25 - 30
3 30 - 33
2 25
33 1
6 Oksigen terlarut
mgl LP Undana, 2006.
3 6
3 3 – 6
2 3
1 7
pH perairan LP Undana, 2006. 3
6,6 – 8,0 3
6,0 – 6,5 2
6,0 8,0
1 8
Nitrat mgl Tiensongrusmee et al
, 1986. 1
0,1 3
0,1 – 0,9 2
0,9 1
9 Phospat mgl Tiensongrusmee
et al , 1986.
1 0,1
3 0,1 – 0,9
2 0,9
1 10
Jarak dari alur - pelayaran dan
kawasan lainnya m
Bengen, 2008. 1
500 3
300 - 500 2
300 1
Nilai maksimum Bobot X Skor = 90 Nilai minimum Bobot X Skor = 30
Selang Kelas = 3
Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian IK
:
MB
= N
maks
- N
min
IK SK
MB
N = Indeks Kesesuaian Minawisata Bahari
maks
N = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari
min
SK = Selang Kelas
= Nilai minimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari
IK
MB
= 20
Evaluasi Kelayakan 71 – 90 : Sesuai
: 51 – 70 : Sesuai Bersyarat
30 – 50 : Tidak Sesuai
53
Tabel 6 Matriks kesesuaian lahan untuk minawisata bahari selam
NO PARAMETER
SUMBER BOBOT
KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S
SKOR SB
SKOR TS
SKOR
1 Jenis ikan
karang sp Yulianda, 2007.
5 75
3 20 - 75
2 20
1 2
Kecerahan perairan
Yulianda, 2007. Suharsono dan
Yosephine, 1994. 5
65 3
20 - 65 2
20 1
3 Tutupan
komunitas karang
Yulianda, 2007. Gomes dan Yap,
1998. 3
65 3
25 - 65 2
25 Atau tdk ada
karang 1
4 Jenis life-form
sp Yulianda, 2007.
3 10
3 4 - 10
2 4
Atau tdk ada karang
1
5 Suhu perairan
o
Nybakken, 1988. Mulyanto, 1992.
Hubbard, 1990. Tamrin, 2006.
C 3
23 - 25 3
26 - 36 2
23 36
1
6 Salinitas
o oo
Nontji, 2003. Kinsman, 2004.
3 30 - 36
3 28 - 30
2 28
36 1
7 Kedalaman ter.
karang m Yulianda, 2007.
Nybakken, 1988. 3
3 - 20 3
21 - 30 2
3 30
1 8
Kecepatan arus cmdet
Yulianda, 2007. Jokiel dan
Morrissey, 1993. 1
0 - 25 3
26 - 50 2
50 1
Nilai maksimum Bobot X Skor = 78 Nilai minimum Bobot X Skor = 26
Selang Kelas
= 3 Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian
IK :
MB
= N
maks
- N
min
IK SK
MB
N = Indeks Kesesuaian Minawisata Bahari
maks
N = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari
min
SK = Selang Kelas
= Nilai minimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari
IK
MB
= 17.33
Evaluasi Kelayakan 60.67 – 78.00 : Sesuai
: 43.34 – 60.66 : Sesuai Bersyarat
26.00 – 43.33 : Tidak Sesuai
54
Tabel 7 Matriks kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove
NO PARAMETER
SUMBER BOBOT
KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S
SKOR SB
SKOR TS
SKOR
1 Ketebalan
mangrove m Yulianda, 2007.
5 300
3 50 - 300
2 50
1 2
Kerapatan mangrove
ind100 m
2
Yulianda, 2007. 5
10 - 25 3
5 – 10 25
2 5
1 3
Jenis mangrove sp
Yulianda, 2007. MERDI dalam
DPK 2006a. 3
3 3
1 - 3 2
1 4
Jenis biota Yulianda, 2007.
MERDI dalam DPK 2006a.
3 Ikan,
Udang, Kepiting,
Moluska, Reptil,
Burung. 3
Ikan, Moluska
2 Salah satu
biota air 1
5 Tinggi Pasut m
Yulianda, 2007. 1
0 - 2 3
2 - 5 2
5 1
6 Jarak dari
kawasan lainnya m
Bengen, 2000. 1
500 3
300 - 500 2
300 1
Nilai maksimum Bobot X Skor = 54 Nilai minimum Bobot X Skor = 18
Selang Kelas = 3
Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian IK
:
MB
= N
maks
- N
min
IK SK
MB
N = Indeks Kesesuaian Minawisata Bahari
maks
N = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari
min
SK = Selang Kelas
= Nilai minimum dari suatu kategori aktivitas minawisata bahari
IK
MB
= 12
Evaluasi Kelayakan 43 – 54 : Sesuai
: 31 – 42 : Sesuai Bersyarat
18 – 30 : Tidak Sesuai
5. Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan terhadap 5 jenis kesesuaian lahan untuk
minawisata bahari dengan kategori aktivitas seperti tersebut diatas. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk
layers atau coverage dimana menghasilkan peta-peta tematik dalam format
digital sesuai parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian lahan.
55
Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun overlay terhadap parameter yang berbentuk poligon. Proses
overlay dilakukan dengan cara menggabungkan union masing-masing layers
untuk tiap jenis kesesuaian lahan. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai indeks kesesuaian overlay indeks dari masing-
masing jenis kesesuaian lahan tersebut. Pengolahan data Sistem Informasi Geografis ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Arch-Info GIS
Version 3.4.2 dan Arch-View GIS Version 3.3.
3.4.2 Analisis Skala Prioritas Pemanfaatan Ruang
Analisis skala prioritas pemanfaatan ruang ini menggunakan metode multi criteria decision making
MCDM dan diarahkan pada relevansi keputusan jenis pemanfaatan ruang di pulau kecil yang akan lebih tepat, cocok, dan representatif
sebagai skala prioritas bagi pengembangan melalui urutan rangking. Pada analisis pemilihan prioritas dengan MCDM, pembobotan suatu kriteria dan alternatif
yang diambil, disusun berdasarkan matriks pembobotan kriteria dalam penentuan prioritas pemanfaatan ruang, sedangkan teknik analisis data yang digunakan
adalah teknik simple multi atribute rating technique SMART. Teknik SMART merupakan keseluruhan proses dari peratingan alternatif-
alternatif dan pembobotan atribut-atribut. Proses ini terdiri dari 2 tahap yaitu: 1 mengurutkan tingkat kepentingan perubahan-perubahan dalam atribut mulai
dari atribut terburuk peringkat terendah sampai atribut terbaik peringkat tertinggi; dan 2 melakukan estimasi rasio kepentingan relatif dan ranking setiap
atribut terhadap atribut yang paling rendah tingkat kepentingannya. Analisis selanjutnya adalah penggabungan kedua hasil analisis data di atas menjadi satu
dengan menggunakan persamaan agregasi sebagai berikut:
γ = π Si
1n
………………………………………………………………… 1 dimana
γ = rata-rata geometrik :
Si = nilai skor akhir hasil analisis prioritas berdasarkan kelompok kriteria analisis n = 2
56
Sehingga persamaan menjadi:
γ = √ S
1
x S
2
Berdasarkan hasil analisis di atas maka diperoleh hasil akhir untuk peringkat dalam menentukan prioritas pemanfaatan lahan yang perlu dikembangkan.
………………………………………………………………… 2
Matriks pembobotan kriteria dalam penentuan prioritas pemanfaatan ruang seperti yang ditunjukan pada Tabel 8.
Tabel 8 Matriks pembobotan kriteria dalam penentuan prioritas pemanfaatan ruang
Kriteria C
C
1
...
2
C
n
Alternatif W
W
1
...
2
W
n
A A
1
A
11
...
21
A A
1n
A
2
A
12
...
22
A ...
2n
... ...
... ...
A A
m
A
m1
...
m2
A
mn
Sumber : Subandar 1999. dimana
A :
i
C , i = 1,2,3, … ,m
= menunjukkan pilihan alternatif yang ada
j
, j = 1,2,3, … ,n = merujuk pada kriteria dengan bobot W
A
j ij
A , i = 1, ... ,m, j = 1, ... ,n = adalah pengukuran keragaan dari suatu alternatif
i
berdasarkan kriteria C
j
Untuk menyusun peringkat jenis pemanfaatan lahan yang dikembangkan, maka dilakukan penentuan kriteriasubkriteria yang telah disesuaikan dengan
kondisi lokasi penelitian. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teknik SMART dengan bantuan perangkat lunak criterium decision plus Cdplus version 3.0.
sehingga pengukuran terhadap kriteria ekologi; ekonomi; sosial budaya; dan kelembagaan dapat dilakukan. Masing-masing kriteria dapat dikembangkan lagi
menjadi subkriteria. Subkriteria diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dan juga bersumber dari data sekunder. Kriteria ekologi; ekonomi; sosial budaya,
dan kelembagaan dapat diuraikan seperti berikut: .
57
a. Kriteria ekologi, antara lain kesesuaian lahan, dan daya dukung lingkungan. b. Kriteria ekonomi, antara lain manfaat ekonomi, dan tingkat pendapatan
masyarakat. c. Kriteria sosial budaya, antara lain kebiasaan masyarakat, dan penyerapan
tenaga kerja. d. Kriteria kelembagaan, antara lain bentuk kelembagaan, dan aturan pengelolaan.
3.4.3 Analisis Daya Dukung Lingkungan
Untuk menentukan daya dukung lingkungan bagi model pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi ini digunakan 2 pendekatan yaitu:
1 Pendekatan yang mengacu pada daya dukung fisik, yaitu jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam suatu kawasan
tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Metoda yang digunakan adalah daya dukung lahan dan daya
dukung kawasan. 2 Pendekatan yang mangacu pada daya dukung ekologis, yaitu tingkat
maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya sebelum terjadi
penurunan dalam kualitas ekologis kawasan atau ekosistem tersebut. Metoda yang digunakan adalah pendugaan kapasitas asimilasi lingkungan perairan.
Pendekatan 1:
Berkaitan dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk, maka kebutuhan lahan juga semakin bertambah yang akhirnya berdampak kepada
semakin terbatasnya lahan, baik untuk tempat tinggal maupun untuk kegiatan pemanfaatan yang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis untuk
menentukan seberapa besar daya dukung suatu lahan untuk menampung kegiatan pemanfaatan pada suatu wilayah tanpa merusak kelestarian lingkungan yang ada.
Daya dukung lahan DDL menunjukkan kemampuan maksimum lahan untuk mendukung suatu aktivitas tertentu secara terus menerus tanpa
menimbulkan penurunan kualitas baik lingkungan biofisik maupun sosial. DDL yang dianalisis dalam penelitian ini dibatasi pada kemampuan lahan dalam
menampung suatu aktivitas tertentu ditinjau dari aspek kesesuaian fisik, hasil dari analisis ini akan memberikan informasi mengenai berapa besar luas lahan yang
58
dapat dimanfaatkan. Kapasitas Lahan KL diartikan sebagai luasan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk suatu aktivitas tertentu secara terus menerus tanpa
mengalami gangguan dan merusak ekosistem yang ada. Besarnya kapasitas lahan yang digunakan dalam model pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi
di Pulau Dullah ini adalah 30 dari luas lahan yang sesuai. Kapasitas lahan ditetapkan sebesar 30 karena berdasarkan morfogenesis pulau, Pulau Dullah
termasuk kelompok pulau oseanik dengan kategori pulau karang koral dimana sebagian besar dari pulau-pulau ini tergolong pulau kecil Bengen dan Retraubun
2006. Disamping itu berdasarkan ukurannya Pulau Dullah termasuk kategori pulau kecil dimana sangat peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami
maupun akibat kegiatan manusia sehingga dalam pengelolaannya harus memperhatikan prinsip dan kriteria pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil.
Berdasarkan pendekatan tersebut di atas maka daya dukung lahan dapat dihitung dengan rumus atau formula yang dikemukakan dalam KMNLH dan FPIK IPB
2002 sebagai berikut:
DDL = LLS X KL ………………………………………………………… 3
dimana DDL = Daya Dukung Lahan
:
LLS = Luas Lahan yang Sesuai KL = Kapasitas Lahan
Sedangkan untuk menghitung jumlah unit sarana pemancingan ikan dan karamba pembesaran ikan maka digunakan rumus yang dimodifikasi dari formula yang
dikemukakan dalam KMNLH dan FPIK IPB 2002 sebagai berikut:
JU = DDL LOG ………………………………………………………… 4
dimana JU = Jumlah Unit
:
DDL = Daya Dukung Lahan LO = Luas Olah Gerak
Luasan optimal sarana pemancingan ikan adalah besaran yang menunjukkan luasan dari 1 unit perahu bercadik dengan ukuran panjang perahu 4 meter dan
59
lebar perahu termasuk cadiknya adalah 3 meter, sementara luas olah gerak LOG untuk 1 unit sarana pemancingan ikan agar dapat bergerak dengan leluasa tanpa
menggangu atau terganggu oleh sarana pemancingan lainnya adalah 900 m
2
30 m X 30 m. Sedangkan luasan optimal karamba pembesaran ikan adalah besaran yang menunjukkan luasan dari 1 unit rakit dengan 4 buah karamba
berukuran 3m X 3m X 3m, luasan optimal untuk 1 unit rakit agar ikan-ikan yang dipelihara dapat bertumbuh dengan baik adalah 144 m
2
12 m X 12 m, luasan ini merupakan ukuran optimal yang digunakan secara umum di perairan Indonesia
Sunyoto 1993, sementara luas olah gerak untuk 1 unit rakit karamba agar perahu
yang menuju dan kembali dari rakit karamba tersebut dapat bergerak dengan leluasa tanpa menggangu atau terganggu oleh perahu lainnya adalah 3600 m
2
Selanjutnya untuk menghitung berapa jumlah orang yang dapat ditampung di kawasan tersebut maka digunakan metoda daya dukung kawasan DDK.
DDK adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan
pada alam dan manusia. DDK untuk minawisata bahari pancing dan minawisata bahari karamba pembesaran ikan dihitung dengan menggunakan rumus yang
dimodifikasi dari formula yang dikemukakan dalam KMNLH dan FPIK IPB 2002 sebagai berikut:
60 m X 60 m.
DDK = JU X JP ………………………………………………………… 5
dimana DDK = Daya Dukung Kawasan
:
JU = Jumlah Unit JP = Jumlah Pengunjung
Sedangkan DDK untuk minawisata bahari pengumpulan kerang moluska, minawisata bahari selam, dan minawisata bahari mangrove dihitung dengan
menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Yulianda 2007 sebagai berikut: ………………………………………… 6
Wp Wt
x Lt
Lp x
K DDK
=
60
dimana DDK = Daya dukung kawasan
:
K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan
Lt = Unit area untuk kategori tertentu
Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari
Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu
Potensi ekologis pengunjung K dan unit area Lt ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan seperti ditunjukan pada
Tabel 9.
Tabel 9 Potensi ekologis pengunjung K dan luas area kegiatan Lt
Jenis Kegiatan K
∑ Pengunjung Unit Area
Lt Keterangan
Minawisata bahari pengumpulan kerang
1 2500
Setiap orang dalam 50 m x 50 m Minawisata bahari selam
2 2000 m
2
Setiap 2 orang dalam 200 m x 10 m Minawisata bahari mangrove
1 50 m
Dihitung panjang track, setiap 1 orang sepanjang 50 m
Sumber : Yulianda 2007.
Waktu kegiatan pengunjung Wp dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata. Waktu
pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan oleh kawasan Wt seperti yang disajikan pada Tabel 10.
Pendekatan 2 :
Pendekatan yang mangacu pada daya dukung ekologis untuk pengembangan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi adalah kapasitas asimilasi
lingkungan perairan. Penentuan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas asimilasi lingkungan perairan seperti yang dikemukakan oleh Quano 1993
61
Tabel 10 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata
Jenis Kegiatan
Waktu yang dibutuhkan Wp
jam
Total waktu 1 hari Wt
jam Minawisata bahari pengumpulan
kerang 4
8 Minawisata bahari selam
2 8
Minawisata bahari mangrove 2
8 Sumber : Yulianda 2007.
adalah metode hubungan antara konsentrasi limbah dengan beban limbahnya. Variabel yang diamati adalah debit air yang masuk ke teluk oleh pasut dan
konsentrasi limbah di lingkungan perairan. Metode ini cukup dapat menggambarkan atau menunjukan kapasitas asimilasi dari lingkungan perairan
dimaksud. Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan
antara konsentrasi masing-masing parameter limbah di lingkungan perairan dengan total beban limbah parameter tersebut di muara sungai, dan selanjutnya
dianalisis dengan cara memotongkan dengan garis baku mutu air laut yang diperuntukan bagi biota laut dan kegiatan wisata bahari berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Pola hubungan antara konsentrasi limbah dengan beban pencemaran yang dimaksud disajikan pada
Gambar 7. Jika pola hubungan tersebut direpresentasikan terhadap nilai baku mutu air
laut maka akan dapat diketahui kapasitas asimilasi lingkungan perairan tersebut terhadap suatu parameter limbah tertentu. Nilai kapasitas asimilasi didapat dari
titik potong beban pencemaran dengan nilai baku mutu yang berlaku untuk setiap parameter, dan selanjutnya dianalisis seberapa besar peran masing-masing
parameter terhadap beban pencemarannya. Beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1 Nilai kapasitas asimilasi hanya berlaku di lingkungan perairan pada batas yang telah ditetapkan dalam lokasi penelitian.
62
2 Nilai hasil pengamatan, baik di muara sungai maupun di lingkungan perairan diasumsikan telah mencerminkan dinamika yang ada di perairan tersebut.
3 Perhitungan beban pencemaran dibatasi hanya yang berasal dari land based, sedangkan apabila ada pencemaran dari kegiatan lainnya di lingkungan
perairan dan laut sekitarnya, maka itu tidak dihitung.
Gambar 7 Grafik hubungan antara beban pencemaran dan kualitas air.
Data yang diamati merupakan data pencemaran yang mempengaruhi kualitas air dilokasi penelitian. Hubungan yang ingin dilihat adalah pengaruh nilai
parameter yang ada di muara sungai terhadap nilai parameter tersebut di lingkungan perairan. Alat analisis yang digunakan untuk melihat hubungan
tersebut adalah ”regresi linier” dimana sebagai peubah bebas independent adalah nilai parameter di muara sungai, dan sebagai peubah tak bebas dependent adalah
nilai parameter di lingkungan perairan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peubah pencemaran di lingkungan perairan dapat dijelaskan oleh peubah
pencemaran di muara sungai atau dapat dituliskan dalam bentuk hubungan matematik yaitu : Y = fx sehingga menurut Quano 1993 bentuk hubungan
tersebut dalam regresi linier dapat dituliskan sebagai berikut:
K ua
li tas
A ir
K ons
en tra
si L
im ba
h
Beban Pencemaran Baku Mutu
63
Y = a + bx
………………………………………………………………… 7 dimana
Y = nilai parameter di lingkungan perairan :
a = nilai tengah atau rataan umum
b = koefisien regresi untuk parameter di muara sungai
x = nilai parameter di muara sungai
x dan y adalah jenis dari parameter yang sama, yang diukur di muara sungai dan
di lingkungan perairan. Peubah x merupakan jumlah nilai dari semua muara yang diamati untuk
parameter tertentu, dan peubah y merupakan nilai parameter lingkungan perairan yang dianggap tepat untuk mewakili seluruh nilai parameter yang ada di
lingkungan perairan, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa y merupakan penduga terbaik untuk nilai parameter di lingkungan perairan tersebut.
3.4.4 Analisis Ekonomi
Barbier et al. 1997 in Adrianto 2006b menyediakan sebuah kerangka pendekatan penilaian ekonomi, dimana terdapat 3 tahapan utama dalam
melakukan valuasi ekonomi sumberdaya pesisir dan laut, yaitu : 1 Tahap pertama, adalah mendefinisikan problem dan memilih pendekatan
yang tepat untuk melakukan penilaian ekonomi. 2 Tahap kedua, adalah mendefinisikan ruang lingkup dan batasan dari analisis
yang dilakukan serta informasi yang diperlukan untuk melakukan pendekatan terpilih.
3 Tahap ketiga, adalah mendefinisikan metoda pengumpulan data dan teknik valuasi termasuk analisis dan distribusi dampak yang mungkin dari
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Ketiga tahapan tersebut diatas dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
penilaian ekonomi secara utuh yang menggambarkan willingness to pay yang benar dari masyarakat terhadap manfaat yang dihasilkan dari ekosistem pesisir
dan laut. Berdasarkan kerangka pendekatan tersebut diatas, maka analisis nilai ekonomi minawisata bahari yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
64
pendekatan extended cost-benefit analysis ECBA yang diawali dengan metoda Valuasi Ekonomi.
Barton 1994 in Adrianto 2006b mengemukakan bahwa Total Economic Value
TEV dalam valuasi ekonomi dikategorikan kedalam 2 dua komponen yaitu Use Value UV dan Non Use Value NUV sehingga dapat diformulasikan
sebagai berikut:
TEV = UV + NUV ………………………………………………………… 8
dimana TEV = Total Economic Value nilai ekonomi total
:
UV = Use Value nilai guna
NUV = Non Use Value bukan nilai guna
Pada dasarnya nilai guna use value diartikan sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumberdaya alam dimana
individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan, yang didalamnya termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang
dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam misalnya ikan, kayu, dan lain-lain yang bisa dikonsumsi langsung atau dijual. Nilai guna ini secara lebih rinci
menurut Barton 1994 in Adrianto 2006b adalah sebagai berikut :
UV = DUV + IUV + OV ……...………..…...........…………..….....…..…... 9
dimana UV = Use Value nilai guna
:
DUV = Direct Use Value nilai guna langsung IUV = Indirect Use Value nilai guna tidak langsung
OV = Option Value nilai pilihan Nilai guna langsung direct use value merujuk langsung pada konsesi
sumberdaya alam seperti kayu sebagai bahan bakar, sedangkan nilai guna tidak langsung indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak
langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan seperti pencegahan banjir dan nursery ground dari ekosistem
mangrove, sedangkan nilai pilihan option value merupakan suatu nilai yang
65
menunjukan pilihan seorang individu untuk membayar dalam melestarikan sumberdaya alam bagi pengguna lainnya dimasa mendatang.
Komponen bukan nilai guna non use value adalah nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya meskipun tidak digunakan secara
langsung, yang lebih bersifat sulit diukur karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pengamatan langsung. Bukan nilai guna ini secara
lebih rinci menurut Barton 1994 in Adrianto 2006b adalah sebagai berikut :
NUV = BV + EV + QOV .………...…………….......................………….. 10
dimana
NUV = Non Use Value bukan nilai guna
:
BV = Bequest Value nilai pewarisan EV = Existence Value nilai keberadaan
QOV = Quasi Option Value nilai pilihan untuk menghindari kerusakan yang irreversible
Pada dasarnya nilai keberadaan adalah penilaian yang didasarkan kepada penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan,
nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan sumberdaya alam dan lingkungan kepada generasi
mendatang, nilai pilihan untuk menghindari kerusakan yang irreversible quasi option value
mengandung makna ketidak-pastian dimana nilai ini merujuk pada nilai barang dan jasa dari sumberdaya alam yang mungkin timbul sehubungan
dengan ketidak-pastian permintaan dimasa mendatang. Dari persamaan 9 dan 10 tersebut, maka nilai ekonomi total total
economic value menurut Barton 1994 in Adrianto 2006b
dapat dirumuskan sebagai berikut:
TEV = UV + NUV = DUV+IUV+OV + BV+EV+QOV
……………...………… 11 dengan demikian yang dimaksud dengan nilai ekonomi sumberdaya menyeluruh
adalah nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari nilai guna use value
dan bukan nilai guna non use value beserta komponen-komponennya.
66
Dalam kondisi ketiadaan data dilapangan karena belum ada pemanfaatan sumberdaya secara intensif oleh masyarakat maka untuk melakukan valuasi
ekonomi terhadap sumberdaya dimaksud dapat digunakan metoda benefit transfer. Menurut Boyle and Bergstrom 1992 in Atkinson 2006 benefit transfer BT
adalah pendugaan nilai guna sumberdaya dengan cara menggunakan nilai yang sudah ada dari yang bukan nilai pasar untuk mendapatkan perkiraan nilai baru
yang lain dari nilai yang mula-mula diduga. Nilai dugaan ini diperoleh dengan pendekatan nilai pasar NP dan indeks harga konsumen IHK dengan formula
sebagai berikut: ……………...……………...………… 12
dimana ND = Nilai Dugaan
:
NP = Nilai Pasar IHK = Indeks Harga Konsumen
Selanjutnya, agar nilai dugaan tersebut mendekati nilai pasar dilokasi studi maka dihitung dengan cara merata-ratakan nilai guna sumberdaya tersebut yang didapat
dari beberapa lokasi lain yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan lokasi studi dengan formula sebagai berikut:
……………………………………...……………...………… 13 dimana
x
= Nilai hasil benefit transfer :
X
i 1,2,3, … n
n = Jumlah lokasi asal benefit transfer = Nilai pasar lokasi asal transfer ke-i
Dari hasil Valuasi Ekonomi tersebut maka nilai bersih sekarang net present value
dari manfaat dan biaya suatu proyekusaha dapat diperoleh melalui pendekatan Extended Cost Benefit Analysis ECBA. Pada prinsipnya Extended
Cost Benefit Analysis adalah lanjutan dari Cost Benefit Analysis CBA, disebut
Extended karena dalam perhitungan Cost Benefit kita tambahkan biaya lingkungan
sebagai salah satu komponennya.
ND = NP X IHK lokasi studi
IHK lokasi asal transfer
∑
x
i
n
x
=
67
Barton 1994 menjelaskan bahwa salah satu kriteria yang digunakan dalam evaluasi kebijakan adalah menghitung Net Present Value NPV dimana
keuntungan bersih suatu proyekusaha adalah pendapatan kotor dikurangi jumlah biaya. Dengan demikian maka NPV suatu proyekusaha adalah selisih PV arus
benefit dengan PV arus cost. Suatu proyekusaha dapat dikatakan bermanfaat atau
layak untuk dilaksanakan bila NPV proyekusaha tersebut lebih besar dari atau sama dengan nol NPV 0 dan sebaliknya bila NPV proyekusaha tersebut lebih
kecil dari nol NPV 0 maka proyekusaha tersebut merugikan atau tidak layak untuk dilaksanakan. Selain itu, dapat juga dengan melihat BC Rasio, bila BC
Rasio 1 maka usaha layak untuk dilaksanakan, bila BC Rasio = 1 maka usaha perlu ditinjau kembali karena tidak memberikan keuntungan, sedangkan bila BC
Rasio 1 maka usaha tidak layak untuk dilaksanakan. Selanjutnya, dengan mengadopsi pendekatan extended cost-benefit analysis
ECBA, maka menurut Barton 1994 net present value NPV dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
NPV = B
d
+ B
e
– C
d
– C
e
– C
p
…………………………………………. 14
dimana NPV = Net Present Value nilai bersih sekarang
:
B
d
B = direct benefit manfaat langsung
e
lingkungan = external andor environmental benefit manfaat eksternal danatau
C
d
C = direct cost biaya langsung
e
C = external andor environmental cost biaya eksternal danatau lingkungan
p
biaya mitigasi = environmental protection cost mitigation cost biaya proteksi lingkungan
3.4.5 Analisis Sosial
Analisis sosial yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metoda analisis deskriptif, data yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis ini
didapat dengan melakukan wawancara langsung dengan stakeholders dan dengan menggunakan kuesioner. Informasi yang akan digali dari stakeholders antara lain:
68
bagaimana keinginan masyarakat terhadap rencana pengembangan Pulau Dullah ke depan, bentuk partisipasi dari masyarakat terhadap model pengelolaan minawisata
bahari yang akan dikembangkan, identifikasi konflik pemanfaatan, sistem pengelolaan yang diinginkan, serta kemungkinan dampaknya bagi masyarakat.
3.4.6 Analisis Kelembagaan
Analisis kelembagaan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metoda analisis deskriptif, data yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan
analisis ini didapat dengan melakukan wawancara langsung dengan stakeholders dan dengan menggunakan kuesioner. Informasi yang akan digali dari stakeholders antara
lain: bagaimana bentuk kelembagaan baik formal maupun non formal yang diinginkan oleh masyarakat terkait dengan model pengelolaan minawisata bahari
yang akan dibangun di Pulau Dullah, identifikasi semua aturan-aturan regulasi yang terkait yang dapat menunjang model pengelolaan yang akan dibangun,
mengkaji peranan berbagai institusi dan kelembagaan yang terkait dengan model pengelolaan yang akan dibangun.
3.5 Sintesis
Model dinamik yang digunakan untuk melakukan sintesis terhadap rancang bangun pengelolaan minawisata bahari dalam penelitian ini adalah model
gabungan dari dimensi ekologi dan dimensi ekonomi. a Dimensi ekologi, memiliki atribut: luas ekosistem terumbu karang, laju
pertumbuhan karang, laju degradasi karang, upaya penambahan luasan terumbu karang, luas ekosistem mangrove, laju pertumbuhan mangrove, laju
degradasi mangrove, upaya penambahan luasan mangrove, luas lahan yang sesuai untuk masing-masing aktivitas minawisata bahari, daya dukung
lingkungan, dan jumlah unit usaha masing-masing aktivitas minawisata bahari.
b Dimensi ekonomi, memiliki atribut: manfaat langsung, manfaat lingkungan, biaya langsung, biaya lingkungan, biaya mitigasi, NPV tahunan dan NPV
kumulatif dari masing-masing aktivitas minawisata bahari, serta NPV tahunan total minawisata bahari berbasis konservasi.
69
Model tersebut diatas selanjutnya dibangun dalam bentuk causal loop sehingga membentuk suatu sistem dinamik yang kemudian akan disimulasikan
dengan menggunakan perangkat lunak STELLA Version 9.0.2. Simulasi dari model dinamik ini akan menggunakan 3 skenario pengelolaan, dimana dari ketiga
skenario tersebut akan dipilih salah satu yang paling optimal untuk dijadikan model pengelolaan terpadu. Terpenuhinya syarat kecukupan struktur dari suatu
model sistem dinamik adalah dengan melakukan validasi atas perilaku yang dihasilkan oleh suatu struktur model. Validasi perilaku model dilakukan dengan
membandingkan antara perilaku yang dihasilkan oleh model dan perilaku pada sistem nyata.
70
4. KONDISI AKTUAL LOKASI PENELITIAN
4.1 Kota Tual
Pada awalnya Kota Tual berada dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku Tenggara namun dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku maka sejak tanggal 10 Agustus 2007 sebagian wilayah administratif
Kabupaten Maluku Tenggara telah dialihkan ke dalam wilayah administratif Kota Tual. Kecamatan-kecamatan yang dialihkan diantaranya:
1 Kecamatan Pulau-Pulau Kur 2 Kecamatan Dullah Utara
3 Kecamatan Dullah Selatan 4 Kecamatan Tayando Tam
Dengan pemekaran wilayah tersebut, maka secara astronomis posisi koordinat Kota Tual menjadi terletak antara 5º - 6º LS dan 131º - 133º BT. Peta wilayah
administratif Kota Tual seperti ditunjukan pada Gambar 8.
Gambar 8 Peta wilayah administratif Kota Tual.
72
Secara geografis wilayah ini dibatasi oleh Laut Banda di sebelah Barat dan di sebelah Utara; Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara di sebelah Timur;
dan Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara serta Laut Arafura di sebelah Selatan. Luas wilayah administratif Kota Tual tercatat sebesar 19.095,84
km
2
yang terdiri dari daratan seluas 352,29 km
2
1,84 dan lautan seluas 18.743,55 km
2
98,16. Kota Tual merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 66 pulau, yang dihuni sebanyak 13 pulau dan 53 pulau belum berpenghuni.
Pada umumnya pulau-pulau yang tidak berpenghuni dipergunakan sebagai lahan pertanianperkebunan atau sebagai tempat singgah kapal,
keseluruhan pulau tersebut adalah merupakan pulau-pulau kecil. Data jumlah pulau yang dirinci per
kecamatan sebagaimana ditunjukan pada Tabel 11.
Tabel 11 Jumlah pulau dan luas wilayah administratif Kota Tual
Kecamatan Jumlah Pulau
buah Luas Daratan
Km
2
Luas Lautan Km
2
Luas Total Km
2
Pulau-Pulau Kur 9
60,78 5607,00
5.667,78 Dullah Utara
27 115,51
4217,00 4.332,51
Dullah Selatan 23
77,68 3209,00
3.286,68 Tayando Tam
7 98,32
5710,55 5.808,87
Jumlah Total 66
352,29 18.743,55
19.095,84 Sumber: Diolah kembali dari Maluku Tenggara Dalam Angka Tahun 2008.
Dengan kondisi laut yang cukup luas dan dengan sumberdaya pulau-pulau kecil yang ada tersebut menjadikan Kota Tual memiliki potensi kelautan dan
perikanan yang cukup melimpah dan potensi pariwisata yang cukup mempesona.
4.1.1 Penduduk
Jumlah penduduk Kota Tual pada tahun 2009 berdasarkan data statistik penduduk pada Dinas Tenaga Kerja, Kesra, Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Tual tahun 2010 adalah sebanyak 70.367 jiwa yang tersebar pada 4 kecamatan. Penyebaran penduduk di Kota Tual tidak merata, berdasarkan
data statistik penduduk terlihat bahwa persentase penduduk di Kecamatan
73
Dullah Selatan tercatat lebih tinggi bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu 41.930 jiwa 59,59 sementara di Kecamatan Pulau-Pulau Kur hanya
mencapai 5.883 jiwa 8,46 , hal ini karena sejak masih menjadi bagian dari wilayah administratif Kabupaten Maluku Tenggara hingga saat ini, kecamatan
Dullah Selatan merupakan kawasan pemukiman padat penduduk, pusat pemerintahan, dan pusat kegiatan perekonomian. Data jumlah penduduk Kota
Tual tahun 2005 - 2009 sebagaimana ditunjukan pada Tabel 12.
Tabel 12 Perkembangan jumlah penduduk Kota Tual tahun 2005 - 2009
Kecamatan Jumlah Penduduk Jiwa
2005 2006
2007 2008
2009 Pulau-Pulau Kur
5.600 5.716
5.873 5.879
5.883 Dullah Utara
12.536 12.785
13.163 15.620
16.011 Dullah Selatan
25.050 25.566
26.013 40.451
41.930 Tayando Tam
6.856 7.014
7.213 6.494
6.543 Total
50.042 51.081
52.262 68.444
70.367 Sumber : Diolah kembali dari Maluku Tenggara dalam Angka Tahun 2008.
Dinas Tenaga Kerja, Kesra, Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tual dalam RPJM Kota Tual Tahun 2010.
Dari Tabel 12 terlihat bahwa jumlah penduduk di Kota Tual menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah penduduk ini dibarengi
dengan tingkat pertumbuhan yang relatif berbeda untuk setiap kecamatan. Pertumbuhan jumlah penduduk juga diikuti dengan laju pertambahan penduduk
yang terus meningkat. Secara total, laju pertumbuhan penduduk Kota Tual untuk tahun 2009 adalah sebesar 12,70 bila dibandingkan dengan jumlah penduduk
pada tahun 2008, sementara untuk tahun 2008 laju pertumbuhan penduduk mencapai angka 14,94 bila dibandingkan jumlah penduduk untuk tahun 2007.
4.1.2 Mata Pencaharian
Berdasarkan jenis mata pencaharian, masyarakat Kota Tual dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, baik secara formal maupun informal.
Komposisi struktur penduduk berdasarkan jenis pekerjaan yaitu petanipekebun, wiraswasta, serta pegawai negeri sipil merupakan jenis pekerjaan yang dominan
74
yaitu sebesar 37,24 dari total jumlah penduduk Kota Tual; kemudian diikut i oleh kelompok penduduk yang belum bekerja atau tidak bekerja sebesar 32,60 ;
setelah itu pelajarmahasiswa serta mengurus rumah tangga sebesar 23,07 . Disamping itu masih terdapat jenis pekerjaan lain yang digeluti seperti pedagang,
karyawan swastaBUMNBUMD, buruh harian, tukang, gurudosen, dan pekerjaan informal lainnya sebesar 5,92 ; sementara yang berprofesi sebagai
nelayan masih sangat sedikit yaitu sekitar 1,17 dari total jumlah penduduk Kota Tual.
Khusus untuk yang berprofesi sebagai nelayan, jumlah penduduk yang bekerja sebagai nelayan adalah 826 orang yang terdiri dari nelayan sebanyak 739
orang dan buruh nelayan sebanyak 87 orang, kondisi ini tentunya sangat ironis bila dibandingkan dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Kota Tual
yang tersedia yang seharusnya menjadi salah satu lapangan pekerjaan dominan di Kota Tual.
4.1.3 Potensi Kelautan dan Perikanan
Berdasarkan pembagian Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP di Indonesia, perairan Kota Tual adalah termasuk dalam WWP 8 Laut Arafura
dan WPP 5 Laut Banda sehingga dapat dianggap mewakili potensi perikanan tangkap perairan laut Kota Tual. Potensi total sumberdaya ikan laut dari WPP 5
dan WPP 8 adalah sebanyak 1.040.600 tontahun. Kelompok ikan dengan potensi terbesar adalah kelompok ikan pelagis kecil 600.660 tontahun, diikuti
kelompok ikan demersal 256.070 tontahun dan ikan pelagis besar 154.980 tontahun. Pemanfaatan potensi perikanan ini khususnya ikan pelagis kecil dan
ikan demersal rata-rata masih di bawah 10 sementara untuk ikan pelagis besar baru 42,60 sehingga peluang pengembangannya masih cukup besar.
Aktivitas pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada selama ini adalah perikanan tangkap yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu perikanan artisanal
kecil oleh sebagian besar masyarakat, dan perikanan industri yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Tual. Jumlah produksi dan nilai produksi
perikanan Kota Tual sesuai data tahun 2007 seperti ditunjukan pada tabel 13.
75
Tabel 13 Jumlah produksi dan nilai produksi perikanan Kota Tual tahun 2007
Kecamatan Produksi Ton
Nilai Produksi Rp Pulau-Pulau Kur
2.212,00 11.038.489,00
Dullah Utara 2.949,40
14.717.985,00 Dullah Selatan
127.422,40 564.230.747,00
Tayando Tam 2.394,30
11.958.363,00 Jumlah
134.978,10 601.945.584,00
Sumber : Diolah kembali dari Maluku Tenggara Dalam Angka Tahun 2008.
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa total produksi tahun 2007 mencapai 134,978,10 ton dengan total nilai produksi Rp.601.945.584,00 bila dibandingkan
dengan kondisi 2 tahun sebelumnya dimana produksi perikanan yang dicapai pada tahun 2005 adalah sebesar 131.353.90 ton maka dari sisi produksi telah
terjadi peningkatan sebanyak 3.624,20 ton. Kegiatan perikanan tangkap yang berkembang saat ini adalah usaha
penangkapan ikan karang, perikanan demersal dan perikanan pelagis serta pengumpulan organisme bentos yang bernilai ekonomis seperti Lola Trochus sp,
Batu Laga Turbo, Kima Tridacna sp dan Teripang Holothuria sp. Potensi sumberdaya ikan karang dan ikan hias pada beberapa lokasi seperti di sekitar
pulau Rumadan Dullah Laut, Ngadi, Teluk Un, Teluk Vid Bangir, Pulau Tam serta Tayando adalah sekitar 307 jenis.
4.1.4 Potensi Pariwisata
Sebagai wilayah kepulauan yang banyak memiliki pulau-pulau kecil, obyek wisata bahari di kawasan ini sangatlah banyak. Obyek wisata bahari tersebar
hampir di seluruh kecamatan. Umumnya obyek wisata bahari yang ada berupa keindahan alam dan pantai, taman laut, ekosistem terumbu karang dengan ikan
hiasnya, ekosistem mangrove, dan lamun. Selain memiliki obyek wisata bahari, Kota Tual juga memiliki obyek wisata budaya yang tersebar di Kepulauan Kei
antara lain sejarah peninggalan Jepang.
76
Beberapa obyek wisata yang telah berkembang dan potensial untuk dikembangkan di Kota Tual antara lain sebagai berikut:
1 Obyek wisata Pantai Difur 2 Obyek wisata Pantai Nam Indah
3 Obyek wisata Pulau Adranan 4 Obyek wisata budaya Dullah Darat
5 Obyek wisata Pulau Duroa 6 Obyek wisata Pulau Burung
7 Obyek wisata taman laut Pulau Barak New 8 Obyek wisata Goa Tengkorak Ular Kepala Tujuh
9 Obyek wisata desa nelayan Pulau Fair 10 Obyek wisata Pulau Ubur
11 Obyek wisata Teluk Un Walapun potensi wisata Kota Tual tersebut diatas masih belum banyak dikenal
dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Maluku, tetapi beberapa barang khas dari Kota Tual seperti mutiara dan perahu tradisional
sudah mulai dikenal oleh masyarakat luas. Data perkembangan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke Kabupaten Maluku Tenggara termasuk
Kota Tual sekarang dari tahun 2004 - 2008 seperti ditunjukan pada tabel 14.
Tabel 14 Jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke Kabupaten Maluku Tenggara termasuk Kota Tual tahun 2004 - 2008
Tahun Jumlah Wisatawan orang
Total orang
Pertumbuhan Domestik
Mancanegara 2004
2005 2006
2007 2008
7.010 10.500
12.500 15.907
20.910 120
165 190
263 346
7.130 10.665
12.690 16.170
21.256 -
49,58 18,99
27,42 31,45
Pertumbuhan Rata-Rata 31,86
Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tual Tahun 2009.
77
Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa total jumlah wisatawan pada tahun 2008 adalah 21.256 orang yang terdiri dari 20.910 orang wisatawan domestik dan
346 orang wisatawan mancanegara, bila dibandingkan dengan total jumlah wisatawan tahun 2007 sebanyak 16.170 orang maka terdapat peningkatan
sebanyak 5.086 orang atau bila dihitung persentase pertumbuhannya mencapai 31,45. Sedangkan rata-rata pertumbuhan kunjungan wisatawan selama
5 tahun terakhir yaitu dari tahun 2004 - 2008 adalah sebesar 31,86.
4.1.5 Sarana dan Prasarana Vital
a. Sarana Transportasi Dalam rangka menunjang pergerakan orang serta barang dan jasa melalui
transportasi darat, di wilayah Kota Tual telah tersedia jaringan jalan yang menghubungkan antara pusat-pusat pemukiman, pusat-pusat produksi dan
pusat-pusat pemasaran dan pelayanan. Secara umum jaringan jalan di Kota Tual terdiri dari jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten. Pada umumnya
kondisi jalan provinsi cukup baik, hal ini terkait dengan struktur geologi Pulau Dullah berupa batu kapur yang cenderung keras. Jalan provinsi pada umumnya
merupakan jalan utama di sepanjang pantai dan jalur di dalam kota, namun demikian jaringan jalan yang menghubungkan daerah-daerah yang jauh dari
Kota Tual dan yang menghubungkan kantong-kantong produksi masih sangat terbatas. Total panjang ruas jalan di Kota Tual adalah 137,45 km yang terdiri dari
jalan aspal sepanjang 44,05 km, hotmix sepanjang 24,90 km, jalan setapak 63,50 km, dan jalan tanah sepanjang 5,00 km. Sedangkan jumlah jembatan yang ada di
Kota Tual sebanyak 17 unit dengan panjang keseluruhan 6,4 km. Sarana angkutan umum yang berkembang di Kota Tual adalah berupa
Angkutan Pedesaan dan Angkutan Perkotaan. Sarana angkutan umum ini adalah mobil berjenis carry atau kijang yang telah dimodifikasi. Trayek angkutan umum
yang terdapat di Kota Tual berjumlah 9 trayek dengan jumlah armada yang beroperasi mencapai 57 unit. Rute-rute trayek yang ada masih terbatas pada
rute-rute tertentu seperti Tual - Tamedan sebanyak 7 unit; Tual - Dullah sebanyak 9 unit; Tual - Fiditan sebanyak 20 unit; Tual - BTN sebanyak 8 unit; Tual -
Ohoitel sebanyak 9 unit; dan Tual - Taar sebanyak 4 unit. Sedangkan Trayek sarana angkutan umum yang menghubungkan Kota Tual dengan Kabupaten
78
Maluku Tenggara berjumlah 40 trayek dengan jumlah armada yang beroperasi mencapai 382 unit. Rute-rute trayek yang ada masih terbatas pada rute-rute
tertentu seperti Tual, Langgur dan desa-desa kecil yang berada di Pulau Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara.
Terminal di Kota Tual terdapat 2 unit yaitu Terminal Lodar El dan Terminal Wara dengan klasifikasi Tipe C, yaitu terminal yang melayani rute angkutan
pedesaan dan angkutan perkotaan yang terdapat di dua pulau yang berbeda. Terminal Lodar El yang terdapat di Pasar Tual melayani angkutan umum pada
trayek-treyak di Pulau Dullah dan Pulau Kei Kecil. Selain kedua terminal tersebut di Kota Tual juga terdapat sub-subterminal yang berguna sebagai penghubung
terminal-terminal utama. Untuk transportasi udara, Kota Tual belum memiliki bandara komersil,
angkutan udara masih dilayani oleh Bandara Dumatubun Milik TNI AU yang berlokasi di Langgur - Kabupaten Maluku Tenggara, dengan kelas layanan 4 dan
panjang runway 900 x 25 meter. Bandara ini melayani penerbangan domestik dan regional Maluku dengan dengan rute reguler Ambon - Tual yang dioperasikan
oleh Trigana Air dengan pesawat Fokker 27, dan Wings Air dengan pesawat DAS dengan frekuensi penerbangan 5 kali seminggu. Selain kedua maskapai
tersebut, rute Tual - Ambon juga dilayani oleh Merpati Airlines dengan frekuensi penerbangan 3 kali seminggu dengan menggunakan pesawat Cassa 212,
sedangkan penerbangan Tual - Dobo oleh Merpati Airlines belum terjadwal. Peranan transportasi laut di Kota Tual sangat penting karena Kota Tual
adalah kota kepulauan dan sebagain besar wilayahnya merupakan perairan laut. Keberadaan sarana dan prasarana transportasi laut ini sangat vital karena selain
sebagai sarana mobilitas orang serta dan barang dan jasa dari dan ke luar Kota Tual, juga sekaligus berfungsi sebagai penggerak roda ekonomi daerah. Prasarana
transportasi laut yang terdapat di Kota Tual antara lain:
1
Pelabuhan Yos Sudarso, merupakan pelabuhan umum yang ada di Kota Tual yang berfungsi bagi sarana mobilitas orang serta barang dan jasa di wilayah
Indonesia Timur karena banyak disinggahi oleh kapal-kapal dari dalam negeri dan luar negeri. Pelabuhan ini memiliki causeway sepanjang 236 meter.
79
Selain itu, pelabuhan ini juga dimanfaatkan untuk aktifitas bongkar muat barang kontainer.
2
Dermaga penyeberangan ferry dengan ukuran 50 x 6 meter dengan causeway sepanjang 50 meter. Selain berfungsi sebagai pelabuhan penyeberangan dan
pelabuhan pelayaran nusantara, dermaga ini juga melayani pelayaran rakyat ke pulau-pulau disekitarnya.
3
Pelabuhan Kur, merupakan pelabuhan lokal yang terdapat di Desa Lokwirin, Pulau Kur yang dipergunakan untuk kegiatan bongkar-muat penumpang dan
barang.
4
Dermaga Ngadi, milik PT. Maritim Timur Jaya, merupakan pelabuhan khusus yang berlokasi di Desa Ngadi dengan ukuran 330 x 15 meter dengan causeway
sepanjang 330 meter.
5
Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Dumar, dengan tipe jetty yang berukuran 120 x 6 meter dengan 2 causeway berukuran 60 x 6 meter.
6
Pelabuhan Pangkalan TNI - AL.
7
Pelabuhan Pertamina.
8
Pelabuhan Pendaratan Ikan PPI Kalvik, di Pulau Kalvik. Selain prasarana diatas, maka ada beberapa sarana transportasi laut yang
menghubungkan Kota Tual dengan kota-kota lainnya yaitu: 1 Kapal penumpang umum milik PT. PELNI KM. Ciremai dan KM. Kelimutu
yang menghubungkan Kota Tual dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia. 2 Kapal-kapal kargo milik swasta, yang melayani pengiriman barang dan jasa
lainnya dari dan ke Kota Tual. 3 Kapal-kapal perintis milik swasta, yang melayani hubungan antar pulau di
Provinsi Maluku. 4 Kapal ferry milik PT. ASDP KMP Kormomolin, yang melayani hubungan
antar pulau di Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. 5 Pelayaran rakyatlokal perahu motor 7 GT yang melayani hubungan antar
pulau di Kota Tual. b. Sarana Air Bersih
Air bersih bagi Kota Tual adalah sesuatu yang sangat berarti. Pulau Dullah sebagai pusat Kota Tual sebagian besar tersusun dari jenis tanahbatuan berupa
80
kapur dan karang yang menjadikan pulau ini sangat minim sumber air bersih. Sumber air bersih bagi masyarakat yang tinggal di Pulau Dullah selama ini
disuplai oleh Perusahaan Daerah Air Minum PDAM dimana sumber air bersih berasal dari mata air Evu dengan debit 1.400 literdetik. Selain itu untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat masih memanfaatkan aliran air permukaan. Untuk mengantisipasi kebutuhan akan air bersih yang semakin
banyak dan berkurangnya debit mata air Evu, maka alternatif sumber air yang akan dimanfaatkan adalah air dari Danau Ngadi dan Danau Fanil.
Kondisi terakhir menunjukkan bahwa belum semua masyarakat mendapatkan layanan air bersih dari jaringan PDAM, masyarakat yang belum
terlayani oleh jaringan PDAM memenuhi kebutuhannya dari PAH Penampungan Air Hujan dan membeli air dari pihak swasta yang disuplai melalui mobil tangki
kapasitas 4 m
3
dengan harga beli sebesar Rp.60.000.
4.2 Pulau Dullah 4.2.1 Keadaan Sosial Budaya Masyarakat
Dalam perspektif stratifikasi sosial budaya, masyarakat pesisir bukanlah masyarakat yang homogen. Masyarakat pesisir terbentuk oleh kelompok-
kelompok sosial yang beragam. Karena masyarakat nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir, maka budaya yang
mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum. Kehidupan masyarakat yang banyak berkaitan
dengan lokasi geografis menjadikan masyarakat Kota Tual termasuk masyarakat yang mendiami Pulau Dullah sebagai masyarakat bahari dengan segala aktifitas
ekonominya yang berbasis pada sumberdaya laut. Karakteristik budaya masyarakat Kota Tual cukup majemuk dan dapat
digolongkan berdasarkan basis geografis dan kulturalnya dialek bahasa. Penduduk setempat memahami hidupnya berdasarkan kesadaran bahwa mereka
memiliki hubungan kekeluargaan yang sama atau berasal dari satu nenek moyang sehingga karakter tersebut kemudian ditransformasikan kedalam kehidupan sosial
masyarakat mereka seperti pranata gotong royong yang dikenal dengan budaya “maren” yaitu tradisi tolong-menolong antara satu dengan yang lain misalnya
81
dalam mendirikan rumah, memagar kebun, hajatan, pekerjaan-pekerjaan lainnya yang berhubungan dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti
dibidang perikanan, pertanian, dan lain-lain. Ketergantungan masyarakat pada alam, terutama pada sektor perikanan dan
pertanian menjadikan budaya mereka mempunyai konstruksi yang terasa alamiah. Konstruksi adat yang naturalistik ini bisa dilihat dari kuatnya nilai adat pantangan,
keseimbangan tindakan pada alam, kemampuan membaca tanda-tanda alam dan kelebihan-kelebihan supranatural lainnya dalam kultur masyarakat Kei. Perilaku
khas bagi masyarakat Kei adalah citra diri orang laut. Hal ini ditandai dengan mobilitas yang tinggi, sikap terbuka, dan penghargaan pada kaidah-kaidah hidup
nenek moyang, terutama yang menyangkut bagaimana seharusnya mengelola sumberdaya alam.
Karena adanya struktur nilai yang berhirarki supranaturalistik dan terlembagakan sedemikian rupa maka masyarakat Kota Tual juga memiliki
pantangan-pantangan hidup. Salah satu budaya yang merupakan bentuk kearifan lokal yaitu Sasi atau Hawear yang dikenal masyarakat sebagai tradisi dalam
mengatur waktu pemanfaatan sumberdaya alam. Saat ini budaya-budaya tersebut telah banyak mengalami pergeseran. Sasi Darat dan Sasi Laut lambat laun mulai
ditinggalkan. Kondisi ini memberikan isyarat bahwa Sasi sebagai tradisi warisan dalam praktek pengelolaan sumberdaya alam perlu mendapat perhatian serius dari
masyarakat dan pemerintah di masing-masing Desa, karena tujuan pelaksanaan Sasi adalah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana dan
berkelanjutan.
4.2.2 Hak Masyarakat Adat dalam Dimensi Legislasi Nasional dan Daerah
Pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya termasuk masyarakat adat Kei di Pulau Dullah
telah mendapatkan tempat yang istimewa dalam dinamika pembangunan hukum di Indonesia. Hal ini termanifestasi dalam beberapa aturan formal dilevel
konstitusi diantaranya: 1. Undang-Undang Dasar 1945.
a. Pasal 18B Ayat 2 Amandemen Kedua, menyatakan bahwa: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
82
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. b. Pasal 28I UUD 1945 Amandemen Kedua, ditegaskan bahwa: Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
2. Tap MPR Nomor XVIIMPR1998 Tantang Hak Asasi Manusia. Pasal 41 menyebutkan: Identitas budaya masyarakat tradisional termasuk hak-
hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Ketetapan ini menegaskan bahwa pengakuan dan perlindungan kepada
masyarakat hukum adat merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Pada level Undang-Undang, telah ditetapkan berbagai produk hukum yang memberikan posisi istemewa dan strategis bagi eksistensi masyarakat adat dan
hak-hak tradisionalnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut termasuk ekosistem hutan mangrove. Produk Undang-Undang tersebut antara lain:
1. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Jo UU No. 19 tahun 2004 Tentang
Kehutanan Pasal 67 ayat 1 dinyatakan bahwa: Masyarakat hukum adat sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak atas:
.
a. Pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang.
2. Dalam Pasal 2 Ayat 9 disebutkan bahwa: Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip NKRI.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
3. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
83
a. Pasal 5 disebutkan bahwa:
b. Pasal 6, dinyatakan bahwa: Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaiman dimaksud Pasal 5 wajib melakukan dengan cara
mengintegrasikan kegiatan : Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
a. Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. Antar-Pemerintah Daerah;
c. Antar sektor; d. Antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat;
e. Antara ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan f. Antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.
Selain itu pada konteks lokal, Pemerintah Provinsi Maluku sebagai sikap responsif terhadap implementasi Peraturan Perundang-Undangan Nasional
maupun menjawab dinamika dan kebutuhan lokal dalam koridor otonomi daerah, menetapkan berbagai Peraturan Daerah sebagai ekspresi terhadap pengakuan,
perlindungan, dan penghormatan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Hal ini dilatari oleh realitas keberadaan masyarakat adat
dan susunan pemerintahannya yang masih hidup dan tumbuh dalam dinamika kehidupan pembangunan di daerah termasuk di Pulau Dullah - Kota Tual -
Provinsi Maluku. Adapun berbagai produk hukum tersebut diantaranya: 1. Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan
Kembali Negeri sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku.
2. Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 3 Tahun 2008 tentang Wilayah Petuanan.
Berbagai produk hukum peraturan perundang-undangan baik pada level Konstitusi, Undang-Undang, maupun Peraturan Daerah yang dikemukakan di atas
84
memberikan penjelasan bahwa secara makro eksistensi masyarakat adat dan hak-hak tradisonalnya termasuk di dalamnya pengelolaan terhadap wilayah pesisir
dan laut di Maluku secara normatif diakui, dihormati, dan dilindungi oleh hukum positif di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah.
4.2.3 Isu-Isu Kerusakan Lingkungan
Dengan adanya pemekaran wilayah Kota Tual maka pertumbuhan penduduk akan semakin tinggi dan kegiatan pembangunan di pesisir akan semakin
pesat, dengan demikian tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya akan semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya akan
memberikan dampak seperti terjadinya kerusakan lingkungan yang akan mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan
laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Isu-isu yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di Pulau Dullah antara lain:
Penambangan Pasir Pantai Pengrusakan hutan bakau mangrove
Pengrusakan Karang Pembuangan sampah ke laut
Tumpahan minyak di laut Pembuangan air balast kapal
Diantara ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut yang ada di Pulau Dullah, yang saat ini mulai berada dalam kondisi memprihatinkan adalah
ekosistem pantai berpasir, mangrove, dan terumbu karang. Oleh karena itu agar ekosistem dan sumberdaya ini dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan,
maka diperlukan upaya-upaya perlindungan dari berbagai ancaman degradasi yang ditimbulkan dari berbagai aktivitas pemanfaatan baik secara langsung
maupun secara tidak langsung. Salah satu upaya perlindungan yang dapat dilakukan adalah dengan menjadikan kawasan-kawasan tertentu di wilayah pesisir
dan laut sebagai kawasan konservasi yang antara lain bertujuan untuk melindungi ekosistem, sumberdaya, dan habitat-habitat kritis; mempertahankan dan
meningkatkan kualitas sumberdaya; melindungi keanekaragaman hayati; dan melindungi proses-proses ekologi yang terjadi didalamnya.
85
4.3 Teluk Un 4.3.1 Status dan Sejarah Kawasan Teluk Un
Teluk Un adalah merupakan perairan semi tertutup yang berada di dalam petuanan Desa Taar dengan posisi geografis 132
o
45`26`` - 132
o
45`44`` BT dan 5
o
38`18`` - 5
o
Pemanfaatan potensi sumberdaya laut teluk ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Apalagi karena berada dalam pusat pengembangan Kota Tual
maka dikhawatirkan dimasa datang akan terjadi tekanan eksploitasi maupun tekanan lingkungan lainnya terhadap sumberdaya teluk ini bersamaan dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk sebagai konsekuensi pengembangan Kota Tual. Teluk ini merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional dan
lokasi budidaya. Untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya yang ada, maka sejak tahun 2003 telah disepakati sistim penutupan areal perairan moratorium
bagi eksploitasi segala jenis biota di dalam teluk ini oleh masyarakat Desa Taar. Pranata sosial budaya ini disebut dengan istilah Sasi atau yang dalam bahasa lokal
disebut Yutut dan dikenal sebagai salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat yang ada disana. Praktek pelaksanaan sasi seperti ini sudah dilaksanakan berkali-
kali di Teluk Un oleh masyarakat desa Taar sebagai pemilik adat teluk tersebut. 38`40`` LS dan membujur dari Timur laut ke Barat daya. Teluk ini
berjarak kurang lebih 2 km dari pusat kota. Teluk Un memiliki kanal sepanjang kurang lebih 100 m dengan lebar 52 m yang menghubungkannya dengan Teluk
Vid Bangir di bagian Barat daya Teluk Un. Potensi sumberdaya hayati laut Teluk Un banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Taar dan penduduk lain yang tinggal
berdekatan dengan teluk tersebut. Teluk ini dikenal sebagai ladang ikan beronang Siganus sp, kepiting rajungan Portunus pelagicus, dan berbagai jenis moluska
seperti teripang Holothuria sp, tiram Saccostrea cucullata dan Saccostrea echinata
yang telah lama dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan protein masyarakat.
4.3.2 Kondisi Lingkungan
a. Kondisi Fisik Pulau Dullah merupakan dataran yang relatif landai dengan ketinggian
±100 meter diatas permukaan laut dengan beberapa bukit rendah di tengah pulau Dullah. Kemiringan lereng di pulau Dullah secara umum berkisar antara 0 - 8
86
dan 8 - 15. Desa-desa pada umumnya berada pada wilayah dengan ketinggian antara 0 - 100 meter diatas permukaan laut. Topografi daratan di sekitar Teluk Un
sangat landai terutama daratan di bagian Timur teluk tersebut, terkecuali bagian barat pulau Kalvik yang berbukit-bukit dengan tingkat kemiringan lebih dari 40
yang terbentang dari Utara ke Selatan. Kemiringan topografi daratan bagian Barat laut Teluk Un lebih besar dari 1 terhitung dari batas pasang tertinggi.
Untuk lingkungan perairan, batimetri dasar perairan Teluk Un sangat datar terutama pada bentangan Utara-Selatan. Kemiringan rata-rata dasar perairan Teluk
Un termasuk dataran pasang surut adalah sebesar 0,12. Persentase kemiringan dasar perairan ini tergolong sangat landai menuju kedalaman terbesar di bagian
Selatan teluk tersebut yaitu berdekatan dengan ujung Timur kanal teluk tersebut. Kedalaman terbesar teluk ini adalah 12 meter pada saat surut terendah Z
o
atau akan mencapai 14,60 meter pada saat pasang tertinggi karena tunggang pasut
tidal range perairan kepulauan Kei adalah ±2,60 meter. Bentuk batimetri dataran pasang surut Teluk Un seperti ditunjukan pada Gambar 9.
Gambar 3 .
Topografi rata-rata dasar perairan Un diukur terhadap batas pasang tertinggi sebagai referensi.
Jarak dari batas pasang tertinggi m
20 40
60 80
100
K et
inggi an
dar i
pas ang
ter ti
nggi m
0.0 0.1
0.2 0.3
0.4 0.5
0.6 0.7
Gambar 9 Batimetri rata-rata dasar perairan Teluk Un diukur terhadap batas pasang tertinggi.
Sumber: Laporan Hasil Identifikasi Calon KKLD Maluku Tahun 2006.
87
Gambar 9 memperlihatkan bahwa dari garis pantai hingga jarak 20 meter ke arah bagian tengah Teluk Un kedalaman perairan bertambah secara perlahan-
lahan, pada jarak 20 hingga 60 m hampir tidak ada penambahan kedalaman datar, kemudian pada jarak 60 hingga 80 m kedalaman berkurang makin
dangkal dan setelah 80 m kedalaman makin bertambah secara perlahan-lahan menuju bagian Selatan teluk tersebut
.
Iklim di sekitar kawasan Teluk Un dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia, juga dibayangi oleh Pulau Irian di bagian Timur
dan Benua Australia di bagian Selatan, sehingga sewaktu-waktu dapat terjadi perubahan iklim. Keadaan musim teratur, musim Timur kemarau berlangsung
dari bulan April sampai Oktober, sedangkan musim Barat penghujan berlangsung dari bulan Oktober sampai Pebruari. Musim Pancaroba berlangsung
dalam bulan MaretApril peralihan pertama dan OktoberNopember peralihan kedua. Biasanya pada bulan April sampai Oktober bertiup angin Timur Tenggara.
Angin kencang bertiup pada bulan Januari dan Pebruari diikuti dengan hujan deras dan laut bergelora. Curah Hujan antara 2.000 – 3.000 mmtahun, suhu rata-rata
untuk tahun 2007 sesuai data dari Stasiun Meteorologi Dumatubun - Langgur adalah 27,7ºC dengan suhu minimum 21,3ºC dan maksimum 33,6ºC. Kelembaban
rata-rata 83,1, penyinaran matahari rata-rata 62,2 dan tekanan udara rata-rata 1.010,1 milibar.
Untuk lingkungan pantai dan perairan, kisaran ukuran partikel substrat perairan Teluk Un terdiri dari pebbles hingga lempung. Lebar dataran pasut dapat
mencapai lebih dari 200 meter dan memiliki dasar perairan yang sangat landai. Karena kondisi dasar perairannya yang landai dan kisaran pasut wilayah ini yang
tergolong dalam mesotidal 2,50 meter menyebabkan saat surut sebagian besar perairan ini mengalami kekeringan. Kecuali di areal sekitar kanal dan kanal itu
sendiri yang tidak memiliki mintakad pasang surut karena relatif lebih dalam. Teluk Un berhubungan dengan Teluk Vid Bangir melalui kanal tersebut.
Batuan penyusun pantai kawasan Teluk Un umumnya terdiri dari terumbu karang dan batuan kapur. Pada ujung Utara teluk ini terdapat sumber air tanah
yang merembes ke dalam teluk tersebut. Substrat lumpur di teluk ini umumnya berasosiasi dengan ekosistem bakau, sehingga kandungan lumpur ini umumnya
88
terdiri dari serasah daun mangrove. Perairan teluk ini relatif belum tercemar walaupun jumlah pemukiman di sekitar teluk tersebut semakin meningkat.
Kepekaan teluk ini terhadap pencemaran relatif kecil karena memiliki waktu menetap massa air yang singkat yaitu kurang lebih 9 jam. Hal ini disebabkan
karena kondisi perairan yang sempit dan dangkal dengan kecepatan arus di kanal yang umumnya mencapai 0,5 mdetik Renjaan dan Pattisamalo 1999.
b. Kondisi Oseanografi Arus dominan di Teluk Un adalah arus pasang surut, dari hasil pengukuran
arus secara tertambat eularian berdasarkan laju disolusi kapur tulis pada bulan Oktober dan November 1997 diketahui bahwa bahwa kecepatan arus di dalam
Teluk Un baik di dalam maupun di luar areal padang lamun memiliki kisaran antara 0,35 - 1,12 mdetik. Pada saat air bergerak pasang kecepatan arus rata-rata
adalah 0,31 mdetik sedangkan pada saat surut adalah 0,24 mdetik. Kehadiran padang lamun dapat mereduksi kecepatan arus sebesar 0,002 – 0,025 mdetik
Polanunu 1998. Hal ini menunjukkan bahwa zonasi di belakang padang lamun relatif kurang dinamis dibandingkan di depannya, hal ini tentu akan berpengaruh
terhadap suplai oksigen, makanan, maupun proses remineralisasi sedimen. Kecepatan rata-rata arus pada kanal menunjukan kondisi yang sama yaitu
pada saat pasang kecepatan rata-rata adalah 0,54 mdetik sedangkan pada saat surut kecepatan rata-ratanya adalah 0,51 mdetik Renjaan dan Pattisamalo 1999.
Karena tipe pasang surut perairan ini adalah pasang campuran mirip harian ganda maka arus pasang surut pada suatu titik di Teluk Un akan berubah arah dan
kecepatannya sebanyak empat kali. Kecepatan arus pada kanal teluk ini sangat mempengaruhi cepat lambatnya pergantian massa air di dalam teluk tersebut,
hal ini berkaitan dengan kepekaan teluk tersebut terhadap polusi maupun dalam menentukan input dan output bibit propagule, misalnya larva biota laut yang
terbawa arus ke teluk tersebut. Renjaan dan Pattisamalo 1999 mengemukakan bahwa lama waktu menetap residence time atau lama waktu singgah transit
time massa air di teluk tersebut diperkirakan kurang dari 9 jam. Dalam kurun
waktu yang singkat ini Teluk Un dapat memperbaharui massa airnya maupun kondisi bio-ekologisnya.
89
Nilai salinitas sangat mempengaruhi sebaran fauna maupun flora pada suatu perairan teluk. Distribusi jenis mangrove tertentu atau distribusi kerang tertentu
sangat dipengaruhi oleh nilai kisaran salinitas. Misalnya Saccostrea echinata tidak mampu bertoleransi terhadap salinitas rendah, sebaliknya Saccostrea cucullata
mampu bertoleransi terhadap salinitas Tinggi. Hal ini menentukan keberadaan species-species ini di dalam teluk Un. Berdasarkan pengukurun secara terus
menerus selama 15 hari pada kanal teluk tersebut, maka diketahui bahwa nilai salinitas berkisar antara 31 - 35‰, dimana salinitas pada saat surut lebih rendah
dari salinitas pada saat pasang Renjaan dan Pattisamalo 1999. Sedangkan nilai salinitas yang dipantau selama sebulan Oktober - November 1999 di dalam
Teluk Un menunjukkan bahwa nilai salinitas berkisar antara 33 - 35‰. Pola angin di Pulau Dullah khususnya di sekitar Teluk Un pada umumnya
sama dengan di wilayah lain di Kepulauan Kei. Karena luas kawasan Teluk Un yang relatif kecil, maka angin tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap
permukaan laut di dalam teluk tersebut. Hasil pengukuran Polanunu 1998 menunjukan bahwa pada bulan Oktober dan Nopember musim peralihan II arah
angin umumnya datang dari Barat daya lokasi kanal. Disamping itu berdasarkan pengukuran menggunakan Anemometer pada ketinggian dua meter di atas
permukaan laut Teluk Un memperlihatkan bahwa kecepatan angin berkisar antara 0,3 - 4,7 knot. Kecepatan ini hanya mampu menimbulkan riak karena wilayah
pembentukan gelombang fetch dari teluk ini relatif sangat sempit. Tipe pasang surut di kawasan Teluk Un adalah pasang campuran mirip
harian ganda mixed predominantly semi-diurnal tide. Tipe pasang ini dicirikan dengan dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari dimana pasang pertama
lebih besar dari pada pasang yang kedua. Pasang tertinggi di perairan ini terjadi pada bulan April dan Desember. Hal ini bersamaan dengan musim pemijahan
cacing laor
Perinereis cultrifera
atau dalam bahasa setempat disebut Es’u. Oleh karena itu masyarakat setempat menyebutnya Metruat Es’u yang berarti
pasang laor cacing laut, sedangkan surut terendah terjadi pada bulan Oktober. Karena kondisi topografi Teluk Un yang sangat landai, maka sebagian besar
wilayah perairannya mengalami kekeringan. Pada saat itu terjadi eksploitasi pengumpulan berbagai hasil laut secara besar-besaran oleh masyarakat setempat.
90
Surut terbesar di bulan Oktober itu dikenal sebagai Meti Kei atau dalam bahasa setempat disebut Met Ef yang umumnya bersamaan dengan musim kemarau dan
suhu udara yang relatif tinggi. Berdasarkan pengukuran suhu permukaan di kanal Teluk Un secara terus-
menerus selama 15 hari pada bulan Oktober - Nopember 1997, dengan interval waktu pengukuran tiap 30 menit, diketahui bahwa suhu permukaan massa air
yang masuk inflow dan yang keluar outflow dari Teluk Un berkisar antara 27 - 33°C. Suhu rata-rata inflow adalah 27,5
o
C sedangkan suhu rata-rata outflow adalah 27,7
o
C Renjaan dan Pattisamalo 1999. Sedangkan suhu rata-rata di dalam teluk tersebut berdasarkan pengukuran selama sebulan adalah berkisar
antara 29 - 31
o
c. Kondisi Biologis C. Tingginya suhu air laut di dalam teluk dan yang ditransport dari
bagian dalam teluk, dibandingkan dengan suhu air laut yang ditransport dari luar Teluk Un, diduga berhubungan dengan kondisi batimetri Teluk Un yang dangkal
dan relatif sempit, sehingga proses pemanasan tubuh air di bagian dalam teluk relatif lebih cepat di bandingkan dengan bagian luar teluk yang relatif lebih dalam.
Flora dan fauna darat di sekitar kawasan Teluk Un diantaranya adalah tumbuhan Nipah Nypa fruticans yang tumbuh di bagian darat ekosistem
mangrove. Pada bagian Utara tumbuhan pantai tersebut tumbuh pohon jenis Ketapang Terminalia catapa, Waru laut Hibiscus tiliaceus, lebih jauh ke darat
tumbuh Pandan darat Pandanus tectorius. Terdapat pula Cemara darat Casuaria equisetifolia, demikian pula berbagai jenis tumbuhan anggrek
Dendrobium sp yang mendiami batang dan dahan mangrove. Pepohonan tersebut juga menjadi habitat bagi berbagai jenis burung seperti Kakatua Cacatua
sp dan Nuri Lorius sp. Kakatua Tanimbar Cacatua gofini merupakan jenis
endemik yang hanya ada di Kepulauan Yamdena dan Kepulauan Kei, serta Kakatua Cacatua galerita eleonora yang juga merupakan jenis endemik
kepulauan Kei Kecil, Aru dan Seram Timur, kedua jenis kakatua ini dilindungi Undang-Undang dan terdaftar sebagai species langka dalam CITES Convention
on International Trade in Endangered Species . Pada pepohonan dengan kanopi
yang besar dan lebat, hidup berbagai jenis Kuskus antara lain seperti Kuskus
91
coklat biasa Phalanger orientalis, Kuskus kelabu Phalanger gymnotis, dan Kuskus totol hitam Phalanger rufoniger.
Untuk flora dan fauna laut, mangrove dan lamun mendominasi kawasan perairan Teluk Un, sedangkan karang hanya terdapat pada ujung timur kanal kanal
tersebut. Mangrove mengitari hampir keseluruhan teluk, demikian pula lamun yang hampir menutupi 50 dasar perairan teluk tersebut. Mangrove, lamun dan
karang merupakan ekosistem produktif perairan tropis, kehadiran ketiga ekosistem ini menopang keberlanjutan ekosistem perairan karena merupakan habitat bagi
berbagai fauna, yakni sebagai daerah pemijahan spawning ground, daerah asuhan nursery ground dan daerah mencari makan feeding ground bagi
berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Mangrove sendiri memasok unsur hara ke dalam perairan karena serasah mangrove dirombak oleh bakteri dan fungi
menjadi zat hara nutrien terlarut yang dapat dimanfaatkan fitoplankton, alga ataupun mangrove itu sendiri dalam fotosintesis, sebagiannya sebagai partikel
serasah detritus yang dimakan oleh ikan, kepiting, dan udang. Selain mangrove, lamun, dan karang, pada kawasan perairan Teluk Un juga dijumpai makrofauna
yang terdiri dari kelompok Moluska, Ekinodermata, Arthropoda, Annelida, dan beberapa spesies dari kelompok lainnya. Hasil sampling dari 10 transek
pengamatan seperti ditunjukan pada Tabel 15. Dari Tabel 16 diketahui bahwa Bronia sp dari kelas Annelida merupakan
jumlah terpadat yakni 1,55 indm
2
diikuti oleh Eunice sp dari kelas yang sama dengan tingkat kepadatan 1,42 indm
2
, kemudian Pitar manilae dari kelas Molluska dengan tingkat kepadatan sebesar 1,42 indm
2
, sedangkan Owenia sp dari kelas Annelida merupakan jenis dengan jumlah paling jarang yakni 0,06
indm
2
. Disamping itu, keberadaan plankton juga tidak dapat diabaikan. Dalam struktur tropik, phytoplankton merupakan kelompok organisme yang berada pada
struktur dasar atau produksi primer di dalam rantai makanan di laut. Dari hasil analisis terhadap populasi plankton terlihat bahwa kondisi plankton cukup baik
dengan tingkat kestabilan komunitas berada pada kondisi sedang. Zooplankton merupakan spesies yang pada struktur tropik rantai makanan berada pada
tingkatan kedua. Berdasarkan tingkat kepadatan, populasi zooplankton lebih rendah dibandingkan dengan populasi phytoplankton.
92
Tabel 15 Kelas dan spesies makrofauna di Teluk Un
No. KelasSpesies Kepadatan
indm
2
MOLUSKA
1 Abra sp.
0,26 2
Donax variagatus 0,34
3 D. vittatus
1,32 4
D. compresus 0,56
5 Perna viridis
0,18 6
Pitar manilae 1,42
7 Rhinoclavis vertagus
0,72 8
Tellina radiate 2,80
9 Terebellum terebellum
0,22 EKINODERMATA
1 Amphiura sp.
0,42 2
Dendraster excentrias 0,38
3 Holothuria atra
0,18 4
Protoreaster nodosus 0,44
5 Synapta recta
0,22 ARTHROPODA
1 Macropthalmus sp.
0,24 2
M. ceratophorus 0,32
3 Penaeus sp.
1,34 ANNELIDA
1 Autolytus sp.
0,56 2
Axiotella sp. 1,12
4 Bronia sp.
1,55 5
Capitella sp. 1,12
6 Eunice sp.
1,52 7
Nereis sp. 0,80
8 Owenia sp.
0,06 9
Polynea sp. 0,86
KELOMPOK LAIN
1 Aspidosiphon sp.
0,22 2
Sipunculus sp. 0,42
3 Plumularia sp.
0,30 Sumber: Laporan Hasil Identifikasi Calon KKLD Maluku Tahun 2006.
Hasil sampling larva selama 15 hari berturut-turut yang dilakukan dengan interval waktu sampling 30 menit selama bulan Oktober - November 1997 di kanal Teluk
Un Renjaan dan Pattisamallo 1999 seperti ditunjukan pada Tabel 16.
93
Tabel 16 Plankton yang terbawa arus pasut dari dan ke Teluk Un
Arah arus Klas
Ordo Genus
Arus masuk inflow ke Teluk Un saat pasang
Gastropods Heteropod
Atlanta Pteropod
Limacina Archeogastropod
Nerita Bivalvia
Un-identified Un-identifed
Arus keluar outflow dari Teluk Un saat surut
Gastropods Heteropod
Atlanta Pteropod
Limacina Peraclis
Diacria Creseis
Archeogastropod Nerita
Bivalvia Un-identified
Un-identified Sumber: Laporan Hasil Identifikasi Calon KKLD Maluku Tahun 2006.
Dari hasil sampling tersebut diketahui bahwa jumlah jenis plankton yang terbawa oleh arus dari dalam ke luar Teluk Un lebih banyak bila dibandingkan
dengan yang terbawa oleh arus dari luar ke dalam Teluk Un. Tercatat 3 jenis plankton holoplankton yang hanya didapatkan terbawa oleh arus dari dalam
laguna ke luar laguna, hal ini mengindikasikan bahwa Teluk Un pada saat itu merupakan wilayah sumber source bagi ketiga jenis plankton tersebut. Demikian
pula bahwa jumlah kepadatan plankton untuk setiap jenis yang terbawa oleh arus surut dari dalam Teluk Un lebih banyak dari yang terbawa oleh arus pasang dari
luar teluk tersebut. d. Kondisi Kimia Perairan
Salah satu indikator yang dijadikan tolok ukur dalam menilai kualitas perairan adalah pengamatan parameter kimia perairan. Dari hasil analisis terlihat
bahwa kualitas perairan di sekitar perairan Kei Kecil dan Pulau Dullah berada dalam kondisi yang relatif baik dan tidak mengalami perubahan akibat masukan
bahan-bahan kimia dan logam berat ke lingkungan perairan, sehingga dapat digunakan untuk kegiatan budidaya laut. Namun di beberapa tempat perairan Kei
Kecil telah terjadi kelebihan kandungan logam cadmium yang melebihi ambang batas yang diperbolehkan dalam badan air. Tingginya kandungan logam cadmium
94
ini banyak disebabkan oleh buangan limbah dari kegiatan penduduk disekitar perairan dan aktivitas lainnya di sekitar pelabuhan Tual. Kondisi kimia perairan
di sekitar perairan Kei Kecil dan Pulau Dullah seperti ditunjukan pada Tabel 17. Tabel 17 Nilai parameter kimia air laut di sekitar perairan Kei Kecil dan
Pulau Dullah
No Parameter
Satuan Nilai
1 PH
- 7,71
2 DO
mgl 6,912
3 Sulfida H
2
mgl S
0,01 4
COD mgl
20,45 5
Amonia NH
3
mgl -N
0,007 6
Nitrat NO3-N mgl
0,015 7
Nitrit NO2-N mgl
0,006 8
Sianida CN mgl
0,01 9
Phosfat mgl
0,002 10 Raksa Hg
mgl 0,001
11 Kadmium Cd mgl
0,041 12 Timah Hitam Pb
mgl 0,006
13 Tembaga Cu mgl
0,017
Sumber : Data Spasial Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Tahun 2003.
4.3.3 Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut
a. Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini
umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat.
Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung seperti halnya di
perairan Teluk Un dan Vid Bangir. Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki
beberapa fungsi ekologis penting yaitu sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang
95
diangkut oleh aliran air permukaan; sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok; sebagai
daerah asuhan nursery ground, daerah mencari makan feeding ground dan daerah pemijahan spawning ground berbagai macam biota perairan seperti ikan,
udang dan kekerangan, baik yang hidup di perairan pantai maupun di laut lepas. Ditemukan 3 jenis mangrove yang tumbuh disekitar perairan Teluk Un
yakni Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorhiza, dan Soneratia alba, serta 5 jenis mangrove yang tumbuh disekitar perairan Teluk Vid Bangir, yakni
Aegiceras corniculatum, Rhizophora apiculata, Avicenia rumpiana , Soneratia
alba, dan Xylocarpus granatum. Khusus yang tumbuh di sekitar perairan Teluk
Vid Bangir, sebagian ekosistem ini telah terdegradasi akibat pembangunan jalan namun masih berpeluang untuk ditanami kembali, hal ini ditunjang oleh
kestabilan sedimen berlumpur karena jauh dari pengaruh langsung faktor fisik seperti ombak dan gelombang karena posisinya yang terlindung.
Luas keseluruhan ekosistem mangrove di kawasan ini adalah 153,58 ha dengan kerapatan 300 pohonha, persen penutupannya adalah sebesar 35,
tumbuh diperairan dengan suhu 29 - 32
o
b. Lamun C, salinitas 30 - 33‰, dengan dasar
perairan berlumpur, pasir halus dan patahan karang. Suksesi ekosistem ini cenderung masih berlangsung, hal ini terindikasi dengan adanya kehadiran anakan
mangrove yang tumbuh dan berkembang di kawasan perairan Teluk Un dan Vid Bangir. Kondisi ini diharapkan dapat mengimbangi ekosistem mangrove yang
telah terdegradasi akibat pembangunan jalan yang melalui sebagian ekosistem ini.
Lamun seagrass
merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga Angiospermae
yang memiliki rhyzoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam dalam laut. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di
dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi
penting bagi wilayah pesisir dan laut yaitu produsen detritus dan zat hara; mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran
yang padat dan saling menyilang; sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati
96
masa dewasanya dilingkugan ini; serta sebagai tudung pelindung yang melindungi padang lamun dari sengatan matahari. Lamun hidup diperairan dangkal dan jernih
pada kedalaman berkisar antara 2 - 12 meter dengan sirkulasi air yang baik seperti halnya di perairan Teluk Un dan Vid Bangir.
Ditemukan 2 spesies lamun yang tumbuh disekitar perairan Teluk Un yakni Enhalus accroides
dan Halodule pinivolia, serta 3 spesies lamun yang tumbuh di sekitar perairan Teluk Vid Bangir yaitu Enhalus accroides, Thallasia hemprichii
dan Halophila ovalis. Khusus yang tumbuh di sekitar peraitan Teluk Vid Bangir, spesies Thallasia hemprichii mendominasi hampir sebagian besar perairan ini
karena memilki frekuensi kehadiran terbanyak pada setiap kuadran, setelah itu diikuti oleh jenis Halophila ovalis dan Enhalus accroides. Luas keseluruhan
ekosistem lamun di kawasan ini adalah 55,14 ha dengan persen penutupan sebesar 61,20, tumbuh diperairan dengan suhu 29 - 32
o
c. Karang C, salinitas 30 - 33‰,
dengan dasar perairan pasir halus. Di dalam padang lamun ini umumnya dijumpai berbagai krustasea, moluska, ekinodermata dan ikan.
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas yang terdapat di wilayah pesisir dan laut daerah tropis. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-
endapan masif kalsium karbonat CaCO
3
yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu karang hermatipik dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia
yang hidup bersimbiosis dengan Zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat. Secara ekologis
terumbu karang mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut yaitu sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal
dari laut; sebagai habitat atau tempat tinggal, daerah mencari makan feeding ground,
daerah asuhan nursery ground, dan daerah pemijahan spawning ground
bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya. Terumbu karang ditemukan diperairan dangkal dan jernih di daerah tropis dengan
suhu perairan rata-rata tahunan 18
o
C perairan yang cerah pada kedalaman kurang dari 50 meter dengan sirkulasi air yang baik seperti halnya di perairan
Teluk Un dan Vid Bangir.
97
Karang di perairan Teluk Un hanya berupa beberapa koloni pada ujung Utara dan sepanjang kanal yang menghubungkannya dengan Teluk Vid Bangir.
Tipe terumbu karang di kawasan ini terutama di Teluk Vid Bangir adalah tergolong sebagai terumbu karang pantai fringing reef. Ditemukan 35 spesies
karang batu yang tergolong dalam 19 genera dan 10 famili, dengan spesies dominan adalah Porites lutea. Substrat dasar perairan di bagian tubir Teluk
Vid Bangir didominasi oleh komponen biotik yang memiliki persen penutupan sebesar 53,4 dan didominasi oleh karang keras. Sedangkan komponen abiotik
terdiri dari pasir dan patahan karang mati gravel. Luas keseluruhan ekosistem terumbu karang di kawasan ini adalah 62,78 ha
dengan persen penutupan sebesar 47,4 dan tergolong dalam kondisi kurang baik. Pada areal pengamatan selebar 2,5 m pada sisi kiri dan kanan garis transek,
juga dijumpai berbagai biota laut lainnya seperti jenis-jenis ikan karang baik dari kelompok ikan mayor, ikan indikator, maupun ikan target; moluska Tridacna
spp ; alga; dan ekinodermata teripang. Disamping itu dijumpai juga adanya
bekas-bekas kerusakan terumbu karena penggunaan bahan peledak bom. Hasil sensus ikan karang memperlihatkan bahwa jenis-jenis ikan karang yang
hidupnya secara bergerombol dari famili Caesionidae dijumpai dalam jumlah yang cukup besar.
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Rancang bangun pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi ini bertujuan untuk mendesain aspek pengelolaan ekosistem dan
sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang ada di Pulau Dullah, khususnya di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan cara mengintegrasikan
kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan wisata bahari dalam satu model pengelolaan terpadu, sekaligus juga mengkaji keterpaduan ekologi-
ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut tersebut dengan pendekatan konservasi. Untuk dapat menjawab tujuan dimaksud maka rancang
bangun ini dimulai dengan menganalisis potensi perikanan dan pariwisata serta ekosistem dan sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang mendukungnya
melalui analisis kesesuaian lahan; analisis skala prioritas pemanfaatan ruang; dan analisis daya dukung lingkungan dengan menggunakan alokasi ruang
spatial sebagai variabel konservasi terhadap kondisi fisik Pulau Dullah, kemudian menghitung nilai ekonomi sumberdaya melalui valuasi ekonomi dan
analisis manfaat-biaya dengan menggunakan alokasi waktu temporal sebagai variabel konservasi non fisik. Tahapan selanjutnya adalah mendesain model
pengelolaannya.
5.1 Analisis Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Bahari Berbasis Konservasi
Pengelolaan pada hakekatnya adalah mengatur perilaku para pengguna ekosistem dan sumberdaya alam. Ekosistem dan sumberdaya alam yang dimaksud
dalam konteks ini adalah ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan lautan termasuk di dalamnya adalah ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang dan
sumberdaya perikanan, karena ekosistem dan sumberdaya alam ini paling banyak mendapat tekanan sehingga perlu diselamatkan dari kerusakan. Pengelolaan juga
dimaksud untuk menata kembali pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya alam tersebut sesuai peruntukannya berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan dan
daya dukung lingkungan dengan tetap mengakomodir berbagai kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat yang ada di sekitar kawasan tersebut misalnya
dalam bentuk ekowisata bahari, minawisata bahari dan lain-lain.
100
Ekowisata bahari merupakan kegiatan rekreasi yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan lingkungan perairan laut yang dilakukan di sekitar pantai
dan lepas pantai, antara lain seperti berenang; berjemur; diving; snorkeling; dan tracking di hutan mangrove. Selain memanfaatkan potensi sumberdaya
pesisir dan lautan, kegiatan ekowisata bahari juga terkait dengan pemanfaatan potensi sumberdaya manusia yang dimiliki melalui nilai-nilai adat istiadat dan
budaya setempat Dodds 2007. Sementara minawisata bahari merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya perikanan dan wisata bahari secara terintegrasi dengan
tujuan untuk meningkatkan nilai ekonomi dari sumberdaya tersebut.
5.1.1 Kesesuaian Pemanfaatan Ruang untuk Masing-Masing Aktivitas a. Minawisata Bahari Pancing
Pada dasarnya, memancing ikan dapat dibedakan dalam 2 kategori yaitu memancing ikan dalam konteks berproduksi, dan memancing ikan dalam konteks
berwisata. Dalam konteks berproduksi, memancing ikan adalah aktivitas nelayan menangkap ikan dimana hasil pancingannya kemudian dijual untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan dalam konteks berwisata, memancing ikan merupakan aktivitas wisatawan menangkap ikan dimana hasil pancingannya
diutamakan untuk mencapai kepuasan selama berwisata. Hasil pancingan dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga, atau bisa juga dibawa pulang ke
rumah untuk dinikmati bersama keluarga. Dengan dasar pemikiran tersebut maka aktivitas perikanan dan pariwisata ini dapat dipadukan dan dikemas dalam bentuk
minawisata bahari, yaitu berwisata sambil memancing ikan. Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir merupakan daerah penangkapan
ikan bagi nelayan tradisional dan dikenal sebagai ladang ikan baronang siganus sp
dan juga jenis-jenis ikan target lainnya seperti ikan kerapu grouper dan ikan maming napoleon yang telah lama dimanfaatkan oleh penduduk Desa Taar dan
sekitarnya bagi pemenuhan kebutuhan protein. Pemanfaatan sumberdaya laut di teluk ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu, apalagi karena berada dalam
pusat pengembangan Kota Tual, maka dikhawatirkan dimasa datang akan terjadi tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya teluk ini bersamaan dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk sebagai konsekuensi pengembangan Kota Tual. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dicarikan suatu bentuk
101
pemanfaatan sumberdaya yang berbasis konservasi agar dapat mengurangi tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya yang ada. Hal ini sesuai dengan salah
satu tujuan dari konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu untuk menjaga kelestarian ekosistem dan sumberdaya yang ada termasuk sumberdaya
ikan. Dengan pertimbangan tersebut maka minawisata bahari pancing adalah merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya yang berbasis konservasi
yang dapat dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing mempertimbangkan
8 parameter kesesuaian biofisik yaitu kelompok jenis ikan; kecepatan arus; tinggi gelombang; kecerahan perairan; suhu perairan; salinitas; kedalaman perairan;
serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari pancing seperti
ditunjukan pada Tabel 18.
Tabel 18 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing No
Kelas Kesesuaian Luasan ha
Luasan 1.
Sesuai S 169,22
58,52 2.
Sesuai Bersyarat SB 119,95
41,48 3.
Tidak Sesuai TS -
- Total
289,17 100,00 Tabel 18 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai S untuk minawisata
bahari pancing adalah sebesar 169,22 ha 58,52 dan yang sesuai bersyarat SB adalah sebesar 119,95 ha 41,48 dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk
Vid Bangir, sedangkan untuk kelas kesesuaian yang tidak sesuai TS tidak ditemukan dalam perairan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, hal ini
karena kondisi biofisik kawasan perairan ini memenuhi 8 parameter kesesuaian yang digunakan untuk analisis dan dari hasil ground check masing-masing
parameter tersebut berada dalam kisaran yang dipersyaratkan untuk kelas sesuai dan sesuai bersyarat.
Menurut Madduppa 2009 ikan dapat dikelompokkan berdasarkan perannya yaitu kelompok ikan target; kelompok ikan indikator; dan kelompok
ikan mayor. Kelompok ikan target adalah ikan-ikan yang mempunyai nilai
102
ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat, atau ikan-ikan yang merupakan target penangkapan ikan ekonomis penting antara lain Serranidae;
Lutjanidae; Lethrinidae; Acanthuridae; Mulidae; Siganidae; Labridae; dan Haemulidae. Kelompok ikan indikator adalah ikan-ikan yang menjadi parameter
terhadap kesehatan terumbu karang karena keberadaan ikan-ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang antara lain Chaetodontidae; dan
Variegatus. Sedangkan kelompok ikan mayor adalah ikan-ikan yang berperan secara umum dalam sistem rantai makanan di daerah terumbu karang, biasanya
ditemukan dalam jumlah banyak dan seringkali dijadikan sebagai ikan hias air laut antara lain Pomacentridae; Pomachantidae; dan Apogonidae.
Dalam hubungannya dengan minawisata bahari pancing di kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, Polanunu 1998 menemukan bahwa arus
dominan di Teluk Un adalah arus pasang surut. Dari hasil pengukuran arus secara tertambat eularian pada bulan Oktober dan November 1997 diketahui bahwa
kecepatan arus di Teluk Un baik di dalam maupun di luar areal padang lamun memiliki kisaran antara 0,35 - 1,12 mdetik, dan kisaran kecepatan arus ini baik
untuk kehidupan ikan. Menurut Sugiarti 2000 tinggi gelombang merupakan salah satu parameter
yang harus diperhatikan dalam menentukan alokasi ruang untuk suatu peruntukan pemanfaatan sumberdaya laut, karena hal ini berkaitan dengan faktor keamanan
dan keselamatan nelayan atau wisatawan selama melakukan berbagai aktivitas di laut. Tinggi gelombang yang dipersyaratkan untuk aktivitas penangkapan ikan di
laut adalah kurang dari 1 meter. Dengan tinggi gelombang yang kurang dari 1 meter maka nelayan atau wisatawan akan berada dalam kondisi aman dari
hempasan gelombang perairan yang terjadi di lokasi tersebut. Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor yang cukup menentukan
keberadaan ikan, baik kelompok ikan target; ikan indikator; ataupun ikan mayor, karena keberadaan ikan-ikan tersebut erat hubungannya dengan kondisi kesehatan
dan kesuburan terumbu karang. Perairan yang cerah dan jernih sangat baik untuk pertumbuhan terumbu karang yang menjadi habitat dari berbagai jenis ikan dan
biota laut lainnya. Semakin sehat ekosistem terumbu karang di suatu lokasi maka
103
semakin banyak pula ikan dan organisme laut yang dapat kita temukan di lokasi tersebut.
Kecerahan perairan berbanding terbalik dengan kekeruhan. Pada perairan yang cerah jarak tembus pandang dalam kolom air semakin besar atau jauh, selain
itu kondisi perairan yang cerah baik untuk kehidupan ikan dan organisme laut lainnya. Dalam kenyataannya, banyak terdapat ikan dan organisme laut lainnya
yang hidup pada kondisi perairan yang cerah. Sebaliknya pada perairan yang keruh terdapat banyak partikel-partikel yang tersuspensi dalam kolom air sehingga
membuat jarak tembus pandang dalam kolom air semakin kecil atau dekat, selain itu kondisi perairan yang keruh tidak sehat bagi kehidupan ikan dan organisme
laut lainnya. Dalam hubungannya dengan minawisata bahari pancing, Sugiarti 2000 menjelaskan bahwa kegiatan pemancingan ikan biasanya dilakukan di
perairan dengan jarak tembus pandang dalam kolom air kecerahan kurang dari 10 meter, karena ikan-ikan yang menjadi target penangkapan biasanya banyak
terdapat di perairan dengan kondisi kecerahan seperti tersebut diatas. Menurut Nybakken 1988 dalam kondisi normal suhu dipermukaan laut
berkisar antara 25,6 - 32,3
o
C, disamping itu Mulyanto 1992 menjelaskan bahwa suhu perairan yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara
25 - 32
o
Selain parameter biofisik dan oseanografi perairan tersebut diatas, pengembangan minawisata bahari pancing di suatu lokasi tertentu perlu
mempertimbangkan jarak lokasi pengembangan dari alur pelayaran, kawasan budidaya dan kawasan lainnya seperti sentra pemukiman; perekonomian; aktivitas
pemerintahan; dan lain-lain. Idealnya jarak untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah lebih dari 500 meter, hal ini agar aktivitas minawisata bahari pancing yang
dikembangkan di lokasi tersebut tidak sampai mengganggu alur pelayaran. Demikian pula sebaliknya semua kegiatan masyarakat yang ada di sekitar
lokasi tersebut tidak sampai berpengaruh kepada aktivitas minawisata bahari C. Untuk salinitas, Nontji 2003 menjelaskan bahwa nilai salinitas di
lautan pada umumnya berkisar antara 33 - 37‰. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32 - 34‰ sedangkan untuk laut terbuka umumnya berkisar antara
33 - 37‰ dengan rata-rata adalah 35‰. Kisaran salinitas ini baik untuk kehidupan organisme laut khususnya ikan Romimohtarto dan Juwana 1999.
104
pancing yang dikembangkan di lokasi tersebut Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi.
Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S sesuai pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan
seperti kecepatan arus; tinggi gelombang; kecerahan perairan; suhu perairan; salinitas; dan jarak lokasi pengembangan dari alur pelayaran, kawasan budidaya
dan kawasan lainnya memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan perairan menjadi sesuai
bersyarat SB yaitu kedalaman perairan dan kelompok jenis ikan. Di beberapa bagian perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir kedalaman
perairan ditemukan berada pada kisaran kurang dari 2,5 meter. Dengan tunggang pasut lebih dari 2,5 meter maka pada saat surut terendah bagian perairan tersebut
akan kering sehingga yang tadinya sesuai kini menjadi tidak sesuai lagi untuk aktivitas pemancingan. Selain itu juga ada bagian perairan yang kedalamannya
berada pada kisaran lebih dari 10 meter. Jika dikaitkan dengan sasaran dari aktivitas minawisata bahari pancing hal ini juga akan menjadi faktor
pembatas, karena ikan-ikan yang menjadi target penangkapan adalah ikan-ikan ekonomis penting dari kelompok ikan pelagis dimana perairan yang sesuai untuk
aktivitas ini adalah perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter karena ikan- ikan yang menjadi target penangkapan biasanya hidup pada kedalaman tersebut.
Kelompok jenis ikan juga merupakan faktor pembatas lainnya. Ikan target yaitu ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh
masyarakat seperti dari family Serranidae; Lutjanidae; Lethrinidae; Acanthuridae; Mulidae; Siganidae; Labridae; dan Haemulidae Madduppa 2009 tidak tersebar
merata tetapi ditemukan terkonsentrasi pada lokasi tertentu dengan kondisi terumbu karang yang masih baik. Dengan faktor pembatas tersebut maka tidak
semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari pancing seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan
pada Gambar 10. Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan potensi dan
sumberdaya perikanan yang ada di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari pancing, maka perlu disiapkan sarana pendukung
105
Gambar 10 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing.
106
lainnya seperti dermaga kecil jetty; perahu boat; dan peralatan pancing. Dilokasi ini tersedia jetty milik masyarakat Desa Taar yang dapat dimanfaatkan
untuk aktivitas tersebut, sedangkan yang masih perlu dibenahi adalah penyediaan perahu berikut peralatan pancingnya.
b. Minawisata Bahari Pengumpulan Kerang Moluska
Di daerah Kepulauan Kei ada satu aktivitas masyarakat yang sudah berlangsung secara turun temurun yaitu pengumpulan biota laut dari jenis kerang
moluska untuk dikonsumsi oleh keluarga. Aktivitas ini sering dilakukan pada bulan Oktober karena biasanya pada bulan tersebut temperatur udara tertinggi
sepanjang tahun dan kekuatan angin sangat lemah sehingga kondisi laut sangat tenang, bersamaan dengan kondisi tersebut terjadi juga air surut terbesar yang
dikenal dengan Met Ef atau Meti Kei. Moluska adalah salah satu kelompok dari berbagai biota laut yang banyak
terdapat di daerah pasang surut intertidal. Daerah intertidal merupakan daerah pesisir yang paling banyak diminati dan dikunjungi baik untuk kegiatan penelitian
maupun untuk berwisata. Dengan melihat kebiasaan masyarakat tersebut dan didukung oleh kondisi fisik alam dan potensi sumberdaya yang tersedia maka
aktivitas masyarakat ini dapat dikembangkan dan dikemas dalam bentuk minawisata bahari yaitu berwisata sambil mengumpulkan dan menikmati
makanan laut sea-food dari jenis moluska. Pengumpulannya dilakukan sendiri oleh wisatawan dan selanjutnya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu
juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata, atau bisa juga dibawa pulang ke rumah untuk dinikmati bersama keluarga.
Minawisata bahari pengumpulan moluska dapat dikembangkan di kawasan ini karena kondisi topografi Kepulauan Kei khususnya kawasan perairan Teluk
Un dan Teluk Vid Bangir yang landai, kondisi ini mengakibatkan sebagian besar wilayah mintakad pasang surut pada kawasan tersebut mengalami kekeringan,
lebar dataran pasut dapat mencapai lebih dari 200 meter sehingga dapat dijadikan area pengumpulan moluska. Pemanfaatan potensi sumberdaya moluska di teluk
ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu, apalagi karena aktivitas ini telah berlangsung lama dan secara turun-temurun sehingga pengelolaannya perlu
diarahkan pada aktivitas yang berbasis konservasi.
107
Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan moluska mempertimbangkan 7 parameter biofisik yaitu jenis moluska; kelimpahan;
lebar dataran pasut; tipe substrat pantai; kemiringan pantai; suhu perairan; dan salinitas. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan
untuk minawisata bahari pengumpulan moluska seperti ditunjukan pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan
moluska
No Kelas Kesesuaian
Luasan ha Luasan
1. Sesuai S
107,23 37,08
2. Sesuai Bersyarat SB
69,15 23,92
3. Tidak Sesuai TS
112,79 39,00
Total 289,17
100,00 Tabel 19 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai S untuk minawisata
bahari pengumpulan moluska adalah sebesar 107,23 ha 37,08, yang sesuai bersyarat SB adalah sebesar 69,15 ha 23,92, sedangkan yang tidak sesuai
TS adalah sebesar 112,79 ha 39,00 dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.
Renjaan 2006 in DPK 2006a menjelaskan bahwa dari hasil analisis terhadap data dari 10 transek pengamatan yang dilakukan pada bulan Oktober -
Nopember 1997 di kawasan perairan Teluk Un teridentifikasi beberapa jenis moluska dengan kepadatan masing-masing sebagai berikut Abra sp. 0,26;
Donax variagartus 0,34; D. vittatus 1,32; D. compresus 0,56; Perna viridis
0,18; Pitar manilae 1,42; Rhinoclavis vertagus 0,72; Tellina radiate 2,8; dan Terebellum terebellum 0,22 dengan kepadatan rata-rata berkisar antara
0,18 - 2,8 individum
2
Disamping itu, hasil pengamatan lapangan menunjukan bahwa selain yang tersebut diatas terdapat juga beberapa jenis moluska yang teridentifikasi berada di
daerah intertidal kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan kepadatannya masing-masing sebagai berikut Anadara sp. 2,53; Cerithium sp.
2,37; Chlamys sp. 0,85; Clanculus sp. 0,16; Cypraea sp. 0,28; Donax sp. 1,32; Euspira sp. 0,64; Guilfordia sp. 0,23; Haliotis sp. 2,47; Hippopus sp.
0,12; Lambis sp. 0,23; Lioconcha sp. 0,85; Littorina sp. 2,76; .
108
Phenacovolva sp. 1,63; Siliquaria sp. 1,93; Strombus sp. 1,63; Tectus sp.
0,16; Tridacna sp. 0,12; dan Tripneustes sp. 1,14, dengan kepadatan rata-rata berkisar antara 0,12 - 2,76 individum
2
. Berkaitan dengan kebutuhan lahan untuk melakukan aktivitas pengumpulan
moluska pada saat terjadinya surut, maka lebar dataran pasut diukur mulai dari garis pantai sampai dengan batas surut terendah. Menurut Bengen 2008 untuk
kebutuhan aktivitas ini, maka lebar dataran pasut yang ideal adalah lebih dari 100 meter, dengan pertimbangan bahwa apabila lebar dataran pasut cukup luas, maka
wisatawan dapat melakukan aktivitas pengumpulan moluska dengan aman sekaligus dapat menikmati keindahan alam di lokasi pengumpulan moluska.
Menurut Renjaan 2006 in DPK 2006a, lebar dataran pasut di sekitar Teluk Un dapat mencapai lebih dari 200 meter dan memiliki dasar perairan yang sangat
landai. Karena kondisi dasar perairannya yang landai dan kisaran pasut wilayah ini yang tergolong kedalam mesotidal 2,50 m menyebabkan saat surut sebagian
besar perairan ini mengalami kekeringan. Hasil penelitian dari Latale 2003 in Natan 2008 menemukan bahwa salah
satu spesies moluska dari famili Lucinidae yakni kerang lumpur Anodontia edentula
mendiami substrat bersedimen pasir sangat kasar very coarse sand sampai lumpur silt atau clay, dan umumnya didominasi oleh pasir kasar coarse
sand dan pasir berukuran sedang medium sand, dan mempunyai nilai porositas
antara 41,71 - 55,58. Kemiringan pantai merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan
dalam menentukan lokasi minawisata bahari pengumpulan moluska. Pada umumnya aktivitas ini dapat dilakukan di daerah intertidal dengan kemiringan
pantai yang landai karena lama waktu untuk berwisata sambil mengumpulkan moluska akan lebih panjang dan relatif aman bagi wisatawan. Untuk daerah
intertidal dengan kemiringan pantai yang curam, aktivitas ini masih dapat
dilakukan tetapi waktunya relatif lebih pendek dan cukup beresiko terhadap keselamatan wisatawan dalam hubungannya dengan proses naiknya permukaan
air laut akibat pasang karena dataran pasut pada pantai yang curam akan cepat tergenang air laut, sedangkan daerah intertidal dengan kemiringan pantai yang
terjal tidak dimungkinkan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska.
109
Perubahan suhu akan berpengaruh terhadap pola kehidupan organisme perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran hewan dan
tumbuhan. Suhu mempengaruhi secara langsung aktifitas organisme seperti pertumbuhan dan metabolisme bahkan menyebabkan kematian organisme,
sedangkan pengaruh tidak langsung adalah meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunkan kadar oksigen dalam air. Setiap spesies
hewan moluska mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu. Suhu optimum bagi moluska bentik berkisar antara 25 - 28
o
Tunggang pasut tidal range sangat erat hubungannya dengan tipe pantai dan lebar dataran pasut. Menurut Renjaan 2006 in DPK 2006a tunggang pasut
maksimum di perairan Kei Kecil umumnya lebih dari 2,5 meter, dengan kondisi tunggang pasut sedemikian pada topografi yang landai seperti halnya di Teluk Un
maka pada saat surut terendah sebagian besar dataran pasut muncul dipermukaan C Hutagalung 1988 dan
Huet 1972 in Razak 2002. Sejalan dengan itu, salinitas secara tidak langsung mempengaruhi kerang melalui perubahan kualitas air seperti pH dan oksigen
terlarut. Menurut Setiobudiandi 1995 salinitas optimum bagi hewan moluska berkisar antara 2 - 36 ppt.
Renjaan 2006 in DPK 2006a menjelaskan bahwa jenis pasut di kawasan Teluk Un adalah pasut campuran mirip harian ganda mixed predominantly semi-
diurnal tide , tipe pasut ini dicirikan dengan dua kali pasang dan dua kali surut
dalam sehari. Dengan jenis pasut seperti ini maka aktivitas pengumpulan moluska oleh wisatawan dapat dilakukan selama 2 kali dalam 1 hari, dengan demikian
minawisata bahari pengumpulan moluska dapat dikembangkan di daerah-daerah dengan tipe pasut seperti ini, salah satunya adalah di kawasan Teluk Un dan Teluk
Vid Bangir Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi. Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas
kesesuaian S sesuai pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti jenis moluska; kelimpahan; suhu perairan; salinitas; lebar dataran pasut;
tipe substrat pantai; dan kemiringan pantai memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi
lingkungan perairan menjadi sesuai bersyarat SB dan tidak sesuai TS yaitu tunggang pasut.
110
air. Sementara itu menurut BAKOSURTANAL 1992 in DPK 2006a tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil berdasarkan pengukuran selama 30 hari di
stasiun TNI AL Tual adalah 2,6 meter. Daerah-daerah dengan tunggang pasutnya besar sangat sesuai untuk lokasi
minawisata bahari pengumpulan moluska, hal ini karena dengan tunggang pasut yang lebih dari 2 meter pada pantai yang landai, maka pada saat surut akan
membuat pantai tersebut menjadi cukup luas dan mengalami kekeringan sehingga dapat digunakan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska. Sedangkan
pada saat air laut bergerak pasang, daerah intertidal tersebut masih relatif aman bagi wisatawan karena permukaan air laut akan naik secara perlahan dalam waktu
yang cukup lama untuk menutupi pandai yang landai. Sebaliknya untuk daerah-
daerah dengan tunggang pasutnya kecil kurang dari 2 meter tidak sesuai untuk lokasi minawisata bahari pengumpulan moluska. Hal ini karena dengan tunggang
pasut yang kurang dari 2 meter pada pantai yang relatif curam maka walaupun pada saat surut, lebar dataran pasut lebar pantai tidak cukup luas sehingga tidak
dimungkinkan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan
Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari pengumpulan moluska seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 11.
Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan potensi dan sumberdaya moluska di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dikemas dalam
bentuk minawisata bahari pengumpulan moluska maka perlu disiapkan sarana pendukung lainnya seperti peralatan pengumpul kerang berikut peralatan
pengolahannya, sehingga moluska yang terkumpul dapat diolah dan dinikmati saat itu juga oleh wisatawan.
c. Minawisata Bahari Karamba Pembesaran Ikan
Ikan-ikan karang seperti dari jenis baronang Siganus gutatus; kerapu bebek Cromileptes altivelis; kerapu sunu Plectropomus leopardus; kerapu
lumpur Epinephelus tauvina; kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus; napoleonmaming Cheilinus undulatus; dan beberapa jenis lainnya merupakan
ikan konsumsi yang saat ini banyak dipasarkan dalam keadaan hidup, umumnya
111
Gambar 11 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan kerang moluska.
112
ikan-ikan jenis ini tersebar di daerah tropis dan subtropis. Selain dapat diambil dari habitatnya, saat ini ikan-ikan tersebut mulai ditangkar dibesarkan dan
dibudidaya. Metoda pemeliharaan yang paling produktif dengan teknik akuakultur adalah dengan metoda karamba jaring apung yang dilakukan diperairan pantai,
hal ini karena jumlah dan kualitas air selalu memadai dan juga mudah dipanen. Saat ini banyak wisatawan yang selain melakukan kegiatan wisata pantai
atau wisata bahari juga mencari bentuk aktivitas lain yang berhubungan dengan ekosistem dan sumberdaya laut sebagai bentuk lain dalam berwisata. Dengan
melihat peluang tersebut maka aktivitas pembesaran ikan dalam karamba jaring apung dapat dikembangkan dan dikemas dalam bentuk minawisata bahari yaitu
berwisata sambil menikmati makanan laut sea-food dari berbagai jenis ikan karang. Aktivitas pembesaran ikan dalam karamba jaring apung yang dimaksud
dalam minawisata bahari ini adalah bukan dalam konteks berproduksi tetapi semata-mata untuk kepentingan berwisata. Wisatawan diberikan kesempatan
untuk memilih ikan dalam karamba yang pengambilannya dilakukan sendiri oleh wisatawan dan selanjutnya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga
untuk mencapai kepuasan selama berwisata, atau bisa juga dibawa pulang kerumah untuk dinikmati bersama keluarga.
Minawisata bahari karamba pembesaran ikan ini dapat dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena kondisi perairannya relatif
tenang serta terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Kelompok ikan yang menjadi target pembesaran dalam karamba jaring apung
adalah ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat, atau ikan-ikan yang merupakan target penangkapan ikan ekonomis
penting. Tentunya aktivitas yang akan dikembangkan ini adalah aktivitas yang berbasis konservasi, karena ikan-ikan tersebut tidak dibudidaya melainkan hanya
diambil dari habitatnya dan dibesarkan dalam karamba jaring apung sehingga beban limbah yang dihasilkan tidak sampai mencemari lingkungan perairan.
Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan mempertimbangkan 10 parameter kesesuaian yaitu kecepatan arus; tinggi
gelombang; kedalaman air dari dasar jaring; suhu perairan; salinitas; oksigen terlarut; pH perairan; nitrat; phospat; serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan
113
lainnya. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan seperti ditunjukan pada Tabel 20.
Tabel 20 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan
No Kelas Kesesuaian
Luasan ha Luasan
1. Sesuai S
44,97 15,55
2. Sesuai Bersyarat SB
136,97 47,37
3. Tidak Sesuai TS
107,24 37,08
Total 289,17
100,00
Tabel 20 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai S untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan adalah sebesar 44,97 ha 15,55, yang sesuai
bersyarat SB adalah sebesar 136,97 ha 47,37, sedangkan yang tidak sesuai TS adalah sebesar 107,24 ha 37,08 dari total luas perairan Teluk Un dan
Teluk Vid Bangir. Menurut DKP-RI 2002, kondisi perairan dengan kecepatan arus yang
dipersyaratkan untuk kegiatan budidaya ikan dalam karamba jaring apung di laut adalah kurang dari 0,75 mdetik dengan tinggi gelombang kurang dari 0,5 meter.
Sedangkan kedalaman air dari dasar jaring adalah lebih dari 10 meter, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kualitas dan sirkulasi air serta limbah yang
dihasilkan dari kegiatan karamba jaring apung. Folke et al. l994 menjelaskan bahwa beban limbah yang dihasilkan untuk memproduksi 100 ton ikan dari
kegiatan budidaya dengan karamba jaring apung adalah sama dengan beban limbah pemukiman penduduk yang didiami oleh 850 - 3.200 orang. Namun demikian
menurut Kasnir dkk 2004 beban limbah tersebut dapat dikurangi dengan memberikan pakan alami berupa ikan hidup yang sudah dipotong ekornya seperti
ikan mujair atau ikan lainnya, pakan alami ini dapat menghasilkan pertumbuhan sebesar 12 - 16 gramminggu.
Suhu perairan adalah merupakan salah satu parameter ekologis yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Menurut Nybakken 1988 dalam kondisi
normal suhu dipermukaan laut berkisar antara 25,6 – 32,3
o
C, disamping itu Mulyanto 1992 menjelaskan bahwa suhu perairan yang baik untuk kehidupan
114
ikan di daerah tropis berkisar antara 25 - 32
o
C, sementara menurut LP Undana 2006 suhu perairan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu berkisar antara
24 - 31
o
Selain parameter fisika kimia dan oseanografi perairan tersebut diatas, pengembangan minawisata bahari karamba pembesaran ikan di suatu lokasi
tertentu juga harus mempertimbangkan jarak lokasi pengembangan dari alur pelayaran, kawasan budidaya dan kawasan lainnya seperti sentra pemukiman;
perekonomian; aktivitas pemerintahan; dan lain-lain. Idealnya jarak untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah lebih dari 500 meter, hal ini agar aktivitas
minawisata bahari karamba pembesaran ikan yang dikembangkan di lokasi C.
Selain suhu perairan, salinitas juga merupakan parameter ekologis lainnya yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Nontji 2003 menjelaskan
bahwa nilai salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 - 37‰. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32 - 34‰ sedangkan untuk laut terbuka
umumnya berkisar antara 33 - 37‰ dengan rata-rata adalah 35‰, kisaran ini baik untuk kehidupan organisme laut khususnya ikan Romimohtarto dan Juwana
1999 sementara menurut LP Undana 2006 salinitas yang baik untuk pertumbuhan ikan kerapu berkisar antara 30 - 33‰.
Oksigen adalah salah satu gas terlarut yang memegang peranan penting untuk menunjang kehidupan organime dalam proses respirasi dan metabolisme
sel. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan ikan kerapu adalah 3,5 ppm. Demikian juga dengan kadar ion hydrogen pH perairan yang
merupakan parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme. Dalam skala 0 - 14 setiap organisme mempunyai pH optimal, dimana
pH optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu berkisar antara 7,8 - 8 LP Undana 2006.
Menurut Tiensongrusmee et al. 1986 kandungan nitrat dalam kolom air yang dipersyaratkan untuk budidaya ikan dalam karamba jaring apung adalah
lebih kecil dari 0,9 mgl, sedangkan nilai optimalnya adalah kurang dari 0,1 mgl. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa kandungan phospat dalam kolom air yang
dipersyaratkan untuk budidaya ikan dalam karamba jaring apung adalah lebih kecil dari 0,9 mgl, sedangkan nilai optimalnya adalah kurang dari 0,1 mgl.
115
tersebut tidak sampai mengganggu alur pelayaran. Demikian pula sebaliknya semua kegiatan masyarakat yang ada di sekitar lokasi tersebut tidak sampai
berpengaruh kepada aktivitas minawisata bahari karamba pembesaran ikan yang dikembangkan dilokasi tersebut Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi
pribadi. Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas
kesesuaian S sesuai pada umumnya parameter fisika kimia dan oseanografi perairan seperti kecepatan arus; tinggi gelombang; kedalaman air dari dasar
jaring; suhu perairan; salinitas; oksigen terlarut; pH perairan; nitrat; phospat; serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya memenuhi kisaran yang
dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan perairan menjadi sesuai bersyarat SB dan tidak sesuai TS yaitu
kedalaman perairan. Di beberapa bagian Teluk Un, kedalaman perairan ditemukan berada pada
kisaran kurang dari 15,5 meter sehingga dengan tunggang pasut 2,5 meter maka pada saat surut terendah, kedalaman perairan di bagian tersebut akan menjadi
kurang dari 13 meter. Dengan kedalaman jaring karamba sekitar 3 meter dan persyaratan kedalaman air dari dasar jaring harus lebih dari 10 meter maka bagian
perairan tersebut menjadi tidak sesuai untuk menempatkan karamba jaring apung. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan
Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari karamba pembesaran ikan seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada
Gambar 12. Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan potensi dan
sumberdaya ikan karang di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan, perlu disiapkan sarana
pendukung lainnya seperti peralatan untuk mengambil ikan dari dalam karamba berikut peralatan pengolahannya sehingga ikan-ikan tersebut dapat diolah dan
dinikmati saat itu juga oleh wisatawan.
d. Minawisata Bahari Selam
Wisata selam merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam bawah laut dan dinamika air lautnya untuk kepuasan manusia yang dikembangkan
116
Gambar 12 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan.
117
dengan pendekatan konservasi laut. Objek kegiatannya adalah berupa penyelaman dengan objek ekosistemnya adalah terumbu karang, sedangkan objek komoditinya
adalah ikan-ikan dan berbagai biota laut penghuni ekosistem terumbu karang. Selain sebagai kegiatan wisata bahari, selam juga dapat dikemas dalam bentuk
minawisata bahari yaitu mengintroduksikan kegiatan menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan seperti spear-gun atau peralatan penangkap
ikan lainnya kedalam aktivitas selam tersebut. Dengan demikian selain dapat menikmati keindahan bawah laut, wisatawan juga dapat menangkap ikan-ikan
target atau ikan-ikan konsumsi. Hasil tangkapannya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata, atau bisa
juga dibawa pulang kerumah untuk dinikmati bersama keluarga. Minawisata bahari selam ini dapat dikembangkan di kawasan perairan
Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena selain memiliki terumbu karang sebagai objek ekosistem, teluk ini juga merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan
tradisional dan dikenal sebagai ladang ikan baronang, kerapu, maming, dan juga jenis-jenis ikan target lainnya yang telah lama dimanfaatkan oleh penduduk Desa
Taar dan sekitarnya bagi pemenuhan kebutuhan protein. Tentunya minawisata bahari selam yang akan dikembangkan ini adalah yang berbasis konservasi.
Pengembangan minawisata bahari selam ini tentunya membutuhkan berbagai sarana pendukung seperti perahu, spear gun atau alat penangkap ikan lainnya,
peralatan selam, dan pemandu selam buddies, namun sampai saat ini kondisi riil di lokasi penelitian menunjukan bahwa semua sarana pendukung tersebut belum
ada yang menyediakannya. Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari selam mempertimbangkan
8 parameter kesesuaian yaitu jenis ikan karang; kecerahan perairan; tutupan komunitas karang; jenis life-form; suhu perairan; salinitas; kedalaman terumbu
karang; dan kecepatan arus. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari selam seperti ditunjukan pada Tabel 21.
Tabel 21 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai S untuk minawisata bahari selam adalah sebesar 24,12 ha 8,34, yang sesuai bersyarat SB adalah
sebesar 157,82 ha 54,58, sedangkan yang tidak sesuai TS adalah sebesar 107,24 ha 37,08 dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.
118
Tabel 21 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari selam No
Kelas Kesesuaian Luasan ha
Luasan 1.
Sesuai S 24,12
8,34 2.
Sesuai Bersyarat SB 157,82
54,58 3.
Tidak Sesuai TS 107,24
37,08 Total
289,17 100.00
Jumlah jenis ikan karang merupakan parameter penting dalam minawisata bahari selam, suatu perairan dapat dikategorikan sesuai untuk minawisata bahari
selam apabila terdapat minimal 75 spesies ikan karang, dan 20 - 75 spesies untuk kelas sesuai bersyarat, sedangkan apabila jumlah jenisnya kurang dari 20 spesies
maka perairan tersebut tidak sesuai untuk minawisata bahari selam. Menurut DPK 2003 berdasarkan hasil sensus visual yang dilakukan pada beberapa titik
di perairan Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan bahwa kepadatan dan sediaan cadang ikan karang relatif cukup tinggi terutama pada daerah perairan
karang dekat tubir. Jumlah jenis ikan karang yang teridentifikasi di sekitar perairan Pulau Dullah termasuk di Ngadi, Teluk Un, dan Teluk Vid Bangir adalah
sebanyak 109 spesies. Untuk kecerahan perairan, hasil penelitian Suharsono dan Yosephine 1994
menunjukan bahwa terdapat korelasi positif antara kecerahan perairan dengan persentase tutupan karang di 27 buah pulau di Kepulauan Seribu. Semakin tinggi
transparansi air semakin besar persentase tutupan karang hidup, demikian pula sebaliknya semakin rendah transparansi air semakin kecil pula persentase tutupan
karang hidup. Data lapangan menunjukan bahwa kecerahan perairan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah mencapai 100 pada kedalaman 12
meter. Kedalaman terbesar perairan Teluk Un adalah 14,6 meter dan Teluk Vid Bangir adalah 17,8 meter pada saat pasang tertinggi. Dengan kecerahan 100
pada kedalaman 12 meter tersebut maka bila dihitung dalam persentase kecerahan perairan di Teluk Vid Bangir mencapai 68 dan di Teluk Un mencapai 82.
Salah satu indikator kesehatan suatu perairan adalah keberadaan terumbu karang dengan tingkat persentase penutupan karang relatif tinggi. Kategori
untuk mengukur persentase penutupan karang yang sering digunakan adalah mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Gomes dan Yap 1998 dengan
119
kategori 0 - 24,9 maka tergolong dalam kondisi buruk, 25 - 49,9 adalah sedang, 50 - 74,9 adalah baik, dan 75 - 100 adalah baik sekali. DKP 2003
menemukan bahwa persentase penutupan karang di perairan sekitar Pulau Dullah adalah 68,74, bila mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Gomes dan
Yap tersebut diatas maka ekosistem terumbu karang di kawasan ini berada dalam kategori baik sehingga dapat dikembangkan untuk minawisata bahari selam.
Untuk jenis life-form, Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata selam mengemukakan bahwa jumlah jenis life-form yang
dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah lebih dari 10 spesies, untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah 4 - 10 spesies, sedangkan
apabila jumlah jenis life-form kurang dari kurang dari 4 spesies atau tidak ada karang sama sekali maka perairan tersebut tidak sesuai untuk ekowisata selam.
Konsep ini yang kemudian diadopsi sebagai salah satu parameter kesesuaian dalam minawisata bahari selam. Demikian pula dengan suhu yang merupakan
salah satu parameter penting bagi biota perairan, perubahan suhu yang drastis dapat menimbulkan kematian bagi biota perairan. Menurut Nybakken 1988
dalam kondisi normal, suhu dipermukaan laut berkisar antara 25,6 – 32,3
o
C, disamping itu Mulyanto 1992 menjelaskan bahwa suhu perairan yang baik untuk
kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25 - 32
o
C. Selanjutnya menurut Hubbard 1990, ekosistem terumbu karang pada umumnya terbatas pada suhu
18 - 36
o
C, dengan nilai optimal antara 26 - 28
o
C. Pertumbuhan karang hermatypic tumbuh dan berkembang dengan subur antara 25 - 29
o
C Tamrin, 2006. Data lapangan menunjukan bahwa suhu rata-rata di perairan Teluk Un dan Teluk Vid
Bangir adalah 29 - 32
o
Menurut Nontji 2003 nilai salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 - 37‰. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32 - 34‰
sedangkan untuk laut terbuka umumnya berkisar antara 33 - 37‰ dengan rata-rata adalah 35‰. Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan
hewan karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35‰, dan hewan karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34 - 36‰ Kinsman
2004. Dengan batasan yang dikemukakan diatas maka perairan Teluk Un dan C, kondisi ini memungkinkan untuk kehidupan terumbu
karang dan ikan sehingga dapat dijadikan lokasi minawisata bahari selam.
120
Teluk Vid Bangir dapat dijadikan lokasi minawisata bahari selam karena salinitasnya masih berada pada kisaran yang dipersyaratkan yaitu 30 - 33‰.
Kedalaman perairan meskipun merupakan faktor pembatas kehidupan terumbu karang tetapi pada perairan yang jernih dan kondisi lingkungannya
memungkinkan, terumbu karang dapat tumbuh sampai kedalaman 50 meter. Menurut Nybakken 1988 terumbu karang tidak dapat berkembang diperairan
yang lebih dalam dari 50 - 70 meter. Kebanyakan terumbu karang tumbuh pada kedalaman kurang dari 25 meter. Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian
lahan ekowisata selam mengemukakan bahwa kedalaman terumbu karang yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah antara 3 - 20 meter, untuk
kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah 21 - 30 meter, sedangkan apabila kedalaman terumbu karang kurang dari 3 meter danatau lebih dari 30 meter maka
tidak sesuai untuk ekowisata selam. Konsep ini juga yang kemudian diadopsi sebagai salah satu parameter kesesuaian dalam minawisata bahari selam. Data
lapangan menunjukan bahwa terumbu karang yang ada di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir berada pada kedalaman 5 - 17 meter sehingga memenuhi
kisaran yang dipersyaratkan untuk lokasi minawisata bahari selam. Disamping kecerahan perairan, kecepatan arus juga sangat menentukan bagi
kegiatan wisata selam maupun untuk ekologi terumbu karang. Menurut Jokiel dan Morrissey 1993 pergerakan arus mempengaruhi struktur komunitas dan
distribusi jenis karang pada suatu daerah. Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di daerah yang terbuka presentase tutupan karangnya relatif rendah.
Arus yang kuat berkorelasi dengan meningkatnya perpindahan pecahan-pecahan karang yang akan mengganggu proses pemulihan karang. Selain itu kecepatan
arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam. Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata selam mengemukakan
bahwa kecepatan arus yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai adalah antara 0 - 25 cmdetik, untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah
26 - 50 cmdetik, sedangkan apabila kecepatan arusnya lebih dari 50 cmdetik maka tidak sesuai untuk ekowisata selam. Konsep ini pula yang kemudian
diadopsi sebagai salah satu parameter kesesuaian dalam minawisata bahari selam. Hasil pengukuran kecepatan arus pada saat pengambilan data lapangan
121
menunjukan bahwa kecepatan arus di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir berkisar antara 19 - 33 cmdetik dengan demikian memenuhi kisaran yang
dipersyaratkan, kecuali pada kanal dan mulut kanal yang menghubungkan kedua teluk tersebut kecepatan arusnya berkisar antara 76 - 91 cmdetik.
Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S sesuai pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan
seperti jenis ikan karang; kecerahan perairan; tutupan komunitas karang; jenis life-form
; suhu perairan; salinitas; kedalaman terumbu karang; dan kecepatan arus memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang
mengakibatkan sebagian dari lokasi perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang sesuai bersyarat SB akan menjadi tidak sesuai TS yaitu tunggang pasut.
Dengan tunggang pasut tidal range lebih dari 2,5 meter maka pada saat surut sebagian wilayah akan mengalami kekeringan sehingga tidak bisa digunakan
untuk kegiatan penyelaman. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk
aktivitas minawisata bahari selam seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 13.
Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan ekosistem terumbu karang serta potensi dan sumberdaya ikan karang di Teluk Un yang
dikemas dalam bentuk minawisata bahari selam maka perlu disiapkan sarana pendukung lainnya seperti perahu, spear gun atau alat penangkap ikan lainnya,
peralatan selam, dan pemandu selam buddies. Perahu digunakan sebagai salah satu sarana untuk mencapai lokasi
penyelaman, oleh karena minawisata bahari selam yang akan dikembangkan adalah yang berbasis konservasi, maka jenis perahu yang disarankan adalah yang
terbuat dari bahan kayu dan pengoperasiannya adalah dengan cara didayung oleh wisatawan perahu tidak bermotor dengan kapasitas muat sekitar 3 - 4 orang.
Hal ini selain untuk menambah kenikmatan selama berwisata, juga bertujuan untuk menghindari adanya tumpahan minyak yang dapat mencemari perairan di
sekitar lokasi penyelaman apabila menggunakan perahu bermotor. Selain itu agar kelihatan menarik dan artistik, perahu tersebut dapat diberi hiasan dengan
122
Gambar 13 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari selam.
123
corak khas budaya daerah setempat. Selain perahu, peralatan penunjang lainnya adalah spear gun atau alat penangkap ikan lainnya yang akan digunakan oleh
wisatawan untuk menangkap ikan pada saat melakukan penyelaman. Peralatan selam yang akan digunakan dalam aktivitas ini adalah peralatan
standar scuba diving yang terdiri dari baju selam, tabung oksigen dan regulator udara, masker, sepatu dayung fins, timah pemberat, dan beberapa aksesoris
tambahan lainnya yang memang dibutuhkan dalam aktivitas tersebut. Sesuai aturan POSSI bahwa setiap melakukan aktivitas penyelaman seorang penyelam
wisatawan harus didampingi oleh seorang pemandu selam buddies, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan pada saat berada didalam laut,
seperti panik; kehabisan oksigen; kehilangan arah; dan lain-lain. Pemandu selam yang dipersyaratkan adalah yang telah memiliki lisensi yang dikeluarkan oleh
POSSI dan telah mengenal kondisi fisik lingkungan perairan di lokasi penyelaman.
e. Minawisata Bahari Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat
aliran air dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, oleh karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai Teluk yang
dangkal dan daerah pantai yang terlindung, salah satunya seperti yang terdapat di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.
Salah satu bentuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove yang ada di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah dengan mengembangkan
konsep minawisata bahari yaitu berwisata menikmati ekosistem mangrove dengan semua proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Minawisata bahari mangrove
dapat dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena selain cocok untuk aktivitas perikanan dan pariwisata terpadu dan berbasis konservasi,
teluk ini juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk pendidikan bahari.
124
Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove mempertimbangkan 6 parameter kesesuaian yaitu ketebalan mangrove; kerapatan mangrove; jenis
mangrove; jenis biota; tinggi pasut; dan jarak dari kawasan lainnya. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari
mangrove seperti ditunjukan pada Tabel 22. Tabel 22 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove
No Kelas Kesesuaian
Luasan ha Luasan
1. Sesuai S
- -
2. Sesuai Bersyarat SB
29,29 72,39
3. Tidak Sesuai TS
11,17 27,61
Total 40,46
100,00
Tabel 22 menunjukan bahwa ekosistem mangrove yang ada di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan untuk kelas
kesesuaian S sesuai, namun demikian masih terdapat sebagian ekosistem mangrove yang memenuhi kriteria untuk kelas kesesuaian yang sesuai bersyarat
SB yaitu sebesar 29,29 ha 72,39, sedangkan luasan ekosistem mangrove yang tidak sesuai TS untuk aktivitas ini adalah sebesar 11,17 ha 27,61 dari
luas ekosistem mangrove yang ada di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata mangrove
mengemukakan bahwa ketebalan mangrove yang dipersyaratkan untuk kelas S sesuai adalah lebih dari 300 meter, untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat
adalah 50 - 300 meter, sedangkan apabila ketebalan mangrovenya kurang dari 50 meter maka tidak sesuai untuk ekowisata mangrove. Selanjutnya dijelaskan
juga bahwa untuk kerapatan mangrove, kisaran yang dipersyaratkan untuk kelas S sesuai adalah lebih dari 10 - 25 ind100 m
2
, untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah 5 - 10 ind100 m
2
danatau lebih dari 25 ind100 m
2
, sedangkan apabila kerapatan mangrovenya kurang dari 5 ind100 m
2
maka tidak sesuai untuk ekowisata mangrove. Konsep ini yang kemudian diadopsi sebagai parameter
kesesuaian dalam minawisata bahari mangrove. Hasil penelitian MERDI in DPK 2006a menunjukan bahwa tingkat kerapatan individu mangrove di Teluk Un dan
Teluk Vid Bangir adalah 1,52 indm
2
dengan nilai rerata kepadatan per spesies
125
0,28 indm
2
. Sedangkan kisaran tingkat kerapatan per spesies berkisar antara 0,13 indm
2
Avicenia rumpiana; Xylocarpus granatum hingga 0,44 indm
2
Soneratia alba
. Jika nilai dari selisih kisaran kepadatan individu mangrove 0,31 indm
2
Menurut Bengen 2001, komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran 2 kelompok, yaitu 1 kelompok fauna daratanterestrial yang
umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas serangga, ular, primata dan burung; dan 2 kelompok fauna perairanakuatik yang umumnya
terdiri atas 2 tipe : a yang hidup dikolom, air terutama berbagai jenis ikan dan udang; dan b yang menempati substrat baik keras akar dan batang pohon
mangrove, maupun lunak lumpur, terutama kepiting, kerang, dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Selanjutnya MERDI in DPK 2006a menjelaskan bahwa
vegetasi pantai di bagian darat ekosistem mangrove di Teluk Un umumnya adalah tumbuhan Nipah Nypa fruticans, pada bagian Utara vegetasi pantai tersebut
tumbuh pohon jenis Ketapang Terminalia catapa; Waru laut Hibiscus tiliaceus
; Pandan darat Pandanus tectorius. Terdapat pula Cemara darat Casuaria equisetifolia, dan berbagai jenis tumbuhan anggrek Dendrobium sp.
yang mendiami batang dan dahan mangrove. Pepohonan tersebut juga menjadi habitat bagi berbagai jenis burung seperti Kakatua Cacatua sp. dan Nuri
Lorius sp.; Kakatua Tanimbar Cacatua gofini; dan Kakatua Cacatua galerita eleonora
. Pada Pepohonan dengan kanopi yang besar dan lebat, hidup berbagai ,
dibandingkan dengan nilai rerata kepadatan Mangrove dilokasi ini maka diketahui bahwa perbedaan nilai kepadatan per spesies mangrove cukup bervariasi.
Selanjutnya dijelaskan juga bahwa pada ujung Utara teluk ini terdapat sumber air tanah yang merembes ke dalam teluk tersebut, substrat lumpur di teluk
ini umumnya berasosiasi dengan ekosistem mangrove khususnya dari jenis api-api Avicennia alba
dan jenis bakau Rhizophora mucronata, sehingga kandungan lumpur ini umumnya terdiri dari serasah daun mangrove. Di bagian pantai Teluk
Vid Bangir terdapat 5 jenis mangrove yakni Aegiceras corniculatum; Rhizophora apiculata; Avicenia rumpiana;
Soneratia alba, dan Xylocarpus granatum. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, mangrove dan lamun mendominasi kawasan
perairan Teluk Un. Mangrove mengitari keseluruhan teluk sedangkan lamun hampir menutupi 50 dasar perairan teluk tersebut.
126
jenis Kuskus antara lain Kuskus coklat biasa Phalanger orientalis, Kuskus kelabu Phalanger gymnotis, kuskus totol hitam Phalanger rufoniger.
Dalam hubungannya dengan jenis biota yang mendiami ekosistem mangrove tersebut, Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata
mangrove mengemukakan bahwa jenis biota yang dipersyaratkan untuk kelas S sesuai antara lain ikan; udang; kepiting; moluska; reptile; dan burung, untuk
kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat antara lain ikan dan moluska, sedangkan apabila hanya terdapat salah satu biota air maka ekosistem mangrove tersebut
tidak sesuai untuk dijadikan lokasi ekowisata mangrove. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa bahwa bahwa tinggi pasut yang dipersyaratkan untuk kelas S sesuai
adalah kurang dari 2 meter, untuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah 2 - 5 meter, sedangkan apabila tinggi pasutnya lebih dari 5 meter maka tidak
sesuai untuk ekowisata mangrove. Konsep ini pula yang kemudian diadopsi sebagai parameter kesesuaian dalam minawisata bahari mangrove. Hasil
pengukuran tinggi pasut pada saat pengambilan data lapangan menunjukan bahwa tinggi pasut di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir berkisar antara 2 - 2,5
meter. Kondisi seperti ini juga sama dengan yang ditemukan oleh Renjaan 2006 in
DPK 2006a yang menjelaskan bahwa tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil umumnya lebih dari 2,5 meter. Sementara menurut BAKOSURTANAL
1992 in DPK 2006a tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil berdasarkan pengukuran selama 30 hari di stasiun TNI AL Tual adalah 2,6 meter.
Salah satu parameter yang perlu diperhatikan dalam menentukan lokasi pengembangan minawisata bahari mangrove adalah jarak lokasi pengembangan
dari kawasan lainnya seperti sentra pemukiman; perekonomian; aktivitas pemerintahan; dan lain-lain. Idealnya jarak untuk kelas kesesuaian S sesuai
adalah lebih dari 500 meter. Hal ini untuk menjaga agar kegiatan masyarakat disekitarnya tidak sampai berpengaruh terhadap aktivitas minawisata bahari
mangrove yang dikembangkan di lokasi tersebut Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi.
Data lapangan menunjukan bahwa untuk kelas kesesuaian S sesuai pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti kerapatan
mangrove; jenis mangrove; jenis biota; tinggi pasut, dan jarak dari kawasan
127
lainnya memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi sesuai bersyarat SB dan
tidak sesuai TS yaitu ketebalan mangrove. Ketebalan mangrove yang dipersyaratkan untuk minawisata bahari
mangrove adalah lebih dari 300 meter, namun hasil interpretasi citra satelit menunjukan bahwa ketebalan ekosistem mangrove di kawasan Teluk Un dan
Teluk Vid Bangir tidak ada yang mencapai 300 meter. Ketebalan terbesar hanya sekitar 180 meter, dengan demikian ekosistem mangrove di kawasan ini tidak
memenuhi kriteria yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai. Dibagian Barat Teluk Un ketebalan mangrove berkisar antara 100 - 180 meter
sehingga masih dapat dikembangkan untuk aktivitas minawisata bahari mangrove walaupun hanya masuk kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat, sedangkan di
bagian lainnya ketebalan mangrove berada pada kisaran 50 - 100 meter, bahkan ada juga yang kurang dari 50 meter sehingga tidak sesuai untuk aktivitas
minawisata bahari mangrove. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak ada kawasan yang sesuai untuk minawisata bahari mangrove, namun masih
ada sebagian yang masuk dalam kategori sesuai bersyarat SB seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 14.
Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan ekosistem mangrove yang ada di Teluk Un maka perlu disiapkan sarana pendukung
lainnya seperti jembatan kayu trail; anjungan hut; pondok peristirahatan; menara pengamatan burung; dan pemandu jejak tracker. Lain halnya dengan
para peneliti yang mengeksplorasi ekosistem mangrove dengan tujuan untuk melakukan penelitian, masuknya wisatawan ke dalam areal ekosistem mangrove
semata-mata hanya merupakan bagian dari aktivitas selama berwisata. Agar dapat memberikan nilai tambah dalam wisata tersebut, maka dibutuhkan jembatan kayu
trail sebagai sarana untuk melakukan tracking sehingga dapat meningkatkan
minat wisatawan untuk masuk kedalam areal ekosistem mangrove sekaligus dapat mengeksplorasi semua proses alami yang terjadi di dalam ekosistem mangrove.
128
Gambar 14 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove.
129
Lebar trail adalah sekitar 2 - 3 meter, sedangkan panjang trail dan rutenya disesuaikan dengan kondisi dan luas ekosistem mangrove yang ada atau
disesuaikan dengan kebutuhan. Anjungan adalah sarana tambahan lainnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari trail dan berfungsi sebagai tempat istirahat
bagi wisatawan yang melakukan tracking. Luas anjungan adalah sekitar 25 m
2
5 x 5 m atau disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan letaknya dibuat agak menjorok ke laut sehingga sambil beristirahat wisatawan juga dapat
memancing ikan dan menikmati indahnya suasana alam dari atas laut. Agar terlihat artistik dan alami, bentuk anjungan di desain sedemikian rupa sehingga
dapat menggambarkan adat budaya setempat. Sama halnya dengan anjungan, pondok peristirahatan adalah sarana
tambahan berikutnya yang dapat digunakan sebagai tempat untuk berlindung pada saat terjadi hujan atau untuk beristirahat sejenak sambil menikmati bekal makanan
yang dibawa oleh wisatawan. Luas bangunan pondok peristirahatan adalah sekitar 36 m
2
Trail, anjungan, pondok peristirahatan, dan menara pengamatan burung
tersebut diatas sebaiknya dibuat dengan memanfaatkan bahan dari sumberdaya alam yang tersedia di daerah tersebut tetapi konstruksinya harus cukup kuat dan
dapat digunakan dalam waktu yang relatif lama. Selain itu, agar wisatawan dapat menikmati suasana alam dalam hutan mangrove dan untuk mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan selama melakukan aktivitas minawisata bahari mangrove maka 6 x 6 m atau disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan letaknya
disesuaikan dengan kondisi alam setempat sehingga dapat menjamin keamanan wisatawan. Agar terlihat artistik dan alami, bentuk pondok peristirahatan di desain
sedemikian rupa sehingga dapat menggambarkan adat budaya setempat. Menara pengamatan burung juga dibutuhkan untuk melengkapi fasilitas pendukung
minawisata bahari mangrove, tinggi menara sebaiknya 2 kali tinggi pohon yang paling tertinggi di lokasi tersebut atau sekitar 10 meter agar wisatawan dapat
mengamati pergerakan burung dan menikmati suasa sekitar dari posisi yang cukup tinggi. Biasanya konstruksi menara dibuat dari besi dengan pertimbangan agar
cukup kuat dan dapat tahan lama, tapi untuk daerah yang dekat dengan laut, konstruksi menara yang terbuat dari besi tidak efektif karena sifat bahannya yang
mudah berkarat.
130
dibutuhkan pemandu jejak. Pemandu jejak yang dipersyaratkan adalah yang telah mengenal kondisi fisik lokasi minawisata bahari mangrove, dan memiliki
pengetahuan tentang ekosistem mangrove seperti deskripsi jenis-jenis mangrove, zonasi, struktur vegetasi, daur hidup, jenis-jenis adaptasi pohon mangrove,
fauna hutan mangrove, fungsi ekologis, pemanfaatan, dan juga dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove. Dengan bekal pengetahuan tersebut
pemandu jejak diharapkan dapat menuntun wisatawan untuk mengeksplorasi ekosistem mangrove dan semua proses alami yang terjadi didalamnya sebagai
manfaat yang bisa dipetik selama melakukan aktivitas minawisata bahari mangrove.
5.1.2 Tumpang Susun Kesesuaian Pemanfaatan Ruang
Tumpang susun overlay kesesuaian pemanfaatan ruang dilakukan untuk mendapatkan luasan lahan untuk kelas sesuai S dan sesuai bersyarat SB.
Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan kelima peta kesesuaian lahan minawisata bahari. Hasil overlay kelima peta kesesuaian lahan untuk kelas
sesuai S seperti ditunjukan pada Tabel 23 sedangkan peta kesesuaian lahannya seperti yang ditunjukan pada Gambar 15.
Tabel 23 Hasil tumpang susun semua kategori minawisata bahari untuk kelas sesuai S
No Kategori
Luasan ha 1.
Minawisata bahari karamba pembesaran ikan 1.09
2. Minawisata bahari pancing
86.89 3.
Minawisata bahari pengumpulan kerang moluska 81.00
4. Minawisata bahari pancing dan selam
12.22 5.
Minawisata bahari pancing dan pengumpulan kerang moluska
26.24 6.
Minawisata bahari pancing dan karamba pembesaran ikan
31.98 7.
Minawisata bahari pancing, karamba pembesaran ikan, dan selam
11.89
131
Gambar 15 Peta kesesuaian lahan semua kategori minawisata bahari untuk kelas sesuai.
132
Hasil overlay kelima peta kesesuaian lahan minawisata bahari untuk kelas sesuai bersyarat SB seperti ditunjukan pada Tabel 24 sedangkan peta kesesuaian
lahannya seperti yang ditunjukan pada Gambar 16. Tabel 24 Hasil tumpang susun semua kategori minawisata bahari untuk kelas
sesuai bersyarat SB
No Kategori
Luasan ha 1.
Minawisata bahari karamba pembesaran ikan dan pengumpulan kerang moluska
1.00 2.
Minawisata bahari karamba pembesaran ikan dan selam
42.51 3.
Minawisata bahari pancing dan selam 1.09
4. Minawisata bahari pancing, karamba pembesaran ikan,
dan selam 14.09
5. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan, selam,
dan pengumpulan kerang moluska 44.38
6. Minawisata bahari pancing, karamba pembesaran ikan,
selam, dan pengumpulan kerang moluska 23.76
7. Minawisata bahari mangrove
29.29 8.
Minawisata bahari karamba pembesaran ikan 11.22
9. Minawisata bahari pancing
81.00 10.
Minawisata bahari selam 31.98
Berdasarkan kedua peta kesesuaian lahan yang ditunjukan pada Gambar 15 dan 16, secara biofisik ternyata masih terdapat tumpang tindih pemanfaatan ruang
kawasan Teluk Un dan Vid Bangir diantara berbagai kategori aktivitas minawisata bahari sehingga dibutuhkan analisis lebih lanjut untuk menentukan skala prioritas
pemanfaatan ruang tersebut yaitu dengan menggunakan pertimbangan ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan. Metoda yang digunakan adalah dengan
multi criteria decision making MCDM dimana untuk analisis data menggunakan
simple multi atribute rating technique SMART.
133
Gambar 16 Peta kesesuaian lahan semua kategori minawisata bahari untuk kelas sesuai bersyarat.
134
5.1.3 Penentuan Skala Prioritas Pemanfaatan Ruang
Penentuan skala prioritas pemanfaatan ruang untuk berbagai kategori aktivitas minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi di Teluk Un dan
Teluk Vid Bangir dilakukan dengan menggunakan metoda
multi criteria decision making
MCDM.
Prinsip penilaian dalam MCDM adalah membandingkan tingkat kepentingan prioritas antara satu elemen dengan elemen lainnya yang berada pada
tingkatan atau level yang sama berdasarkan pertimbangan tertentu. Selain kesesuaian biofisik yang telah didapatkan melalui hasil analisis kesesuaian lahan,
pertimbangan lainnya yang digunakan adalah kesesuaian secara ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan. Dengan metoda MCDM ini diharapkan dapat
menghasilkan keputusan yang tepat tentang kategori aktivitas mana dari model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi yang harus
diprioritaskan apabila terjadi tumpah tindih dalam pemanfaatan ruang. Analisis MCDM dilakukan dengan cara pembobotan dimana bobot dari
masing-masing kriteria dan subkriteria diperoleh dari hasil analisis, hasil focus group discussion
FGD dan hasil kuesioner. Struktur yang dibangun terdiri atas empat tingkatan keputusan yaitu: Tujuan: Kriteria; Subkriteria; dan Alternatif,
sebagaimana yang ditunjukan pada Gambar 17. 1 Tujuan
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk kelima kategori aktivitas minawisata bahari berbasis konservasi
ternyata ada tumpang tindih pemanfaatan lahan perairan antara satu dengan yang lain khususnya antara minawisata bahari pancing, pengumpulan kerang, karamba
pembesaran ikan dan selam, sedangkan terhadap minawisata bahari mangrove tidak ada tumpang tindih pemanfaatan lahan karena sebagian besar aktivitas
minawisata bahari mangrove menggunakan lahan darat. Untuk dapat mengakomodir semua kategori aktivitas minawisata bahari tersebut hampir dapat
dipastikan akan menimbulkan konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya di antara berbagai pemangku kepentingan. Salah satu cara untuk menghindari
konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya adalah dengan metoda MCDM. Tujuan yang ingin dicapai adalah menentukan skala prioritas pemanfaatan ruang
Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk model pengelolaan minawisata bahari
135
pulau kecil berbasis konservasi, sehingga semua kategori aktivitas minawisata bahari dapat dilakukan secara terencana, terpadu, terarah dan sistematis
berdasarkan skala prioritas.
Gambar 17 Struktur hirarki penentuan skala prioritas pemanfaatan ruang. 2 Kriteria
Untuk mencapai tujuan diatas, maka ada empat kriteria yang harus dijadikan bahan pertimbangan yaitu 1 dimensi ekologi; 2 dimensi ekonomi; 3 dimensi
sosial budaya; dan 4 dimensi kelembagaan. Hasil pengolahan data dengan Criterium DecisionPlus Version 3.0
menunjukan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing kriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai seperti
ditunjukan pada Tabel 25. Tabel 25 Kontribusi masing-masing kriteria terhadap terhadap tujuan yang ingin
dicapai
Kriteria Bobot
Persentase
Ekologi 0,270
27,0 Ekonomi
0,282 28,2
Sosial Budaya 0,254
25,4 Kelembagaan
0,194 19,4
Total 1
100
TUJUAN KRITERIA
SUBKRITERIA ALTERNATIF
136
Dari Tabel 25 terlihat bahwa total bobot seluruh kriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai adalah 1. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa secara hirarki
kriteria yang paling penting dalam upaya mencapai tujuan diatas adalah pertimbangan ekonomi dengan bobot 0,282. Agar aktivitas minawisata bahari
yang dikembangkan di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir bisa berkelanjutan maka pertimbangan ekonomi menjadi salah satu faktor yang penting. Secara finansial,
biaya investasi untuk mengembangkan suatu unit usaha minawisata bahari tertentu harus dapat dijangkau oleh masyarakat, selain itu juga unit usaha tersebut harus
dapat memberikan manfaat ekonomi dan dapat memberikan kontribusi secara langsung terhadap peningkatan pendapatan dan ekonomi masyarakat setempat.
Kriteria yang merupakan urutan kedua adalah pertimbangan ekologi dengan bobot 0,270. Terkadang untuk mendukung berbagai kegiatan pembangunan,
sumberdaya alam yang ada dieksploitasi sedemikian rupa sehingga terjadi pemanfaatan berlebih bahkan sampai menimbulkan degradasi sumberdaya alam
dan lingkungan. Untuk itu pengembangan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus dilakukan dengan bijaksana dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan serta memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Selain hasil analisis kesesuaian lahan, pengembangan minawisata
bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus mempertimbangkan daya dukung lahan dan daya dukung kawasan agar pengelolaannya dapat berkelanjutan. Dalam
bentuk fisik, jumlah maksimum unit usaha yang ditempatkan diperairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus sesuai dengan daya dukung lahan, disamping itu juga
jumlah pengunjungwisatawan tidak boleh melampaui daya dukung kawasan sehingga dapat meminimalisir kerusakan lingkungan.
Kriteria yang merupakan urutan ketiga adalah pertimbangan sosial budaya dengan bobot 0,254. Agar dapat berkelanjutan, pengembangan minawisata bahari
di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus mempertimbangkan faktor kebiasaan masyarakat atau budaya masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumberdaya
yang tersedia, dengan demikian maka akan timbul rasa memiliki yang berdampak pada keinginan untuk menjaga kelestarian sumberdaya dan lingkungannya.
Disamping itu tenaga kerja yang dibutuhkan akan cukup tersedia karena
137
masyarakat sudah terbiasa dengan aktivitas yang akan dikembangkan dan mampu mengatasi masalah yang timbul kemudian dilapangan.
Kriteria yang merupakan urutan terakhir adalah pertimbangan kelembagaan dengan bobot 0,194. Semua bentuk aktivitas yang akan dikembangkan di kawasan
Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus mempertimbangkan aspek kelembagaanya baik lembaga pengelola maupun lembaga pengawas dan perlu diatur dalam aturan
formal atau aturan adat sehingga keamanan pemilik usaha dan unit usahanya maupun keamanan wisatawan yang datang berkunjung di kawasan tersebut dapat
terjamin. 3 Subkriteria
Dari keempat kriteria diatas, selanjutnya diuraikan lagi menjadi sub- subkriteria. Kriteria ekologi terbagi dalam 3 subkr iteria yaitu kesesuaian lahan,
daya dukung lahan, dan daya dukung kawasan. Kriteria ekonomi terbagi dalam 3 subkriteria yaitu kemudahan berinvestasi, manfaat ekonomi, dan tingkat
pendapatan masyarakat. Kriteria sosial budaya terbagi dalam 2 subkriteria yaitu kebiasaan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan kriteria
kelembagaan terbagi dalam 2 subkriteria yaitu aturan pengelolaan dan tingkat keamanan. Hasil pengolahan data dengan Criterium DecisionPlus Version 3.0
menunjukan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing subkriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai seperti ditunjukan pada Tabel 26.
Tabel 26 Kontribusi masing-masing subkriteria terhadap terhadap tujuan yang ingin dicapai
Kriteria Subkriteria
Bobot Persentase
Ekologi Kesesuaian Lahan
0,083
8.3
Daya Dukung Lahan 0,082
8.2
Daya Dukung Kawasan 0,105
10.5
Ekonomi Kemudahan Berinvestasi
0,074
7.4
Manfaat Ekonomi 0,073
7.3
Tingkat Pendapatan Masyarakat 0,135
13.5
Sosial Budaya Kebiasaan Masyarakat
0,124
12.4
Penyerapan Tenaga Kerja 0,130
13.0
Kelembagaan Aturan Pengelolaan
0,104
10.4
Tingkat Keamanan 0,090
9.0
Total 1
100
138
4 Alternatif Berdasarkan struktur yang telah dibangun terdapat 4 alternatif kategori
aktivitas minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi yang akan dicarikan skala prioritas dalam pemanfaatan ruang kawasan perairan Teluk Un dan Vid
Bangir yaitu 1 minawisata bahari pancing, 2 minawisata bahari pengumpulan kerang moluska, 3 minawisata bahari karamba pembesaran ikan, dan
4 minawisata bahari selam. Berdasarkan hasil analisis Criterium DecisionPlus Version 3.0
diketahui prioritas alternatif kategori aktivitas minawisata bahari berbasis konservasi yang akan dikembangkan di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir
seperti yang ditunjukan pada Tabel 27 dan Gambar 18.
Tabel 27 Skala prioritas alternatif aktivitas berdasarkan kriteria dan subkriteria
No Alternatif
Bobot Persentase
Prioritas
1. Minawisata bahari karamba
pembesaran ikan 0,288
28,8 1
2. Minawisata bahari pancing
0,269 26,9
2 3.
Minawisata bahari selam 0,249
24,9 3
4. Minawisata bahari pengumpulan
kerang moluska 0,194
19,4 4
Total 1
100 -
Gambar 18 Diagram batang skala prioritas alternatif aktivitas berdasarkan kriteria dan subkriteria.
139
Dari Tabel 27 dan Gambar 18 terlihat bahwa total bobot seluruh alternatif terhadap tujuan yang ingin dicapai adalah 1. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa
berdasarkan keempat kriteria diatas untuk model pengelolaan yang berbasis konservasi, minawisata bahari karamba pembesaran ikan menempati prioritas
pertama dengan bobot 0,288. Hal ini karena rakit karamba yang akan ditempatkan di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir bukan dalam konteks berproduksi
tetapi semata-mata hanya bertujuan untuk mencapai kepuasan selama berwisata. Ikan-ikan yang dipelihara di dalam karamba juga tidak dari hasil budidaya tetapi
diambil dari alam dan selanjutnya dibesarkan di dalam karamba sehingga hanya butuh sedikit pakan alami untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Dengan
demikian jelaslah bahwa pembesaran ikan dalam karamba merupakan salah satu alternatif pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan dan berbasis
konservasi. Kategori minawisata bahari yang menjadi prioritas kedua adalah minawisata
bahari pancing dengan bobot 0,269. Hal ini karena aktivitas memancing ikan yang akan dikembangkan di perairan Teluk Un bukan juga dalam konteks berproduksi
tetapi lebih pada memancing ikan dalam konteks berwisata, dengan konsep seperti ini maka ketersediaan stok ikan dan keberlangsungan hidupnya dapat tetap terjaga
dengan baik. Kategori minawisata bahari yang menjadi prioritas ketiga adalah minawisata
bahari selam dengan bobot 0,249. Selain dapat menikmati keindahan alam bawah laut dengan ekosistem terumbu karang dan biota laut yang ada disekitarnya,
aktivitas selam ini juga ditujukan untuk menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan seperti spear-gun sehingga sensasi yang dirasakan oleh
wisatawan lain dari yang biasa dirasakan pada aktivitas penyelaman pada umumnya.
Sedangkan kategori minawisata bahari yang menjadi urutan terakhir adalah minawisata bahari pengumpulan kerang moluska dengan bobot 0,194. Aktivitas
pengumpulan kekerangan ini menjadi menarik karena dilakukan pada saat terjadinya surut terbesar dan kondisi laut sangat tenang meti kei sehingga selain
berwisata, pengumpulan kekerangan dapat dilakukan sendiri oleh wisatawan dan
140
selanjutnya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata.
Selanjutnya dari hasil pengolahan data dengan menggunakan Criterium DecisionPlus Version 3.0
tergambar besarnya kontribusi dari masing-masing kriteria terhadap alternatif kategori aktivitas minawisata bahari berdasarkan skala
prioritas pemanfaatan ruang seperti yang ditunjukan pada Gambar 19.
0,288 0,269 0,249 0,194
Karamba Pancing Selam Kerang
Gambar 19 Kontribusi masing-masing kriteria terhadap alternatif kategori aktivitas minawisata bahari.
Gambar 19 menunjukan bahwa skala prioritas “ alternatif ” pemanfaatan lahan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir berturut-turut adalah
1 minawisata bahari karamba pembesaran ikan dengan persentase 28,8, 2 minawisata bahari pancing 26,9, 3 minawisata bahari selam 24,9, dan
4 minawisata bahari pengumpulan kerang 19,4. Dengan demikian total persentase seluruh “alternatif” terhadap tujuan yang ingin dicapai adalah 100.
Skala prioritas tersebut didasarkan atas “kriteria” sebagai berikut: ekologi dengan persentase 27,0; ekonomi 28,2; sosial budaya 25,4; dan kelembagaan
19,4. Dengan demikian total persentase seluruh ”kriteria” terhadap tujuan yang ingin dicapai adalah 100.
141
5.1.4 Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Untuk Semua Aktivitas
Berdasarkan skala prioritas pemanfaatan ruang kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, selanjutnya dapat dilihat hasil analisis kesesuaian pemanfaatan
ruang untuk semua aktivitas yang merupakan hasil overlay dari semua peta kesesuaian lahan untuk kelas sesuai. Sedangkan untuk minawisata bahari
mangrove, karena tidak ada ekosistem mangrove yang memenuhi syarat untuk kelas kesesuaian S sesuai, maka luasannya diambil dari kelas kesesuaian SB
sesuai bersyarat seperti yang ditunjukan pada Tabel 28. Tabel 28 Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ruang untuk semua aktivitas
No Kategori
Luasan ha 1.
Minawisata bahari karamba pembesaran ikan 44,97
2. Minawisata bahari pancing
113,12 3.
Minawisata bahari selam 12,22
4. Minawisata bahari pengumpulan kerang moluska
81,00 5.
Minawisata bahari mangrove 29,29
Tabel 28 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai S untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan adalah sebesar 44,97 ha, minawisata bahari
pancing adalah sebesar 113,12 ha, minawisata bahari selam adalah sebesar 12,22 ha, minawisata bahari pengumpulan kerang moluska adalah sebesar 81,00 ha,
dan luas perairan yang sesuai bersyarat SB untuk minawisata bahari mangrove adalah sebesar 29,29 ha. Peta kesesuaian lahan untuk semua aktivitas minawisata
bahari tersebut seperti ditunjukan pada Gambar 20.
5.2 Analisis Daya Dukung Lingkungan
Menurut PPLKPL-KLHFPIK IPB 2002 in Rauf 2007 konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas
maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Mengacu pada konsep ini, maka daya dukung merupakan tingkat pemanfaatan sumberdaya
alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan
142
Gambar 20 Peta kesesuaian lahan semua kategori minawisata bahari.
143
sumberdaya dan lingkungan, atau dengan kata lain jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu
kawasan atau zona tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik, tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem
terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. Konsep inilah yang digunakan dalam menghitung daya dukung
lingkungan untuk model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi di Pulau Dullah.
Mengingat model pengelolaan minawisata bahari ini tidak bersifat mass tourism
dimana sumberdaya dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, maka perlu dilakukan analisis untuk menentukan daya dukung lingkungan. Pendekatan
yang digunakan adalah 1 daya dukung fisik, dengan konsep daya dukung lahan dan daya dukung kawasan, 2 daya dukung ekologis, dengan konsep beban
limbah organik, ketersediaan oksigen terlarut dalam kolom air, dan kapasitas asimilasi lingkungan perairan.
5.2.1 Daya Dukung Fisik
Daya dukung fisik yang dianalisis dalam kajian ini dibatasi pada kemampuan lahan ruang dalam menampung berbagai kegiatan pembangunan
ditinjau aspek kesesuaian lahan. Hasil dari analisis ini akan memberikan informasi mengenai seberapa besar luas lahan dan jumlah unit usaha serta jumlah
maksimum orang yang dapat ditampung oleh kawasan tersebut. Konsep yang digunakan adalah daya dukung lahan dan daya dukung kawasan.
Daya dukung lahan DDL adalah kemampuan maksimum lahan untuk mendukung suatu aktivitas tertentu secara terus menerus tanpa menimbulkan
penurunan kualitas lingkungan baik biofisik maupun sosial, sedangkan daya dukung kawasan DDK menunjukan jumlah maksimum pengunjung yang secara
fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Mengingat model pengelolaan
minawisata bahari yang akan dikembangkan di Teluk Un ini adalah pengelolaan yang berbasis konservasi dan dikembangkan di pulau sangat kecil, maka daya
dukung lahan perlu dibatasi dengan kapasitas lahan KL dimana areal yang diizinkan untuk dikembangkan adalah 30 dari luas lahan yang sesuai.
144
a. Minawisata bahari pancing Analisis daya dukung untuk minawisata bahari pancing dilakukan dengan
pendekatan luas lahan yang sesuai, kapasitas lahan perairan, dan luasan optimal sarana pemancingan ikan. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan didapatkan
luas lahan yang sesuai untuk aktivitas ini adalah seluas 113,12 ha atau 1.131.200 m
2
, apabila kapasitas lahan perairan adalah 30 dari luas lahan yang sesuai maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung lahan diperoleh DDL untuk
minawisata bahari pancing adalah seluas 339.360 m
2
. Luasan optimal sarana pemancingan ikan adalah besaran yang menunjukkan
luas dari 1 unit perahu bercadik dengan ukuran panjang perahu 4 meter dan lebar perahu termasuk cadiknya adalah 3 meter sehingga luasan optimalnya adalah
12 m
2
, sementara luas olah gerak untuk 1 unit sarana pemancingan ikan agar dapat bergerak dengan leluasa tanpa menggangu atau terganggu oleh sarana
pemancingan lainnya adalah 900 m
2
b. Minawisata bahari pengumpulan kerang 30 m X 30 m. Dengan dasar perhitungan
tersebut maka jumlah unit sarana pemancingan ikan yang diperbolehkan untuk beroperasi di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah sebanyak 377 unit
perhari. Selanjutnya, jika 1 unit sarana pemancingan ikan dapat menampung 3 orang 2 orang wisatawan dan 1 orang pendayung perahu maka berdasarkan
hasil perhitungan daya dukung kawasan diperoleh DDK untuk minawisata bahari pancing adalah 1.131 orang perhari.
Analisis daya dukung untuk minawisata bahari pengumpulan kerang dilakukan dengan pendekatan potensi ekologis pengunjung per satuan unit area,
luas area yang dapat dimanfaatkan, unit area, waktu yang disediakan oleh kawasan dalam 1 hari, dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk
melakukan pengumpulan kerang. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan didapatkan luas lahan yang sesuai untuk aktivitas ini adalah seluas 81 ha
atau 810.000 m
2
, apabila kapasitas lahan perairan adalah 30 dari luas lahan yang sesuai maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung lahan diperoleh
DDL atau luas area yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengumpulan kerang menjadi 243.000 m
2
.
145
Unit area adalah besaran yang menunjukkan luasan optimal dari lahan yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas pengumpulan kerang. Jika
diasumsikan bahwa unit area untuk 1 orang pengunjung agar dapat leluasa melakukan aktivitas pengumpulan kerang tanpa menggangu pengunjung lainnya
adalah 2500 m
2
c. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan 50 m X 50 m, potensi ekologis pengunjung per satuan unit area
adalah 1 orang, waktu yang disediakan oleh kawasan dalam 1 hari adalah 8 jam, dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan aktivitas ini adalah
4 jam Yulianda 2007, maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung kawasan diperoleh DDK untuk minawisata bahari pengumpulan kerang adalah sebanyak
194 orang per event. Satuannya ditentukan per event karena sesuai adat dan kebiasaan masyarakat setempat untuk menjaga ketersediaan dan kelestarian
sumberdaya yang ada, aktivitas pengumpulan kerang tidak dapat dilakukan setiap hari oleh masyarakat setempat karena terikat dengan atusan Sasi Yutut, aktivitas
ini hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu yaitu pada saat kondisi laut surut terbesar Meti Kei.
Analisis daya dukung untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan dilakukan dengan pendekatan luas lahan yang sesuai, kapasitas lahan perairan,
dan luasan optimal karamba pembesaran ikan. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, didapatkan luas lahan yang sesuai untuk aktivitas ini adalah
seluas 44,97 ha atau 449.700 m
2
, apabila kapasitas lahan perairan adalah 30 dari luas lahan yang sesuai maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung
lahan diperoleh DDL untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan adalah seluas 134.910 m
2
Luasan optimal karamba pembesaran ikan adalah besaran yang menunjukkan luas dari 1 unit rakit dengan empat buah karamba berukuran
3m X 3m X 3m, luasan optimal untuk 1 unit rakit agar ikan-ikan yang dipelihara dapat bertumbuh dengan baik adalah 144 m
.
2
12 m X 12 m, luasan ini merupakan ukuran optimal yang digunakan secara umum di perairan Indonesia Sunyoto
1993. Sementara luas olah gerak untuk 1 unit rakit karamba agar perahu yang
menuju dan kembali dari rakit karamba dapat bergerak dengan leluasa tanpa
146
menggangu atau terganggu oleh perahu lainnya adalah 3.600 m
2
d. Minawisata bahari selam 60 m X 60 m.
Dengan dasar perhitungan tersebut maka jumlah rakit karamba pembesaran ikan yang diperbolehkan untuk ditempatkan di perairan Teluk Un dan Teluk Vid
Bangir adalah sebanyak 37 unit. Selanjutnya, jika 1 unit rakit dapat menampung 5 orang 4 orang wisatawan dan 1 orang penjaga karamba maka berdasarkan
hasil perhitungan daya dukung kawasan diperoleh DDK untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan adalah 185 orang perhari.
Analisis daya dukung untuk minawisata bahari selam dilakukan dengan pendekatan potensi ekologis pengunjung per satuan unit area, luas area yang dapat
dimanfaatkan, unit area, waktu yang disediakan oleh kawasan dalam 1 hari, dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan penyelaman.
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan didapatkan luas lahan yang sesuai untuk aktivitas ini adalah seluas 12,22 ha atau 122.200 m
2
, apabila kapasitas lahan perairan adalah 30 dari luas lahan yang sesuai maka berdasarkan hasil
perhitungan daya dukung lahan diperoleh DDL atau luas area yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas penyelaman menjadi 36.660 m
2
. Unit area adalah besaran yang menunjukkan luasan optimal dari lahan
yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas penyelaman. Menurut Yulianda 2007, unit area untuk 1 orang pengunjung agar dapat leluasa
melakukan aktivitas penyelaman tanpa menggangu penyelam lainnya adalah 2000 m
2
e. Minawisata bahari mangrove 200 m X 10 m, potensi ekologis pengunjung per satuan unit area adalah
2 orang 1 orang penyelam dan 1 orang pemandu selam, waktu yang disediakan oleh kawasan dalam 1 hari adalah 8 jam, dan waktu yang dihabiskan oleh
pengunjung untuk melakukan aktivitas ini adalah 2 jam, maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung kawasan diperoleh DDK untuk minawisata bahari selam
adalah sebanyak 146 orang per hari.
Menurut Yulianda 2007 dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata mangrove, ketebalan ekosistem mangrove yang dipersyaratkan untuk kelas
kesesuaian S sesuai adalah lebih dari 300 meter, parameter ini juga digunakan
147
dalam melakukan analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove. Hasil interpretasi citra satelit menunjukan bahwa ketebalan ekosistem mangrove
di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir tidak ada yang mencapai 300 meter, ketebalan terbesar hanya mencapai 180 meter, dengan demikian ekosistem
mangrove yang ada di kawasan ini tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S sesuai. Namun untuk kepentingan konservasi dan
pendidikan bahari, ekosistem mangrove yang ada di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir ini dapat digunakan untuk minawisata bahari mangrove
walaupun hanya dengan memanfaatkan luasan ekosistem mangrove yang masuk dalam kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat.
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan didapatkan luas ekosistem mangrove yang masuk dalam kelas kesesuaian SB sesuai bersyarat adalah
29,29 ha atau 292.900 m
2
dan letaknya tersebar mengitari Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Apabila kapasitas lahan adalah 30 dari luas ekosistem mangrove
yang sesuai bersyarat tersebut, maka berdasarkan hasil perhitungan daya dukung lahan diperoleh DDL atau luas area yang dapat dimanfaatkan untuk minawisata
bahari mangrove menjadi 87.870 m
2
Analisis daya dukung untuk minawisata bahari mangrove dilakukan dengan pendekatan potensi ekologis pengunjung per satuan unit area, luas area yang
dapat dimanfaatkan, unit area, waktu yang disediakan oleh kawasan dalam 1 hari, dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan tracking.
Jika diasumsikan bahwa areal untuk membuat rute tracking adalah 10 dari luas area yang dapat dimanfaatkan untuk minawisata bahari mangrove, maka luas area
yang dapat digunakan untuk melakukan tracking adalah 8.787 m .
2
. Unit area adalah besaran yang menunjukkan jarak optimal dari panjang track yang dapat
dimanfaatkan oleh pengunjung untuk melakukan tracking. Menurut Yulianda 2007, unit area untuk 1 orang pengunjung agar dapat leluasa melakukan tracking
tanpa menggangu pengunjung lainnya adalah 50 meter, potensi ekologis pengunjung per satuan unit area adalah 1 orang, waktu yang disediakan oleh
kawasan dalam 1 hari adalah 8 jam, dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan tracking adalah 2 jam, maka berdasarkan hasil perhitungan daya
dukung kawasan diperoleh DDK untuk minawisata bahari mangrove adalah
148
sebanyak 702 orang per hari. Apabila lebar area tracking yang dibuat adalah 2 meter, maka minawisata bahari mangrove ini dapat dinikmati dengan cara
mengekplorasi sekaligus menikmati ekosistem mangrove dengan semua proses alami yang terjadi di dalamnya mengikuti rute tracking sepanjang 4.394 meter.
5.2.2 Daya Dukung Ekologis
Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung ekologis adalah dengan pendekatan kapasitas asimilasi lingkungan perairan. Perairan teluk
memiliki kemampuan menampung beban pencemaran sampai pada batas-batas tertentu, kemampuan ini dipengaruhi oleh proses pengenceran dan perombakan
yang terjadi di dalamnya. Kapasitas asimilasi didefenisikan sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima beban pencemar limbah tanpa menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Apabila beban limbah yang masuk ke perairan melebihi kemampuan asimilasinya maka
akan menyebabkan terjadinya pencemaran. Perhitungan kapasitas asimilasi lingkungan perairan Teluk Un dan Teluk
Vid Bangir dalam menampung beban pencemar dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan metoda regresi sederhana antara konsentrasi masing-masing
parameter kualitas air di lingkungan perairan dengan beban pencemarnya, hasil regresi sederhana tersebut selanjutnya dianalisis dengan cara memotongkannya
dengan nilai baku mutu air laut untuk biota laut dan wisata bahari sesuai standar baku mutu yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jika nilai kapasitas asimilasinya belum terlampaui, maka beban pencemar yang masuk masih
tergolong rendah, dimana beban pencemar yang masuk akan mengalami proses difusi atau dispersi atau penguraian di dalam lingkungan perairan, hal ini ditandai
oleh nilai konsentrasi parameter beban pencemar yang masih berada dibawah nilai ambang batas baku mutu air laut. Begitu pula sebaliknya, jika nilai kapasitas
asimilasinya telah melampaui kemampuan asimilasinya maka kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Data hasil pengukuran parameter kualitas
air di lingkungan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir serta standar baku mutu air laut yang dipersyaratkan seperti yang ditunjukan pada Tabel 29.
149
Tabel 29 Status kualitas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir
Parameter Baku Mutu
Hasil Pengukuran Biota
Laut Wisata
Bahari St.1
St.2 St.3
St.4 St.5
St.6 St.7
Nitrat mgl 0,008
0,008 0,008
0,003 0,002
0,003 0,004
0,003 0,003 Phosphat mgl
0,015 0,015
0,009 0,002
0,004 0,005
0,002 0,002 0,004
Tembaga mgl 0,008
0,050 0,017
0,007 0,008
0,008 0,007
0,007 0,009 Ammonia mgl 0,3
nihil 0,006
0,007 0,009
0,008 0,007
0,007 0,011 Sulfida mgl
0,01 nihil
0,011 0,006
0,007 0,007
0,006 0,006 0,007
Selanjutnya data hasil regresi sederhana fungsi y, beban pencemar dan kapasitas asimilasinya seperti ditunjukan pada Tabel 30. Persamaan regresi yang terbentuk
merupakan hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter kualitas air di lingkungan perairan dengan beban pencemarnya. Apabila garis regresi yang
terbentuk ditarik lurus sehingga berpotongan dengan garis baku mutu air laut sesuai peruntukannya maka akan didapatkan nilai kapasitas asimilasinya seperti
yang ditunjukan pada Gambar 21.
Tabel 30 Beban pencemar dan kapasitas asimilasi lingkungan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir
No Paramater
Fungsi y R
Beban Pencemar
mgdet
2
Kapasitas Asimilasi
mgdet 1
Nitrat NO
3
y = 3,025 + 0,002x –N
R
2
1,286 = 0,999
2,772 2
Phosphat PO
4
y = 4,990 + 0,002x R
2
1,386 = 0,999
5,198 3
Tembaga Cu y = 6,370 + 0,002x
R
2
3,119 = 0,999
2,772 4
Ammonia NH
3
y = - 9,610 + 0,002x –N
R
2
2,703 = 0,999
103,967 5
Sulfida H
2
y = 1,050 + 0,002x S
R
2
2,475 = 0,999
3,465
150
a. Kapasitas Asimilasi Nitrat NO
3
-N b. Kapasitas Asimilasi Phosphat PO
4
c. Kapasitas Asimilasi Tembaga Cu
d. Kapasitas Asimilasi Ammonia NH
3
-N e. Kapasitas Asimilasi Sulfida H
2
Gambar 21 Kapasitas asimilasi dari 5 paramater kualitas air di lingkungan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.
-S
a. Kapasitas Asimilasi Nitrat NO
3
Penentuan nilai kapasitas asimilasi untuk NO -N
3
-N dilakukan dengan persamaan regresi y = 3,025 + 0,002x dan R
2
= 0,999. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar
151
2,772 mgdet 0,007 tonbulan. Jika beban pencemar yang ada sebesar 1,286 mgdet 0,003 tonbulan dibandingkan dengan nilai kapasitas asimilasi tersebut
maka terlihat bahwa beban pencemar yang masuk masih tergolong rendah karena berdasarkan hasil pengukuran kualitas air di 7 stasiun pengamatan ternyata
konsentrasi NO
3
-N pada 6 stasiun pengamatan masih berada dibawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu di Stasiun 2, 3, 4, 5, 6, dan 7, kecuali pada stasiun
pengamatan 1 di bagian utara Teluk Un terlihat bahwa nilai konsentrasi NO
3
b. Kapasitas Asimilasi Phosphat PO -N
telah mencapai batas kapasitas asimilasinya.
4
Berdasarkan persamaan regresi y = 4,990 + 0,002x dan R
2
= 0,999 maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi PO
4
di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan
nilai kapasitas asimilasi sebesar 5,198 mgdet 0,013 tonbulan. Jika beban pencemar yang ada sebesar 1,386 mgdet 0,003 tonbulan dibandingkan dengan
nilai kapasitas asimilasi tersebut maka beban pencemar yang masuk masih tergolong rendah karena hasil pengukuran kualitas air di 7 stasiun pengamatan
semuanya menunjukan bahwa konsentrasi PO
4
c. Kapasitas Asimilasi Tembaga Cu masih berada dibawah nilai baku
mutu yang dipersyaratkan.
Nilai kapasitas asimilasi untuk Cu ditentukan berdasarkan persamaan regresi y = 6,370 + 0,002x dan R
2
= 0,999. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 2,772 mgdet
0,007 tonbulan. Jika beban pencemar yang ada sebesar 3,119 mgdet 0,008 tonbulan dibandingkan dengan nilai kapasitas asimilasi tersebut maka terlihat
bahwa kondisi perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir telah tercemar oleh Cu karena ada 2 stasiun pengamatan yang konsentasi Cu telah melampaui nilai baku
mutu yang dipersyaratkan yaitu pada Stasiun 1 dan 7. Selain itu juga ada 2 stasiun pengamatan yang konsentrasi Cu sama dengan baku mutu yang dipersyaratkan
yaitu pada Stasiun 3 dan 4, sedangkan konsentrasi Cu pada 3 stasiun pengamatan lainnya masih berada di bawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu pada
Stasiun 2, 5, dan 6.
152
d. Kapasitas Asimilasi Ammonia NH
3
Penentuan nilai kapasitas asimilasi untuk NH -N
3
-N dilakukan dengan persamaan regresi y = - 9,610 + 0,002x dan R
2
= 0,999. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar
103,967 mgdet 0,269 tonbulan. Nilai kapasitas asimilasi ini cukup besar karena konsentrasi NH
3
-N yang ada di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 0,3
mgl. Jika beban pencemar yang ada sebesar 2,703 mgdet 0,007 tonbulan dibandingkan dengan nilai kapasitas asimilasi tersebut maka jelas terlihat bahwa
beban pencemar yang masuk masih tergolong rendah karena hasil pengukuran kualitas air pada 7 stasiun pengamatan, semuanya menunjukan konsentrasi NH
3
- N
e. Kapasitas Asimilasi Sulfida H masih berada jauh dibawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan.
2
Berdasarkan persamaan regresi y = 1,050 + 0,002x dan R -S
2
= 0,999 maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi H
2
S di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan
nilai kapasitas asimilasi sebesar 3,465 mgdet 0,008 tonbulan. Jika beban pencemar yang ada sebesar 2,475 mgdet 0,006 tonbulan dibandingkan dengan
nilai kapasitas asimilasi tersebut maka terlihat bahwa beban pencemar yang masuk masih tergolong rendah karena berdasarkan hasil pengukuran kualitas air
di 7 stasiun pengamatan ternyata konsentrasi H
2
S pada 6 stasiun pengamatan masih berada dibawah nilai baku mutu yang dipersyaratkan yaitu di Stasiun 2, 3,
4, 5, 6, dan 7. Sama halnya dengan nitrat, pada stasiun pengamatan 1 di bagian utara Teluk Un terlihat bahwa konsentrasi H
2
Dari kelima parameter kualitas air tersebut diatas, dapat dijelaskan bahwa unsur pencemar seperti nitrat, tembaga, dan sulfida yang konsentrasinya telah
mencapai atau bahkan melampaui batas kapasitas asimilasinya diduga keberadaannya karena adanya limbah pemukiman penduduk yang masuk ke
lingkungan perairan, namun kondisi ini belum terlalu membahayakan karena beban pencemar tersebut akan terbilas pada saat air bergerak pasang dan
kemudian terbawa oleh arus ke luar teluk pada saat air bergerak surut. S telah melampaui batas kapasitas
asimilasinya.
153
Menurut MERDI in DPK 2006a, tipe pasang surut di perairan Kei Kecil adalah pasang campuran mirip harian ganda. Dengan tipe pasut seperti ini maka
arus pasang surut pada suatu titik di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir akan berubah arah dan kecepatannya sebanyak 4 kali. Kecepatan arus pada kanal teluk ini
sangat mempengaruhi cepat lambatnya pergantian massa air di dalam teluk tersebut, hal ini berkaitan dengan kepekaan teluk tersebut terhadap polusi maupun
dalam menentukan input dan output bibit propagule, misalnya larva biota laut yang terbawa arus ke teluk tersebut. Renjaan dan Pattisamalo 1999
mengemukakan bahwa lama waktu menetap residence time atau lama waktu singgah transit time massa air di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir diperkirakan
kurang dari 9 jam, dalam kurun waktu yang singkat ini Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat memperbaharui massa airnya maupun kondisi bio-ekologisnya.
5.3 Alokasi Ruang Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir
Alokasi ruang adalah teknik pengaturan pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya, hasil analisis
kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Hasil olahan data menunjukan bahwa luas kawasan perairan
yang dapat dimanfaatkan untuk minawisata bahari pancing, pengumpulan kerang, karamba pembesaran ikan, dan selam adalah 2.891.715,47 m
2
sedangkan luas kawasan ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan adalah 404.602,75 m
2
Dari Tabel 31 terlihat bahwa perbandingan luas area yang dapat dimanfaatkan untuk masing-masing kategori aktivitas minawisata bahari terhadap
luas kawasan berkisar antara 1,27 - 21,72, luasan ini terlihat cukup kecil bila dibandingkan dengan luas kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, hal ini
menunjukan bahwa model pengelolaan minawisata bahari yang akan dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah model
. Selanjutnya alokasi ruang kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dibuat
berdasarkan potensi sumberdaya, hasil analisis kesesuaian lahan dan analisis daya dukung lingkungan dari masing-masing kategori aktivitas minawisata bahari.
Tabel 31 menunjukan luas area peruntukan lahan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi.
154
pengelolaan yang berbasis konservasi karena masih menyisakan sebagian besar lahan untuk menjamin ketersediaan dan kelestarian sumberdaya yang ada.
Selanjutnya peta alokasi ruang kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk minawisata bahari berbasis konservasi seperti ditunjukan pada Gambar 22.
Tabel 31 Luas area peruntukan lahan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir
Peruntukan Lahan Luas Area m
2
Persentase Minawisata Bahari Pancing
339.360 11,74
Minawisata Bahari Pengumpulan Kerang 243.000
8,40 Minawisata Bahari Karamba Pembesaran Ikan
134.910 4,67
Minawisata Bahari Selam 36.660
1,27 Minawisata Bahari Mangrove
87.870 21,72
5.4 Analisis Ekonomi
Analisis ekonomi untuk mendukung model pengelolaan minawisata bahari di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir ini menggunakan pendekatan valuasi
ekonomi dan analisis manfaat-biaya dengan menambahkan komponen lingkungan didalam perhitungannya extended cost-benefit analysis dengan tujuan untuk
mendapatkan penilaian ekonomi secara utuh yang menggambarkan willingness to pay
yang benar dari masyarakat terhadap manfaat yang dihasilkan dari ekosistem pesisir dan laut.
5.4.1 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Teluk Un dan Teluk Vid Bangir
Kawasan pesisir dan laut yang termasuk kategori teluk seperti halnya Teluk Un dan Teluk Vid Bangir memerlukan sebuah rencana pengelolaan sehingga
kajian komprehensif terhadap dinamika kegiatan ekonomi maupun dampak lingkungan menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini karena Teluk Un dan Teluk Vid
Bangir memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat, baik manfaat langsung seperti perikanan dan wisata bahari maupun tidak langsung
seperti peran ekosistem terumbu karang dan mangrove bagi lingkungan yang ada disekitarnya. Manfaat ini harus dinilai secara ekonomi agar input kebijakan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut dilakukan secara komprehensif dalam konteks manfaat dan biayanya.
155
Gambar 22 Peta alokasi ruang kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk model pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi.
156
Masyarakat adat yang ada di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir tentu saja menginginkan adanya pembangunan ekonomi di wilayahnya, namun pada
saat yang sama mereka juga memahami arti penting kelestarian sumberdaya pesisir dan laut yang ada diwilayah tersebut, dengan kata lain mereka ingin
mengetahui manfaat dan biaya dari ekosistem yang ada yang nantinya dapat dimanfaatkan secara bijaksana untuk kesejahteraan mereka. Dalam konteks inilah
maka valuasi ekonomi sumberdaya digunakan. Peran valuasi ekonomi terhadap ekosistem dan sumberdaya yang ada disuatu wilayah penting dalam perumusan
kebijakan pembangunan termasuk dalam hal ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya yang ada merupakan masalah
ekonomi karena akan menghilangkan kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Pilihan kebijakan pembangunan yang akan
mempertahankan ekosistem tersebut seperti apa adanya atau akan dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat
dipecahkan dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi, dalam hal ini kuantifikasi manfaat benefit dan kerugian cost harus dilakukan agar
pengambilan keputusan dapat dilakukan secara bijaksana.
a. Ekosistem Hutan Mangrove
1 Nilai Guna Langsung Direct Use Value Nilai guna langsung dari ekosistem hutan mangrove Teluk Un dan Teluk
Vid Bangir yang dapat terukur nilainya adalah pemanfaatannya untuk dijadikan bahan bangunan rumah, kayu bakar, ikan, dan kepiting bakau. Metoda yang
digunakan dalam penaksiran manfaat langsung adalah dengan menggunakan pendekatan manfaat dan biaya berdasarkan nilai pasar melalui proses benefit
transfer. Pendekatan ini menghitung jenis dan jumlah produk langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat dikalikan dengan harga pasar yang berlaku dari setiap
unit produk. Tabel 32 menunjukan hasil benefit transfer dari beberapa lokasi penelitian
sebelumnya yang digunakan sebagai dasar perhitungan valuasi ekonomi ekosistem mangrove di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, sedangkan Tabel 33
menunjukan nilai guna langsung ekosistem hutan mangrove berdasarkan hasil benefit transfer tersebut.
157
Tabel 32 Hasil benefit transfer harga pasar pemanfaatan langsung ekosistem mangrove dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya.
MANFAAT LANGSUNG
1 2
3 4
5 RATA
RATA PEMBULATAN
Harga Pasar
Harga Pasar
Harga Pasar
Harga Pasar
Harga Pasar
Rasio IHK Lokasi Studi
123,71 123,71
123,71 123,71
123,71 Rasio IHK
Lokasi Asal 125,33
126,37 123,71
120,26 121,30
Potensi kayu Rpm3
59.224 127.264 61.721
82.736 82.740
Ranting kayu bakar
per ikat 296
2.750 2.550
1.865 1.870
Ikan per kg
2.961 3.000
5.354 3.772
3.770 Kepiting
bakau per kg
9.871 10.000
40.795 20.222
20.220 Sumber : 1
Harga pasar di Buton - Sulawesi Tenggara Fitrawati, 2001. 2
Harga pasar di Bontang - Kalimantan Timur Astuti, 2005. 3
Harga pasar di Seram Bagian Barat - Maluku Supriyadi, 2005. 4
Harga pasar di Jepara - Jawa Tengah, Pariyono 2006. 5
No. Harga Pasar di Malili - Sulawesi Selatan, Sribiyanti 2008.
Tabel 33 Nilai guna langsung ekosistem mangrove di Teluk Un dan Teluk Vid - Bangir per hektar per tahun
Jenis Pemanfaatan
Harga Pasar Rp Satuan
Volume Produksi
Nilai Ekonomi Rp
1. Kayu bahan bangunan
82.740 m 47 m
3
3.888.780
3
2. Ranting kayu bakar
1.870 ikat 1.780 ikat
3.328.600 3.
Ikan 3.770 kg
2.056 kg 7.751.120
4. Kepiting bakau
20.220 kg 600 kg
12.132.000 J umlah
27.100.500 Sumber : Hasil olahan dari proses benefit transfer.
Dari tabel 33 diperoleh nilai guna langsung ekosistem hutan mangrove adalah Rp.27.100.500 per ha per tahun. Dengan luas hutan mangrove kawasan Teluk Un
dan Teluk Vid Bangir sebanyak 153,58 ha maka nilai guna langsung ekosistem hutan mangrove kawasan tersebut adalah sebesar Rp.4.162.094.790 per tahun.
2 Nilai Guna Tidak Langsung Indirect Use Value Salah satu fungsi dari hutan mangrove adalah sebagai pencegah abrasi
pantai, sehubungan dengan sebagian besar masyarakat Pulau Dullah tinggal di pesisir pantai, maka pengukuran nilai guna tidak langsung diarahkan pada fungsi
158
diatas. Pendekatan manfaat hutan mangrove sebagai pencegah abrasi pantai dilakukan dengan pembangunan talud penahan pantai apabila ekosistem hutan
mangrove tersebut rusak atau tidak ada. Menurut Sjafrie 2010 biaya pembangunan talud penahan pantai diperkirakan sekitar Rp.300.000 per m
3
. Selanjutnya dikatakan bahwa pada umumnya talud yang dibangun mempunyai
tinggi penampang 1 meter dan lebar penampang 0,5 meter dengan bentuk memanjang mengikuti garis pantai. Dengan demikian bila panjang garis pantai di
kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang ditumbuhi hutan mangrove adalah 6.837,6 meter maka volume talud penahan pantai yang harus dibangun adalah
3.418,8 m
3
1m x 0,5 m x 6.837,6 m sehingga biaya dan nilai guna tidak langsung dari hutan mangrove sebagai pencegah abrasi pantai dapat diperkirakan
yaitu 3.418,8 m
3
3 Nilai Pilihan Option Value x Rp.300.000 atau sebesar Rp.1.025.640.000 per tahun dengan
daya tahan selama 10 tahun, atau sebesar Rp.102.564.000 per tahun.
Untuk menentukan nilai pilihan dari ekosistem hutan mangrove digunakan nilai keanekaragaman hayati biodiversity seperti yang dikemukakan oleh
Ruitenbeek 1992 dimana nilai biodiversity ekosistem hutan mangrove adalah USD 1.500 per km
2
4 Nilai Keberadaan Existence Value per tahun atau USD 15,00 per ha per tahun. Bila
dikonversikan kedalam nilai Rupiah dimana USD 1,00 diasumsikan adalah Rp.10.000 maka nilainya menjadi Rp.150.000 per ha per tahun. Dengan luas
hutan mangrove kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sebanyak 153,58 ha maka nilai pilihan dari ekosistem hutan mangrove tersebut adalah sebesar
Rp.23.037.000 per tahun.
Pendekatan untuk menghitung nilai keberadaan hutan mangrove adalah dengan menggunakan contingent value method CVM dimana nilai keberadaan
ekosistem mangrove berdasarkan hasil benefit transfer dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya adalah sebesar Rp.2.825.680 per ha per tahun lihat
Lampiran 7b. Dengan luas hutan mangrove kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sebanyak 153,58 ha maka nilai keberadaan dari ekosistem hutan mangrove
tersebut adalah sebesar Rp.433.967.930 per tahun.
159
5 Nilai Ekonomi Total Total Economic Value Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan hutan mangrove sebanyak
153,58 ha memiliki manfaat yang cukup besar dan beragam mulai dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat keberadaan.
Tabel 34 menunjukan nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yaitu sebesar Rp.4.721.663.740 per tahun.
Tabel 34 Nilai ekonomi total ekosistem mangrove kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir per tahun
No. Nilai Kegunaan
Nilai per Hektar Rp Nilai Total Rp
1. Nilai guna langsung
27.100.500 4.162.094.790
2. Nilai guna tidak langsung
667.820 102.564.000
3. Nilai pilihan
150.000 23.037.000
4. Nilai keberadaan
2.825.680 433.967.930
Nilai Ekonomi Total 30.744.000
4.721.663.720
Tabel 34 menunjukan bahwa dari hasil perhitungan, nilai guna langsung memberikan nilai yang terbesar dalam pemanfaatannya sebagai bahan bangunan
rumah, bahan kayu bakar, ikan, dan kepiting bakau. Nilai guna tidak langsung dari ekosistem hutan mangrove juga memberikan nilai yang cukup besar setelah nilai
guna langsung yaitu sebagai pencegah abrasi pantai dan penyedia pakan. Sedangkan nilai keberadaan menunjukan bahwa masyarakat telah mampu
memberikan penilaian terhadap keberadaan ekosistem hutan mangrove tersebut.
b. Ekosistem Terumbu Karang
1 Nilai Guna Langsung Direct Use Value
Berdasarkan hasil identifikasi nilai guna langsung dari ekosistem terumbu karang di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dapat terukur nilainya
adalah pemanfaatannya untuk perikanan terumbu, lola, teripang, dan penelitian. Metoda yang digunakan dalam penaksiran manfaat langsung adalah dengan
menggunakan pendekatan manfaat dan biaya berdasarkan nilai pasar melalui proses benefit transfer. Pendekatan ini menghitung jenis dan jumlah produk
langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat dikalikan dengan harga pasar
160
yang berlaku dari setiap unit produk. Tabel 35 menunjukan hasil benefit transfer dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai dasar
perhitungan valuasi ekonomi terumbu karang di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, sedangkan Tabel 36 menunjukan nilai guna langsung ekosistem terumbu karang
berdasarkan hasil benefit transfer tersebut.
Tabel 35 Hasil benefit transfer harga pasar pemanfaatan langsung ekosistem terumbu karang dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya.
MANFAAT LANGSUNG
1 2
3 4
RATA RATA
PEMBULATAN Harga
Pasar Harga
Pasar Harga
Pasar Harga
Pasar Rasio IHK
Lokasi Studi
123,71 123,71
123,71 123,71
Rasio IHK Lokasi Asal
123,71 126,37
121,30 125,33
Perikanan terumbu
per kg 5.000
7.342 63.742
44.418 30.126
30.130 Lola
per kg 26.750
39.878 33.314
33.310 Teripang
per kg 18.750
50.993 118.449 62.731
62.730 Sumber : 1
Harga pasar di Pulau Nusalaut - Maluku Wawo, 2000. 2
Harga pasar di Bontang - Kalimantan Timur Astuti, 2005. 3
Harga pasar di Barrang Lompo - Sulawesi Selatan Hamzah, 2005. 4
No. Harga pasar di Wakatobi - Sulawesi Tenggara Coremap II, 2008.
Tabel 36 Nilai guna langsung ekosistem terumbu karang di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir per hektar per tahun
Jenis Pemanfaatan
Harga Pasar Rp Satuan
Volume Produksi
Nilai Ekonomi Rp
1. Perikanan terumbu
30.130 kg 144 kg
4.338.720 2.
Lola 33.310 kg
120 kg 3.997.200
3. Teripang
62.730 kg 54 kg
3.387.420 J u m l a h
11.723.340 Sumber : Hasil olahan dari proses benefit transfer.
Dari tabel 36 diperoleh nilai guna langsung ekosistem terumbu karang untuk perikanan terumbu, lola, dan teripang adalah Rp.11.723.340 per ha per tahun.
161
Dengan luas terumbu karang Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sebanyak 62,78 ha maka nilai guna langsung ekosistem terumbu karang tersebut adalah sebesar
Rp.735.991.285 per tahun. Disamping ketiga manfaat langsung diatas, kawasan perairan Teluk Un dan
Teluk Vid Bangir juga merupakan tempat yang menarik untuk dijadikan lokasi penelitian karena selain merupakan habitat berbagai biota laut dan daerah
penangkapan ikan, Teluk Un dan Vid Bangir juga merupakan daerah sumber source terutama yang berkaitan dengan distribusi bibit kehidupan propagule
‘misalnya larva’ yang mengendalikan keberlangsungan kehidupan di perairan sekitarnya sehingga sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian. Nilai guna
langsung untuk penelitian dari ekosistem terumbu karang di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir didekati dengan biaya yang dikeluarkan oleh 1 orang peneliti selama
melakukan penelitian dilokasi tersebut. Dalam 1 tahun diperkirakan ada sekitar 4 orang peneliti yang melakukan penelitian. Berdasarkan hasil benefit transfer dari
beberapa lokasi penelitian sebelumnya terlihat bahwa besar biaya penelitian adalah Rp.40.855.650 per orang sehingga nilai guna langsung untuk penelitian
dari ekosistem terumbu karang di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah Rp.163.422.600 per tahun. Dengan demikian jika nilai guna langsung ekosistem
terumbu karang untuk perikanan terumbu, lola, dan teripang ditambah dengan nilai guna langsung untuk penelitian maka total nilai guna langsungnya menjadi
Rp.899.413.885 per tahun. 2 Nilai Guna Tidak Langsung Indirect Use Value
Nilai guna tidak langsung yang dapat diidentifikasi dari ekosistem terumbu karang di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah sebagai pencegah abrasi pantai.
Pendekatan manfaat terumbu karang sebagai pencegah abrasi pantai dilakukan dengan pembangunan pemecah gelombang break water apabila ekosistem
terumbu karang tersebut rusak atau tidak ada. Menurut Sjafrie 2010 biaya pembangunan pemecah gelombang diperkirakan sekitar Rp.300.000 per m
3
. Pada umumnya pemecah gelombang yang dibangun mempunyai kedalaman 3 m dan
lebar penampang 2,5 m dengan bentuk memanjang mengikuti garis pantai. Dengan demikian bila panjang garis pantai dari luasan ekosistem terumbu karang
di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah 11.019,31 meter maka
162
volume pemecah gelombang yang harus dibangun adalah 82.644,83 m
3
3m x 2,5 m x 11.019,31 m sehingga biaya dan nilai guna tidak langsung dari ekosistem
terumbu karang sebagai pencegah abrasi pantai dapat diperkirakan yaitu 82.644,83 m
3
3 Nilai Pilihan Option Value x Rp.300.000 atau sebesar Rp.24.793.447.500 dengan daya tahan
selama 10 tahun, atau sebesar Rp.2.479.344.750 per tahun.
Untuk menentukan nilai pilihan dari ekosistem terumbu karang digunakan nilai keanekaragaman hayati biodiversity. Hatcher dkk 1992 in Sawyer 1992
menyatakan bahwa terumbu karang mempunyai nilai konservasi yang setara dengan hutan basah tropis, sedangkan menurut Ruitenbeek 1992 keuntungan
yang diperoleh dari ekosistem yang tinggi nilai keragamannya dan mempunyai nilai ekologis yang tinggi seperti hutan basah tropis memiliki nilai potensi sebesar
USD 1.500 per km
2
4 Nilai Keberadaan Existence Value per tahun atau USD 15 per ha per tahun. Bila dikonversikan
kedalam nilai Rupiah dimana USD 1,00 diasumsikan adalah Rp.10.000 maka nilainya menjadi Rp.150.000 per ha per tahun. Dengan luas terumbu karang Teluk
Un dan Teluk Vid Bangir sebanyak 62,78 ha maka nilai pilihan dari ekosistem terumbu karang tersebut adalah sebesar Rp.9.417.000 per tahun.
Pendekatan untuk menghitung nilai keberadaan terumbu karang adalah dengan menggunakan contingent value method CVM, dimana nilai keberadaan
ekosistem terumbu karang berdasarkan hasil benefit transfer dari beberapa lokasi penelitian sebelumnya adalah sebesar Rp.6.992.550 per ha per tahun lihat
Lampiran 7c. Dengan luas terumbu karang Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sebanyak 62,78 ha maka nilai keberadaan dari ekosistem terumbu karang tersebut
adalah sebesar Rp.438.992.290 per tahun. 5 Nilai Ekonomi Total Total Economic Value
Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan luas ekosistem terumbu karang sebanyak 62,78 ha memiliki nilai guna yang cukup besar dan beragam
mulai dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai pilihan, dan nilai keberadaan. Tabel 37 menunjukan nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang
163
kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yaitu sebesar Rp.3.827.167.925 per tahun.
Tabel 37 Nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir per tahun
No. Nilai Kegunaan
Nilai per Hektar Rp Nilai Total Rp
1. Nilai guna langsung
14.326.440 899.413.885
2. Nilai guna tidak langsung
39.492.590 2.479.344.750
3. Nilai pilihan
150.000 9.417.000
4. Nilai keberadaan
6.992.550 438.992.290
Nilai Ekonomi Total 60.961.580
3.827.167.925
Tabel 37 menunjukan bahwa dari hasil perhitungan, nilai guna tidak langsung dari ekosistem terumbu karang memberikan nilai yang terbesar yaitu
sebagai pencegah abrasi pantai. Nilai guna langsung juga memberikan nilai yang cukup besar dalam pemanfaatannya untuk perikanan terumbu, lola, teripang, dan
penelitian. Sedangkan nilai keberadaan menunjukan bahwa masyarakat telah mampu memberikan penilaian terhadap keberadaan ekosistem terumbu karang
tersebut.
5.4.2 Analisis Manfaat-Biaya
Analisis yang digunakan untuk menghitung kelayakan usaha berbagai aktivitas minawisata bahari ini adalah dengan pendekatan extended cost-benefit
analysis ECBA. Pada prinsipnya ECBA adalah pengembangan dari cost-benefit
analysis , disebut extended karena dalam perhitungan cost-benefit kita tambahkan
nilai manfaat dan biaya lingkungan sebagai bagian dari komponennya. Nilai manfaat dan biaya lingkungan dimaksud didapat dari hasil valuasi ekonomi
sumberdaya yang akan digunakan yaitu ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove.
Untuk minawisata bahari pancing; pengumpulan kerang; karamba pembesaran ikan; dan selam, komponen manfaat lingkungan atau environmental
benefit B
e
yang ditambahkan dalam perhitungan adalah nilai manfaat langsung ekosistem terumbu karang sebagai penghasil perikanan terumbu, lola, teripang,
164
dan untuk kegiatan penelitian, sedangkan komponen biaya lingkungan atau environmental cost
C
e
adalah total nilai ekonomi ekosistem terumbu karang dengan luasan tertentu apabila kita mengkonversi terumbu karang tersebut untuk
suatu jenis pemanfaatan, sementara biaya mitigasi lingkungan atau environmental protection cost
C
p
adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki kualitas lingkungan misalnya untuk pembuatan artificial reef, restocking, dan
pungutan adat pengganti sasi yang akan digunakan untuk perbaikan lingkungan. Untuk minawisata bahari mangrove, komponen manfaat lingkungan atau
environmental benefit B
e
yang ditambahkan dalam perhitungan adalah nilai manfaat langsung ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu bahan bangunan,
kayu bakar, ikan, dan kepiting bakau, sedangkan komponen biaya lingkungan atau environmental cost
C
e
adalah total nilai ekonomi ekosistem mangrove dengan luasan tertentu apabila kita mengkonversi mangrove tersebut untuk suatu jenis
pemanfaatan, sementara biaya mitigasi lingkungan atau environmental protection cost
C
p
adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki lingkungan dan ekosistem mangrove yang rusak misalnya untuk menanam kembali anakan
mangrove, dan pungutan adat pengganti sasi yang akan digunakan untuk perbaikan lingkungan.
Barton 1994 menjelaskan bahwa salah satu kriteria yang digunakan dalam evaluasi kebijakan adalah dengan menghitung net present value NPV dimana
keuntungan bersih suatu proyekusaha adalah pendapatan kotor dikurangi jumlah biaya. Dengan demikian maka NPV suatu proyekusaha adalah selisih PV arus
benefit dengan PV arus cost. Suatu proyekusaha dapat dikatakan bermanfaat atau
layak untuk dilaksanakan bila NPV proyekusaha tersebut lebih besar dari atau sama dengan nol NPV 0 dan sebaliknya bila NPV proyekusaha tersebut lebih
kecil dari nol NPV 0 maka proyekusaha tersebut merugikan atau tidak layak untuk dilaksanakan. Selain itu, dapat juga dengan melihat BC Rasio, bila BC
Rasio 1 maka usaha layak untuk dilaksanakan, bila BC Rasio = 1 maka usaha perlu ditinjau kembali karena tidak memberikan keuntungan, sedangkan bila BC
Rasio 1 maka usaha tidak layak untuk dilaksanakan. Tabel 38 menunjukan hasil analisis usaha masing-masing kategori aktivitas minawisata bahari dengan
menggunakan pendekatan ECBA.
165
Tabel 38 Manfaat-Biaya untuk minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir per 1 unit usaha per tahun nilai dalam Rupiah
Kategori Aktivitas Manfaat
Langsung B
d
Manfaat Eksternal
B
e
Biaya Langsung
C
d
Biaya Eksternal
C
e
Biaya Proteksi
C
p
NPV BC
Minawisata Bahari Pancing
6.800.000 76.440
3.010.000 397.500
127.000 3.341.940
3,96 Minawisata Bahari
Pengumpulan Kerang 800.000
1.400 450.000
7.300 37.000
307.100 2,33
Minawisata Bahari Karamba Pemb. Ikan
78.200.000 327.600
39.700.000 1.703.500
909.000 36.215.100
4,29 Minawisata Bahari
Selam 18.700.000
21.800 10.600.000
113.600 365.000
7.643.200 1,93
Minawisata Bahari Mangrove
119.000.000 22.189.700
50.150.000 25.173.000
3.230.000 62.636.700
5,28
Tabel 38 menunjukan bahwa semua kategori aktivitas minawisata bahari layak untuk dikembangkan di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena nilai
NPV dari masing-masing kategori aktivitas tersebut lebih besar dari nol dan BC Rasio lebih besar dari 1. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan,
daya dukung lingkungan, valuasi ekonomi sumberdaya, dan analisis manfaat- biaya maka uraiannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Minawisata bahari pancing Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat menampung 377 unit usaha
pemancingan ikan dengan memanfaatkan ekosistem terumbu karang seluas 28,26 ha dimana tiap 1 unit usaha akan memanfaatkan 0,07 ha terumbu karang.
Unit usaha ini akan memberikan keuntungan sebesar Rp.3.341.940 per tahun 34 minggu dengan nilai BC 3,96.
b. Minawisata bahari pengumpulan kerang Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat menampung 194 unit usaha
pengumpulan kerang dengan memanfaatkan ekosistem terumbu karang seluas 20,24 ha dimana tiap 1 unit usaha akan memanfaatkan 0,10 ha terumbu karang.
Unit usaha ini akan memberikan keuntungan sebesar Rp.307.100 per tahun 4 minggu dengan nilai BC 2,33.
166
c. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat menampung 37 unit usaha
karamba pembesaran ikan dengan memanfaatkan ekosistem terumbu karang seluas 11,23 ha, dimana tiap 1 unit rakit karamba akan memanfaatkan 0,30 ha
terumbu karang. Unit usaha ini akan memberikan keuntungan sebesar Rp.36.215.100 per tahun 34 minggu dengan nilai BC 4,29.
d. Minawisata bahari selam Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat menampung 146 unit usaha
penyelaman dengan memanfaatkan ekosistem terumbu karang seluas 20,24 ha dimana tiap 1 unit usaha penyelaman akan memanfaatkan 0,02 ha terumbu
karang. Unit usaha ini akan memberikan keuntungan sebesar Rp.7.643.200 per tahun 34 minggu dengan nilai BC 1,93.
e. Minawisata bahari mangrove Di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir hanya dapat dikembangkan 1 unit
usaha minawisata bahari mangrove yang memanfaatkan ekosistem mangrove seluas 8,79 ha. Minawisata bahari mangrove ini akan memberikan keuntungan
sebesar Rp.62.636.700 per tahun 34 minggu dengan nilai BC 5,28.
5.5 Analisis Sosial
Analisis sosial untuk pengelolaan minawisata bahari dilakukan terhadap kondisi sosial masyarakat Desa Taar sebagai pemilik adat kawasan Teluk Un dan
Teluk Vid Bangir. Jumlah penduduk Desa Taar pada tahun 2009 adalah 2.412 jiwa yang tersebar dalam 509 Kepala Kelarga KK. Hal ini menunjukkan bahwa
rata-rata setiap rumah tangga di Desa Taar terdiri dari 5 anggota keluarga. Selanjutnya berdasarkan jenis kelamin, perempuan berjumlah 1.230 orang 51
dan laki-laki berjumlah 1.182 orang 49. Jumlah ini menunjukkan sebuah perbandingan yang relatif seimbang. Walaupun memiliki wilayah pesisir dan laut
yang luas guna pengembangan usaha perikanan namun berkaitan dengan pengembangan ekonomi produktif masyarakat berbasis sumberdaya lokal,
penduduk Desa Taar cenderung memilih sektor pertanian sebagai sektor andalan. Berkaitan dengan upaya ini ketersediaan sumberdaya manusia sebagai pelaku
aktif dirasakan cukup memadai sesuai dengan keberadaan 1.138 orang 47,18
167
dari total jumlah penduduk, yang telah melalui pendidikan umum sebanyak 44,49 dan 8 telah melalui pendidikan khusus tidak termasuk jumlah anak
usia sekolah. Hal ini merupakan salah satu kekuatan sosial penting bagi Desa Taar. Pola pemukiman penduduk cenderung mengarah ke pusat desa dimana
sangat berkaitan erat dengan pusat layanan ekonomi dan sosial desa. Selain itu pemukiman penduduk dibangun sejajar garis pantai dan jalan utama desa.
Informasi tentang perkembangan penduduk secara kuantitatif sulit diperoleh sebab tidak ada pencatatan di tingkat desa. Tetapi ada hal lain yang
dapat dilihat secara kualitatif, yakni tingkat kelahiran natalitas, kematian mortalitas dan migrasi penduduk. Tingkat kelahiran dan kematian tidak
seimbang, dimana angka kematian lebih rendah dari angka kelahiran dalam beberapa tahun terakhir, sehingga perbandingan yang ada memberikan kontribusi
positif terhadap pertumbuhan jumlah penduduk. Bagi Desa Taar, migrasi penduduk sebenarnya tidak bisa menjadi indikator untuk melihat perkembangan
atau pertumbuhan penduduk, sebab migrasi penduduk keluar yang terjadi sangat kecil, kalaupun ada hal ini disebabkan oleh adanya penduduk yang harus
melanjutkan studi dan mencari pekerjaan di luar Kota Tual. Dari total penduduk Desa Taar, jumlah penduduk yang bekerja sebanyak
540 orang, berdasarkan jenis mata pencaharian persentase terbesar adalah Pegawai NegeriSwasta dan TNIPOLRI, ketertarikan masyarakat terhadap jenis
pekerjaan jasa dan layanan publik sangat besar misalnya pada sektor ekonomi, pemerintahan dan jasa lainnya. Itu berarti akses masyarakat sangat tinggi terhadap
pusat pemerintahan dan jasa, hal ini karena secara geografis posisi Desa Taar sangat dekat dengan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Kota Tual.
Dengan dikembangkannya model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir maka akan
membuka kesempatan dan lapangan kerja bagi penduduk Desa Taar. Prediksi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas ini seperti
ditunjukan dalam Tabel 39.
168
Tabel 39 Prediksi jumlah tenaga kerja untuk mendukung aktivitas minawisata bahari
Kategori Aktivitas Jumlah
Unit Usaha Tenaga Kerja
per Unit Usaha Jumlah
Tenaga Kerja Minawisata Bahari Pancing
377 1 orang unit
377 Minawisata Bahari Pengumpulan Kerang
194 1 orang 10 unit
19 Minawisata Bahari Karamba Pembesaran Ikan
37 1 orang unit
37 Minawisata Bahari Selam
146 1 orang unit
146 Minawisata Bahari Mangrove
1 10 orang unit
10 Jumlah total tenaga kerja yang dibutuhkan
589
5.6 Analisis Kelembagaan
Menurut Kartodiharjo 1999, kelembagaan dapat berarti bentuk atau wadah atau organisasi sekaligus juga mengandung pengertian tentang norma-norma,
aturan dan tata cara atau prosedur yang mengatur hubungan antar manusia, bahkan kelembagaan merupakan sistem yang kompleks, rumit dan abstrak.
Kelembagaan merupakan aspek penting yang menunjang keberhasilan suatu rancang bangun pengelolaan dan aplikasinya dilapangan. Suatu kelembagaan yang
kuat akan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanannya. Oleh karena itu perlu dijabarkan pengorganisasian kelembagaan dalam pelaksanaan rancang
bangun pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang meliputi Lembaga Pengelola, Lembaga Pengawas,
dan aturan-aturan pelaksanaannya. Berdasarkan hasil focus group discussion FGD, agar pengelolaan
minawisata bahari berbasis konservasi ini dapat berkelanjutan stakeholder menginginkan adanya badan pengelola dan badan pengawas yang berperan untuk
mengelola dan mengawasi semua aktivitas dilapangan dibawah koordinasi Pemerintah Desa Taar sebagai pemilik adat kawasan perairan Teluk Un dan Teluk
Vid Bangir. Badan Pengelola adalah unsur pelaksana teknis sedangkan Badan Pengawas adalah unsur pelaksana pengawasan yang berfungsi sebagai pelaksana
dan pengawas dalam model pengelolaan minawisata bahari. Keanggotaan kedua lembaga ini terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat danatau pegawai instansi terkait
169
yang dipilih dan dipercaya oleh masyarakat melalui suatu musyawarah umum. Musyawarah pemilihan pengurus dan anggota Badan Pengelola dan Badan
Pengawasan dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa BPD dengan jangka waktu kepengurusan tertentu 5 tahun atau sesuai
kebutuhan masyarakat. Badan Pengelola dan Badan Pengawasan bertanggung jawab kepada Pemerintah Desa dan BPD. Kedua lembaga ini dipercayakan untuk
membuat aturan-aturan pelaksanaan yang berkaitan dengan model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi di kawasan Teluk Un dan Teluk
Vid Bangir. Model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi
merupakan suatu kesempatan sekaligus tantangan bagi Pemerintah Desa dan masyarakat Desa Taar dalam mewujudkan harapan atau visi masa depan kawasan
teluk tersebut yang lebih baik. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan ini membutuhkan komitmen dan partisipasi aktif semua pihak terkait untuk
melaksanakan semua aktivitas secara bertanggung jawab. Kunci keberhasilan utama adalah perhatian masyarakat dan Pemerintah Desa Taar terhadap perbaikan
kehidupan mereka maupun kelestarian lingkungan hidup dimana mereka menggantungkan hidup sehari-hari.
5.7 Keberlanjutan Pengelolaan Minawisata Bahari Berbasis Konservasi
Keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir ini dianalisis dengan pemodelan dinamik melalui
dinamika inter-koneksiinter-relasi antara elemen vital seiring dengan perubahan waktu dari sistem ekologi-ekonomi yang dikaji dalam penelitian ini. Konsep dasar
perumusan model mengacu pada efek berantai cyclic effect dimana terjadinya perubahan dalam indeks dan atribut pengelolaan dapat mempengaruhi sistem
keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari tersebut. Tahapan analisis dimulai dengan membangun diagram simpal umpan-balik causal loop, kemudian
membuat basis model, memasukkan nilai-nilai atribut yang telah diperoleh pada analisis sebelumnya ke dalam model yang dibangun, menyususn scenario modek
pengelolaan, dan terakhir melakukan simulasi model. Nilai-nilai atribut yang digunakan dalam menganalisis keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari
170
berasal dari hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya yaitu analisis kesesuaian lahan, analisis daya dukung kawasan, valuasi ekonomi sumberdaya
terumbu karang dan mangrove, analisis manfaat-biaya, dan penelusuran pustaka. Beberapa nilai atribut yang digunakan diperoleh dari metode pendugaan yang
sifatnya ilmiah, namun disadari bahwa keakuratan pendugaan parameter tergantung dari ketersediaan data dari sumbernya dan metode analisis yang
digunakan. Perangkat lunak yang digunakan untuk merumuskan dan menganalisis model yang dibangun dalam penelitian ini adalah Stella version 9.0.2.
5.7.1 Diagram Simpal Model Pengelolaan
Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah dengan menentukan
struktur model. Struktur model akan memberikan bentuk kepada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut
dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan-balik yang menyusun struktur model, mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat
dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam unjuk kerja level dari suatu model sistem dinamis. Diagram simpal umpan-balik causal loop dibuat dengan
cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat seperti
yang ditunjukan pada Gambar 23, sedangkan model dinamik pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi seperti yang ditunjukan pada Gambar 24.
5.7.2 Basis Model
Basis model pengelolaan minawisata bahari merupakan gambaran kondisi ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove, jumlah maksimum unit usaha
minawisata bahari, manfaat langsung, manfaat lingkungan, biaya langsung, biaya lingkungan, dan biaya proteksi lingkungan mitigasi yang dapat dicapai dari
masing-masing kategori aktivitas minawisata bahari berdasarkan kondisi riil saat ini. Nilai dugaan atribut pada basis model seperti yang ditunjukan pada Tabel 41.
171
172
Gambar 24 Model dinamik pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi. Tabel 40 Nilai dugaan atribut pada basis model pengelolaan minawisata bahari
berbasis konservasi
No. Dimensi dan Atribut
Nilai Dugaan Keterangan
Ekologi Terumbu Karang
1 Initial ekosistem terumbu
karang untuk minawisata bahari ha
62,78 Hasil interpretasi Citra Satelit
2 Laju pertumbuhan terumbu
karang 0,073
Data sekunder 3
Jumlah fee konservasi terumbu karang Rp
141.980.000 Hasil perhitungan ECBA
4 Fraksi fee konservasi terumbu
karang 0,003
Hasil olahan data lapangan
173
5 Upaya konservasi terumbu
karang 0,012
Hasil olahan data lapangan 6
Laju degradasi terumbu karang
0,052 Data sekunder
7 Jumlah penduduk Desa Taar
orang 2.412
Data lapangan 8
Fraksi pencemaran 0,0000595
Data sekunder Ekologi Mangrove
9 Initial ekosistem mangrove
untuk minawisata bahari ha 153,58
Hasil interpretasi Citra Satelit 10
Laju pertumbuhan mangrove 0,073
Data sekunder 11
Jumlah fee konservasi mangrove Rp
3.230.000 Hasil perhitungan ECBA
12 Fraksi fee konservasi
mangrove 0,00001
Hasil olahan data lapangan 13
Upaya konservasi mangrove 0,033
Hasil olahan data lapangan 14
Luasan mangrove yang dikonversi ha
8,7 Hasil olahan data lapangan
15 Laju degradasi mangrove
0,00851 Data sekunder
Dimensi Ekonomi
16 Umur teknis unit usaha
tahun 5
Asumsi peneliti 17
Discount Rate 0,1
Asumsi peneliti
ECBA MB Pancing 377 Unit
18 B
d
2.563.600.000 1 Rp
Hasil perhitungan ECBA 19
B
e
28.817.880 1 Rp
Hasil perhitungan ECBA 20
C
d
1.134.770.000 1 Rp
Hasil perhitungan ECBA 21
C
e
149.857500 1 Rp
Hasil perhitungan ECBA 22
C
p
47.879.000 1 Rp
Hasil perhitungan ECBA 23
ECBA MB P. Kerang 194 Unit
24 B
d
155.200.000 2 Rp
Hasil perhitungan ECBA 25
B
e
271.600 2 Rp
Hasil perhitungan ECBA 26
C
d
87.300.000 2 Rp
Hasil perhitungan ECBA 27
C
e
1.416.200 2 Rp
Hasil perhitungan ECBA 28
C
p
7.178.000 2 Rp
Hasil perhitungan ECBA
ECBA MB Karamba 37 Unit
29 B
d
2.893.400.000 3 Rp
Hasil perhitungan ECBA 30
B
e
12.121.200 3 Rp
Hasil perhitungan ECBA 31
C
d
1.468.900.000 3 Rp
Hasil perhitungan ECBA 32
C
e
63.029.500 3 Rp
Hasil perhitungan ECBA 33
C
p
33.633.000 3 Rp
Hasil perhitungan ECBA
ECBA MB Selam 146 Unit
34 B
d
2.730.200.000 4 Rp
Hasil perhitungan ECBA 35
B
e
3.182.800 4 Rp
Hasil perhitungan ECBA 35
C
d
1.547.600.000 4 Rp
Hasil perhitungan ECBA 37
C
e
16.585.600 4 Rp
Hasil perhitungan ECBA 38
C
p
53.290.000 4 Rp
Hasil perhitungan ECBA
174
ECBA MB Mangrove 1 Unit
39 B
d
119.000.000 5 Rp
Hasil perhitungan ECBA 40
B
e
22.189.700 5 Rp
Hasil perhitungan ECBA 41
C
d
50.150.000 5 Rp
Hasil perhitungan ECBA 42
C
e
25.173.000 5 Rp
Hasil perhitungan ECBA 43
C
p
3.230.000 5 Rp
Hasil perhitungan ECBA
Nilai level stock, variabel driving, auxiliary dan konstanta yang tercantum pada Tabel 40 dapat dijelaskan sebagai berikut:
Atribut pada Dimensi Ekologi
Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam submodel terumbu karang pada dimensi ekologi adalah luasan terumbu karang yang ada di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Nilai
awal initial level diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit yaitu seluas 62,78 ha, sementara yang berfungsi sebagai inflow adalah pertambahan luasan terumbu karang
dengan atributnya adalah laju pertumbuhan,upaya konservasi, alokasi dana untuk konservasi, dan fraksi fee konservasi, sedangkan yang berfungsi sebagai outflow adalah
pengurangan luasan terumbu karang dengan atributnya adalah laju degradasi, pencemaran, fraksi pencemaran, jumlah penduduk, dan fraksi kesadaran lingkungan.
Laju pertumbuhan terumbu karang sebesar 0,073, laju degradasi terumbu karang sebesar 0.052 dan fraksi pencemaran sebesar 0,0000595 in Laapo 2010. Biaya proteksi
lingkungan pemanfaatan terumbu karang didapat dari hasil perhitungan analisis manfaat-biaya lanjutan, sedangkan proporsi alokasi dana untuk konservasi terumbu
karang diperoleh pada saat melakukan FGD dengan stakeholder di lokasi penelitian dimana Pemerintah Desa Taar sebagai pemilik adat kawasan perairan Teluk Un dan
Teluk Vid Bangir menginginkan proporsi 70 dari biaya proteksi lingkungan diperuntukan untuk pembangunan desa sebagai biaya pengganti adat sasi, dan 30 dari
biaya proteksi lingkungan tersebut diperuntukan sebagai alokasi dana untuk konservasi terumbu karang dalam bentuk pembuatan artificial reef. Fraksi fee konservasi terumbu
karang sebesar 0,003 adalah perbandingan antara besarnya dana dari fee konservasi terumbu karang dengan luasan terumbu karang buatan yang dihasilkan dari dana
konservasi tersebut. Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam submodel mangrove pada dimensi
ekologi adalah luasan mangrove yang ada di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Nilai awal initial level diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit yaitu seluas 153,58 ha,
sementara yang berfungsi sebagai inflow adalah pertambahan luasan mangrove dengan atributnya adalah laju pertumbuhan,upaya konservasi, alokasi dana untuk konservasi, dan
175
fraksi fee konservasi, sedangkan yang berfungsi sebagai outflow adalah pengurangan luasan mangrove dengan atributnya adalah laju degradasi dan luasan mangrove yang
dikonversi. Laju pertumbuhan mangrove sebesar 0,073 dan laju degradasi terumbu karang sebesar 0.00851 in Laapo 2010. Biaya proteksi lingkungan pemanfaatan
mangrove didapat dari hasil perhitungan analisis manfaat-biaya lanjutan, sedangkan proporsi alokasi dana untuk konservasi mangrove diperoleh pada saat melakukan FGD
dengan stakeholder di lokasi penelitian dimana pemerintah Desa Taar sebagai pemilik adat kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir menginginkan proporsi 70 dari
biaya proteksi lingkungan diperuntukan untuk pembangunan desa sebagai biaya pengganti adat sasi, dan 30 dari biaya proteksi lingkungan tersebut diperuntukan
sebagai alokasi dana untuk konservasi mangrove dalam bentuk penanaman kembali anakan mangrove. Fraksi fee konservasi mangrove sebesar 0,00001 adalah perbandingan
antara besarnya dana dari fee konservasi mangrove dengan luasan mangrove yang dihasilkan dari dana konservasi tersebut.
Atribut pada Dimensi Ekonomi
Dalam dimensi ekonomi ada 5 kategori aktivitas minawisata bahari yang masing- masing berfungsi sebagai submodel yaitu: 1 minawisata bahari pancing, 2 minawisata
bahari pengumpulan kerang; 3 minawisata bahari karamba pembesaran ikan; 4 minawisata bahari selam; dan 5 minawisata bahari mangrove. Berdasarkan hasil
analisis daya dukung kawasan, perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dapat menampung 377 unit usaha minawisata bahari pancing, 194 unit usaha minawisata
bahari pengumpulan kerang, 37 unit usaha minawisata bahari karamba pembesaran ikan, 146 unit usaha minawisata bahari selam, dan 1 unit usaha minawisata bahari mangrove.
Umur teknis masing-masing unit usaha yang digunakan sebagai waktu usaha adalah selama 5 tahun, dan discount rate yang digunakan untuk kegiatan usaha ini adalah
sebesar 10 per tahun. Selanjutnya, yang berfungsi sebagai stok dalam sub-submodel pada dimensi
ekonomi ini adalah nilai NPV tahunan dari masing-masing kategori aktivitas minawisata bahari. Nilai awal initial level diperoleh dari hasil perhitungan manfaat dikurangi
dengan biaya berdasarkan hasil analisis manfaat-biaya lanjutan atau extended cost-benefit analysis
ECBA, sementara yang berfungsi sebagai inflow adalah manfaat
1,2,3,4,5
dengan atributnya adalah manfaat langsungdirect benefit B
d
, manfaat lingkungan environmental benefit
B
e
, sedangkan yang berfungsi sebagai outflow adalah biaya
1,2,3,4,5
dengan atributnya adalah biaya langsungdirect cost C
d
, biaya lingkungan
176
environmental cost C
e
, dan biaya proteksi lingkunganprotection cost C
p
Tahun
. Semua nilai atribut ini juga diperoleh dari hasil analisis manfaat-biaya lanjutan.
Hasil runing basis model pengelolaan minawisata bahari di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan simulasi kondisi sampai 5 tahun ke depan sesuai umur
teknis unit usaha disajikan pada Tabel 41 dan Gambar 25.
Tabel 41 Hasil runing untuk basis model pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir
NPV Tahunan Total Rp
Alokasi Dana Konservasi TK Rp
Luasan TK ha
Alokasi Dana Konservasi Mangrove Rp
Luasan Mangrove ha
-5,013,400,000 42,594,000
62.78 969,000
153.58 1
3,504,464,855 38,760,540
64.00 881,790
154.79 2
3,206,021,976 35,353,020
65.25 804,270
156.08 3
2,905,720,410 31,945,500
66.52 726,750
157.45 4
2,641,431,834 28,963,920
67.82 658,920
158.91 5
2,413,766,132 26,408,280
69.14 600,780
160.46 Jumlah
9,658,005,207 204,025,260
- 4,641,510
-
Gambar 25 Grafik basis model pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.
22:05 Sun, Dec 18, 2011 Page 1
0.00 1.25
2.50 3.75
5.00 Y ears
1: 1:
1:
2: 2:
2:
3: 3:
3:
4: 4:
4:
5: 5:
5:
-5.5e+009 -1e+009.
3.5e+009
35000000 50000000
65000000
63 66
70
900000 1200000
1500000
154 157
161 1: NPV …AN TOTAL
2: Aloka…erv asi TK 3: LUA…U KARANG
4: Aloka… Mangrov e 5: LUA…ANGROVE
1 1
1 1
2 2
2 2
3 3
3 3
4
4 4
4 5
5 5
5
177
Tabel 41 dan Gambar 25 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil simulasi dengan 5 kategori aktivitas minawisata bahari tersebut diatas dengan jumlah unit
usaha maksimum sesuai daya dukung kawasan, pada tahun kelima semua unit usaha minawisata bahari memberikan keuntungan dengan nilai NPV total tahunan
adalah sebesar Rp.9.658.005.207 dimana secara kolektif akan menyumbangkan Rp.204.025.260 untuk alokasi dana konservasi terumbu karang sehingga dengan
dana tersebut akan menambah luasan terumbu karang sebesar 23,84 ha, namun demikian sejalan dengan pertambahan luasan tersebut, terumbu karang juga
mengalami pengurangan luasan akibat laju degradasi dan pencemaran yaitu sebesar 17,47 ha sehingga secara keseluruhan ekosistem terumbu karang hanya
mengalami penambahan luas sebesar 6,36 ha dari yang semula 62,78 ha kini menjadi 69,14 ha.
Demikian pula dengan ekosistem mangrove, unit usaha minawisata bahari mangrove secara kolektif akan menyumbangkan Rp.4.641.510 untuk alokasi dana
konservasi mangrove sehingga dengan dana tersebut akan menambah luasan mangrove sebesar 57,03 ha, namun demikian sejalan dengan pertambahan luasan
tersebut, ekosistem mangrove juga mengalami pengurangan luasan akibat laju degradasi dan konversi untuk areal minawisata bahari yaitu sebesar 50,14 ha
sehingga secara keseluruhan ekosistem mangrove hanya mengalami penambahan luas sebesar 6,88 ha dari yang semula 153,58 ha kini menjadi 160,46 ha.
5.7.3 Skenario Model Pengelolaan
Penyusunan skenario model pengelolaan minawisata bahari untuk optimasi didasarkan pada basis model yang telah dibangun sebelumnya dan dikembangkan
dalam model ini, kemudian menentukan atribut yang sensitif dari dimensi ekologi dan ekonomi serta memilih skenario yang terbaik untuk diaplikasikan.
Penyusunan skenario ini ditujukan untuk memilih alternatif kebijakan yang memungkinkan untuk ditempuh dalam menyelesaikan masalah yang dapat terjadi
di kemudian hari berdasarkan kondisi saat ini. Ada beberapa atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un
dan Teluk Vid Bangir yakni: 1. Dalam dimensi ekonomi, atribut penting yang berpengaruh terhapan
keberlanjutan minawisata bahari ini adalah discount factor, semakin tinggi
178
discount factor maka semakin kecil tingkat keuntungan usaha, hal ini juga akan
berpengaruh terhadap dimensi ekologi yang ditunjukan dengan semakin kecilnya jumlah alokasi biaya proteksi lingkungan. Sebaliknya, semakin rendah
discount factor maka tingkat keuntungan usaha akan semakin besar, dan
semakin besar pula jumlah alokasi biaya proteksi lingkungan. 2. Dalam dimensi ekologi, atribut penting yang berpengaruh terhadap
keberlanjutan minawisata bahari ini adalah upaya konservasi terumbu karang dan mangrove. Upaya konservasi ini sangat bergantung dari besarnya alokasi
dana untuk pembuatan artificial reef dan untuk penanaman anakan mangrove, sementara besarnya alokasi dana tersebut sangat bergantung dari kebijakan
stakeholder dalam menentukan pembagian proporsi biaya proteksi lingkungan
antara kepentingan untuk memperbaiki kualitas ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove dengan kepentingan untuk pembiayaan pembangunan
desa sebagai biaya pengganti adat sasi yang ditiadakan sebagai akibat dari pengembangan model minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.
Selanjutnya, ada 2 skenario pengelolaan yang dibangun untuk keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yaitu skenario
pesimistik dan skenario konservatif.
5.7.4 Simulasi Skenario Model Pengelolaan
Simulasi skenario model pengelolaan minawisata bahari dilakukan untuk mencari bentuk pengelolaan terbaik yang berkelanjutan. Dalam simulasi, akan
dicari atribut yang berpengaruh secara nyata dan didesain untuk mendapatkan bentuk pengelolaan yang terbaik. Disadari bahwa dalam model ini masih ada
atribut yang belum terakomodir akan tetapi dengan model yang ada diharapkan minimal dapat dijadikan sebagai gambaran tentang model pengelolaan minawisata
bahari yang berkelanjutan.
a. Simulasi skenario pesimistik
Skenario pesimistik yang dibangun dalam model ini adalah apabila discount factor
bergerak naik dari 10 menjadi 15, dan kita merubah kebijakan pembagian proporsi biaya proteksi lingkungan antara alokasi dana untuk
konservasi terumbu karang dan mangrove 30 dan alokasi dana untuk
179
pembangunan desa 70, menjadi 10 untuk kepentingan konservasi pembuatan artificial reef
dan penanaman anakan mangrove dan 90 untuk kepentingan pembangunan desa sebagai biaya pengganti adat sasi. Perubahan nilai atribut pada
skenario pesimistik seperti dintujukan pada Tabel 42.
Tabel 42 Perubahan nilai atribut pada skenario pesimistik No
Atribut Perubahan Nilai
Basis Pesimistik
1. Discont Rate
DR 10
15 2.
Alokasi dana untuk konservasi 30
10 3.
Alakosi dana untuk pembangunan desa 70
90
Hasil runing terhadap skenario pesimistik pengelolaan minawisata bahari di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan simulasi kondisi sampai 5 tahun
ke depan sesuai umur teknis unit usaha disajikan pada Tabel 43 dan Gambar 26.
Tabel 43 Hasil runing untuk skenario pesimistik pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir
Tahun NPV Tahunan
Total Rp Alokasi Dana
Konservasi TK Rp Luasan TK
ha Alokasi Dana Konservasi
Mangrove Rp Luasan
Mangrove ha -5,013,400,000
14,198,000 62.78
323,000 153.58
1 3,355,475,752
12,352,260 64.00
281,010 154.79
2 2,943,359,753
10,790,480 65.24
245,480 156.07
3 2,565,659,435
9,370,680 66.51
213,180 157.44
4 2,223,246,058
8,092,860 67.81
184,110 158.89
5 1,955,298,190
7,099,000 69.13
161,500 160.44
Jumlah 8,029,639,188
61,903,280 -
1,408,280 -
Tabel 43 dan Gambar 26 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil simulasi dengan 5 kategori aktivitas minawisata bahari tersebut diatas dengan jumlah unit
usaha maksimum sesuai daya dukung kawasan, pada tahun kelima semua unit usaha minawisata bahari telah memberikan keuntungan dengan nilai NPV total
tahunan adalah sebesar Rp.8.029.639.188 dimana secara kolektif akan
180
menyumbangkan Rp.61.903.280 untuk alokasi dana konservasi terumbu karang sehingga dengan dana tersebut akan menambah luasan terumbu karang sebesar
23,83 ha, namun demikian sejalan dengan pertambahan luasan tersebut, terumbu karang juga mengalami pengurangan luasan akibat laju degradasi dan pencemaran
yaitu sebesar 17,47 ha sehingga secara keseluruhan ekosistem terumbu karang hanya mengalami penambahan luas sebesar 6,35 ha dari yang semula 62,78 ha
kini menjadi 69,13 ha. Demikian pula dengan ekosistem mangrove, unit usaha minawisata bahari
mangrove secara kolektif akan menyumbangkan Rp.1.408.280 untuk alokasi dana konservasi mangrove sehingga dengan dana tersebut akan menambah luasan
mangrove sebesar 57,00 ha, namun demikian sejalan dengan pertambahan luasan tersebut, ekosistem mangrove juga mengalami pengurangan luasan akibat laju
degradasi dan konversi untuk areal minawisata bahari yaitu sebesar 50,14 ha sehingga secara keseluruhan ekosistem mangrove hanya mengalami penambahan
luas sebesar 6,86 ha dari yang semula 153,58 ha kini menjadi 160,44 ha.
Gambar 26 Grafik skenario pesimistik pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.
22:05 Sun, Dec 18, 2011 Page 1
0.00 1.25
2.50 3.75
5.00 Y ears
1: 1:
1:
2: 2:
2:
3: 3:
3:
4: 4:
4:
5: 5:
5:
-5.5e+009 -1e+009.
3.5e+009
35000000 50000000
65000000
63 66
70
900000 1200000
1500000
154 157
161 1: NPV …AN TOTAL
2: Aloka…erv asi TK 3: LUA…U KARANG
4: Aloka… Mangrov e 5: LUA…ANGROVE
1 1
1 1
2 2
2 2
3 3
3 3
4
4 4
4 5
5 5
5
181
b. Simulasi skenario konservatif
Skenario konservatif yang dibangun dalam model ini adalah apabila discount factor
bergerak turun dari 10 menjadi 8, dan kita merubah kebijakan pembagian proporsi biaya proteksi lingkungan antara alokasi dana untuk
konservasi terumbu karang dan mangrove 30 dan alokasi dana untuk pembangunan desa 70, menjadi 50 untuk kepentingan konservasi pembuatan
artificial reef dan penanaman anakan mangrove dan 50 untuk kepentingan
pembangunan desa sebagai biaya pengganti adat sasi. Perubahan nilai atribut pada skenario optimis seperti ditunjukan pada Tabel 44.
Tabel 44 Perubahan nilai atribut pada skenario konservatif No
Atribut Perubahan Nilai
Basis Konservatif
1. Discont Rate
DR 10
8 2.
Alokasi dana untuk konservasi 30
50 3.
Alakosi dana untuk pembangunan desa 70
50
Hasil runing terhadap skenario konservatif pengelolaan minawisata bahari di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan simulasi kondisi sampai 5 tahun
ke depan sesuai umur teknis unit usaha disajikan pada Tabel 45 dan Gambar 27.
Tabel 45 Hasil runing untuk skenario konservatif pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir
Tahun NPV Tahunan
Total Rp Alokasi Dana
Konservasi TK Rp Luasan TK
ha Alokasi Dana Konservasi
Mangrove Rp Luasan
Mangrove ha -5,013,400,000
70,990,000 62.78
1,615,000 153.58
1 3,578,785,154
66,020,700 64.00
1,501,950 154.80
2 3,318,155,871
61,051,400 65.25
1,388,900 156.09
3 3,056,103,529
56,082,100 66.52
1,275,850 157.46
4 2,868,052,025
52,532,600 67.82
1,195,100 158.93
5 2,641,431,834
48,273,200 69.15
1,098,200 160.48
Jumlah 10,449,128,413
354,950,000 -
8,075,000 -
182
Gambar 27 Grafik skenario konservatif pengelolaan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.
Tabel 45 dan Gambar 27 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil simulasi dengan jumlah unit usaha maksimum sesuai daya dukung kawasan, pada tahun
kelima semua unit usaha minawisata bahari telah memberikan keuntungan dengan nilai NPV total tahunan adalah sebesar Rp.10.449.128.413 dimana secara kolektif
akan menyumbangkan Rp.354.950.000 untuk alokasi dana konservasi terumbu karang sehingga dengan dana tersebut akan menambah luasan terumbu karang
sebesar 23,84 ha, namun terumbu karang juga mengalami pengurangan luasan akibat laju degradasi dan pencemaran yaitu sebesar 17,47 ha sehingga secara
keseluruhan ekosistem terumbu karang hanya mengalami penambahan luas sebesar 6,37 ha dari yang semula 62,78 ha kini menjadi 69,15 ha.
Demikian pula dengan ekosistem mangrove, unit usaha minawisata bahari mangrove secara kolektif akan menyumbangkan Rp.8.075.000 untuk alokasi dana
konservasi mangrove sehingga dengan dana tersebut akan menambah luasan mangrove sebesar 57,05 ha, namun ekosistem mangrove juga mengalami
pengurangan luasan akibat laju degradasi dan konversi untuk areal minawisata bahari yaitu sebesar 50,15 ha sehingga secara keseluruhan ekosistem mangrove
hanya mengalami penambahan luas sebesar 6,90 ha dari yang semula 153,58 ha kini menjadi 160,48 ha.
22:05 Sun, Dec 18, 2011 Page 1
0.00 1.25
2.50 3.75
5.00 Y ears
1: 1:
1:
2: 2:
2:
3: 3:
3:
4: 4:
4:
5: 5:
5:
-5.5e+009 -1e+009.
3.5e+009
35000000 50000000
65000000
63 66
70
900000 1200000
1500000
154 157
161 1: NPV …AN TOTAL
2: Aloka…erv asi TK 3: LUA…U KARANG
4: Aloka… Mangrov e 5: LUA…ANGROVE
1 1
1 1
2 2
2 2
3 3
3 3
4
4 4
4 5
5 5
5
6. IMPLIKASI KEBIJAKAN
Implikasi hasil analisis dalam penelitian ini pada dasarnya ditujukan untuk melihat kondisi stok sumberdaya akibat perubahan pada atribut dan pengaruhnya
terhadap keberlanjutan pengelolaan minawisata bahari berbasis konservasi di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Atribut ini dinilai dari aspek kepentingan dan
besarnya pengaruh terhadap perubahan dimensi ekonomi dan ekologi setelah dilakukan analisis dengan pemodelan dinamik. Apabila kedua persyaratan tersebut
terpenuhi, maka atribut yang dianalisis dapat diimplementasikan dalam suatu program yang berkaitan dengan pengelolaan minawisata bahari berbasis
konservasi. Implikasi dari skenario atau simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa diperlukan suatu kebijakan dalam wujud program yang terpadu. Kebijakan
terpadu dimaksudkan sebagai suatu tindakan yang dilakukan secara simultan bagi seluruh dimensi yang memiliki atribut penting guna keberlanjutan pengelolaan
minawisata bahari berbasis konservasi. Dari ketiga skenario pengelolaan yang dianalisis yaitu skenario basis,
skenario pesimistik, dan skenario konservatif, hasil simulasi dengan pemodelan dinamik menunjukkan bahwa skenario optimum yang dapat menjawab keinginan
semua pemangku kepentingan stakeholders sesuai tujuan penelitian ini adalah skenario konservatif, dimana dalam skenario ini jika atribut discount factor
bergerak turun ke level 8, dan kita merubah kebijakan pembagian proporsi biaya proteksi lingkungan antara alokasi dana untuk konservasi terumbu karang dan
mangrove, menjadi 50 untuk kepentingan konservasi pembuatan artificial reef dan penanaman anakan mangrove dan 50 untuk kepentingan pembangunan
desa sebagai biaya pengganti adat sasi, maka kebijakan ini akan memberikan keuntungan usaha yang terlihat dari semakin meningkatnya nilai NPV tahunan
total, keuntungan usaha yang diperoleh masyarakat tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan jumlah fee konservasi sehingga akan berdampak pada
semakin bertambahnya luasan ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.
Berdasarkan hasil simulasi skenario tersebut, maka implikasi dari hasil penelitian ini dituangkan dalam bentuk kebijakan pemerintah melalui program-
184
program yang terpadu dan simultan guna pencapaian tujuan pengelolaan minawisata bahari yang optimal di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir. Ini berarti
bahwa rencana dan pelaksanaan program aksi pada satu dimensi pembangunan diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas dimensi lainnya. Ada 2
dimensi yang menjadi dasar dalam menyusun strategi dan kebijakan untuk keberlanjutan model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis
konservasi ini yaitu dimensi ekologi dan dimensi ekonomi, objek yang menjadi sasaran adalah lingkungan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, ekosistem
terumbu karang dan upaya konservasinya, ekosistem mangrove dan upaya konservasinya, sumberdaya ikan, kerang moluska dan biota laut lainnya,
sedangkan yang menjadi aspek pengembangan adalah perekonomian masyarakat dan daerah, sosial budaya masyarakat, serta kelembagaan dalam pengelolaan.
Implikasi kebijakan pengelolaan minawisata bahari berdasarkan hasil kajian selengkapnya disajikan dalam bentuk matriks pada Lampiran 9.
7. KESIMPULAN DAN SARAN