81
dalam mendirikan rumah, memagar kebun, hajatan, pekerjaan-pekerjaan lainnya yang berhubungan dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti
dibidang perikanan, pertanian, dan lain-lain. Ketergantungan masyarakat pada alam, terutama pada sektor perikanan dan
pertanian menjadikan budaya mereka mempunyai konstruksi yang terasa alamiah. Konstruksi adat yang naturalistik ini bisa dilihat dari kuatnya nilai adat pantangan,
keseimbangan tindakan pada alam, kemampuan membaca tanda-tanda alam dan kelebihan-kelebihan supranatural lainnya dalam kultur masyarakat Kei. Perilaku
khas bagi masyarakat Kei adalah citra diri orang laut. Hal ini ditandai dengan mobilitas yang tinggi, sikap terbuka, dan penghargaan pada kaidah-kaidah hidup
nenek moyang, terutama yang menyangkut bagaimana seharusnya mengelola sumberdaya alam.
Karena adanya struktur nilai yang berhirarki supranaturalistik dan terlembagakan sedemikian rupa maka masyarakat Kota Tual juga memiliki
pantangan-pantangan hidup. Salah satu budaya yang merupakan bentuk kearifan lokal yaitu Sasi atau Hawear yang dikenal masyarakat sebagai tradisi dalam
mengatur waktu pemanfaatan sumberdaya alam. Saat ini budaya-budaya tersebut telah banyak mengalami pergeseran. Sasi Darat dan Sasi Laut lambat laun mulai
ditinggalkan. Kondisi ini memberikan isyarat bahwa Sasi sebagai tradisi warisan dalam praktek pengelolaan sumberdaya alam perlu mendapat perhatian serius dari
masyarakat dan pemerintah di masing-masing Desa, karena tujuan pelaksanaan Sasi adalah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana dan
berkelanjutan.
4.2.2 Hak Masyarakat Adat dalam Dimensi Legislasi Nasional dan Daerah
Pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya termasuk masyarakat adat Kei di Pulau Dullah
telah mendapatkan tempat yang istimewa dalam dinamika pembangunan hukum di Indonesia. Hal ini termanifestasi dalam beberapa aturan formal dilevel
konstitusi diantaranya: 1. Undang-Undang Dasar 1945.
a. Pasal 18B Ayat 2 Amandemen Kedua, menyatakan bahwa: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
82
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. b. Pasal 28I UUD 1945 Amandemen Kedua, ditegaskan bahwa: Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
2. Tap MPR Nomor XVIIMPR1998 Tantang Hak Asasi Manusia. Pasal 41 menyebutkan: Identitas budaya masyarakat tradisional termasuk hak-
hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Ketetapan ini menegaskan bahwa pengakuan dan perlindungan kepada
masyarakat hukum adat merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Pada level Undang-Undang, telah ditetapkan berbagai produk hukum yang memberikan posisi istemewa dan strategis bagi eksistensi masyarakat adat dan
hak-hak tradisionalnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut termasuk ekosistem hutan mangrove. Produk Undang-Undang tersebut antara lain:
1. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Jo UU No. 19 tahun 2004 Tentang
Kehutanan Pasal 67 ayat 1 dinyatakan bahwa: Masyarakat hukum adat sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak atas:
.
a. Pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang.
2. Dalam Pasal 2 Ayat 9 disebutkan bahwa: Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip NKRI.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
3. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.