Berdasarkan Suku Bangsa Ciri Masyarakat Multikultural Dilihat secara Horizontal
Masyarakat Multikultural
111
Padukah ni Aji Karo, sedangkan penguasa dunia
makhluk halus bernama Pane na Bolon Toba atau Tuan Banus Koling
Karo. Selain itu juga dikenal penguasa matahari yang disebut dengan
Sinimataniari, serta penguasa bulan dan pelangi yang
disebut dengan Beru Dayang.
b Konsepsi Mengenai Jiwa, Roh, dan Dunia Akhirat
Ada tiga konsep yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu tondi, sahala, dan begu.
1 Tondi adalah kekuatan yang memberi hidup
kepada bayi calon manusia dan terdapat pada semua orang tanpa kecuali.
2 Sahala adalah kekuatan yang menentukan wujud dan jalan hidup seseorang. Sahala ini
berbeda-beda bagi tiap orang dalam jumlah dan kualitasnya.
3 Begu adalah kekuatan yang memberi hidup pada orang yang sudah meninggal.
Gambar 4.6 Tari Horja adalah salah satu tarian tradisional suku Batak. Sumber: www.google.com:image
4 Suku Nias
Orang-orang Nias sebagian besar memeluk agama Kristen Protestan. Agama lain yang dipeluk oleh orang Nias
adalah Islam, Katolik, Buddha, dan Pelebegu. Pelebegu adalah nama agama asli yang diberikan oleh pendatang
yang berarti penyembah roh. Nama yang diberikan oleh penganutnya sendiri adalah Molohe Adu penyembah
adu
. Dewa-dewa terpenting dalam Pelebegu adalah sebagai berikut.
a Lowelangi, yaitu raja segala dewa dari dunia atas. b Latura Dano, yaitu raja dewa dunia bawah dan saudara
tua Lowelangi. c Silewe Nasarata, yaitu istri Lowelangi yang berperan
sebagai pelindung pada ere pemeluk agama.
Tahukah Kamu?
Masyarakat Batak dan Karo me- ngenal beberapa jenis begu, yaitu
sebagai berikut. – Begu perkukun jabu.
– Bicara begu. – Begu mati sadawari.
– Begu mati kayat-kayatan.
Gambar 4.7 Suku Nias dengan pakaian
perang mengadakan upacara selamatan.
Sumber: Indonesian Heritage, Agama
dan Upacara 2002
112
Sosiologi SMA dan MA Kelas XI
5 Suku Bugis–Makasar
Untuk suku Bugis dan Makassar ini, sebagian besar dan hampir seluruhnya adalah pemeluk agama Islam yang
taat. Namun demikian, masyarakat Bugis–Makassar yang tinggal di daerah pedesaan masih terikat sistem norma
adat yang masih sakral yang keseluruhannya mereka sebut sebagai penggaorreng panggadakkang dalam
bahasa Makassar. Sistem ini terdiri dari lima unsur pokok dari ayat keramat tersebut yang terjalin satu sama
lain sebagai satu-kesatuan organis dalam alam pikiran orang Bugis–Makassar. Kelima unsur pokok itu adalah
ade’
, bicara, rapang, wari’, dan sara’. a Ade’, secara khusus terdiri dari Ade’akkalabinengeng
dan Ade’tana. 1 Ade’akkalabinengeng adalah norma mengenai
hal-hal perkawinan dan mengatur segala urusan kekerabatan.
2 Ade’tana adalah norma mengenai hal ihwal kenegaraan dan memerintah negara.
b Bicara, yaitu unsur yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan masalah peradilan.
c Rapang, berarti contoh, perumpamaan, kiasan, atau analogi. Rapang berwujud perumpamaan yang
memiliki maksud menjaga kelangsungan tertib sosial dalam masyarakat.
d Wari’, yaitu bagian yang melakukan klasifikasi dari denda, peristiwa, dan aktivitas masyarakat.
e Sara’, yaitu bagian yang mengatur pranata-pranata
dan hukum Islam, serta dapat melengkapi keempat unsur lainnya.
Pada masa pra-Islam, orang Bugis–Makassar ini sudah memiliki religi seperti yang tampak dari Sure’Galigo,
yang sebenarnya telah mengandung kepercayaan kepada satu dewa yang tunggal yang disebut dengan
beberapa nama, seperti Patoto-e yang menentukan nasib, Dewata Seuwa-e Dewa yang tunggal, dan Turie
a’rana
kehendak tertinggi.