Hubungan Antara Konflik Peran Dengan Stress Kerja

141 para pekerja di PT X. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak terdapatnya perbedaan rata-rata yang signifikan di antara pekerja yang menganggap ventilasi di tempat kerja baik 1,3 maupun buruk 1,47. Sehingga pekerja yang menganggap ventilasi baik maupun buruk tidak memiliki tingkat stress kerja yang berbeda. Akan tetapi sebaiknya pihak manajemen berupaya melakukan perbaikan kondisi ventilasi di tempat kerja. Hal ini dikarenakan persepsi pekerja terhadap ventilasi di tempat kerja mereka cenderung tidak baik. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan 1405 Tahun 2002 disebutkan bahwa ruang kerja yang menggunakan AC secara periodik harus dimatikan dan diupayakan agar mendapatkan pergantian udara secara alamiah dengan cara membuka seluruh pintu atau jendela atau dengan menggunakan kipas angin. Selain itu, pemeliharan AC berupa pembersihan filter udara juga harus dilakukan secara periodik minimal satu tahun sekali. Hal ini dilakukan agar sirkulasi udara di ruangan dapat berjalan dengan baik sehingga dapat memperbaiki persepsi pekerja terhadap kondisi ventilasi di tempat kerja mereka. Dengan demikian, sirkulasi udara akan berjalan dengan baik serta dapat mencegah timbulnya stress kerja akibat kondisi ventilasi yang buruk.

6.14 Hubungan Antara Konflik Peran Dengan Stress Kerja

Konflik peran biasanya muncul ketika pekerja diharuskan untuk berperilaku dengan cara yang bertentangan dengan diri mereka. Menurut Pomaki et al 2007 konflik peran berhubungan dengan kelelahan secara emosional, gejala depresi dan bahkan timbulnya gangguan kesehatan secara fisik. Terdapat lima bentuk konflik peran yang biasa terjadi di lingkungan kerja, yaitu: 142 1. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik 2. Banyak harapan untuk bertindak dengan cara yang berbeda 3. Peran ganda yang tidak sesuai dengan kemampuan 4. Banyaknya peran yang harus dilakukan 5. Nilai dan kepercayaan pekerja yang tidak sesuai dengan kemampuan diri Hubbard, 1998 Dalam penelitian ini, rata-rata skor konflik peran yang dialami para responden yaitu sebesar 3,56 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 5,62. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor variabel konflik peran yaitu sebesar 3,5 maka skor pada variabel ini sudah cenderung tinggi karena sudah melebihi nilai median. Selain itu, nilai maksimum yang dicapai pun sudah cenderung sangat tinggi. Hal ini membuktikan bahwa konflik peran yang dialami para pekerja sudah cukup tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada pekerja di perusahaan industri skala kecil dan menengah di India dimana konflik peran berperan dalam meningkatkan stress kerja yang dialami para pekerja. Hal ini dapat terjadi ketika pekerja diharuskan memenuhi tuntutan bertentangan peran yang mereka lakukan. Konflik peran tersebut kemudian membentuk harapan yang berlebihan sehingga sangat sulit untuk dicapai dan berujung pada munculnya stress yang dialami para pekerja Vanishree, 2014b. Konflik peran yang dialami oleh para pekerja dapat menimbulkan dampak terutama dalam meningkatkan turnover pekerja dan menurunkan performa kerja Barling et al., 2005. Selain itu, dari hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap kepuasan 143 kerja dan komitmen tetapi berhubungan secara signifikan dan positif terhadap gangguan psikologis yang direfleksikan melalui kesehatan mental seseorang Dobreva-Martinova, Villeneuve, Strickland, Matheson, 2002. Dari hasil analisis bivariat didapatkan hasil bahwa konflik peran berhubungan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti peningkatan konflik peran yang dirasakan para pekerja dapat meningkatkan tingkat stress kerja yang mereka alami. Apabila konflik peran terjadi secara terus menerus dan dibarengi ketidakmampuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi maka sangat mungkin menyebabkan kelelahan secara emosional yang dapat mempengaruhi kesehatan dan performa kerja. Menurut Schwab 1981 dan Kelloway dan Barling 1991, menyatakan bahwa konflik peran dapat memprediksi terjadi kelelahan emosional secara signifikan. Konsekuensi lain dari konflik peran, yaitu pengasingan diri, rendahnya privasi , frustasi, dan burnout Harigopal, 1995. Meskipun variabel konflik peran memiliki kecenderungan skor yang tinggi, tetapi variabel ini tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini dapat teradi karena dipengaruhi perbedaan karakteristik sampel yang dapat dipengaruhi oleh budaya kerja yang diimplementasikan di suatu negara. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di berbagai negara, seperti Amerika, Norwegia, Turki yang menunjukkan hasil berbeda-beda pada setiap negara tersebut Perrewe Ganster, 2011. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel konflik peran tidak berhubungan secara signifikan terhadap stress kerja. Meskipun demikian, 144 hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan yang tinggi mengenai konflik peran yang dirasakan para pekerja. Oleh karena itu, sebaiknya pihak manajemen berupaya untuk mengurangi konflik peran yang dirasakan para pekerja. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik peran, yaitu melalui komunikasi efektif dan pelatihan. Peningkatan komunikasi dengan pekerja dapat mengurangi ketidapastian yang menyebabkan terjadinya konflik peran. Semakin banyak informasi yang diberikan mengenai tuntutan, tantangan dan kesempatan kerja maka dapat mengurangi konflik peran yang terjadi. Sedangkan pelatihan diberikan untuk menjelaskan spesifikasi dan memperjelas tanggung jawab pekerjaan sehingga dapat menghindari terjadinya konflik peran H. Singh, 2009. Dengan tingkat stress yang rendah maka pekerjaan akan berjalan lebih efektif.

6.15 Hubungan Antara Ketaksaan Peran Dengan Stress Kerja