Definisi Stress Tahapan Stress

11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stress

Kata stress pertama kali diperkenalkan oleh Selye pada dunia psikologi dan kedokteran sekitar tahun 1930-an. Menurut Selye, stress merupakan reaksi organisme terhadap keadaan terancam dan tertekan. Selye menemukan bahwa stress dihasilkan dari reaksi rantai hormon neuroendokrin yang terjadi di dalam tubuh. Hal ini terjadi dengan diawalinya eksitasi pada jaringan otak yang diikuti peningkatan sekresi hormon dari kelenjar adrenal. Peningkatan sekresi hormon tersebut di dalam tubuh akan mempengaruhi peningkatan detak jantung dan tekanan darah. Reaksi dalam tubuh ini biasa disebut dengan pengaturan ergotropik dan diidentikkan sebagai mekanisme dasar terjadinya stress di dalam tubuh seseorang Kroemer Grandjeai, 1997. Perkembangan penelitian mengenai stress selama beberapa dekade terakhir telah mendorong munculnya beragam definisi stress baik dari segi psikologi, fisiologi, sosial dan ilmu perilaku. Berikut ini adalah definisi stress menurut para ahli: a. Lazarus dan Foldman mendefinisikan stress sebagai hasil dari ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang tersedia. b. Cox mendefinisikan stress sebagai sebuah fenomena persepsi yang timbul dari adanya perbandingan antara permintaan dan kemampuan coping. 12 c. McGrath mendefinisikan stress sebagai hasil dari permintaan lingkungan yang tidak mampu dipenuhi oleh individu. d. McEwen menyatakan bahwa stress merupakan sebuah peristiwa yang mengancam individu sehingga menghasilkan respon secara fisiologi dan perilaku Oxington, 2005. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan ketidakseimbangan yang terjadi antara permintaan dan kemampuan individu sehingga menimbulkan respon baik secara fisiologi dan perilaku.

2.2 Stress Kerja

Stress kerja merupakan keadaan emosional yang timbul karena adanya ketidaksesuaian antara tingkat permintaan dengan kemampuan individu untuk mengatasi stress kerja yang dihadapinya. Hal ini bersifat subjektif dan selalu ada pada setiap individu yang tidak mampu mengatasi tuntutan yang terdapat di lingkungan kerja Kroemer Grandjeai, 1997. Stress yang diterima setiap individu berbeda tergantung dengan persepsi setiap individu yang mengalaminya. Stress kerja dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian antara permintaan dan tekanan tetapi dapat juga diartikan sebagai ketidaksesuaian dengan pengetahuan dan kemampuan. Situasi seperti ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan individu untuk menghadapi tekanan pekerjaan tetapi juga pengetahuan dan kemampuan individu yang tidak digunakan dengan baik sehingga memicu timbulnya masalah bagi diri mereka WHO, 2003. Menurut OSHA, individu akan merasakan stress ketika terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang dimilikinya. Secara umum, kondisi stress merupakan gangguan yang bersifat psikologis 13 tetapi juga dapat berdampak pada fisiologi individu. Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya stress kerja, antara lain kurangnya kontrol terhadap pekerjaan, ketidaksesuaian permintaan terhadap pekerja, dan kurangnya dukungan dari rekan kerja dan manajemen. Reaksi setiap individu dalam mengatasi stress berbeda-beda. Bagi beberapa individu merupakan sebuah hal yang mungkin untuk mengatasi permintaan pekerjaan yang tinggi tetapi hal ini belum tentu dapat terjadi pada individu lainnya. Sehingga kemampuan untuk menghadapi keadaan stress sangat tergantung pada evaluasi yang bersifat subjektif OSHA, 2014. Pekerjaan yang sehat seharusnya mampu menyesuaikan antara tekanan kerja dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu, kemampuan mengontrol pekerjaan dan adanya dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini dikarenakan ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan kemampuan individu dapat menimbulkan terjadinya kondisi stress yang merugikan baik bagi pekerja maupun perusahaan. Di Eropa, stress berada pada urutan kedua sebagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa sekitar 22 persen pekerja di Eropa terkena dampak stress akibat kerja dan sejumlah pekerja lainnya mengalami kondisi yang berhubungan dengan stress akibat pekerjaan WHO, 2003. Berdasarkan konsep yang dikemukakan Cox, Griffiths dan Rial-Gonzales 2000 bahwa stress kerja memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian masalah kesehatan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara bahaya fisik dan psikososial yang menghasilkan gangguan kesehatan baik pada individu maupun level organisasi. Pada individu, bahaya fisik dan psikososial dapat 14 berdampak pada fisik, mental, dan kesehatan sosial. Sedangkan pada level organisasi dapat berdampak pada tingginya angka absenteisme, menurunnya produktivitas, rendahnya kepuasan kerja dan turnover pekerja. Selain itu, bahaya paparan fisik dan psikososial juga dapat berdampak pada kondisi psikologis individu baik secara langsung maupun tidak langsung WHO, 2010. Berikut ini adalah mekanisme terjadinya stress kerja menurut Cox, Griffiths dan Rial- Gonzales 2000. Sumber: Adaptasi dari Cox, Griffiths Rial-Gonzales 2000 dalam WHO 2010 Bagan 2.1 Lingkungan Kerja Psikososial Lingkungan Sosial dan Konteks Organisasi Desain dan Manajemen Pekerjaan Lingkungan Fisik Lingkungan Psikososial Pengalaman dengan Kondisi Stress Bahaya bagi kesehatan pekerja baik secara fisik, psikologis, dan sosial 15

2.2.1 Stress Akut

Stress akut merupakan dampak yang timbul akibat adanya sumber stress yang bersifat jangka pendek. Biasanya sumber stress tersebut seringkali terdapat di aktivitas yang dilakukan individu kemudian dengan cepat menghilang. Stress akut bisa berdampak positif jika terjadi dalam pajanan yang rendah dan ditanggapi sebagai suatu hal yang menantang oleh individu yang menerimanya. Akan tetapi, apabila stress akut ini terjadi dalam pajanan yang tinggi maka akan berdampak negatif bagi individu yang merasakannya Olpin Hesson, 2010. Stress akut biasanya tidak terjadi dalam jangka waktu yang panjang sehingga tidak berisiko menimbulkan kerusakan pada tubuh dan pikiran. Stress akut biasanya hanya berupa reaksi singkat tubuh terhadap sumber stress yang datang. Stress akut dapat memicu terjadinya gangguan fisiologis, emosional, dan psikologis. Akan tetapi, gangguan yang terjadi akibat stress akut tersebut masih dapat diatasi apabila dikontrol dengan baik Hiriyappa, 2013. Berikut ini adalah gangguan kesehatan akibat stress akut: 16 Tabel 2.1 Gejala Stress Akut Fisiologis Psikologis Perilaku a. Wajah terasa panas b. Sakit kepala c. Nyeri dada d. Mulut kering e. Napas pendek f. Tekanan darah tinggi g. Nyeri otot h. Sembelit atau diare i. Kelelahan j. Insomnia k. Mudah sakit l. Gangguan pencernaan m. Jantung berdebar cepat n. Rahang kaku o. Berkeringat banyak p. Nafsu makan menurunbertamb ah q. Tangan gemetar a. Nafsu makan menurun b. Sedih berkepanjangan c. Sulit berkonsentrasi d. Merasa tertekan e. Pesimis f. Merasa selalu gagal g. Selalu merasa ketakutan h. Gelisah ketika tidur i. Merasa kesepian j. Mudah menangis k. Merasa orang- orang tidak ramah l. Tidak dapat menikmati hidup m. Berbicara lebih sedikit n. Merasa tidak disukai orang- orang a. Tidak sabar b. Suka berdebat c. Menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja d. Penggunaan alkoholobat- obatan e. Merokok f. Mengabaikan tanggung jawab Sumber: NIOSH Stress akut merupakan reaksi kompleks yang terjadi di antara ketiga perubahan di atas. Perubahan baik secara fisiologis, psikologis, dan perilaku tersebut akan mendapatkan reaksi dari tubuh yang dapat 17 berkembang menjadi munculnya suatu penyakit yang berkaitan dengan stress. Hal ini dapat terjadi apabila stress akut tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama dan individu tidak dapat mengendalikannya Perlmutter Villoldo, 2011.

2.2.2 Stress Kronis

Stress kronis merupakan salah satu bentuk stress yang terjadi dalam jangka waktu yang lama dan sulit dikendalikan. Stress kronis ini terjadi karena adanya situasi mengganggu yang sangat sulit untuk diatasi. Sehingga stress kronis ini lama kelamaan akan menimbulkan kerusakan bagi tubuh, pikiran dan kehidupan individu yang merasakannya Olpin Hesson, 2010 . Di negara berkembang, menurut Cox et al 2000, stress yang berhubungan dengan pekerjaan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi kesehatan pekerja dan kesehatan organisasi pekerjaan itu sendiri. Hasil survei yang dilakukan oleh European Foundation for the Improvement of Working Conditions pada tahun 2000 menemukan bahwa sekitar 28 pekerja melaporkan penyakit atau masalah kesehatan yang berhubungan dengan stress terutama stress kronis. Hal ini menunjukkan bahwa stress merupakan permasalahan yang saat ini dihadapi oleh para pekerja di dunia Flin, OConnor, Crichton, 2008. Stress kronis bersifat seperti racun yang membunuh seseorang secara perlahan. Dampak stress kronis yang dialami seseorang secara perlahan akan merusak kesehatan tubuhnya. Ketika hal ini terjadi maka akan muncul sejumlah penyakit dalam tubuh individu Hiriyappa, 2013. 18 Menurut NIOSH, beberapa penyakit yang berkaitan dengan stress kronis, antara lain diabetes, hernia, tuberculosis, asma, darah tinggi, penyakit jantung, rematik, epilepsi, glukoma, paralysis, gangguan ginjal, gangguan pernapasan, stroke, anemia, gangguan hati atau pancreas, gangguan kelenjar tiroid, insomnia, gastritis, colitis, ulkus lambung, sakit punggung, dan alergi. Stress kronis terjadi akibat perkembangan stress akut yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak mudah menemukan hubungan antara stress akut dengan stress kronis. Hal ini dikarenakan sulitnya menentukan penyebab awal munculnya dampak dari stress kronis tersebut dimana stress akut yang menyebabkan terjadinya stress kronis atau kondisi lain yang menyebabkan terjadinya stress kronis tersebut Praag, Kloet, Os, 2004.

2.3 Tahapan Stress

Stress merupakan respon tubuh baik secara fisiologi maupun perilaku terhadap keadaan terancam yang dihadapi oleh individu. Menurut Watts 1990 dalam Casper, 2014 respon tubuh terhadap stress terdiri dari lima tahapan, yaitu: a. Tahap alarm Tahapan awal ini merupakan tahap reaksi alarm dalam tubuh berupa mekanisme pertahanan tubuh. Untuk mengatasi stressor yang dihadapi, tubuh membutuhkan pengeluaran energi yang cukup tinggi. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan aktivitas kelenjar tiroid dan adrenal. Saraf simpatik kemudian meresponnya dengan meningkatkan sekresi hormon 19 kortikoid aldosterone dan antidiuretic hormone ADH dalam tubuh. Sekresi ini menghasilkan retensi natrium dan air di dalam tubuh yang kemudian menjadi indikasi terjadinya inflamasi. Pada tahap yang lebih lama akan menyebabkan terjadinya gastritis, diverculitis, kolitis, sinusitis artritis, dll. Pada tahapan ini juga terjadi peningkatan hormon stress, denyut jantung, penyempitan pembuluh darah, kadar gula darah, kadar kolesterol, pengeroposan tulang, pemecahan protein otot dan jaringan ikat, resistensi insulin, perasaan stress, takut, cemas, dan depresi. Tahap alarm ini juga menyebabkan penurunan memori jangka pendek, kemampuan berkonsentrasi, dan imunitas tubuh. Pada tahapan ini kebutuhan vitamin, seperti C, D, E, B1, B6, dan B12 serta kalsium, tembaga, kobalt, natrium, selenium dan seng mengalami peningkatan. Sehingga ketika individu kekurangan nutrisi tersebut maka kemampuannya untuk mengelola respon akan sulit dilakukan. Sisi positif dari tahapan ini adanya peningkatan refleks dan fokus mental. Hal ini dapat menjadikan tubuh merespon terhadap stress menuju efek yang baik atau buruk. b. Tahap resisten Tahap ini terdiri dari tahapan lanjutan dari stimulasi saraf simpatik yang terjadi pada tahap alarm. Pada tahap ini tubuh berusaha mempertahankan homeostasis akibat adanya stressor dalam tubuh. Hormon kortisol disekresikan untuk mengendalikan inflamasi yang terjadi di dalam tubuh. Sekresi hormon kortisol ini menyebabkan terjadinya katabolisme dan meningkatkan gula darah sehingga disebut hormon glukokortikoid. Jika 20 individu tidak dapat melewati tahapan ini maka katabolisme yang terjadi akan menyebabkan penyakit kronis, seperti syok, disfungsi kekebalan tubuh, fluktuasi tingkat energi, dll. c. Tahap pemulihan Pada tahap ini stress mulai dapat dikendalikan, perbaikan jaringan terjadi dan fungsi tubuh kembali normal. Dalam keadaan ini, sistem pencernaan, metabolisme dan fungsi sel mengalami perbaikan. Istirahat, pertumbuhan, dan aktivitas mental yang lebih tenang akan mengembalikan kesehatan individu pada level yang baik. d. Tahap adaptasi Jika tubuh tidak mampu melalui tahap pemulihan, keadaan stress akan menjadi kronis. Pada tahapan ini, tubuh tidak dapat menyesuaikannya kondisinya terhadap keadaan stress yang dihadapi sehingga berbagai kondisi kronis mulai muncul, seperti menurunnya tingkat energi, menurunkan self-esteem, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, gangguan emosional, merasa sedih berkepanjangan, tidak mampu merasakan sakit, gairah seks menurun, konsentrasi menurun, serta hilangnya motivasi. e. Tahap kelelahan Pada tahap ini tubuh semakin kehilangan kemampuannya untuk pulih dari kondisi kronis yang dihadapi. Sebagai akibat stress yang berkepanjangan, maka kelenjar tiroid dan adrenal mulai merasa kehilangan sumber energi dari dalam tubuh. Individu akan berusaha mencari sumber energi dari luar tubuh dengan mengkonsumsi alkohol, kopi, nikotin, dan obat-obatan. Pada 21 tahap ini kadar kolesterol mengalami peningkatan sehingga berbagai penyakit kronis timbul, seperti diabetes, kanker, penyakit jantung, sembelit, alergi dan asma, kelelahan, dan hipoglikemia. Keadaan berkepanjangan yang seperti ini akan membuat tubuh menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit bahkan dalam kasus yang lebih berbahaya dapat mengakibatkan kematian. 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja 2.4.1 Karakteristik Pekerjaan