Aspek-aspek Pemberdayaan Kepemimpinan Kepala Sekolah

pendidikan dalam membuka wawasan, membangun semangat dan kreativitasnya. Selain itu, komitmen birokrasi harus berpihak pada upaya-upaya tersebut karena hal itu merupakan tuntutan situasi yang meminta agar otonomi profesional kepala sekolah semakin mantap dan campur tangan birokrat dalam mengurus rumah tangga sekolah dapat diminimalkan. Untuk itu, masih perlu dirumuskan dan dikembangkan bahan-bahan yang harus diadopsi dan dipedomani oleh kepala sekolah, dirancang tata cara dan teknik penyampaian atau pelatihannya, dan pengembangan lebih lanjutnya. Hasil-hasil penelitian seperti kepemimpinan institusional yang mengutamakan aspek keinovasian kepala sekolah Model Aceng 1997; kepemimpinan mandiri Model Dadi 1998; partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan Model Iim 1998; dan keefektifan pembiayaan sekolah Model Nanang 1999 dapat dijadikan sebagai suplemen dalam rangka pemberdayaan kepala sekolah. Inti dari peningkatan mutu pendidikan adalah terjadinya proses pembelajaran yang bermakna bagi diri siswa yang akan menghasilkan lulusan dalam jumlah dan kualifikasi tertentu bermutu. Mengingat kompleksitas dan variatifnya persoalan pembelajaran beserta faktor- faktor penentu keberhasilannya, maka upaya peningkatan mutu itu harus dilakukan secara terus-menerus melalui pemenuhan jumlah dan kualifikasi faktor-faktor penentunya sesuai dengan persyaratan ambang dan kriterianya. Walaupun universal sifatnya, setiap sekolah memiliki keunikan karakteristik dan kinerjanya. Oleh karena itu, hanya warga sekolah yang bersangkutan yang mengetahui secara persis apa yang harus ditingkatkanya. Dengan mengacu pada sistem “ input-process-output” pendidikan, maka upaya peningkatan mutu pendidikan harus diawali dengan perbaikan input-nya, baik yang inti maupun pendukungnya. Perbaikan input saja tidak cukup, 7. PERENCANAAN PENUNTASAN WAJIB BELAJAR DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN 189 tetapi harus terimplementasikan dalam proses pembelajaran yang bermakna. Menyimak hasil-hasil penelitian ini khususnya hasil studi pada beberapa sekolah kasus dengan membedakan karakteristik sekolah yang bermutu dari sekolah yang kurang bermutu, nampaknya banyak hal yang dapat dilakukan oleh setiap sekolah dalam rangka menghasilkan mutu yang diinginkan. 1 Karena ujung tombak perbaikan mutu pendidikan itu teletak pada masing-masing lembaga pendidikan sekolah-sekolah, maka upaya perbaikan mutu tersebut harus berbasis pada dan dilakukan oleh masing-masing sekolah sesuai dengan kondisi internal dan eksternal masing-masing sekolah. 2 Semua pihak terkait dalam lingkup pendidikan kepala sekolah, guru, siswa, orang tua murid, dan pejabat struktural terkait menyamakan persepsi dan komitmen guna mewujudkan mutu terbaik atas kinerja dan sumbangsihnya serta memiliki visi dan misi yang jelas tentang mutu yang diinginkan tersebut. 3 Setiap sekolah mengadakan upaya untuk melaksanakan konsolidasi dan pemberdayaan dalam perencanaan dan manajemen sekolah, dengan melibatkan semua unsur intern sekolah, unsur komite sekolah, pemuka masyarakat, unsur pemerintah setempat, dan pihak lain yang diperkirakan peduli terhadap perbaikan mutu pendidikan di sekolah. 4 Mengadakan studi banding dan follow-up studi atas hasil studi banding oleh suatu sekolah terhadap sekolah lain yang dipandang lebih unggul untuk meningkatkan unjuk kerja sekolah yang bersangkutan. Gunakan prinsip kritis “jika sekolah lain bisa, mengapa sekolah kita tidak”, lakukan prinsip perbaikan sedikit demi sedikit tetapi berkesinambungan Continuous Qualitity Improvement. 5 Mengadakan konsolidasi atau pemberdayaan perencanaan dan manajemen guna meningkatkan 19 PERENCANAAN PENDIDIKAN kinerja sekolah, materinya meliputi 1 teknis perumusan visi, misi, dan tujuan institusional sekolah; 2 Teknis peyusunan program dan rencana kerja sekolah; 3 teknik merancang, mengolah, menyusun, dan menyajikan data dasar sekolah dalam berbagai bentuk, media, dan model yang menarik; 4 teknik penyusunan RAPBS; 5 teknik penggalian dan pelibatan potensi masyarakat; 6 Pola pembinaan karier dan pengembangan staf; 7 teknik membangun kerja sama antara sekolah dan masyarakat; 8 teknik menyimak aspirasi warga sekolah dan menuangkannya dalam bentuk program kerja sekolah; 9 teknik pengabilan keputusan; 10 teknik menyusun rencana dan melaksanakan penelitian untuk pengembangan sekolah dan peningkatan mutu PBM di kelas; 11 teknik menyusun rencana induk pengembangan sekolah rencana strategis; dan 12 teknik menyusun proposal kegiatan atau usulan proyek peningkatan sekolah. Model 3 MODEL SINERGI PENUNTASAN WAJIB BELAJAR DAN DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DASAR

1. Asumsi Dasar

Upaya penuntasan wajib belajar yang berdimensi kuantitas dan peningkatan mutu dikdas yang berdimensi kualitas “seolah-olah” sukar dipertemukan. Penetapan prioritas di satu sisi cenderung “mengabaikan” sisi lainnya. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar sebab jika dilihat dari dimensi yang lebih luas cakupannya atau esensinya, ternyata keduanya tetap mengupayakan perbaikan mutu pendidikan. Peningkatan kewajiban belajar dari enam tahun menjadi sembilan tahun pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan tingkat 7. PERENCANAAN PENUNTASAN WAJIB BELAJAR DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN 191 pendidikan penduduk, dari yang semula dianggap cukup tamatan SD atau yang sederajat menjadi minimal harus menamatkan pendidikan hingga SLTP atau yang sederajat. Dengan demikian, upaya penuntasan wajib belajar pendidikan dasar merupakan perwujudan dari upaya peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan secara umum hanya dapat terwujud jika setiap sekolah beserta perangkatnya melakukan upaya perbaikan secara terus-menerus. Sasarannya adalah setiap peserta didik mengalami proses pembelajaran yang bermakna bagi dirinya. Setiap individu peserta didik harus dapat menyelesaikan tugas-tugas belajarnya learning task dengan hasil yang optimal. Hasil belajar yang mudah terukur antara lain dalam bentuk nilai hasil belajar NEM dan sejenisnya. Sementara hasil belajar dalam bentuk perubahan sikap dan perilaku sangat komplek pengukurannya. Oleh karena itu, NEM sering kali dijadikan sebagai ukuran tingkat keberhasilan peserta didik dalam menyelesaikan tugas- tugas belajarnya. Ada beberapa indikator tingkat keberhasilan suatu sekolah dilihat dari produk yang dihasilkannya, antara lain sekolah dipandang berhasil jika: 1 dapat menghasilkan lulusan dalam jumlah yang optimal dan dengan nilai yang rata-rata tinggi; 2 dapat menekan sekecil mungkin angka putus sekolah dan mengulang kelas; 3 banyak lulusan yang dapat melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, dengan pilihan ke sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang dipandang terkemuka dan berbobot; 4 lulusan yang tidak melanjutkan memiliki keahlian yang memadai untuk dapat bekerja secara mandiri. Akumulasi jumlah dan mutu lulusan suatu sekolah merupakan perwujudan “mutu sekolah”. Gabungan dari nilai rata-rata nilai per sekolah di dalam suatu wilayah merupakan indikator mutu pendidikan di wilayah itu. Kaitan antara mutu lulusan, mutu sekolah, dan mutu pendidikan suatu wilayah dapat dilukiskan sebagai berikut. 19 2 PERENCANAAN PENDIDIKAN