Kerangka Berpikir Pengkajian Kerangka Berpikir dan Proposisi Kajian
pendidikan. Penuntasan wajib belajar yang berdimensi pemerataan serta mengandung misi pembebasan dan
pemberdayaan masyarakat. Keberhasilan penuntasan wajib belajar diduga akan melipatgandakan kualitas dan
produktivitas penduduk, memberi peluang yang lebih besar bagi mereka untuk meraih jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, serta dapat meningkatkan kualitas dan taraf kehidupan mereka.
2. Dalam banyak hal, upaya penuntasan wajib belajar pendidikan masih banyak menemui kendala, baik karena
keterbatasan kemampuan pemerintah maupun karena keterbatasan dalam masyarakat. Pemerintah mempunyai
keterbatasan dalam penyediaan sumber daya manusia dan nonmanusia, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif Sanusi 1998:45. Sementara sebagian masyarakat belum dapat memenuhi anjuran wajib belajar
pendidikan karena keterbatasan kemampuan ekonomi, kelemahan persepsi akan pentingnya pendidikan, ataupun
karena daya jangkau sekolah, sarana transportasi, dan lokasi pemukiman atau lokasi sekolah yang kurang
mendukung.
3. Upaya percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan di satu sisi, cenderung memperlemah mutu
proses dan mutu hasil pendidikan di sisi lain. Masukan siswa semakin banyak dan bervariasi, sedangkan
kapasitas dan kualitas layanan cenderung tetap atau bahkan menurun. Jika hal tersebut terus berlangsung,
maka dalam jangka panjang akan timbul persoalan- persoalan baru yang jauh lebih kompleks dan sukar untuk
diatasi. Jadi, gerakan kearah perbaikan mutu harus dimulai sejak dini. Semua pihak perlu membudayakan
prinsip “mencegah lebih baik dari pada memperbaiki” sebagaimana diisyaratkan Demming, Juran, dan Phillip
Depdikbud 1994:100.
4. Berkat ketiga alasan rasional tersebut, maka percepatan penuntasan wajib belajar dan peningkatan
13 6
PERENCANAAN PENDIDIKAN
mutu pendidikan harus didasarkan pada hasil analisis posisi pendidikan. Dalam analisis posisi tersebut dikaji: 1
kondisikondisi eksternal sistem pendidikan yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan di
daerah, baik ditinjau dari aspek geografis, demografis, pemerintahan, ekonomi dan ketenagakerjaan, sosial-
budaya dan keagamaan, serta sarana transportasi dan komunikasi; 2 kondisi-kondisi internal pendidikan, baik
ditinjau dari sisi keadaan persekolahan, tingkat partisipasi pendidikan, kecenderungan melanjutkan, dan elastisitas
pengelolaan pendidikan; 3 profil sistem informasi manajemen wajib belajar pendidikan, meliputi
pembahasan tentang akurasi data dan informasi, struktur organisasi tim koordinasi wajib belajar pendidikan, dan
kinerjanya; serta 4 implementasi sistem perencanaan dan manajemen sekolah sebagai bahan kajian kearah
perbaikan mutu pendidikan yang diharapkan.
b. Kondisi Eksternal Sistem Pendidikan 5.
Lingkungan pendidikan—persekolahan—
merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih luas cakupannya. Keberadaan sekolah-sekolah tidak terlepas
dari suasana, dukungan, hambatan, dan tuntutan yang ditimbulkan oleh kondisi-kondisi lingkungan eksternal
pendidikan di daerah. Keadaan geografis, demografis, pemerintahan, ekonomi dan ketenagakerjaan, sosial-
budaya dan keagamaan, serta sarana transportasi dan komunikasi yang ada harus dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam merumuskan alternatif perbaikan perencanaan strategis bagi penutasan wajib belajar dan
peningkatan mutu pendidikan.
c. Kondisi Sistem Pendidikan 6. Kondisi-kondisi internal sistem pendidikan di
daerah merupakan bahan kajian utama dalam penyusunan rencana strategis penuntasan wajib belajar
dan peningkatan mutu pendidikan. Keadaan persekolahan, tingkat partisipasi pendidikan,
5. KAJIAN MASALAH PENUNTASAN WAJIB BELAJAR DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
137
kecenderungan melanjutkan, dan elastisitas pengelolaan pendidikan yang ada merupakan beberapa indikator yang
perlu diketahui posisinya dan ditetapkan target akhir keadaan ideal yang harus diupayakan pencapaiannya.
d. Profil Sistem Informasi Manajemen Wajib belajar 7. Tingkat keberhasilan pelaksanaan kebijakan
pemerintah di bidang pendidikan tidak lepas dari model hierarki struktur birokrasi, metode berpikir dan perilaku
administratif para pengelola, teknologi informasi dan telekomunikasi, proses mengajar oleh guru, dan kegiatan
belajar para siswa Sanusi 1998:45.
8. Penuntasan wajib belajar akan lebih strategis dan rasional jika direncanakan dan dikelola secara otonom
pada tingkat kabupaten Desentralisasi sebab perencanaan yang terpusat sentralistis maupun
perencanaan pada tingkat wilayah propinsi cenderung: 1 kurang aspiratif, kurang fleksibel, dan tidak efisien; 2
memperlemah kreativitas daerah dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi daerah; dan 3 jalur birokrasi yang
terlampau panjang.
9. Desentraslisasi dalam perencanaan dan pengelolaan pendidikan akan lebih efektif dalam
mencapai tujuan pendidikan karena: 1 jarak antara pengambil keputusan dan pelaksana keputusan tersebut
menjadi relatif lebih pendek, dengan ruang lingkup yang lebih terbatas, sehingga perencanaan akan lebih
akomodatif, aspiratif, fleksibel, dan dapat meminimalkan distorsi dalam pelaksanaannya; 2 penyediaan data
dapat dilakukan secara lebih cepat dan akurat; 3 ketersediaan sumber daya manusia, dana, maupun
sarana dan prasarana yang lebih memadai dibandingkan dengan sebelumnya; 4 DPRD bukan lagi sebagai alat
pemerintahan, tetapi sebagai lembaga yang memiliki legitimasi yang memadai untuk mengambil keputusan
yang lebih baik; serta 5 kesiapan masyarakat yang semakin baik.
13 8
PERENCANAAN PENDIDIKAN