4,47 4,50
4,73 5,03
5,83
1 2
3 4
5 6
7
B0 B1
B2 B3
B4
Formulasi biskuit N
il a
i r a
ta -r
ata p e
n a
m p
aka n
tertinggi dihasilkan oleh biskuit formulasi B0 dengan nilai rata-rata 5,83 dan nilai terendah pada biskuit formulasi B4 dengan nilai 4,47.
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 , tepung ubi jalar putih 0
B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 , tepung ubi jalar putih 20 B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 , tepung ubi jalar putih 15
B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 , tepung ubi jalar putih 10
B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 , tepung ubi jalar putih 5
Gambar 8. Histogram nilai rata-rata organoleptik penampakan biskuit. Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penambahan
tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan
panelis pada penampakan biskuit Lampiran 3. Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa formulasi biskuit B0 berbeda nyata dengan semua
formulasi biskuit B1, B2, B3 dan B4. Penampakan biskuit salah satunya dipengaruhi oleh kandungan gluten dari
tepung terigu, karena pada formulasi biskuit B1, B2, B3 dan B4, persentase tepung terigu sebesar 75 sehingga kandungan glutennya lebih rendah daripada
formulasi biskuit B0 yang mengandung tepung terigu 100 . Gluten merupakan suatu massa yang sebagian besar terdiri dari protein, lengket seperti karet dan
dapat diperoleh dari tepung gandum, dengan cara membuat adonan dan mencucinya pada air mengalir. Oleh karena itu, gluten memegang peranan penting
sebagai bahan pengikat bahan-bahan lain dan sebagai bahan pembangun struktur adonan. Selain itu, pada waktu proses pemanggangan, gluten akan terkoagulasi,
5,83 4,90
4,50 4,13
3,97
1 2
3 4
5 6
7
B0 B1
B2 B3
B4
Formulasi biskuit Ni
la i r
a ta
-r a
ta w
a rn
a
sehingga menjadi lebih kompak dan dapat mencegah roti mengempis kembali Fennema, 1996. Biskuit dengan substitusi tepung ikan pepetek dan
tepung ubi jalar putih B1, B2, B3, B4 lebih sulit dalam penggilingan pelempengan dan pencetakan, sehingga berpengaruh terhadap penampakannya.
Sedangkan antara formulasi biskuit B1, B2, B3 dan B4 tidak berbeda nyata dalam penampakan biskuit.
4.2.2.2. Warna
Warna merupakan sifat sensori pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Parameter warna dalam bahan pangan memiliki peran yang penting.
Pada umumnya, konsumen sebelum mempertimbangkan parameter lain seperti rasa dan nilai gizi, terlebih dulu mempertimbangkan parameter warna.
Warna bahan yang menyimpang dari normal atau tidak sesuai dengan selera, maka bahan tersebut tidak dipilih untuk dikonsumsi, walaupun nilai gizi dan
parameter lainnya normal Sukarni et al., 1980.
Keterangan : B0 = Kontrol, tepung ikan pepetek 0 , tepung ubi jalar putih 0
B1 = Formulasi tepung ikan pepetek 5 , tepung ubi jalar putih 20 B2 = Formulasi tepung ikan pepetek 10 , tepung ubi jalar putih 15
B3 = Formulasi tepung ikan pepetek 15 , tepung ubi jalar putih 10
B4 = Formulasi tepung ikan pepetek 20 , tepung ubi jalar putih 5
Gambar 9. Histogram nilai rata-rata organoleptik warna biskuit.
Penilaian panelis terhadap parameter warna berkisar antara 3,97 sampai dengan 5,83 biasa sampai dengan suka. Nilai warna tertinggi didapat pada
formulasi biskuit B0 dengan nilai rata-rata 5,83. Sedangkan nilai warna terendah dihasilkan oleh formulasi biskuit B4 dengan nilai rata-rata 3,97.
Hasil analisis
Kruskal Wallis pada parameter warna biskuit menunjukkan bahwa formulasi biskuit dengan penambahan tepung ikan pepetek dan
tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis Lampiran 6.
Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa formulasi biskuit B0 berbeda nyata dengan semua formulasi biskuit B1, B2, B3 dan B4. Hal ini
berarti penambahan tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu memberikan pengaruh yang nyata terhadap
warna biskuit. Parameter warna ini tidak lepas dari derajat putih tepung yang digunakan
sebagai bahan baku biskuit, dimana derajat putih tepung ikan pepetek hanya 16,64 dan derajat putih tepung ubi jalar putih sebesar 66,87 , jauh di bawah
derajat putih tepung terigu sejumlah 80,54 . Semakin tinggi tepung ikan pepetek yang ditambahkan ke dalam formulasi biskuit, nilai rata-rata warna biskuitnya
semakin kecil. Selain itu, warna coklat pada biskuit disebabkan oleh proses
pemanggangan adonan yang merupakan reaksi pencoklatan non enzimatis dari gugus amino dari protein dan gula pereduksi sederhana reaksi Maillard. Pada
reaksi Maillard terjadi reaksi hidroksimetil furfural yang kemudian menjadi furfural dan berpolimerisasi dengan gugus amino membentuk senyawa
berwarna coklat yang disebut melanoidin Winarno, 1997. Semakin tinggi tepung ikan pepetek yang ditambahkan, semakin tinggi kandungan asam amino
yang terkandung dalam adonan sehingga pada waktu proses pemanggangan biskuit, reaksi Maillard yang terjadi semakin besar. Akibatnya, akan terbentuk
warna biskuit yang semakin coklat gelap yang cenderung kurang disukai panelis.