Mencatat Cara Pelafalan, Intonasi, dan Ekspresi Pembaca Puisi

Bahasa dan Sastra Indonesia VII 108 Sebagai uji coba, berlatihlah menanggapi pembacaan puisi secara berkelompok Ayo, laksanakan kegiatan berikut ini dengan saksama B BERBICARA Menanggapi Cara Pembacaan Cerpen 1. Menangkap isi, pesan, dan suasana cerpen yang didengarkan. 2. Mengungkapkan lafal, intonasi, dan ekspresi pembaca cerpen. 3. Menanggapi cara pembacaan cerpen. Materi: Cerpen. Cerita pendek cerpen termasuk genre sastra yang cukup populer. Setiap hari Minggu, koran memuatnya sebagai salah satu rubrik yang diunggulkan karena sangat diminati pembaca. Minat itu disebabkan karena banyaknya manfaat yang didapatkan dari membaca cerpen. Kamu pasti pernah membaca cerpen dalam koran, bukan? Kata Kunci: Menangkap – Mengungkapkan – Menanggapi Dok. Penerbit Gambar 7.2 Menyimak pembacaan cerpen Kerja Kelompok Coba kerjakan bersama kelompokmu 1. Bentuklah kelompok yang terdiri atas lima anggota 2. Salah seorang anggota dari masing-masing kelompok membaca puisi berikut Derai Derai Cemara Karya: Chairil Anwar cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah 3. Gunakan tabel seperti yang dicontohkan di depan untuk mencatat unsur-unsur yang akan dikomentari 4. Diskusikan dengan sesama anggota tentang hal-hal yang telah dicatat sebagai dasar untuk memberikan komentar 5. Berilah komentar melalui juru bicara dengan cara yang sopan disertai dengan alasan yang logis Lingkungan 109 Bocah Taman Karya: Rama Dira J. Angin musim gugur berputar-putar, menjel- makan tarian dedaunan. Seekor kucing betina yang terdampar begitu saja di taman itu mengejar- ngejar, menerkam, dan mencakar-cakar gulungan dedaunan yang tampak sebagai sesosok binatang lain. Di tepi danau itu, si bocah tak peduli. Ia asyik memangku buku gambarnya di atas kursi kayu yang diteduhi pohon ketapang. Beberapa pensil warna ia coretkan pada kertas gambarnya. Ia hanya memilih warna-warni tertentu: abu-abu, hitam, dan cokelat. Mulanya ia menggambar gedung sekolah tingkat dua, lengkap dengan halaman bermain dan tiang bendera yang menjulang tinggi. Tentu ia tak sekadar berimajinasi. Gedung sekolah dalam buku gambar- nya, benar-benar ada di seberang danau, masih dalam jangkauan pandang. Meski tangannya aktif menggambar, pikirannya menerawang memikirkan rumah. Semalam, ia tak dapat tidur sehabis melihat hantu. Ia takut, ia ingin ber- sama ayah dan ibu. Dalam banyak film anak-anak yang pernah ia tonton, biasanya ketika si anak tak bisa tidur, ia akan menemui ayah atau ibunya. Kemudian dengan tangan terbuka ayah atau ibunya mau menerima, mengajaknya untuk tidur bersama mereka. Atau paling tidak, mereka menemani si bocah di kamarnya, mendongengkan suatu kisah indah sampai si bocah terlelap dan ketika bangun di pagi harinya ia telah menjadi lupa bahwa semalam ia telah melihat sesosok hantu. Tak seperti itu yang ia alami. Gambaran kehi- dupan keluarga indah dalam film-film itu tak ada dalam kehidupan nyatanya. Ia beberapa kali menge- tuk pintu kamar mereka, tak ada ucapan untuk mem- persilakan masuk. Ketika kemudian, pada akhirnya terdengar suara ayahnya yang sedikit geram, mempersilakannya masuk dan mengatakan bahwa pintu tidak dikunci, ia membuka daun pintu itu perlahan-lahan dan terlihatlah ibunya yang tidur dengan begitu pulas, memunggungi si ayah yang masih terjaga demi membaca buku tebal se- bagaimana biasanya. Ia kemudian tak jadi masuk karena ayahnya menyambut dengan pandangan sepasang mata marah dari balik kacamatanya. Ini bukan kali pertama. Pandangan itu acap kali ia terima. Ia tahu, jika sudah seperti itu, berarti ayahnya tak mau diganggu. Selalu seperti itu sikap mereka padanya hingga ia seolah tak berayah beribu. Dua orang itu ada, tapi menganggap si bocah tak ada. Sejalan dengan penumpukan waktu, rasa bersalah dalam dada si bocah semakin menebal. Rasa bersalah si bocah tak pernah hilang. Serupa bola salju yang menggelinding dari ke- tinggian, rasa yang menyesak di dada itu semakin perih. Tak ada lagi yang dapat menghalanginya untuk memikirkan bahwa ia memang terlahir sebagai kutukan sehingga ia nyata sebagai bocah yang tak patut diperhitungkan keberadaannya, di mana pun, kapan pun. Si bocah mengira, setelah ia masuk sekolah, ia dapat bertemu dengan orang di dunia luar yang menganggapnya ada. Lagi-lagi ia menduga akan mendapatkan teman-teman yang dapat diajak dan mengajaknya bercanda, bermain sehingga kemudian ia bisa terlepas dari penderitaannya. Namun, semuanya hanya sampai pada batas perkiraan. Di sekolah pun, tak ada yang menghirau- kannya. Tak ada murid-murid lain yang sudi berte- man dengannya. Mereka lebih tertarik mengejek model potongan rambutnya, mereka menertawakan warna kulitnya yang serba memutih, putih yang lebih putih daripada kulit yang paling putih milik orang lain yang pernah mereka lihat. Dari murid- murid yang meneriakinya itu, dia akhirnya tahu bah- wa ia menderita albino. Dikutip dari Media Indonesia, 17 September 2006 Pada pembelajaran kali ini, kamu diajak menanggapi cara pembacaan cerpen. Ayo, coba kamu dengarkan dengan saksama pembacaan cerpen yang akan dilakukan oleh temanmu berikut ini Sebuah cerpen yang menarik. Melalui cerpen tersebut, kita diajak mengikuti persoalan hidup seorang anak yang menderita kelainan fisik sehingga tidak diterima oleh masyarakat di sekelilingnya. Gambar 7.3 Si Bocah asyik menggambar di tepi danau