PERSEPSI KEPALA SEKOLAH DAN GURU SEKOLAH DASAR TENTANG KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KECAMATAN JATINOM.

(1)

PERSEPSI KEPALA SEKOLAH DAN GURU SEKOLAH DASAR TENTANG KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN

DI KECAMATAN JATINOM

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Kusnanik Puji L NIM 10110244023

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

MOTTO

Keep on fire, do your best and let God make it perfect.(penulis)

Walaupun laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda, tetapi mereka tidak untuk dibeda-bedakan. (penulis)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Rasa syukur penulis kepada Allah SWT atas karunia dan nikmat-Nya, sebuah karya ini penulis persembahkan kepada:

1. Kedua orangtuaku tercinta, Bapak Supandi dan Ibu Tugiyarti yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, dan doanya.

2. Adik-adikku, Dhaim Ifa Khasanah Puji Rahayu dan Pangestuti Setya Ningrum terima kasih atas segala dukungan dan doanya.

3. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta. 4. Agama, Nusa, dan Bangsa.


(7)

vii

PERSEPSI KEPALA SEKOLAH DAN GURU SEKOLAH DASAR TENTANG KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN GENDER

DI KECAMATAN JATINOM

Oleh Kusnanik Puji L NIM 10110244023

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi kepala sekolah dan guru tentang kebijakan pengarusutamaan gender di SD se-Kecamatan Jatinom.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Populasi penelitian adalah kepala sekolah dan guru sekolah dasar se-Kecamatan Jatinom. Pengambilan sampel menggunakan teknik proportional sampling, dengan ukuran sampel sebanyak 90 orang kepala sekolah dan guru. Teknik pengumpulan data menggunakan angket. Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan presentase dan uji beda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) 48% kepala sekolah dan guru mempunyai persepsi netral gender. Kepala sekolah dan guru menginterpretasikan bahwa kebijakan di bidang pendidikan pada umumnya tidak membedakan jenis kelamin. Tidak terdapat perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru dengan nilai p:0,574 pada taraf signifikansi 5%; 2) Berdasarkan jenis kelamin terdapat perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru pada taraf signifikansi 5% nilai p:0,04. Kepala sekolah dan guru laki-laki mempunyai persepsi netral gender cenderung bias gender, sedangkan kepala sekolah dan guru perempuan mempunyai persepsi netral gender cenderung sensitif gender; 3) 43% kepala sekolah dan guru pada usia <30 tahun mempunyai persepsi netral gender. 57% kepala sekolah dan guru pada usia 31-40 tahun mempunyai persepsi netral gender. 50% kepala sekolah dan guru pada usia 41-50 tahun mempunyai persepsi netral gender. 43% kepala sekolah dan guru pada usia 51-60 tahun mempunyai persepsi netral gender. Tidak terdapat perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru berdasarkan usia pada taraf signifikansi 5% nilai p: 0,113.

Kata Kunci: persepsi, kebijakan pengarusutamaan gender, kepala sekolah dan guru, jatinom.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa serta rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Dasar tentang Kebijakan Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan Di Kecamatan Jatinom” ini dengan baik dan lancar. Skripsi ini disusun dalam rangka memnuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini, dengan kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih setinggi-tingginya kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas dalam belajar di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah mengijinkan saya dalam menyelesaikan studi dan memberikan ijin penelitian untuk keperluan menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi.

3. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan pengesahan hasil Tugas Akhir Skripsi.

4. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Prodi Kebijakan Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah menyetujui skripsi ini.

5. Dr. Mami Hajaroh, M. Pd. selaku dosen pembimbing skripsi I, dan dosen penasehat akademik yang telah memberikan bimbingan, nasehat, dukungan bantuan, dan pengarahan dalam menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi.

6. L. Hendrowibowo, M. Pd. selaku dosen pembimbing skripsi II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi.

7. Bapak dan Ibu dosen di Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah bersedia berbagi ilmu dan pengalamannya.


(9)

ix

8. Pemerintah Kabupaten Klaten yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Kecamatan Jatinom.

9. Ibu Tutik Naruningsih, M. M. selaku kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Jatinom yang telah memberikan ijin penelitian.

10. Bapak Ibu kepala sekolah dan guru yang berada di Kecamatan Jatinom yang telah memberikan ijin penelitian di sekolahnya dan membantu peneliti dalam mendapatkan data untuk penyusunan skripsi ini.

11. Bapak Supandi, Ibu Tugiyarti, adik-adikku Dhaim Ifa Khasanah Puji Rahayu dan Panggestuti Setya Ningrum yang selalu memberikan doa, dukungan, perhatian, semangat, dan pengertian.

12. Teman-temanku Dyan, Elva, Desy, Pipit, Vety, Meila serta teman-teman Prodi Kebijakan Pendidikan angkatan 2010 yang selalu memberikan doa, semangat, dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

13. Semua pihak yang telah membantu dan memberi kemudahan dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi.

Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Maka dari itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna mencapai kesempurnaan. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua pihak.

Yogyakarta, 14 Oktober 2014


(10)

x

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAK... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xxi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah………...……….... 1

B. Identifikasi Masalah………....……….. 8

C.Pembatasan Masalah………. 9

D.Rumusan Masalah………. 9

E. Tujuan Penelitian……….. 9

F. Manfaat Penelitian……….... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Persepsi……... 12


(11)

xi

1. Pengertian Persepsi……... 11

2. Faktor yang Memperngaruhi Persepsi... 13

3. Proses Persepsi... 14

B. Kepala Sekolah dan Guru... 15

1. Pengertian Kepala Sekolah... 15

2. Tipe-Tipe Kepemimpinan Kepala Sekolah... 16

3. Pengertian Guru... 17

4. Kompetensi Guru... 19

C. Kebijakan Pengarusutamaan Gender... 20

1. Pengertian Gender... 20

2. Pengarusutamaan Gender...…... 22

3. Pengarusutamaan Gender dalam Bidang Pendidikan... 26

4. Landasan Hukum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender….... 27

D. Penelitian yang Relevan... 29

E. Kerangka Berpikir... 31

F. Hipotesis Penelitian... 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian... 35

1. Jenis Penelitian... 35

2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

3. Populasi dan Sampel... 36

B. Variabel Penelitian…...………... 38

C. Devinisi Variabel Penelitian………... 39

D. Teknik Pengumpulan Data………... 40

E. Instrumen Penelitian………... 41


(12)

xii

2. Validasi Instrumen... 43

3. Reliabilitas Instrumen... 44

F. Metode Analisis Data... 45

G. Hasil Uji Validasi dan Uji Reliabilitas... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Tempat Penelitian... 52

B. Hasil Penelitian... 53

1. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Secara Umum... 53

a. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru... 53

b. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Berdasarkan Jenis Kelamin... 55

c. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Berdasarkan Usia... 58

d. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Dilihat dari 6 Indikator... 62

1) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Partisipasi... 63

2) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Akses... 67

3) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Kontrol... 72

4) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Manfaat... 77

5) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Sikap... 81

6) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Komunikasi... 86

2. Persepsi Kepala Sekolah dan Persepsi Guru... 91


(13)

xiii

1) Persepsi Kepala Sekolah... 91

2) Persepsi Kepala Sekolah Berdasarkan Jenis Kelamin... 92

3) Persepsi Kepala Sekolah Berdasarkan Usia... 95

b. Persepsi Guru... 96

1) Persepsi Guru... 96

2) Persepsi Guru Berdasarkan Jenis Kelamin... 97

3) Persepsi Guru Berdasarkan Usia... 100

C. Pembahasan... 105

1. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Secara Umum... 107

a. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru... 107

b. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Berdasarkan Jenis Kelamin... 109

c. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Berdasarkan Usia... 112

d. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru dilihat dari 6 Indikator... 115

1) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Partisipasi... 116

2) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Akses... 118

3) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Kontrol... 119

4) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Manfaat... 120

5) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Sikap... 121

6) Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Komunikasi... 122


(14)

xiv

a. Persepsi Kepala Sekolah... 123

1) Persepsi Kepala Sekolah... 124

2) Persepsi Kepala Sekolah Berdasarkan Jenis Kelamin... 126

3) Persepsi Kepala Sekolah Berdasarkan Usia... 127

b. Persepsi Guru... 128

1) Persepsi Guru... 128

2) Persepsi Guru Berdasarkan Jenis Kelamin... 129

3) Persepsi Guru Berdasarkan Usia... 130

D. Keterbatasan Penelitian... 133

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 134

B. Saran... 135

DAFTAR PUSTAKA... 137


(15)

xv

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Jumlah Sampel Penelitian... 38

Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian... 42

Tabel 2. Krtiteria Hasil Uji Koefisien Reliabilitas... 44

Tabel 3. Kriteria Standar Deviasi... 46

Tabel 4. Interval Persepsi Kepala Sekolah dan Guru... 46

Tabel 6. Interval Skor Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Partisipasi... 47

Tabel 7. Interval Skor Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Akses... 47

Tabel 8. Interval Skor Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Kontrol... 47

Tabel 9. Interval Skor Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Manfaat... 48

Tabel 10. Interval Skor Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Sikap... 48

Tabel 11. Interval Skor Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Komunikasi... 49

Tabel 12. Kategori Pencapaian Persentase... 50

Tabel 13. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru... 53

Tabel 14. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Berdasarkan Jenis Kelamin... 55

Tabel 15. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Berdasarkan KriteriaUsia... 58

Tabel 16. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Partisipasi... 63

Tabel 17. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Partisipasi Berdasarkan Jenis Kelamin... 64


(16)

xvi

Tabel 18. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Partisipasi

Berdasarkan Kriteria Usia... 66 Tabel 19. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Akses... 68 Tabel 20. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Akses

Berdasarkan Jenis Kelamin... 69 Tabel 21. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Akses

Berdasarkan Kriteria Usia... 70 Tabel 22. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Kontrol... 72 Tabel 23. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Kontrol

Berdasarkan Jenis Kelamin... 73 Tabel 24. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Kontrol

Berdasarkan Kriteria Usia... 75 Tabel 25. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Manfaat... 77 Tabel 26. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Manfaat

Berdasarkan Jenis Kelamin... 78 Tabel 27. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Manfaat

Berdasarkan Kriteria Usia... 79 Tabel 28. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Sikap... 81 Tabel 29. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Sikap

Berdasarkan Jenis Kelamin... 82 Tabel 30. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Sikap

Berdasarkan Kriteria Usia... 84 Tabel 31. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Komunikasi... 86 Tabel 32. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Komunikasi Berdasarkan Jenis Kelamin... 87 Tabel 33. Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Komunikasi Berdasarkan Kriteria Usia... 89 Tabel 34. Persepsi Kepala Sekolah tentang Kebijakan


(17)

xvii

Tabel 35. Persepsi Kepala Sekolah Berdasarkan Jenis Kelamin... 93

Tabel 36. Persepsi Kepala Sekolah Berdasarkan Usia... 95

Tabel 37. Persepsi Guru tentang Kebijakan Pengarusutamaan Gender... 97

Tabel 38. Persepsi Guru Berdasarkan Jenis Kelamin... 98

Tabel 39. Persepsi Guru yang Berusia <30 Tahun... 100

Tabel 40. Persepsi Guru yang Berusia 31-40 Tahun... 101

Tabel 41. Persepsi Guru yang Berusia 41-50 Tahun... 102


(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Kerangka Pikir Persepsi Kepala Sekolah dan Guru... 33

Gambar 2. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru... 54

Gambar 3. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Persepsi Guru... 54

Gambar 4. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Laki-Laki... 56

Gambar 5. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Perempuan... 56

Gambar 6. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Laki-Laki dan Perempuan... 57

Gambar 7. Diagram Persepsi Guru Usia <30 Tahun... 58

Gambar 8. Diagram Persepsi Guru Usia 31-40 Tahun... 59

Gambar 9. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Usia 41-50 Tahun... 60

Gambar 10. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Usia 51-60 Tahun... 61

Gambar 11. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Berdasarkan Kriteria Usia... 62

Gambar 12. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Partisipasi... 64

Gambar 13. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Partisipasi Berdasarkan Jenis Kelamin... 65

Gambar 14. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Partisipasi Berdasarkan Kriteria Usia... 67

Gambar 15. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Akses... 68

Gambar 16. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Akses Berdasarkan Jenis Kelamin... 70

Gambar 17. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Akses Berdasarkan Kriteria Usia... 72


(19)

xix

Gambar 18. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Kontrol... 73 Gambar 19. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Kontrol Berdasarkan Jenis Kelamin... 74 Gambar 20. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Kontrol Berdasarkan Kriteria Usia... 76 Gambar 21. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Manfaat... 77 Gambar 22. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Manfaat Berdasarkan Jenis Kelamin... 79 Gambar 23. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Manfaat Berdasarkan Kriteria Usia... 81 Gambar 24. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Sikap... 82 Gambar 25. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Sikap Berdasarkan Jenis Kelamin... 83 Gambar 26. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Sikap Berdasarkan Kriteria Usia... 85 Gambar 27. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Komunikasi... 87 Gambar 28. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Komunikasi Berdasarkan Jenis Kelamin... 88 Gambar 29. Diagram Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek

Komunikasi Berdasarkan Kriteria Usia... 90 Gambar 30. Diagram Persepsi Kepala Sekolah tentang Kebijakan

Pengarusutamaan Gender... 92 Gambar 31. Diagram Persepsi Kepala Sekolah Laki-Laki... 93 Gambar 32. Diagram Persepsi Kepala Sekolah Perempuan... 94 Gambar 33. Diagram Persepsi Kepala Sekolah Laki-Laki dan

Perempuan... 95 Gambar 34. Diagram Persepsi Kepala Sekolah Berdasarkan Usia... 96


(20)

xx

Gambar 35. Diagram Persepsi Guru tentang Kebijakan

Pengarusutamaan Gender... 97

Gambar 36. Diagram Persepsi Guru Laki-Laki... 98

Gambar 37. Diagram Persepsi Guru Perempuan... 99

Gambar 38. Diagram Persepsi Guru Laki-Laki dan Perempuan... 100

Gambar 39. Diagram Persepsi Guru Usia <30 Tahun... 101

Gambar 40. Diagram Persepsi Guru Usia 31-40 Tahun... 103

Gambar 41. Diagram Persepsi Guru Usia 41-50 Tahun... 104

Gambar 42. Diagram Persepsi Guru Usia 51-60 Tahun... 104


(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Instrumen Penelitian... 142

Lampiran 2. Data Penelitian Persepsi Kepala Sekolah dan Guru... 149

Lampiran 3. Validasi dan Reliabilitas... 145

Lampiran 4. Perhitungan Standar Deviasi... 159

Lampiran 5. Uji Signifikansi... 167

Lampiran 6. Tabel Tabulasi Silang... 171


(22)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pengarusutamaan gender merupakan suatu usaha dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam semua aspek pembangunan. Kebijakan pengarusutamaan gender mulai diterapkan dengan adanya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Inpres No. 9 Tahun 2000 menegaskan bahwa pengarusutamaan gender adalah sebuah strategi yang dilakukan dengan berbagai kebijakan dan program dalam rangka pencapaian kesetaraan dan keadilan gender yang didalamnya memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 2)

Menindaklanjuti Inpres No. 9 Tahun 2000, pada tahun 2008 pemerintah mengesahkan Peraturan Menteri dalam Negeri No. 15 Tahun 2008 yang di dalamnya memuat Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di daerah. Disahkanya Permen No. 15 Tahun 2003 berarti bahwa semua bidang pembangunan di tingkat nasional dan daerah harus berlandaskan keadilan dan kesetaraan gender, termasuk pembangunan pendidikan. Komitmen pemerintah untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam pembangunan pendidikan dituangkan dalam kebijakan pendidikan. Pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan merupakan suatu strategi yang digunakan pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan pendidikan yang berkesetaraan dan berkeadilan. Untuk mengoptimalkan dan


(23)

2

memperlancar pelaksanaaan pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan disahkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008.

Pembuatan Permendiknas tersebut mengacu pada UUD 1945 pasal 31 Ayat 1 yang menyatakan bahwa semua warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan, Undang-Undang tersebut diperkuat dengan SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 Pasal 4 dan Pasal 5, serta salah satu Target Dakar (EFA) yaitu penghapusan kesenjangan gender pada pendidikan dasar dan menengah serta mencapai kesetaraan gender pada tahun 2015 yang difokuskan pada pemenuhan dan kepastian terhadap hak perempuan dalam memperoleh akses pendidikan dasar yang bermutu. Permendiknas Nomor 84 Tahun 2008 memberikan acuan bagi Kementrian Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota dan satuan pendidikan untuk memasukkan kesetaraan gender dalam pembangunan pendidikan (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 1-2).

Berdasarkan pada Pemendiknas No. 84 Tahun 2008, upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender diperkuat dengan adanya RESENTRA 2010-2014 dengan misi antara lain: meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan; memperluas keterjangkauan layanan pendidikan; meningkatkan kualitas, mutu, dan relevansi layanan pendidikan; mewujudkan kesetaraan dalam memperoleh layanan pendidikan dan menjamin kepastian memperoleh layanan pendidikan (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 2). Keberhasilan strategi pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan sangat ditentukan


(24)

3

mengenai bagaimana penanaman keadilan dan kesetaraan gender di lingkungan sekolah dasar.

Penanaman keadilan dan kesetaraan gender pada sekolah dasar dirasa sangat efektif. Pada dasarnya sekolah dasar merupakan jenjang yang strategis dalam penanaman dan pembentukan sikap terhadap pengetahuan dan keterampilan dasar. Jika dalam pelaksanaan pendidikan mencerminkan sikap yang berkeadilan gender, maka dalam kehidupan sehari-hari juga akan mencerminkan sikap berkeadilan gender. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah ada beberapa unsur yang berperan dalam penanaman dan pembentukan sikap diantaranya adalah kepala sekolah, guru, dan siswa.

Kepala sekolah merupakan guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin suatu sekolah. Kepala sekolah sebagai pemimpin didalam sekolah bertanggung jawab atas tercapainya semua tujuan yang telah ditetapkan oleh sekolah. Wahjosumidjo (1999: 4) menegaskan bahwa kepala sekolah sebagai seorang pemimpin dalam sekolah harus mampu menumbuhkan semangat dan keyakinan para warga sekolah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya guna kemajuan sekolah. Guru merupakan tenaga pendidik profesional yang tugasnya mendidik, membimbing, mengajar, dan mengevaluasi peserta didik. Guru memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran.

Peran kepala sekolah dan guru dalam pelaksanaan pendidikan juga mengharuskan kepala sekolah dan guru peka terhadap kebijakan pengarusutamaan gender. Setiap kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah


(25)

4

dan guru harus memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Salah satu tujuan penanaman pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan adalah meningkatkan mutu dan efisiensi dengan pemberdayaan potensi laki-laki dan perempuan serta memperkecil adanya ketimpangan gender dalam pendidikan.

Keberhasilan pengimplementasian kebijakan perngarusutamaan gender terutama dalam bidang pendidikan sangat ditentukan oleh bagaimana persepsi kepala sekolah dan guru mengenai kebijakan pengarusutamaan gender. Hal ini ditegaskan oleh P. Sondang Siagian (2004: 105) bahwa persepsi seseorang akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku orang tersebut termasuk didalamnya ada motivasi. Persepsi yang responsif gender dari kepala sekolah dan guru sangat diperlukan dalam mewujudkan pendidikan yang adil dan berkesetaraan gender. Persepsi kepala sekolah dan guru terhadap kebijakan pengarusutamaan gender merupakan interpretasi kepala sekolah dan guru dalam memahami strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Data dari Badan Pusat Statistik (2012) menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar pada tahun 2009 laki-laki 94,49% sedangkan APM perempuan 94,24%. Pada tahun 2010 APM mengalami kenaikan yaitu laki-laki 94,79% dan perempuan sebesar 94,65%. Pada tahun 2011 APM SD mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu pada laki- laki 91,48% dan pada perempuan 90,37%. Pada tahun 2012 APM mengalami kenaikan walaupun hanya sedikit yaitu laki-laki 92,50% dan perempuan 92,34%. Deskripsi data APM SD dari tahun 2009 sampai 2012 tersebut


(26)

5

menunjukkan terdapatnya perbedaan partisipasi antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses pendidikan dasar terutamana Sekolah Dasar, walaupun perbedaan partisipasinya hanya sedikit namun hal itu menunjukkan bahwa masih adanya kesenjangan pemerolehan hak untuk mengakses pendidikan antara laki-laki dengan perempuan.

Masih adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses pendidikan disebabkan karena beberapa faktor, faktor pertama adalah kebudayaan yang menganggap bahwa laki-laki mempunyai peran yang lebih dominan dari pada perempuan. Hal ini menyebabkan peran perempuan dianggap tidak terlalu penting. Paulus Mujiran (2002:169) mengungkapkan bahwa masalah ketimpangan dan ketidakadilan gender bersumber pada konstruksi sosial (dan kultur) yang memberikan sikap atau ciri kepada kaum perempuan dan kaum laki-laki. Selain itu konstruksi kebudayaan (tradisi) warisan feodal yang menyatakan bahwa perempuan masih mewarisi tradisi feodal bertumpu pada corak produksi agraris yang menempatkan perempuan sebagai pelengkap. Mansour Fakih (2005: 10) menyebutkan bahwa konstruksi sosial dalam masyarakat menyebabkan seorang laki-laki harus sesuai dengan konstruksi yang dibuat oleh lingkungan sosialnya dan konstruksi sosial tersebut juga menempatkan seorang perempuan harus mempunyai sikap dan sifat yang lemah lembut.

Kedua faktor ekonomi, masalah perekonomian menjadi suatu masalah yang mempunyai dampak pada segala bidang pembangunan, terutama pada sektor pembangunan pendidikan. Pendidikan dan perekonomian merupakan


(27)

6

hal yang saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan, pendidikan selalu memberikan pengaruh pada perkembangan perekonomian di suatu negara begitupun sebaliknya. Sebagian masyarakat terutama masyarakat golongan menengah ke bawah masih beranggapan bahwa biaya pendidikan relatif mahal, walaupun pemerintah sudah mengalokasikan anggaran 20% dari APBN/APBD untuk pembiayaan pendidikan. Sebagaian besar masyarakat pedesaan belum banyak yang menyadari arti dari pendidikan bagi kehidupan sehingga, mereka belum menempatkan pendidikan sebagai suatu kebutuhan dan belum merasakan manfaat pendidikan sebagai salah satu cara peningkatan keterampilan.

Faktor ketiga adalah kurangnya pemahaman terhadap kebijakan pengarusutamaan gender menyebabkan kebijakan yang dibuat masih netral gender dan cenderung bias gender. Kebijakan yang dibuat baik oleh

pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun lembaga persekolahan mempunyai pengaruh besar terhadap terlaksananya keadilan dan kesetaraan gender terutama dalam bidang pendidikan. Akan tetapi sebagian kebijakan

yang dibuat oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga persekolahan masih netral gender dan cenderung bias gender. Menurut Paulus Mujiran (2002: 137) pengambilan keputusan baik di kalangan Dinas Pendidikan atau di tingkat satuan pendidikan masih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal ini juga menyebabkan masih terjadinya bias gender dalam bidang pendidikan.


(28)

7

Dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam pendidikan, maka sekolah dasar menjadi lembaga sekolah pertama yang mempraktekkan konsep keadilan dan kesetaraan gender. Sekolah tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Hal ini menempatkan sekolah sebagai salah satu cara untuk mentransfer nilai kepada peserta didik. Jika nilai-nilai yang berkembang di masyarakat tersebut masih bias gender, maka secara tidak langsung peserta didik diajarkan untuk bersikap bias gender. Untuk itu diharapkan sekolah mengupayakan terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender, karena pada dasarnya pendidikan merupakan kunci terwujudnya

keadilan dan kesetaraan gender dalam masyarakat. Dalam sekolah dasar lebih banyak terdapat guru perempuan dari pada guru laki-laki, hal ini disebabkan oleh pandangan yang memandang bahwa perempuan lebih cocok untuk menjadi seorang pengasuh anak-anak dari pada laki-laki (Sugihastuti dan Itsna Hadi, 2007: 68).

Hasil observasi yang telah dilakukan peneliti terhadap beberapa kepala sekolah di Kecamatan Jatinom menunjukkan bahwa ada beberapa kepala sekolah tidak mengerti konsep pengarusutamaan gender. Hal ini ditunjukkan dengan jawaban mereka yang tidak mengetahui mengenai adanya kebijakan pengarusutamaan gender terutama dalam pendidikan. Selain itu, ada beberapa kepala sekolah yang mengartikan gender sebagai pendidikan agama yang ditanamkan kepada peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.

Guna mengetahui persepsi kepala sekolah dan guru sekolah dasar tentang kebijakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan, maka perlu


(29)

8

dilakukan suatu penelitian. Dengan penelitian mengenai persepsi kepala sekolah dan guru tentang kebijakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan dapat diketahui persepsi kepala sekolah dan guru

Penelitian ini dilakukan di semua Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten, dimana sebagian besar masyarakat masih menjunjung tinggi adat istiadat yang mengindikasikan adanya bias gender. Objek dalam penelitian ini adalah sekolah dasar negeri di Kecamatan Jatinom yang berjumlah 37 sekolah, sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru sekolah dasar negeri di Kecamatan Jatinom. Dari hasil data observasi awal yang dilakukan pada tanggal 19 Februari 2014 di UPTD Kecamatan Jatinom diketahui jumlah kepala sekolah sebanyak 37 orang, sedangkan jumlah guru di Kecamatan Jatinom sebanyak 178 orang guru.

B. Identifikasi Masalah

1. Masih adanya kesenjangan dalam mengakses pendidikan antara laki-laki dan perempuan yang ditunjukkan dengan perbedaan APM dari laki-laki (92,50%) dan perempuan (92,34%) pada tahun 2012.

2. Ada beberapa kepala sekolah yang kurang memahami kebijakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan, sehingga diidentifikasikan adanya bias gender dalam pelaksanaan pendidikan.

3. Masih kentalnya budaya patriarki yang menganggap laki-laki lebih mempunyai peran yang dominan dari pada perempuan dalam kehidupan sehari-hari.


(30)

9

4. Sekolah dasar dominan guru perempuan dari pada guru laki-laki.

C. Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, peneliti membatasi permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti yaitu mengenai persepsi kepala sekolah dan guru tentang kebijakan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pendidikan di Sekolah Dasar Negeri se-Kecamatan Jatinom.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah yang ada dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimanakah persepsi kepala sekolah dan guru sekolah dasar tentang kebijakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan dan adakah perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru sekolah dasar?

2. Adakah perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru berdasarkan jenis kelamin tentang kebijakan pengarusutamaan gender?

3. Bagaimanakah persepsi kepala sekolah dan guru berdasarkan usia dan adakah perbedaan persepsi kepala sekolah dan guru berdasarkan usia?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masasalah yang ada, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan diantaranya adalah

1. Untuk mengetahui persepsi kepala sekolah dan guru dan untuk mengetahui perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru sekolah dasar tentang kebijakan pengarusutamaan gender.


(31)

10

2. Untuk mengetahui perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru berdasarkan jenis kelamin tentang kebijakan pengarusutamaan gender. 3. Untuk mengetahui persepsi kepala sekolah dan guru berdasarkan usia dan

untuk mengetahui perbedaan persepsi kepala sekolah dan guru berdasarkan usia.

F. Manfaat Penelitian

Berdasarkan paparan di atas, manfaat dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas bidang keilmuan terutama bagi pengembangan program studi Kebijakan Pendidikan b. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi terutama yang berkaitan dengan pengarusutamaan gender. 2. Praktis

a. Bagi Dinas Pendidikan

Memberikan informasi kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten mengenai persepsi kepala sekolah dan guru tentang kebijakan pengaruutamaan gender (PUG) dalam satuan pendidikan dasar. b. Bagi Sekolah

Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk tinjauan dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang berlangsung di semua Sekolah Dasar Kecamatan Jatinom.


(32)

11 c. Bagi Kepala Sekolah

Dengan adanya penelitian ini diharapkan kesadaran kepala sekolah mengenai pengarusutamaan gender (PUG) di tingkat sekolah semakin meningkat, sehingga tidak terjadi kesenjangan atau bias gender dalam pelayanan pendidikan.

d. Bagi Guru

Hasil penelitian dapat dimanfaatkan guru sebagai bahan evaluasi pemahaman terhadap konsep PUG, sehingga guru dapat melakukan tindakan lebih lanjut untuk mengoptimalkan pemahaman dan implementasinya di sekolah.


(33)

12

BAB II KAJIAN TEORI A. Persepsi

1. Pengertian

Persepsi merupakan suatu proses pemahaman dunia luar dengan cara memperhatikan, memahami dan mengenali objek atau peristiwa yang ada (Herri Zan dkk, 2011: 24). Sedangkan menurut Jalaludin Rahmat (2009: 51) persepsi merupakan suatu pengalaman mengenai sebuah objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan cara menginterpretasikan, menyimpulkan dan menafsirkan berbagai informasi dan pesan yang diperoleh atau persepsi dapat didefinisikan sebagai proses pemberian makna pada stimulasi inderawi atau sensory stimul.

Samsunuwiyati dan Lieke Indieningsih (2006: 9) mendefinisikan bahwa persepsi merupakan suatu proses stimulasi atau pemicu yang kemudian diteruskan dengan mengambil kesimpulan dan bereaksi atas stimulus yang masuk. Persepsi merupakan suatu proses aktifitas aktif yang melibatkan pembelajaran, cara pandang dan pengaruh pengamatan. Persepsi bergantung pada dua hal yaitu stimulus yang diperoleh oleh indera kita dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang mengenai suatu objek. Persepsi melibatkan kognisi tingkat tinggi dalam penginterpretasian setiap informasi sensorik. Persepsi dimulai dengan adanya stimulasi sensorik yang masuk kemudian diproses sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki yang pada akhirnya akan


(34)

13

memberikan pengalaman sensori yang sederhana (Robert L. Solso dkk, 2007: 76).

Berdasarkan papara di atas, persepsi merupakan suatu proses awal dimana seseorang memahami dan memberikan makna terhadap setiap informasi yang diterima melalui alat indra. Persepsi berfungsi untuk membantu seseorang memahami setiap informasi melalui alat indra secara logis dan teratur. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan persepsi adalah bagaimana interpretasi atau pemaknaan kepala sekolah dan guru mengenai kebijakan pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan.

2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain (Herri Zan dkk, 2011: 24-25) :

a. Minat maksudnya semakin tinggi minat seseorang terhadap suatu objek maka seseorang tersebut mempunyai minat yang tingi dalam mempersepsikan objek itu.

b. Kepentingan, jika objek yang diperoleh seseorang dirasa penting maka seseorang tersebut akan lebih peka terhadap objek persepsinya.

c. Kebiasaan, semakin terbiasa seseorang merasakan peristiwa atau objek tersebut maka orang itu akan terbiasa dalam membentuk persepsi.


(35)

14

d. Pengalaman masa lalu juga mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu objek.

e. Intensitas, objek-objek yang memiliki warna tajam atau mencolok akan lebih mudah dikenali daripada objek-objek yang memiliki warna tipis atau kurang tajam.

f. Sistem nilai merupakan suatu tatanan peraturan yang dikonstruksikan oleh budaya masing-masing dimana terdapat perbedaan antara suatu daerah dnegan daerah yang lain.

g. Tipe kepribadian merupakan suatu ciri atau sifat yang merupakan aspek yang menempel pada diri seseorang yang merupakan ciri khas yang dimiliki seseorang. Tipe kepribadian sangat bergantung pada pengalaman hidup seseorang.

3. Proses Persepsi

Proses terjadinya persepsi didasari oleh beberapa tahapan menurut Bimo Walgito (2003: 53) yaitu:

a. Proses penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh alat indera.

b. Proses diteruskannya stimulus oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf.

c. Hasil merupakan suatu proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap suatu objek yang diterima oleh indera.


(36)

15

B. Kepala Sekolah dan Guru 1. Pengertian Kepala Sekolah

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa kepala sekolah dapat diartikan sebgai guru yang memimpin suatu sekolah, guru sekolah (Departemen P dan K, 1998: 480). Kepala sekolah sebagai pejabat formal mempunyai peranan sebagai kekuatan sentral dalam menggerakkan kehidupan di sekolah. Seorang kepala sekolah hendaknya mempunyai kepedulian terhadap warga sekolahnya (Wadjosumidjo, 2007: 82).

Dalam konsep pemberdayaan kepala sekolah memegang kunci terpenting dalam pencapaian keberhasilan sekolah, memberikan perhatian mengenai apa yang terjadi pada peserta didik, dan memberikan perhatian mengenai apa yang diinginkan oleh orangtua dan masyarakat. Kimball Wiles yang mengungkapkan bahwa Leadership is any contribution to the establishment and attainment of group purpose. Kimball menegaskan

bahwa kepemimpinan bukan hanya sebagai sebuah kesiapan dan kemampuan saja melainkan kepemimpinan merupakan sumbangan dari setiap orang yang bermanfaat bagi penetapan dan pencapaian tujuan (Soekarto Indrafachrudin, dkk, 1983: 30). Sedangkan Sondang P. Siagaan mengungkapkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu motor atau penggerak dari semua sumber, plat yang tersedia terhadap suatu organisasi (Abdul Aziz, 2011: 132).

Soekarto Indrafachrudi, dkk, mengungkapkan kepemimpinan pendidikan adalah sebuah kemampuan dan proses dalam mempengaruhi,


(37)

16

mengkoordinir, dan menggerakkan orang lain yang berhubungan dengan perkembangan ilmu pendidikan dan pelaksanaan pembelajaran agar dapat terlaksananya kegiatan-kegiatan pendidikan dengan efektif dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan (Soekarto Indrafachrudi, dkk, 1983: 33).

Berdasarkan uraian di atas, kepala sekolah merupakan guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin sekolah. Kepala sekolah sebagai pemimpin bertanggung jawab atas keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. kepala sekolah sebagai seorang pemimpin sekolah mempunyai tugas untuk memotovasi, membimbing, dan menggerakkan warga sekolah dalam mencapai tujuan sekolah.

2. Tipe-Tipe Kepemimpinan Kepala Sekolah

Kepala sekolah memiliki beberapa tipe kepemimpinan. Menurut Soekarto Indrafachrudi,dkk, (1983: 49) ada tiga tipe kepemimpinan kepala sekolah diantaranya adalah:

a. Tipe Otoriter (the outocratic style of leadership). Tipe kepemimpinan otoriter ini pemimpin membuat beberapa kebijakan sendiri, tidak meminta persetujuan bawahan dan membatasi hubungan antara atasan dengan bawahan. Bawahan bertugas untuk menjalankan kebijakan dan tidak diikutsertakan dalam berbagai pengambilan keputusan.

b. Tipe Laissez Faire (laisser-faire style of leadership). Tipe ini sering dikenal dengan tipe otokratis dimana pemimpin memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada staf atau anggotanya dalam melaksanakan


(38)

tugas-17

tugas jabatannya. Pengambilan kebijakan dan keputusan dalam metode, program kerja, menjadi kewenangan penuh staf dalam lembaga pendidikan tersebut.

c. Tipe Demokratis (democratic style of leadership). Kepemimpinan demokratis ini pengambilan dan pembuatan kebijakan atau keputusan sangat memperhatikan situasi lembaga. Selain itu pembuatan, pengambilan, dan penetapan keputusan juga dilakukan bersama-sama antara atasan dengan bawahan.

3. Pengertian Guru

Secara etimologis (asal usul kata) guru berasal dari bahasa India yang berarti orang yang mengajarkan tentang kelepasan dari sengsara (Suparlan, 2005: 11). Arif Rohman (2013: 1) mendefinisikan guru sebagai sosok manusia yang dapat ‘digugu’ (ditaati) dan ’ditiru’ (diikuti). Cooper dalam Suparlan mengungkapkan bahwa guru tidak hanya secara formal dikenal sebagai pendidik, pengajar, pelatih, dan pembimbing, tetapi guru dikenal juga sebagai social agent hired by society to help facilitate members of society who attend school. Guru selain melaksanakan tugasnya

sebagai pendidik, pengajar, pelatih dan pembimbing juga bertugas sebagai agen sosial yang diminta oleh masyarakat untuk memberikan bantuan kepada para peserta didik yang akan dan sedang berada dalam bangku persekolahan (Suparlan, 2005: 13).

Jabatan guru merupakan suatu jabatan yang memerlukan suatu keahlian khusus, jadi guru tidak boleh berasal dari luar bidang pendidikan


(39)

18

yang tidak mengerti akan pendidikan (Hamzah B. Uno, 2007: 15). Oemar Hamalik (2009: 36) menambahkan bahwa guru merupakan jabatan profesional yang membutuhkan berbagai keahlian khusus diantaranya adalah sehat jasmani rohani, berkepribadian Pancasila, berbudi pekerti luhur, berjiwa kreatif, memiliki rasa disiplin yang tinggi, mencintai pekerjaanya, keahlian dalam bidang keilmiahan atau pengetahuan dan keahlian dalam bidang keterampilan. Guru bertanggung jawab untuk mendidik perserta didik dan mengantarkan peserta didik untuk mencapai kedewasaan.

Ngainun Naim mendefinisikan guru sebagai sosok yang seharusnya mempunyai banyak ilmu dan mau mengamalkan dengan sungguh-sungguh ilmu yang dipunyainya untuk mendidik dan mengajar dalam proses pembelajaran dalam makna yang luas toleran, dan senantiasa menjadikan siswanya mempunyai kehidupan yang lebih baik (Ngainun Naim, 2009: 4). Elanie B. Johnson dalam Ngainun Naim mengungkapkan bahwa guru yang bermutu memungkinkan siswanya untuk tidak hanya dapat mencapai standar nilai akademik secara nasional, tetapi juga mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang penting untuk belajar selama hidup mereka (Ngainun Naim, 2009: 15).

Jejen Musfah mengungkapkan bahwa guru yang kompeten adalah guru yang mampu menjalankan proses belajar mengajar dengan baik tanpa adanya kekakuan antara guru dan murid. Sebagai seorang guru juga harus mampu mengarahkan peserta didik pada perilaku yang baik dan


(40)

19

bermanfaat, sehingga peserta didik mampu memilih dan melakukan hal- hal yang baik dalam hidup mereka (Jejen Musfah, 2011: 83). Selain kepala sekolah, guru juga mempunyai andil yang sangat besar dalam kemajuan dan pencapaian visi dan misi pendidikan. Peter dalam Isjoni (2006: 16) mengungkapkan bahwa ada tiga tugas dan tanggung jawab guru yakni guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing dan guru sebagai administrator kelas.

Dalam pengertian klasik tugas guru dapat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai pendidik dan sebagai pengajar. Mendidik maksudnya adalah mendorong dan membimbing siswa agar maju menuju kedewasaan yang seutuhnya, sedangkan mengajar maksudnya memberikan bantuan dan pelatihan kepada siswanya agar mau belajar untuk mengetahui sesuatu dan mengembangkan pengetahuan yang ia miliki (Paul Suparno, 2005: 26).

4. Kompetensi Guru

Kompetensi guru yang telah dibakukan oleh Dirjen Dikdasmen Depdiknas tahun 1999 yaitu: a) Mengembangkan kepribadian; b) Menguasai landasan kependidikan; c) Menguasai bahan pelajaran; d) Menyusun program pengajaran; e) Melaksanakan program pengajaran; f) Menilai hasil dalam PBM yang telah dilaksanakan; g) Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran; h) Melaksanakan program bimbingan; i) Berinteraksi dengan masyarakat; j) Menyelenggarakan administrasi sekolah (Hamzah B. Uno, 2007: 20).


(41)

20

C. Kebijakan Pengarusutamaan Gender 1. Pengertian Gender

Gender merupakan suatu konstruksi dari masyarakat yang

membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Gender berasal dari bahasa inggris yaitu gender yang diartikan sebagai jenis kelamin. Pada prinsipnya konsep tentang gender memfokuskan perbedaan antara peran seorang laki-laki dengan perempuan yang dikonstruksikan oleh norma sosial budaya dalam suatu masyarakat.

Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller yang digunakan untuk memisahkan pencirian manusia berdasarkan pendefinisian sosial budaya yang berasal dari ciri fisik biologis. Sejalan dengan Stoller, Ann Oakley mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia (Riant Nugroho, 2008: 3). Lebih lanjut Sugihastuti, dkk, yang mengatakan bahwa Kelamin merupakan penggolongan biologis yang didasarkan pada sifat reproduksi potensial, gender merupakan elaborasi sosial dari sifat biologis manusia (Sugihastuti, dkk, 2007: 5).

Fauzie Ridjal, dkk, menyebutkan bahwa gender adalah interpretasi kultural terhadap perbedaan jenis kelamin yang dibangun dalam masyarakat. Gender erat kaitannya dengan perbedaan jenis kelamin. Gender yang berlaku dalam masyarakat sangat tergantung tentang

bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan perempuan (Fauzie Ridjal, dkk, 1993: 30). Ismi Dwi juga mengungkapkan bahwa gender


(42)

21

merupakan perbedaan peran, kedudukan dan sifat yang diletakkan pada kaum laki-laki dan perempuan melalui konstruksi secara sosial maupun kultural (Ismi Dwi A., 2009: 19).

Berdasarkan beberapa definisi mengenai gender dapat ditarik kesimpulan bahwa gender merupakan suatu konstruksi yang dibangun oleh masyarakat dalam rangka membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Gender merupakan suatu pembagian peran yang dibangun oleh budaya masyarakat. Gender berbeda dengan jenis kelamin karena jenis kelamin merupakan sebuah kodrat yang tidak dapat diubah, bersifat statis dan jenis kelamin antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai pengertian yang sama. Gender sendiri merupakan sebuah bentukan dari masyarakat yang sifatnya dinamis mengikuti perkembangan jaman, dapat berubah-ubah dan ada perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pada intinya gender merupakan sebuah konstruksi yang dibangun oleh masyarakat tentang bagaimana masyarakat mengintepretasikan laki-laki dan perempuan yang sesuai dengan kultur mereka.

2. Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming)

Pengarusutamaan gender menjadi sebuah isu global karena adanya ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan yang telah mendunia. Perjuangan kaum perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender diawali dengan adanya Deklarasi Hak Azazi Manusia PBB pada tahun 1948 (Riant Nugroho, 2008: 56). KemenPP, BKKBN, dan


(43)

22

UNFA mendefinisikan pengarusutamaan gender sebagai suatu proses yang ditempuh untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 6-7).

Dalam konferensi yang telah diadakan oleh PBB muncullah sebuah konsep yang bernama Gender Mainstreaming. Wacana Gender Mainstreaming merupakan sebuah bentuk perlawanan yang digunakan

untuk menggugah kesadaran para pejabat dan pengambil kebijakan akan perlunya pengimplementasian Gender equality disemua aspek pembangunan. Darwin dalam Ismi Dwi mengungkapkan bahwa gerakan gender mainstreaming merupakan pematangan dari konsep GAD. Hal ini

bertujuan agar dengan adanya pengarusutamaan gender semua kebijakan dalam bidang pembangunan dapat memberikan perhatian terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan (Ismi Dwi A., 2009: 62).

Riant Nugroho juga mengungkapkan bahwa pengarusutamaan gender bukan hanya sekedar mengintegrasikan masalah gender dalam

aspek pembangunan, tetapi juga harus memberikan perubahan kepada pembangunan agar lebih responsif dan sensitif terhadap permasalahan gender. Gender mainstreaming merupakan suatu strategi yang dapat


(44)

23

mengembangkan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang responsif gender (Riant Nugroho, 2008: 57).

Pengarusutamaan gender dapat dimaknai dengan bagaimana perempuan dan laki-laki dapat menerima manfaat dari pembangunan. Pengarusutamaan gender bukanlah sebuah program melainkan sebuah strategi yang digunakan oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam seluruh bidang pembangunan. Strategi pengarusutamaan gender dilakukan secara rasional dan sistematik guna mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam aspek kehidupan manusia, baik dalam lingkup rumah tangga maupun dalam masyarakat dan negara.

Strategi pengarusutamaan gender diharapkan akan dapat merubah sikap masyarakat yang awalnya bias gender, buta gender dan netral gender menjadi sensitif gender dan pada akhirnya kan menjadi responsif

gender. Lilis Widaningsih (2012: 4) mengungkapkan bahwa:

a. Buta gender merupakan suatu kondisi seseorang atau masyarakat dimana sama sekali tidak memahami pengertian gender dan permasalahan gender. Gender dianggap sebagai suatu gerakan untuk menghilangkan peran laki-laki.

b. Bias gender merupakan suatu kondisi yang menguntungkan pada salah satu jenis kelamin yang berakibat munculnya permasalahan gender. Kondisi bias gender ini menganggap bahwa suatu kebijakan/program


(45)

24

hanya untuk laki-laki saja atau perempuan saja dan akan menimbulkan streotipe.

c. Netral gender merupakan kondisi yang tidak memihak pada salah satu jenis kelamin atau menyamaratakan hak antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan dianggap sama persis dan tidak ada pembedaannya.

d. Sensitif gender merupakan kemampuan atau kepekaan dalam melihat dan menilai hasil pembangunan serta aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender. Pada kondisi sensitif gender mulai memperhatikan adanya perbedaan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan.

e. Responsif gender merupakan kondisi yang sudah memperhatikan berbagai pertimbangan bagi keadilan dan kesetaraan gender pada berbagai aspek kehidupan antara laki-laki dan perempuan. Memperhatikan semua aspek yang berkaitan, sehingga tercipta kondisi yang nyaman untuk laki-laki dan perempuan.

Kategori sensitif dan responsif gender merupakan salah satu kunci terwujudnya kesetaraan gender. Mami Hajaroh (2011: 4) mengungkapkan adanya strategi pembangunan pengarusutamaan gender dapat memastikan bahwa laki-laki dan perempuan: 1) Berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan; 2) Mempunyai akses yang sama terhadap pembangunan; 3) Memiliki peluang yang sama dalam melakukan kontrol terhadap pembangunan; 4) Memperoleh manfaat yang sama dalam pembangunan. Strategi pengarusutamaan gender bertujuan untuk


(46)

25

mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam semua bidang pembangunan. Kesetaraan gender dapat diukur berdasarkan beberapa indikator yaitu (Ismi Dwi A., 2010: 27):

a. Partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang dalam berbagai kegiatan dan pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini, partisipasi antara kepala sekolah, guru dan siswa mempunyai peran yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan.

b. Akses merupakan kesempatan dalam menggunakan sumber daya tertentu. Dalam kontek ini, akses yang diperoleh guru dan siswa dalam menggunakan segala fasilitas yang ada di sekolah.

c. Kontrol merupakan penguasaan dan wewenang dalam penyelenggraan pendidikan. Dalam hal ini, kontrol yang diberikan oleh kepala sekolah, guru, dan siswa dalam berbagai program penyelenggaraan pendidikan. d. Manfaat merupakan kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal.

Dalam penelitian ini, kebijakan atau keputusan yang diambil oleh sekolah dapat dinikmati oleh laki-laki dan perempuan atau tidak.

3. Pengarusutamaan Gender dalam Bidang Pendidikan

Kebijakan merupakan suatu tindakan yang diambil oleh seseorang atau sekelompok orang dalam rangka melakukan tindakan atau aktifitas tertentu. Thomas R. Dye mengungkapkan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh pemerintah, alasannya dan hasil yang diperolehnya. Singkatnya Thomas R. Dye menegaskan bahwa kebijakan publik merupakan segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk


(47)

26

dilakukan dan tidak dilakukan (Riant Nugroho, 2008: 32). Secara umum kebijakan dapat diartikan sebagai suatu keputusan yang digunakan untuk menemukan solusi atas masalah-masalah yang disepakati dengan memilih berbagai alternatif yang telah disediakan. Kebijakan merupakan suatu keputusan yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok orang mengenai pedoman atau dasar yang digunakan untuk melakukan aktifitas tertentu.

Pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pendidikan sangat diperlukan, karena dengan adanya strategi pengarusutamaan gender (PUG) dapat diidentifikasikan apakah laki-laki dan perempuan: 1) Memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan; 2) Berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan dan proses pengambilan keputusan; 3) Memiliki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan; dan 4) Memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 8). Sasaran dalam pelaksanaan dan pengimplementasian kebijakan pengarusutamaan gender adalah lembaga-lembaga pemerintahan, LSM/ organisasi perempuan, organisasi swasta, organisasi profesi, organisasi keagamaan, sampai pada unit masyarakat terkecil yaitu keluarga.

4. Landasan Hukum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender

Pengarusutamaan gender dalam segala aspek pembangunan memiliki beberapa landasan hukum diantaranya (Ismi Dwi A., dkk, 2010: 1-2 ):


(48)

27

a. Target Dakar

Target Dakkar merupakan salah satu target yang dikeluarkan oleh UNESCO melalui programnya yaitu Education For All (EFA). Salah satu Target Dakkar menyebutkan bahwa “penghapusan kesenjangan gender pada pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2025 dengan

fokus pada kepastian sepenuhnya bagi anak perempuan terhadap akses dalam memperoleh pendidikan dasar yang bermutu”.

b. Target Millenium Development Goals (MDGs).

Goal 2 : Mencapai pendidikan dasar bagi semnya dengan tujuan tahun 2015 semua anak baik laki-laki maupun perempuan dapat mengenyam pendidikan dasar.

Goal 3: Mempromosikan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dengan tujuan untuk menghapuskan segala bentuk disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah paling lambat

tahun 2015.

c. Inpres No. 9 Tahun 2000

Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini menyebutkan bahwa pengarusutamaan gender adalah sebuah strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui berbagai kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan baik laki-laki maupun perempuan dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas


(49)

28

seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan sektor pembangunan.

d. UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJMN

Peningkatan kesetaraan gender merupakan salah satu tujuan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah ( RPJMN) ke-2 tahun 2010- 2014.

e. Permen No. 15 Tahun 2008

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2008 ini menegaskan mengenai pedoman umum dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah

f. Permendiknas No. 84 Tahun 2008

Dalam Permendiknas ini memberikan acuan bagi Kementerian Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota dan Satuan Pendidikan dalam memasukkan unsur kesetraan dan keadilan gender dalam semua dimensi pembangunan pendidikan.

g. Perda No. 4 Tahun 2009

Komitmen pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender tertuang dalam Resentra Provinsi Jawa Tengah melalui Perda No. 4 tahun 2009 dimana salah satu isu strategisnya mengenai belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Dalam Resentra Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah juga

mengakomodasi isu yang ada dalam MDGs (Millenium Development Goals) salah satunya yaitu mengenai mewujudkan kesetaraan gender


(50)

29

bidang pendidikan. Hal ini tercermin jelas dalam misi ke dua yang menyatakan bahwa pemerintah menjamin peyelenggaraan pendidikan bermutu, berkelanjutan, merata dan berkeadilan sesuai otonomi daerah dan pembantuan ( Ismi Dwi A., dkk, 2010: 3).

D. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Ariefa Efianingrum dan Y. Ch. Nany Sutarini Penelitian Dosen Muda Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2008, dengan judul “Persepsi Masyarakat terhadap Citra Perempuan dalam Iklan di Televisi”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iklan ditelevisi dapat semakin memperkuat dan mempresentasikan gambaran perempuan sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat. Sekaligus mengkonstruksi dan menstimulasikan gambaran baru tentang perempuan, baik yang berbeda kenyataan maupun yang bertentangan dengan kenyataan. Adapun citra perempuan didalam iklan menurut penelitian ini: 1) Citra perempuan sesuai dengan nilai gender lama; 2) Citra perempuan sesuai nilai gender transformatif; 3) Citra perempuan sesuai nilai gender baru yang ekstrim. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat gambaran baru mengenai perempuan, tetapi secara umum citra perempuan belum banyak bergeser sehingga kesetaraan gender masih perlu diperjuangkan.

Penelitian yang dilakukan oleh L. Andriyani Purwastuti, Rukiyati dan Mami Hajaroh Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2004, dengan judul “Persepsi Anggota Badan Perwakilan Desa terhadap Organisasi Peka Gender di Kabupaten Sleman. Hasil penelitian ini


(51)

30

menunjukkan bahwa persepsi anggota BPD terhadap kesetaraan gender dapat dinilai sudah baik, dan persepsi anggota BPD terhadap organisasi peka gender cenderung baik, tetapi jika dilihat per item ada beberapa indikator

kesetaraan gender dan organisasi peka gender yang menunjukkan persepsi anggota BPD yang keliru. Sebagaian anggota BPD masih beranggapan bahwa perempuan tidak dapat bekerja yang mengandalkan kekuatan fisik. Sebagaian BPD masih tidak rela jika anak perempuannya berpendidikan lebih tinggi dari pada anak laki-lakinya. Sebagian anggota BPD juga menunjukkan bahwa masih keberatan jika anak perempuannya bekerja di bengkel otomotif. Ada sebagian anggota BPD yang berpandangan bahwa jabatan kepemimpinan sebaiknya dijabat oleh anak laki-laki; jabatan resepsionis dipegang oleh anak perempuan dan petugas keamanan juga dipegang oleh laki-laki. Sebagian anggota BPD masih menolak keberadaan tempat penitipan anak di kantor, ada pandangan yang menyatakan bahwa perempuan sebaiknya menggunakan simbol-simbol feminim.

Penelitian yang dilakukan oleh Ina Maulida Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2012, dengan judul “Persepsi Siswa terhadap Implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 di SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) Persepsi siswa terhadap implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 aspek fokus pada pelanggan pada kategori baik, aspek kepemimpinan pada kategori baik, aspek pendekatan proses pada kategori baik, aspek pendekatan sistem pengelolaan pada kategori baik, aspek peningkatan terus-menerus pada


(52)

31

kategori baik, aspek pembuatan keputusan berdasarkan fakta pada kategori baik, dan aspek hubungan saling menguntungkan dengan mitra pada kategori baik; 2) Faktor pendukung adalah sosialisasi SMM ISo 9001:2008, kesadaran dan komitmen warga sekolah, sarana dan prasarana yang memadai, dukungan dari stakeholders; 3) Faktor penghambat adalah ketersediaan dana, kualitas input siswa, kurangnya kesadaran personel untuk mengubah kebiasaan lama.

E. Kerangka Pikir

Inpres Presiden No.9 Tahun 2000 mengenai Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam segala aspek pembangunan dibutuhkan sebuah strategi pengarusutamaan gender. Tujuannya adalah agar terlaksananya kesetaraan dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi setiap kebijakan yang dibuat. Dalam pelaksanaan pendidikan pengarusutamaan gender telah diatur dalam Permendiknas (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional) No. 84 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa Kementrian Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota dan satuan pendidikan diharuskan untuk memasukkan kesetaraan dan keadilan gender dalam semua dimensi pembangunan pendidikan.

Satuan pendidikan harus melaksanakan kebijakan pengarusutamaan gender, termasuk sekolah dasar. Sekolah dasar dianggap sebagai suatu

lembaga yang strategis dalam melaksanakan pengarusutamaan gender. Komponen yang berperan penting dalam pelaksanaan pengarusutamaan


(53)

32

gender di sekolah dasar adalah kepala sekolah dan guru. Kepala sekolah

sebagai pemimpin dalam lembaga sekolah mempunyai peran yang penting, karena ditangan kepala sekolah kebijakan/program/kegiatan dibuat dan disetujui. Guru sebagai penggerak utama dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah juga mempunyai peran penting dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Persepsi kepala sekolah dan guru tentang kebijakan pengarusutamaan gender merupakan interpretasi, pemaknaan kepala sekolah dan guru tentang

strategi dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Persepsi kepala sekolah dan guru tentang strategi mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender mencakup 6 aspek yaitu partisipasi, akses, kontrol, manfaat, sikap

dan komunikasi. Alur kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(54)

33

Gambar 1. Kerangka Pikir Persepsi Kepala Sekolah dan Guru Instruksi

Presiden No. 9 Tahun 2000

Kepala Sekolah dan Guru: Partisipasi

Akses Kontrol Manfaat Sikap Komunikasi

Usia Jenis Kelamin

Persepsi Kepala Sekolah dan Guru

Sekolah Dasar:

Responsif

Gender

Sensitif

Gender

Netral

Gender

Bias

Gender

Buta

Gender

Kebijakan Pengarusutamaan

Gender (PUG)

Satuan Pendidikan (Sekolah Dasar)

Permendiknas No. 84 Tahun


(55)

34

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran, dapat diajukan beberapa hipotesa sebagai berikut:

1. Kepala sekolah dan guru mempunyai persepsi yang sensitif gender tentang kebijakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan dan terdapat perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru.

2. Berdasarkan jenis kelamin tidak terdapat perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan guru laki-laki dengan kepala sekolah dan guru perempuan.

3. Berdasarkan usia kepala sekolah dan guru memiliki persepsi sensitif gender dan tidak terdapat perbedaan persepsi antara kepala sekolah dan


(56)

35

BAB III

METODELOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena data yang diperoleh merupakan penggambaran dari subjek dan objek yang akan diteliti. Tujuan penelitian deskriptif adalah memberikan gambaran secara nyata mengenai keadaan objek yang sebenarnya. Nurul Zuriah (2007: 47) mengungkapkan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala, fakta, yang secara akurat mengenai populasi yang ada di daerah tertetu.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif dimana data yang diperoleh dideskripsikan berdasarkan pendekatan yang digunakan. Pendekatan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif merupakan metode penelitian yang menggunakan angka, angka digunakan dalam pembuatan, penggunaan dan pemecahan model penelitian kuantitatif. Jenis penelitian kuantitatif merupakan jenis penelitian yang menggunakan rancangan penelitian berdasarkan prosedur statistika untuk mengukur variabel penelitian.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar di Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten provinsi Jawa Tengah. Peneliti memilih setting sekolah dasar di Kecamatan Jatinom karena sekolah dasar pada umumnya merupakan salah satu lembaga pendidikan yang diberi amanah oleh


(57)

36

pemerintah untuk melaksanakan program wajib belajar 9 tahun. Selain itu seting dipilih karena sebagian besar sekolah dasar di Kecamatan Jatinom berada di daerah yang jauh dari kota. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei–Agustus 2014

3. Populasi dan Sampel a. Populasi

Populasi penelitian merupakan individu yang menjadi sumber data penelitian. Populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek penelitian (Burhan Bungin, 2011: 96). Populasi dalam penelitian ini adalah semua kepala sekolah dan guru sekolah dasar negeri di Kecamatan Jatinom. Jumlah populasi kepala sekolah 37 orang, sedangkan populasi untuk guru sejumlah 178 orang. Populasi total dalam penelitian ini adalah 215 orang.

b. Sampel

Sampel merupakan sebagian atau wakil dari populasi yang akan diteliti (Suharsimi, 2010: 174). Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan dijadikan sebagai objek penelitian. Burhan Bungin (2011: 115) mengungkapkan bahwa metode sampling merupakan suatu teknik dalam penarikan atau pengambilan sampel penelitian dan bagaimana merancang cara pengambilan sampel yang representatif.

Dalam penelitian ini, penarikan sampel dilakukan dengan teknik proportionate random sampling. Penarikan proportionate random


(58)

37

pengambilan sampel dari tiap-tiap sub populasi dengan memperhitungkan besar dan kecilnya populasi kepala sekolah dan guru di Kecamatan Jatinom.

Menurut pendapat Suharsimi Arikunto (2006: 134) jika peneliti memiliki beberapa ratus atau beberapa puluh subjek dalam suatu populasi, maka dapat diambil sampel 10–15%, 20-25% dan seterusnya tergantung pada kemampuan peneliti, tenaga, dana dan resiko yang ditanggung oleh peneliti. Dalam penelitian ini populasi kepala sekolah dan guru adalah 215 orang, karena jumlah populasi lebih dari seratus orang maka diambil 40% dari jumlah populasi. Rumus dalam menentukan ukuran sampel menurut Suharsimi (2006: 135) adalah sebagai berikut:

S = d x n Keterangan:

S : sampel yang digunakan dalam penelitian

d : tingkat presisi ( antara 10-15%, 20-25% dan seterusnya) n : Populasi

Dengan penentuan sampel menggunakan rumus dari Suharsimi maka jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Sampel kepala sekolah S = d x n

S = 40% x 37 = 14,8 sampel Dibulatkan menjadi 15 sampel


(59)

38 2. Sampel guru

S = d x n

S = 40% x 178 = 71,2 sampel Dibulatkan menjadi 71 sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah 86 orang yang terdiri dari kepala sekolah dan guru. Populasi antara kepala sekolah dan guru dalam penelitian ini mempunyai perbandingan 1: 5. Pengambilan sampel juga menerapkan perbandingan tersebut yaitu 15 orang kepala sekolah dan 75 orang guru. Jumlah sampel yang akan diambil dapat dijabarkan sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Sampel Penelitian

Responden Laki-laki Perempuan Jumlah

Kepala sekolah 10 5 15

Guru 30 45 75

Jumlah 40 50 90

Jadi jumlah total sampel kepala sekolah dan guru dalam penelitian ini adalah 90 orang. Jumlah kepala sekolah yang dijadikan sampel adalah 15 orang, dengan kepala sekolah laki-laki sebanyak 10 orang dan kepala sekolah perempuan sebanyak 5 orang. Jumlah guru yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah 75 orang, dengan 30 guru laki-laki dan 45 guru perempuan.

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan objek dari penelitian. Sugiyono (2007: 59) mengungkapkan bahwa variabel penelitian merupakan suatu atribut- atribut, sifat, nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi


(60)

39

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel adalah kebijakan pengarusutamaan gender.

C. Definisi Variabel Penelitian

Dalam mengukur variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini, masing-masing variabel akan dijabarkan dan dibatasi secara operasional. 1. Persepsi

Persepsi kepala sekolah dan guru mengenai pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan merupakan pandangan kepala sekolah dan guru mengenai kebijakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan.

2. Kepala Sekolah dan Guru

Kepala sekolah adalah guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab dan mempunyai wewenang penuh atas berlangsungnya semua kegiatan yang ada di sekolah. Guru adalah orang yang bertugas untuk mendidik peserta didik. Selain itu, guru juga bertugas dan bertanggung jawab untuk mengantarkan siswanya dalam mencapai kedewasaan.

3. Pengarusutamaan Gender

Pengarusutamaan gender merupakan strategi yang digunakan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam semua bidang pembangunan nasional. Variabel ini diukur dengan:

a. Partisipasi merupakan suatu keterlibatan dalam rangka pemberian respon pada kegiatan pendidikan yang dilaksanakan, mendukung


(61)

40

tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dan bertanggung jawab atas keterlibatannya.

b. Akses merupakan pemberian kesempatan yang sama dalam berbagai aspek pelaksanaan pendidikan antara kepala sekolah dan guru.

c. Kontrol merupakan kekuasaan yang sama dalam mengatur jalannya pendidikan di lembaga pendidikan dimana diberikan peluang yang sama.

d. Manfaat merupakan kegunaan dan keuntungan atau merupakan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pendidikan.

e. Sikap merupakan tindakan yang mencerminkan persepsi kepala sekolah atau guru terhadap kebijakan pengarusutamaan gender. f. Komunikasi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang

dalam menyampaikan informasi.

D. Teknik Pengumpulan Data

Tahapan terpenting dari penelitian adalah pengumpulan data. Teknik pengumpulan data merupakan sebuah prosedur terpenting dalam penelitian karena pada hakekatnya penelitian bertujuan untuk mendapatkan data. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan angket atau kuesioner. Suharsimi (2010: 194) mengungkapkan bahwa kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari beberapa responden mengenai hal-hal yang ia ketahui. Angket yang digunakan dalam penelitian ini merupakan angket tertutup dimana peneliti


(62)

41

telah menyediakan pilihan jawabannya seperti sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju. Penelitian ini menggunakan skala likert yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang terhadap suatu fenomena sosial yang ada.

E. Instrumen Penelitian

Pemilihan instrumen penelitian ditentukan oleh beberapa hal diantaranya objek penelitian, sumber data, waktu, dana, jumlah tenaga peneliti, dan teknik yang akan digunakan dalam mengolah data. Variasi jenis instrumen penelitian adalah angket, ceklis, pedoman wawancara, dan pedoman pengamatan (Suharsimi Arikunto, 2010: 203). Dalam penelitian ini menggunakan instrumen penelitian untuk memperoleh data mengenai persepsi kepala sekolah dan guru. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner.

1. Kisi-Kisi Instrumen

Penyusunan instrumen penelitian berpedoman kepada kajian teori yang digunakan. Dalam pembuatan instrumen perlu membuat kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi instrumen digunakan untuk pedoman dalam pencapaian tujuan penelitian. Kisi-kisi instrumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(63)

42 Tabel 2. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian

No Variabel Sub Variabel

Indikator Sub Indikator Jmlh

soal

No inst 1. Pengarus

utamaan gender (PUG) Keadilan dan kesetaran gender 1. Partisi-pasi

- Proporsi dan penempatan jabatan antara guru laki-laki dan perempuan di sekolah.

3 1, 2, 3

- Peran guru dan kepala sekolah baik laki–laki maupun perempuan dalam kegiatan sehari-hari di sekolah.

2 4, 5

- Peranan dalam perumusan, pembuatan dan pengambilan keputusan untuk sekolah.

3 6, 7,8

- Peran dalam perumusan visi, misi dan tujuan sekolah lebih didominasi oleh perempuan.

2 9, 10

- Peran perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan keuangan sekolah.

2 11, 12 - Peran guru dalam proses monitoring,

evaluasi pembelajaran di sekolah.

2 13, 14 - Pemberian peluang kepada peserta

didik dalam kegiatan yang ada dikelas maupun diluar kelas.

4 15, 16, 17, 18 2. Akses - Pengarahan dan pelaksanaan pelayanan

pendidikan di sekolah.

2 19-20

- Penggunaan sarana dan prasarana yang ada disekolah (kamar mandi, lapangan olahraga, alat-alat olah raga, pakaian olah raga, kamar ganti, uks).

5 21- 25.

- Perempuan dan laki-laki dalam berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah.

2 26-27.

3. Kon-trol

- Pengawasan laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler disekolah.

2 28- 29.

- Pengawasan dan pengendalian guru laki-laki dan guru perempuan dalam sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah

2 30-31.

- Pengawasan guru laki-laki dan guru perempuan terhadap kedisiplinan peserta didik dalam pelaksanakan kegiatan pembelajaran dikelas dan diluar kelas.

2 32-33

4. Manfa-at

- Hasil yang diperoleh oleh laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran

2 34-35

5. Komu-nikasi

- Kemampuan kepala sekolah dan guru baik laki-laki maupun perempuan dalam hal berkomunikasi.

2 38-39

6. Sikap - Sikap kepala sekolah dan guru dalam kegiatan akademik dan non-akdemik terhadap siswa.


(64)

43

2. Validasi Instrumen

Instrumen penelitian yang baik adalah instrumen yang valid. Suatu instrumen yang valid akan memiliki validasi tinggi sedangkan instrumen yang kurang valid memiliki validasi yang rendah. Penilaian validasi isi dapat dimintakan pertimbangan kepada beberapa ahli yang dianggap mempunyai kompetensi untuk memberikan penilaian/interrater judgement berkaitan dengan isi dari instrumen dan kisi-kisi (Purwanto, 2007: 126).

Pada penelitian ini validasi isi dilakukan dengan memimta pertimbangan dan penilaian para ahli. Penilaian dan pertimbangan dari para ahli digunakan untuk melihat apakah kisi-kisi dan angket yang dibuat dapat langsung digunakan atau harus ada perbaikan. Jumlah tenaga ahli yang digunakan dalam penilaian angket adalah 2 orang. Pertimbangan dan penilaian dari 45 butir soal dalam angket dilakukan oleh dua orang tenaga ahli yang merupakan dosen dari Program Studi Kebijakan Pendidikan yaitu Ibu L. Andriani, M.Pd dan Ibu Rukiyati, M.Hum.

Selain itu, dalam penelitian ini validasi instrumen dilakukan dengan menggunakan rumus Product Moment dari Pearson dengan bantuan SPSS 16.00 For Windows. Setelah instrumen dibagikan kepada responden

kemudian diukur korelasinya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui variabel dalam angket valid atau tidak valid. Rumus Product Moment (Purwanto, 2007: 127):

− − − = } ) ( }{ ) ( { ) )( ( 2 2 2 2 Y Y n X X n Y X XY n rxy


(65)

44 Keterangan :

n : jumlah responden

x : skor yang diberikan oleh rater y : skor yang diberikan oleh rater 2

3. Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas instrumen menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan dalam penelitian bersifat konsisten walaupun diberikan perlakuan yang berbeda-beda dan berulang-ulang kali. Uji reliabilitas instrumen dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS 16.00 For Windows. Uji koefisien reliabilitas dilakukan dengan

menggunakan metode Alpha Cronbach (Purwanto. 2007: 181) :

= 1 −

Dengan,

= ∑

(∑ )

Keterangan :

= koefisien reliabilitas = varians skor butir = varians skor total = jumlah butir

= jumlah responden

Tabel 3. Krtiteria Hasil Uji Koefisien Reliabilitas

Nilai Alpha Kategori

>0.90 Reliabilitas sempurna

0.70 – 0.90 Reliabilitas tinggi

0.50 – 0.70 Reliabilitas moderat

< 0.50 Reliabilitas rendah


(1)

174

4.

Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Kontrol

Jenis

Kelamin Kategori

Usia

Jumlah Usia < 30

Tahun

Usia 31- 40 Tahun Usia 41- 50 Tahun Usia 51- 60 Tahun Laki- Laki

Responsif gender 0 0% 0 0% 0 0% 1 4% 1 3%

Sensitif gender 0 0% 3 50% 2 25% 10 42% 15 38%

Netral gender 0 0 % 3 50% 3 38% 4 17% 10 25%

Bias gender 1 50% 0 0% 1 13% 5 21% 7 18%

Buta gender 1 50% 0 0 % 2 25% 4 17% 7 18%

Perempuan

Responsif gender 0 0% 2 12% 2 25% 1 5% 5 10%

Sensitif gender 2 40% 7 41% 4 50% 2 10% 15 30%

Netral gender 3 60% 6 35% 0 0% 13 65% 22 44%

Bias gender 0 0% 2 17% 2 25% 3 15% 7 14%

Buta gender 0 0 % 0 0% 0 0% 1 5% 1 2%

Jumlah

Responsif gender 0 0% 2 9% 2 13% 2 5% 6 7%

Sensitif gender 2 29% 10 43% 6 38% 12 27% 30 33%

Netral gender 3 43% 9 39% 3 19% 17 39% 32 36%

Bias gender 1 14% 2 9% 3 19% 8 18% 14 16%

Buta gender 1 14% 0 0% 2 13% 5 11% 8 9%

5.

Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Manfaat

Jenis

Kelamin Kategori

Usia

Jumlah Usia < 30

Tahun Usia 31- 40 Tahun Usia 41- 50 Tahun Usia 51- 60 Tahun Laki- Laki

Responsif gender 0 0% 0 0% 0 0% 1 4% 1 3% Sensitif gender 0 0% 1 17% 3 38% 7 29% 11 28%

Netral gender 0 0 % 2 33% 2 25% 5 21% 9 23%

Bias gender 1 50% 3 50% 3 38% 10 42% 17 43%

Buta gender 1 50% 0 0% 0 0% 1 4% 2 5%

Perempuan

Responsif gender 0 0% 0 0% 0 0% 1 5% 1 2%

Sensitif gender 3 60% 7 41% 3 38% 5 25% 18 36%

Netral gender 1 20% 3 18% 2 25% 4 20% 10 20%

Bias gender 1 20% 7 41% 1 13% 9 45% 18 36%

Buta gender 0 0% 0 0% 2 25% 1 5% 3 6%

Jumlah

Responsif gender 0 0% 0 0% 0 0% 2 5% 2 2% Sensitif gender 3 43% 8 35% 6 38% 12 27% 29 32%

Netral gender 1 14% 5 22% 4 25% 9 20% 19 21%

Bias gender 2 29% 10 43% 4 25% 19 43% 35 39%


(2)

175

6.

Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Sikap

Jenis

Kelamin Kategori

Usia

Jumlah Usia < 30

Tahun Usia 31- 40 Tahun Usia 41- 50 Tahun Usia 51- 60 Tahun Laki- Laki

Responsif gender 1 50% 2 33% 1 13% 3 13% 7 18%

Sensitif gender 0 0% 3 50% 3 38% 11 46% 17 43%

Netral gender 0 0% 0 0% 1 13% 5 21% 6 15%

Bias gender 1 50% 0 0% 1 13% 2 8% 4 10%

Buta gender 0 0% 1 17% 2 25% 3 13% 6 15%

Perempuan

Responsif gender 1 20% 6 35% 1 13% 2 10% 10 20%

Sensitif gender 3 60% 8 47% 4 50% 9 45% 24 48%

Netral gender 1 20% 1 6% 1 13% 5 25% 8 16%

Bias gender 0 0% 2 12% 2 25% 4 20% 8 16%

Buta gender 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0%

Jumlah

Responsif gender 2 29% 8 35% 2 13% 5 11% 17 19%

Sensitif gender 3 43% 11 48% 7 44% 20 45% 41 46%

Netral gender 1 14% 1 4% 2 13% 10 23% 14 16%

Bias gender 1 14% 0 0% 3 19% 6 14% 10 11%

Buta gender 0 0% 3 13% 2 13% 3 7% 8 9%

7.

Persepsi Kepala Sekolah dan Guru pada Aspek Komunikasi

Jenis

Kelamin Kategori

Usia

Jumlah Usia < 30

Tahun Usia 31- 40 Tahun Usia 41- 50 Tahun Usia 51- 60 Tahun Laki- Laki

Responsif gender 0 0% 2 33% 4 50% 2 8% 8 20%

Sensitif gender 1 50% 2 33% 2 25% 12 50% 17 43%

Netral gender 1 50% 1 17% 2 25% 7 29% 11 28%

Bias gender 0 0% 1 17% 0 0% 2 8% 3 8%

Buta gender 0 0% 0 0% 0 0% 1 4% 1 3%

Perempuan

Responsif gender 1 20% 1 6% 0 0% 1 5% 3 6%

Sensitif gender 4 80% 11 65% 6 75% 12 63% 33 66%

Netral gender 0 0% 5 29% 1 13% 4 21% 10 20%

Bias gender 0 0% 0 0% 1 13% 3 11% 4 8%

Buta gender 0 0% 0 0% 0 0% 0 0%

Jumlah

Responsif gender 1 14% 3 13% 3 7% 7 8%

Sensitif gender 5 71% 13 57% 10 63% 24 55% 52 58%

Netral gender 1 14% 6 26% 3 19% 11 25% 21 23%

Bias gender 0 0% 1 4% 3 19% 5 9% 9 10%


(3)

176

Lampiran 7.

Surat Ijin Penelitian


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Persepsi kepala sekolah Dasar Tentang Efektivitas Manajemen Berbasis Sekolah di Kecamatan Tanah Sareal Bogor

1 35 66

PERSEPSI GURU TENTANG POLA MANAGERIAL KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI GURU TERHADAP KINERJA GURU SEKOLAH Persepsi Guru Tentang Pola Managerial Kepala Sekolah Dan Motivasi Guru Terhadap Kinerja Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri Di Kecamatan Kebakkramat Tah

0 4 17

PENGARUH MOTIVASI GURU DAN PERSEPSI GURU TENTANG KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP KINERJA GURU DI Pengaruh Motivasi Guru Dan Persepsi Guru Tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru Di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali Tahun 201

0 0 13

PERSEPSI GURU TENTANG PERAN KEPALA SEKOLAH DAN IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH TERHADAP PERSEPSI GURU TENTANG PERAN KEPALA SEKOLAH DAN IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH TERHADAP PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DI SD

3 10 14

PENGARUH MOTIVASI KERJA, PERSEPSI GURU TENTANG KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, TINGKAT PENDIDIKAN, DAN KOMPETENSI GURU TERHADAP KINERJA GURU SEKOLAH DASAR KECAMATAN AMBAL KABUPATEN KEBUMEN.

0 0 23

PERSEPSI GURU TENTANG KEPEMIMPINANTRANSFORMASIONAL KEPALA SEKOLAH,TRANSPARANSI, DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN SEKOLAH.

0 2 18

Pengarusutamaan Gender Pada Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar Di Kota Surakarta (Studi Tentang Komitmen Pembuat Kebijakan Dan Kapasitas Sumber Daya Manusia Dalam Integrasi Gender Di Sekolah Dasar Negeri Di Kota Surakarta).

0 0 15

PERSEPSI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KOMPETENSI GURU PENJASORKES SEKOLAH DASAR NEGERI SE-KECAMATAN WATES KULONPROGO.

0 1 100

PERSEPSI GURU TENTANG KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL KEPALA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KISMANTORO KABUPATEN WONOGIRI.

0 1 166

PENGARUH PERSEPSI GURU TENTANG KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA GURU DI SEKOLAH DASAR NEGERI SEKECAMATAN UMBULHARJO YOGYAKARTA.

1 2 154