Konteks Sosial Historis Pedagogi Kritis

26 mengembangkan sebuah masyarakat yang egaliter Rakhmat Hidayat, 2013: 12-13. Muhammad Karim 2009: 164-165 menyatakan bahwa dalam pendidikan yang membebaskan, tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yang dibebaskan karena tidak ada dikotomi subjek dan objek. Kedua belah pihak merupakan pribadi yang bukan mengetahui segalanya, namun mencari suatu kebenaran dan solusi bersama. Pendidikan yang membebaskan bersifat dialogis dan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan menjadi proses transformasi yang diuji dalam kehidupan nyata. Kebebasan dalam berdialog dapat dirasakan oleh semua orang. Tidak ada lagi peserta didik seperti bejana kosong. Dalam pandangan Freire, pendidikan yang membebaskan merupakan proses ketika pendidik mengkondisikan peserta didik untuk mengenal dan mengungkap kehidupan yang senyatanya secara kritis. Pendidik dapat menghubungkan pengalaman-pengalaman yang diungkapkan oleh peserta didik dengan pembelajaran dalam kehidupan. Pendidikan dalam konsepsi Freire tersebut, memiliki implikasi dalam perilaku belajar sebagai proses integral dalam pendidikan. Dalam praksis pembelajaran, Freire melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni: 1. Pengajar 2. Peserta didik 3. Realitas dunia 27 Unsur yang pertama dan kedua adalah subjek yang sadar, sementara unsur yang ketiga adalah objek yang tersadari. Ketiga unsur tersebut harus ada dalam pedagogi kritis Paulo Freire, 2002: x. Freire mengatakan bahwa ketika kaum tertindas medapatkan humanisasi, mereka tidak hanya berjuang untuk mendapakan kebebasan dari kelaparan. Namun, mereka harus menciptakan, membangun, mempertanyakan dan mencoba-coba, sehingga menuntut merek untuk aktif dan bertanggung jawab. Hal ini sesuai apa yang dikatakan Freire berikut: ….kebebasan untuk menciptakan dan membangun, untuk mempertanyakan dan mencoba-coba. Kebebasan semacam ini menghendaki manusia yang aktif dan bertanggung jawab, bukan budak atau sekrup mati dalam mesin….. Tidak cukup sekedar bahwa manusia bukanlah budak; jika kondisi sosial mengarah kepada kehidpan otomaton, hasilnya bukan berupa cinta kehidupan, tetapi cinta kematian Freire, 2013: 48. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa orientasi pedagogi kritis adalah untuk memberikan peran penting terjadinya perubahan sosial di masyarakat. Pedagogi kritis merupakan sebuah cara berpikir tentang praksis relasi dalam pembelajaran di kelas, produksi pengetahuan dan berbagai struktur sosial yang berkorelasi dengan kehidupan material di masyarakat. Dalam praksis pembelajaran, Freire melibatkan tiga unsur sekaligus yaitu pendidik, peserta didik dan realitas.

4. Kurikulum dalam Pembelajaran

Pencapaian suatu tujuan pendidikan tidak akan berhasil tanpa adanya kurikulum. Kurikulum sebagai pengarah dalam pelaksanaan 28 pendidikan sangat diperlukan, karena tanpanya segala kegiatan pendidikan akan menjadi tidak terarah. Ragan mengatakan bahwa secara tradisional, kurikulum dapat diartikan sebagai objek telaah atau materi pelajaran yang harus diajarkan dalam praktik belajar-mengajar Siti Murtiningsih, 2006: 107. Kurikulum dalam pemahaman ini merupakan pelajaran di bangku sekolah yang hanya berisi sejumlah materi pelajaran yang terpisah-pisah. Hubungannya dengan realitas konkret yang dialami peserta didik pun sangat jauh. Pernyataan tersebut juga dikemukakan oleh Nasution 2006: 5 bahwa kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staff pengajarnya. Jadi, dapat dipahami bahwa kurikulum ini merupakan produk sekolah yang dibuat untuk memperlancar pembelajaran di sekolah. Sementara itu, kurikulum dalam pengertian modern dipahami sebagai himpunan pengalaman konkret peserta didik yang menjadi objek pembahasan dalam praktik belajar mengajar. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Freire yang mengatakan bahwa objek kajian belajar peserta didik adalah realitas. Bentuk pengalaman kehidupan peserta didik perlu dimasukkan dalam kurikulum Siti Murtiningsih, 2006: 108. Hal ini menganggap bahwa kurikulum harus bersumber dari kehidupan siswa agar mereka dapat mengenal mengenai apa yang ada di lingkungannya. Dengan 29 berdasarkan dengan apa yang ada di dekat peserta didik, pendidikan tidak menjauhkannya dari realitas dan peserta didik menjadi peka terhadap permasalahan sosial. Kurikulum menurut pandangan Freire berpusat pada “problematisasi“ realitas konkret. Peserta didik bersama pendidiknya memaknai berbagai persoalan hidupnya dan berusaha memecahkannya. Sebagai mediator dan fasilitator, pendidik berfungsi menyakinkan akan realitas yang diketahui oleh peserta didik, kemudian secara bersama menganalisisnya dan peserta didik akan membangun pengetahuannya sendiri secara kritis. Peserta didik mencari arti pengetahuan yang telah dibangunnya melalui diskusi dengan pendidik maupun dengan kawan- kawannya. Pendidik bukanlah orang yang mengetahui segalanya, sehingga, pendidik juga harus aktif dalam mencari kejelasan, menanyakan kebenaran, dan mengevaluasi alternatif yang ada Siti Murtiningsih, 2006: 109. Bagi Freire, kurikulum yang berorientasi dari realitas konkret pengalaman siswa dan berprinsip dinamis, bukan pola-pola yang statis seperti dalam pendidikan sistem bank, adalah mutlak bagi proses pendidikan yang sejati membebaskan. Membebaskan berarti sesuai apa yang diinginkan siswa. Apa yang dibutuhkan siswa dari kurikulum yang baik adalah muatan kurikulum yang mampu menumbuhkan kesadaram kritis Siti Murtiningsih, 2006: 109. Artinya, kurikulum dapat