Keberadaan Masyarakat Adat dalam Pencegahan Praktek Prostitusi Menurut Undang-undang

4228 Larangan praktek prostitusi sudah diatur secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP. Pasal 296 menyebutkan bahwa barangsiapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000. Kemudian Pasal 297 menyebutkan bahwa memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun. Selanjutnya pada Pasal 506 menyebutkan bahwa barangsiapa sebagai mucikari souteneur mengambil untung dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan.

E. Keberadaan Masyarakat Adat dalam Pencegahan Praktek Prostitusi Menurut Undang-undang

Pasal 20 Undang-ndang Nomor: 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyebutkan bahwa Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Kemudian dijelaskan pada Pasal 21 ayat 1 bahwa peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: 1 melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini, 2 melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan, 3 melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi, 4 melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi. Ayat 2 bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan Pasal 22 menjelaskan bahwa masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1 huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan beberapa Undang-undang yang mengatur tentang pemberdayaan masyarakat adat dalam mencegah praktek prostitusi dalam masyarakat. Pasal 2 ayat 9 Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah secara tegas menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa dalam setiap pembentukan Peraturan Daerah perda, sudah selayaknya merujuk pada hukum adat yang berlaku dalam suatu daerah tertentu. Karena setiap hukum yang dibentuk dan digali dari pandangan hidup value system masyarakat niscaya akan ditaati dan dihormati masyarakat karena sesuai dengan cita-cita hukum rechtidea dan perasaan hukum rechtgevool masyarakat. Kondisi semacam ini telah tercermin dalam Pasa1 216, ayat 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa perda, sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat desa.

F. Kesimpulan