1
Bagian Pertama
FOLKLOR SEBAGAI MEDIA DAN SUMBER PENDIDIKAN: SEBUAH ANCANGAN KURIKULUM DALAM PEMBENTUKAN
KARAKTER SISWA BERBASIS NILAI BUDAYA BATAK TOBA
Oleh Prof. Dr. Robert Sibarani, MS Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara
A. Hakikat Folklor
Secara eimologi kata “foklor” adalah pengindonesiaan katabahasa Inggris folklore. Kata ini adalah kata majemuk, yang
berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal isik, sosial, dan budaya
sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri- ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit, bentuk
rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama atau kepercayaan
yang sama. Namun, yang lebih pening lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebiasaan yang telah mereka
warisi turun temurun, sedikitnya dua generasi,yang dapat mereka akui sebagai milik bersama mereka. Di samping itu, mereka sadar
akan idenitas kelompok mereka sendiri Dundes, 1965:2; 1977:17- 35; 1978:7. Jadi folk adalah sinonim dengan kolekif, yang juga
memiliki cirri-ciri pengenal isik atau kebudayaan yang sama serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat.
Loreadalah kebiasaan folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui
suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat mnemonic device .
Dari uraian diatas dapat dideinisikan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolekif, yang tersebar dan diwariskan
secara turun-temurun, di antara kolekif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat mnemonic device.
Berkenaan dengan jenis kebudayaannya, Yadnya 1981:25- 28 menyatakan bahwa folklor adalah bagian dari kebudayaan
yang bersifat tradisional, idak resmi unoicial, dan nasional. Pandangan ini menyiratkan bahwa folklor bukan hanya yang
bersifat etnik, melainkan juga yang nasional; yang penyampainnya secara idak resmi.Pada bagian lain, Poter berpendapat bahwa
folklor merupakan “a lively fossil which refuses to die “Leach, 1994:401.
Pengerian folk yang berbunyi “sekelompok orang, yang memiliki ciri-ciri pengenal isik maupun kebudayaan sehingga dapat
dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya” dan pengerian lore yang berbunyi “kebiasaan atau kebudayaan” menyiratkan bahwa
peneliian folklordi Nusantara ini sangat luas dan sangat beraneka ragam. Karena folklor merupakan cermin diri dan kebiasan
manusia secara kolekif, maka mengungkapfolklor sama halnya menyelamimisteri indah manusia. Persoalannya sekarang, apakah
folklor yang sangat kaya itu dapat dimanfaatkan untuk membawa generasi muda Indonesia ke masa depan yang lebih cerah.
Bukankah Barnouw 1982:241juga menyatakan bahwamenelii folklor akan sampai pada “the enjoyment of life”. Hal itu berari
bahwasalah satu kenikmatanhidup itu adalah mempelajari folklor.
Keseluruhan jenis folklor baik folklor lisan, folklor sebagian lisanmaupun folklor bukan lisan, memiliki fungsi yang sangat
pening dalam kehidupan manusia. Menurut Bascom, folklor memiliki empat fungsi, yaitu 1 sebagaisistem proyeksi
proyecive system
, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolekif, 2 sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-
lembaga kebudayaan, 3 sebagai alat pendidikan pedagogical device
, dan 4 sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma- norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolekifnya
1965:3-20. F
olklor Nusantara juga memiliki keempat fungsi tersebut.
Sebagai sistem proyeksi, folklor menjadi proyeksi angan-angan atau impian rakyat, atau sebagai alat pemuasan atau pemenuhan
impian masyarakat.Dengan beberapa episodenya, Cerita Si Jonaha pada masyarakat Batak menggambarkan impian seorang
tokoh untuk mengalahkan penguasa, raja, orang elit, dan orang terhormat dengan berbagai strategi. Sebagai alat
pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, folklor
sering mengukuhkan pranata-paranata atau lembaga-lembaga yang ada. Cerita
Siboru Tumbaga pada masyarakat Batak Toba mengindikasikan adanya pranata adat yang mengatur pembagian
harta warisan, yang menurut sikap tokohnya harus ditata kembali. Folklor di satu sisi dapat digunakan sebagai media pendidikan
dan di sisi lain dapat digunakan sebagai sumber pendidikan anak sebagaimana yang dijelaskan pada tulisan ini.
Sebagai alat paksaan
dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi, banyak folklor mengandung ”mitos” yang mengendalikan manusia
untuk melakukan atau untuk melarang manusia melakukan sesatu. Folklor Tunggal Panaluan, Siboru Deak Parujar, dan Siboru
Pareme
pada masyarakat Batak Toba mengandung mitos sumbang, yang berari melarang orang melakukan kawin sumbang.
Selanjutnya Dundes menambahkan fungsi lain, yaitu: 1 untuk mempertebal perasaan solidaritas kolekif, 2 sebagai alat
pembenaran suatu masyarakat, 3 memberikan arahan kepada masyarakat agar dapat mencela orang lain, 4 sebagai alat
memprotes keidakadilan, 5 sebagai alat yang menyenangkan dan memberi hiburan. Fungsi folklor tersebut juga terdapat pada
folklor Nusantara. Folklor Terjadinya Danau Toba yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba dengan sendirinya mempertebal
solidaritas kolekif masyarakat Batak Toba dan dengan sendirinya menguatkan idenitas kolekif itu. Cerita tersebut juga dapat
dimanfaatkan untuk mencela orang lain agar mematuhi janji serta memprotes keidakadilan yang dilakukan oleh salah seorang tokoh
dalam cerita itu. Berkenaan dengan fungsi hiburan, banyak sekali folklor yang berfungsi sebagai hiburan. Hampir semua episode
cerita Si Jonaha mengandung hiburan.
Kembali muncul pertanyaan, bagaimaana fungsi folklor yang pada umumnya bersifat etnik itu dapat berfungsi secara prakis
dan pragmaik dalam masyarakat global sekarang ini. Jawabannya sudah tentu membutuhkan pemikiran prakis dan pragmais.
Semua fungsi folklor tersebut akan dapat mengubah manusia terutama generasi muda ke masa depan yang lebih cerah apabila
di manaatkan dalam proses pembelajaran baik dalam pendidikan
formal, pendidikan nonformal, maupun pendidikan informal. Dengan demikian, perlu rancangan kurikulum untuk merumuskan
folklor baik sebagai media pendidikan maupun sebagai sumber
pendidikan. Folklor sebagai media pendidikan mengacu pemanfaatan
bentuk folklor sebagai sebagai sarana mengajarkan pelajaran kepada siswa, sedangkan folklor sebagai sumber pendidikan
mengacu pada pemanfaatan isi folklor sebagai bahan pelajaran kepada siswa.
B. Folklor Sebagai Media Pendidikan