merupakan salah satu upacara yang berhubungan dengan ritus padi, yang hingga saat dilakukan penulisan ini masih berlangsung
pada masyarakat pendukungnya.Tradisi wiwit adalah salah satu upacara yang dikenal oleh masyarakat Pundong di samping
upacara-upacara yang lainnya.Hal ini menunjukkan bahwa perilaku religi pada masyarakat yang bersangkutan masih kuat
dalam mempertahankan warisan budaya leluhur setempat. Panen merupakan rahmat yang paling berharga dari pemberian rezeki
yang dalam kelompok masyarakat setempat disebut mboyong
Dewi Sri‘membawa pulang padi dari sawah ke rumah’.Oleh sebab itulah panen dilengkapi dengan upacara khusus yang pada
dasarnya berisi pernyataan atau representasi penghormatan
terhadap sumber hidup yaitu padi atau beras yang dilambangkan dengan Dewi Sri, yang juga dipahami sebagai rezeki.
1. Bentuk Upacara Wiwit
Upacara wiwit ini dapat dipahami sebagai sarana mendatangkan Dewi Sri agar hadir di dalam kehidupan keseharian
petani. Adapun maksudnya idak lain adalah untuk memohon perkenan dan perlindungan keselamatan dalam memboyong
panenan padi pulang ke rumah, selanjutnya juga pengharapan dan permohonan agar Dewi Sri berkenan menjaga kelestarian bulir-
bulir padi itu yang mereka simpan di dalam lumbung. Sebenarnya upacara wiwit itu merupakan satu rangkaian semenjak petani
menanam padi di sawahnya.Sebelum orang memanen seluruh padi, maka dibuatlah upacara pemboyongan padi lengkap dengan
mantra dan sesaji. Sesaji itu terdiri atas: a. Nasi liwet sebakul berikut kerap atau inip nasi yang ditaruh di
atas nasi liwet tersebut
b. Air kendhi c. Daun dadap srep
d. Telor ayam kampung e. Ikan asingereh pethek
f.
Sambal gepeng yaitu terbuat dari kedelai yang digoreng kemudian dikasih bumbu garam, cabe, kencur, terus ditumbuk
dicampur dengan gereh Petek sejenis ikan asin kecil.
g. Sebongkok merang untuk menyalakan dupa atau kemenyan wangi
h. Kain selendang yang masih baru untuk menggendong Dewi Sri. Setelah semua sesaji dipersiapkan barulah dibawa ke sawah,
biasanya anak-anak kecil menyertai upacara ini dengan harapan akan menjadi burung-burung gagak yang menyantap sesaji tadi.
Seorang sesepuh kampung yang ditunjuk oleh yang punya sawah segera melakukan doa untuk pemboyongan tersebut. Beberapa
padi hingga segenggam dipotong dengan alat yang disebut ani-
ani selanjutnya disatukan dan digendong oleh seorang gadis yang
bersih arinya dalam keadaan idak sedang datang bulan atau haid. Sesampai di rumah padi itu diletakkan di dalam senthongatau
pedaringan, kelak setelah semua panenan di simpan di dalam lumbung segenggam padi pokok Dewi Sri itu, barulah disatukan
di dalam lumbung tujuannya agar hasil panenan idak lekas habis sampai musim tanam yang akan datang.
Ada hal menarik dari penuturan seorang tetua dusun bernama Suwitorejo 73 bahwa upacara wiwit di samping untuk
memboyong Dewi Sri ternyata salah satu yang menjadi sasaran doa berupa seekor singa berkepala gandarwa bernama Kala Bulkiya.
Tokoh ini dikenal oleh petani sebagai penunggu sawah dan tegalan
sekaligus penunggu Dewi Sri di sawah. Pemujaan dan sesji yang dipersembahkan kepadanya adalah representasi dari pernyataan
terima kasih para petani terhadap jasa-jasa yang telah menjaga tegal dan persawahan petani. Pada jaman dulu setelah upacara mboyong
Dewi Sri secara masal akan diakhiri dengan dekahan gedhenatau mejemuk umum, dalam upacara dekahan gedhen itu menanggap
wayang dengan cerita lakon Sri Boyong atau lakon Makukuhan, yaitu cerita lakon wayang yang berkisah tentang asal muasal tanaman
padi dan terjadinya Kala BulkiyaKasidi, 2011: 54. Namun karena situasi ekonomi yang melanda hampir di seluruh Indonesia sejak
beberapa tahun terakhir biaya mejemuk umum dialihkan untuk pembangunan prasarana umum di kampung mereka.
2. Fungsi Upacara Wiwit