Etnografi Politik, Folklor, dan Flu Budaya

ini panggung teater sandiwara. Bahkan dengan nada yang agak yakin, Huizinga 1990, juga menegaskan “kehidupan sosiokultural itu seperi serangkaian permainan.” Permainan itu jarang yang memuaskan. Para pemegang saham budaya pun semakin meyakini bahwa atas dasar role theory teori peran, senaniasa manusia tercebur ke dalam kubangan sebuah drama. Sungguh manis dan sekaligus tragis drama social dan budaya di negeri ini. Seakan-akan, seiap permainan budaya sudah tercerabut dari akarnya. Banyak yang telah lupa pada akar dan ini culture core , yang semesinya memakmuran manusia, tetapi justru menyunat dan bahkan membungkam manusia. Oleh karena sebuah permainan, prakik budaya acion culture semakin riuh dengan persaingan idak sehat. Sebagai anggota masyarakat sipil,saya sering hanya dapat menjadi pengamat sedih terhadap ulah theatricality para pemegang saham budaya. Budaya, lebih gampangnya menjadi milik golongan pengendali. Para pengendali budaya bebas a melempar ide, b mempermak budaya, c menyusun skenario budaya, dan lain-lain yang ujung- ujungnya,budaya sering menjadi kendaraan mereka.

D. Etnografi Politik, Folklor, dan Flu Budaya

Dengan penuh keyakinan, Ahimsa-Putra 2003:98 menegaskan bahwa di jagad posmodernisme, etnograi itu sebuah karya sastra. Etnograi postmodern juga belum tentu lengkap dan detail. Bisa jajdi etnograi itu hanya sebuah segmentasi kehidupan poliik, yang dipoles dengan folklor-folklor esteik. Etnograi yang bernuansa esteis itu sering campur aduk dengan karya sastra. Oleh sebab itu, memahami etnograi dan sastra sering rancu, sehingga wawasan antropologi sastra diperlukan. Semula, menurut Barker 2005:29 etnograi adalah usaha membuat deksripsi dan analisis kebudayaan yang didasarkan kerja lapangan secara intensif. Usaha semacam ini lama-kelamaan berkembang luas dan semakin berubah wujud. Etnograi dari waktu ke waktu berubah dengan aneka tambahan esteika, sehingga ada kedekatan dengan karya sastra. Etnograi modern semakin dipoles dengan gaya bahasa yang indah. Akibatnya, membaca etnograi idak jauh bebrbeda dengan memahami karya sastra. Bohannan Budiman, 2003:122 memberikan ilustrasi pertemuan sastra dan antropologi. Dia mencoba membacakan Hamlet karya Shakespeare di pedalaman Afrika, ternyata penuh tanggapan audien. Karya itu juga memuat nilai-nilai unibersal kehidupan manusia. Sastra demikian hamper seirama dengan sebuah etnograi. Penegasan karya itu sebagai sebuah karya besar antropologi dilakukan oleh Phyllis Budiman, 2003:122 dalam arikelnya berjudul Play and the problem of knowing in Hamlet: An Excursion in to interpreive Anthropology.” Ini arikel ini,menginformasikan bahwa ada relevansi antara teks iksi Hamlet dengan releksivitas antropologi. Belum lagi kalau wacana persandingan sastra dan antropologi itu dikembangkan lewat karya Budiman 1994:4-56 yang membahas Sri Sumarah karya Umar Kayam, Nyanyian Angsa karya WS. Rendra, dengan teori Levi-Strauss dan Turner, merupakan bagian tak terpsiahkan dari sisi antropologi sastra. Antropologi sastra ternyata dapat menjembatani keindahan cipta sastra yang bernuansa etnograi atau etnograi sastra. Semula, kemungkinan hanya sebuah main-main dan iseng, keika para penelii antropologi sastra mulai melirik karya-karya folklor lisan dan lainnya. Namun realitasnya ternyata antropologi sastra justru lebih mengasyikkan. Kajian antropologi sastra justru mampu merambah asset budaya yang terekam dalam sastra. Entah disadari atau idak, sampailah kita pada “generasi hilang”, yang teraleniasi budaya. Kita sedang mengalami lu budaya, hingga banyak manusia Indonesia teraleniasi. Kisah wayang Petruk Dadi Ratu Lombard, 2005:135 adalah gambaran rakyat yang awalnya teraleniasi. Budaya priyayi yang gencar, banyak menggunakan “printah halus”, sering menggilas wong cilik. Petruk, sebenarnya gambaran wong cilik . Hanya atas kekuatan pusaka Ngamarta, dia dapat menjadi raja. Masalahnya, kalau sekarang banyak Petruk jadi raja, yang lupa pada “Karangkedhepel”, berari orang itu sedang lu berat. Tak hanya itu, kita juga telah teraniaya oleh budaya yang kita rajut sendiri. Manusia itu perajut budaya ulung, terus-menerus, idak pernah jenuh. Dia akan merasa pegal linu, keika virus-virus lu budaya itu sudah terasa bengal di hidung. Maaf, keika kita sedang terjangkii lu budaya, kelihatannya kita idak sakit. Padahal, sebenarnya kita sedang menderita. Itulah budaya kita, terlebih lagi orang-orang yang meminjam isilah Hidayah 2010:88 “berotak repil”. Ingat kan kasus cicak buaya, bahkan sampai jilid 2, hingga kini juga masuk pei es. Konon, di bidang korupsi, orang yang berotak repile akan terproses untuk senaniasa mempertahankan kelangsungan hidup, membentuk kebiasaan buruk yang sulit diubah. Berbeda dengan otak mamalia, memproses peraaan, memori seks, lapar, idur, cinta, dan penuh kelembutan. Orang yang memiliki otak repil terlalu sensiif, hingga terjangkii lu budaya, mau idak mau akan memunculkan iga hal: 1 pusing-pusing, kebingungan, confuse, stamina berkurang drasis, 2 batuk-batuk budaya, yang terasa geir,idak enak didengar karenabunyi “cekroh” itu bukan suara lagu Kutut Manggung , 3 memuntahkan riak-riak budaya yang tak sedap dipandang. Pendek kata, keiga hal itu merupakan dampak yang selalu hadir pasca lu-lu budaya melanda bangsa ini, yang apabila kita idak tahan akan terkulai. Paling idak kita akan sampai pada ingkat a jeleh dan b jijik, hingga menyatakan generasi sekarang sudah idak berbudaya lagi. Lingkaran setan sudah idak mungkin terputus, senyampang manusia itu masih bernafas. Bernafas, arinya masih menghembuskan budaya. Tidak sadarkah kita, bahwa di sekeliling ini sudah bertebaran limbah-limbah budaya. Kita semakin sulit bernafas segar, berbudaya luhur, yang steril. Saya pikir akan nonsence. Namun, sering banyak teman yang idak sependapat. Utamanya, keika ada acara “table discussion” di redaksi Suara Merdeka, saya bersama Tanto Mendut dan Moh Sobary 25 Juni 2006, saya senil: orang Jawa jelek. Sontak, waktu itu tanggapan semakin memaki saya. Tidak hanya di ruang diskusi, tapi pas diskusi, banyak yang memaki. Padahal, hasil simakan saya, memang begitu, orang Jawa sedang lu budaya. Dengan rinihan, kita sudah diombang-ambingkan, ditenggelamkan, dikileni, dan tak terasa diformat oleh limbah budaya. Hampir semua hal, mulai dari persoalan menyeberang jalan, beli brambang, menonton teve, bermain HP, kenduri, mengubur jenazah, mandi, dan sebagainya sudah terpoles oleh limbah budaya yang semakin dahsyat. Tiba-iba saja,sejak saya pulang dari Mekah, tanggal 12 Nopember 2012 sore, budaya sakit bangsa yang pernah saya inggalkan 40 hari kambuh lagi. Selama lebih sebulan saya idak menyaksikan TV Indonesia yang banyak memutar tayangan “rumah sakit jiwa” pinjam isilah mas Nano, yang dikuip berkali- kali oleh Emha Ainun Nadjib 1995:277. Yang mengherankan, Caknun sebutan Emha, meragukan akan cramah Nano 1992 itu omongan orang sama-sama sakit jiwa atau orang waras. Tulisan itu seutuhnya berbunyi “saya merasa dunia sedang berbubah menjadi sebuah rumah sakit jiwa. Dokter-dokter bersembunyi di balik tabir tak tembus pandang. Suara mereka hanya gema-gema, tak pernah jelas apa maknanya. Dan saya ada di sana, ada di sana….”. Saya paham, bahwa yang dimaksud dunia di wacana itu tak lain yang bangsa kita ini. Mudah-mudahan betul terkaan saya. Pasalnya, saya menyaksikan sejak orde baru hingga orde reformasi, yang berjilid-jilid itu, memang orang-orang seperi sedang sakit jiwa.Masih mending kalau mereka sudah direhabilitasi di rumah sakit jiwa, arinya agak terkendali. Paling idak, yang sakit jiwa itu dapat disunik idur, biar idak tampak gilanya. Sayangnya, dokter- dokter semua bersembunyi. Metafor semacam itu, idak lebih adalah potret budaya kita yang sedang carut marut ini. Semua yang idak tahan pada proses alami lu budaya, akan terjepit dan teralineasi. Orang yang kehabisan akal membaca tanda- tanda budaya, semakin terdesak dan teralineasi oleh budaya itu sendiri. Manusia semakin diserang oleh waktu dan ruang. Sebagai contoh, 1 anak kecil sudah jauh dari wacana “susu murni”, yang dikantongi seorang ibu, melainkan harus minum susu “bergambar bendera” dan lembu. Padahal, senyatanya antara anak dan ibu dapat saling ibadah dengan susu asli itu. 2 undangan pernikahan sudah semakin membentuk wacana vulgar, dengan tulisan “tanpa mengurangi rasa hormat, mohon maaf kami idak menerima tamu di rumah.” Beranikah anda menulis “tanpa mengurangi rasa hormat, kami idakmenerima sumbangan dalam bentuk apa pun, kecuali doa.” Biarpun mereka ada yang persetan rai gedheg, yang sedang lu dan sakit Jiwa, lalu melakukan supata “gantung saya di Monas”, gantung saya di tugu Menado, tetapi mata dan telinga masyarakat sulit dihapus begitu saja. Masyarakat memiliki stempel yang jauh lebih paten. Maka, keika ada anggota DPR RI yang selingkuh dengan sekretaris, ada pejabat yang diduga selingkuh, Kapolsek dengan kapolsek selingkuh di DIY, bupaiwali kota yang hobi masuk penjara, ini menandai bahwa Jawa yang luhur telah luntur Endraswara, 26 Maret 2012. Tegasnya, yang ada di sampah itu “dulu bunga-bunga harum”. Bukankah begitu. Berhadapan dengan lu budaya, layak apabila kita mewaspadai fenomena budaya di depan mata, yaitu: 1 orang-orang yang gemar menggunakanngelmu orong-orong, untuk meloloskan idenitas dirinya, mengkhalalkan berbagai hal, agar dirinya mendapat kenikmatan, 2 orang-orang yang menggunakan ngelmu manggis Endraswara, 2012, akan berbahaya keika sedang memegang pimpinan apa pun. Kedua hal terakhir ini, adalah potret orang- orang yang sedang terkena lu budaya, yang cepat atau lambat akan mengalineasi orang lain. Biasanya orang tersebut berindak budaya dengan “inner wordly”, arinya berorientasi keduniawian. Tingkah budayanya idak bertujuan untuk “common goodness in others ”, arinya migunani tumrap sesame liyan, melainkan banyak merugikan pihak lain. 133 Bagian Enam FOLKOR BUKAN LISAN: MAKANAN RAKYAT SEBAGAI SUMBER INFORMASI KEBUDAYAAN DAERAH Oleh: Sri Harti Widyastuti, M. Hum. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta

A. Pendahuluan