penguasa dan masih melaksanakan sesaji, semedi, dan membakar kemenyan. Sampai dengan saat ini, tradisi tersebut masih
dilaksanakan dan dihormai oleh keraton dan rakyat yogyakarta. Hal ini mencerminkan sifat orang jawa yang misis, religius, dan
penuh penghormatan.
Upacara labuhan sekarang tetap dilestarikan rakyat meskipun pada perkembangannya mengalami perubahan pemaknaan
sebagai bagian dari kebudayaan dan wisata. Kehadiran folklor Jawa akan menjadi ciri atau idenitas kejawaan yang membedakan
dengan etnik lain. Terlepas dari sifat pra logis folklor Jawa, Orang Jawa yang masih mempunyai kebanggaan kolekif atas folklor,
sikap memiliki
handarbeni dan ingin memelihara folklor tersebut akan berusaha terus menjaga kelestarian folklor tersebut.
C. Aji Saka dan Kepemimpinan Tradisional
Ada hal pening yang dapat diambil dalam sutu realita ataupun sejarah, bahkan cerita atau legenda. Hal pening itu salah satunya
tentang konsep kepemimpinan Jawa yang dapat diambil melalui kisah legenda Aji Saka, kisah yang popular tekait lahirnya huruf
Jawa. Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja bernama Prabu Dewata Cengkar yang
buas dan suka makan manusia. Seiap hari sang raja memakan seorang manusia yang dibawa oleh Paih Jugul Muda. Sebagian
kecil dari rakyat yang resah dan ketakutan mengungsi secara diam- diam ke daerah lain. Di dusun Medang Kawit ada seorang pemuda
bernama Aji Saka yang saki, rajin dan baik hai. Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang dipukuli oleh
dua orang penyamun. Bapak tua yang akhirnya diangkat ayah oleh
Aji Saka itu ternyata pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang kebuasan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka berniat
menolong rakyat Medang Kamulan. Dengan mengenakan serban di kepala Aji Saka berangkat ke Medang Kamulan. Perjalanan menuju
Medang Kamulan idaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama tujuh hari tujuh malam dengan setan penunggu hutan,
karena Aji Saka menolak dijadikan budak oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewai hutan
itu.Tapi berkat kesakiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat setelah Aji Saka berdoa, seberkas
sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan penghuni
hutan sekaligus melenyapkannya. Aji Saka iba di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu
Dewata Cengkar sedang murka karena Paih Jugul Muda idak membawa korban untuk sang Prabu. Dengan berani, Aji Saka
menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk
disantap oleh sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang digunakannya. Saat mereka sedang mengukur tanah sesuai
permintaan Aji Saka, serban terus memanjang sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah setelah
mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri kelalimannya. Keika Prabu Dewata Cengkar sedang marah, serban
Aji Saka melilit kuat di tubuh sang Prabu. Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan kemudian
hilang ditelan ombak. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong ayahnya ke istana. Berkat
pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan Kerajaan Medang Kamulan ke zaman keemasan, zaman di mana
rakyat hidup tenang, damai, makmur dan sejahtera. Dalam cuplikan crita tersebut di atas sebenarnya kekuasaan
bukan diperuntukkan bagi seorang pemimpin, akan tetapi lebih menekankan pada dampak yang baik bagi rakyat dan negara.
Sebuah kekuasaan dianggap berhasil apabila negara dalam keadaan tenteram, sejahtera, adil dan rakyat tenang dan puas
melaksanakan perkerjaan sehari-hari. Hasil dari kepemimpinan seorang raja diperoleh tanpa indakan paksa, seolah mengalir
dengan sendirinya, atau seolah-olah tanpa usaha yang mencolok, sehingga dalam kondisi demikian kekuasaan seorang raja idak
perlu diperlihatkan. Jika tercapai ketenangan sedemikian rupa dalam suatu negara, maka kekuasaan dan kewibawaan seorang
pemimpinraja akan terlihat dengan sendirinya di mata rakyat.
Dalam paham kepemimpinan Jawa, justru penguasa yang baik harus mencegah indakan kekerasan. Kehalusan dalam
bersikap dan berperilaku, antara lain: halus dalam bertutur kata, halus dalam memberi perintah, bersikap sopan terhadap orang
lain menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang beradab. Kepemimpinan secara halus menunjukkan bahwa dia dapat
mengontrol dirinya secara sempurna dan dengan demikian mempunyai kekuatan bain. Sebaliknya, sikap kasar dinilai
rendah, kurang berbudaya, kurang kontrol diri merupakan cermin kelemahan bain. Bersikap kasar dan emosional, justru akan
memperlemah kedudukannya sebagai seorang pemimpin.
Bersikap halus bukan berari idak tegas, tetapi lebih menekankan kontrol diri terhadap sesuatu permasalahan.
Pemimpin seharusnya bersikap tanuhita mengayomi dan njangkungi,
idak keras hai memaksakan kehendaknya atau
bersikap kasar untuk mempertahankan kewibawaannya. Hal demikian, tentunya menuntut suatu pemerintahan yang dijalankan
dengan suatu sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan yang baik dan kepribadian seorang pemimpinraja yang penuh
suri tauladan. Uraian di atas merupakan penjabaran ari Jangkung dalam sebuah konsep kepemimpinan Jawa.
Sebuah perenungan tentang sosok kepemimpinan Aji Saka dijabarkan sebagai khasanah bagi umat manusia. Pada dasarnya
manusia diciptakan sebagai pemimpin di muka bumi. Manusia bertugas memimpin Bumi dan memimpin dirinya sendiri menjaga,
merawat, dan memanfaatkan sebaik-baiknya, sehingga tercipta kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh semesta alam, alam
yang diciptakan Tuhan. Atas kehendak Allah Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia, hewan, pepohonan, kutu walang ataga,
yang kesemuanya itu tercipta serta hidup dan dapat dilihat secara nyata wujudnya ana rupa-wujude.
Atas kehendak Allah pulalah pada diri manusia, menyebabkan manusia memiliki keluhuran, keimanan,
bawalaksana, welas asih, keadilan, ketulusan, eling lan waspada
. Kesemuanya itu memberikan manusia kemuliaan kamulyan
dan kesejahteraan karahayon. Rasa tersebut juga menghubungkan kehidupan
manusia dengan Allah Sang Maha Pencipta. Ca-ra-ka sendiri pengeriannya adalah memuliakan Allah. Sebab tanpa ada
bawana bumi seisinya, apalagi tanpa adanya manusia, tentu idak akan ada sebutan Asma Allah. Tanpa adanya caraka, tentu
pula Hana-Ne
idak akan disebut Hana, sementara makna Da-ta- sa-wa-la dapat dijelaskan maknanya sebagai “ adanya yang ada”
anane dumadi sumber asalnya adalah Satu, yaitu Dzat Allah. Dari
yang kasar dan halus agal lan alus, wingit penuh misteri dan gha’ib, pasi pada dirinya melekat seidaknya secercah Dzat Allah.
Arinya, pancaran kun fayakun itu idak hanya mencipta bawana seisinya, namun terus-menerus memancarkan kasih, mencermai
dan melipui terhadap seluruh kehidupan ngesihi, nyamadi lan nglimpui sakabehing dumadi.
Allah menciptakan bawana bumi seisinya, khususnya dalam menciptakan manusia, bukan tanpa rencana, namun
dengan keinginan dan tujuan yang nyata dan pasi. Titah Allah idak dapat diingkari dari apa yang sudah ditetapkan menjadi
kodrat
pepesthen. Demikian juga seluruh makhluk hidup di dunia
saobah-mosiking dumadi pasi terkena keterbatasan dan pembatasan wates lan winates
, seperi halnya sakit dan kemaian. Namun selain itu, juga melekat dalam dirinya
kadunungan kelebihan satu dari yang lain, saling ketergantungan, lebih melebihi punjul-pinunjulan
dan saling hidup-menghidupi urip-inguripan
. Baik dalam rupa, wujud, warna dan sosoknya balegere dumadi, manusia dapat dikatakan sempurna iada yang
melebihi kasampurnaning manungsa . Terciptanya manusia yang
ditakdirkan pinesthi menjadi Wali Allah, menandakan bahwa
hanya sosok manusia sajalah yang mampu menjadi Warangka Dalem Yang Maha Esa wakil Tuhan di dunia. Kelahiran manusia
dalam wujud raga-isik dan bentuk badan itu merupakan sari- paining bawana inisari bumi. Maka, menjadi keniscayaan
jika manusia mampu menggunakan dayanya guna mengungkap rahasia alam.
Kelahiran hidup manusia, merupakan wujud dari sukma, yang dalam proses mengada dan menjadi being and becoming
terbentuk dari sari-pai terpancarnya Dzat Allah dumadi saka sari-pai pletheking Dzat Allah. Oleh sebab itu, manusia mampu
mengkaji dan menelusuri, menggali dan mencari serta meyakini dan mengimani adanya Allah nguladi, ngupadi, ngyakini lan
ngimani marang kasunyataning Allah
, sebab sukma sejai manusia itu berasal dari Sana
sabab suksma sajaining manungsa asale saka Kana. Selanjutnya Pa-dha-ja-ya-nya, maknanya bahwa
sawenehing kang dumadi atau apa pun dan siapa pun idak akan
dapat hidup sendiri, sebab ia akan senaniasa menjalani hidup dan kehidupan bersama, sebagaimana keniscayaan itrahnya, bahwa:
panguripaning dumadi tansah wor-ingaworan dalam kehidupan manusia selalu saling pengaruh mempengaruhi selain juga punya
ketergantungan satu sama lain. Begitu juga hidup manusia, bahwa perangkat
badaning manungsa idak mungkin secara parsial dapat hidup sendiri-sendiri. Arinya, ana raga tanpa sukmanyawa idak
mungkin bisa hidup, tetapi ana sukma tanpa raga juga idak bisa
dikatakan hidup, karena idak bisa bernafas. Jika seluruh anggota badan makari baik semua, baru disebut
urip kang sejai. Daya hidup sang gesang akan melekat built-in pada seiap diri-pribadi seseorang, yaitu rupa, wujud berikut segala
ingkah-lakunya. Dapat dikatakan daya hidup akan luluh melebur pada dirinya
sing kadunungan. Semua yang berwujud dan hidup pasi bakal tarik- enarik, saling bersinergi daya-dinayan, sehingga
menimbulkan daya-daya,seperi:daya adem-panas, posiif-negaif, luhur-asor, padhang-peteng
, dan kesemuanya itu senaniasa berputar silih bergani cakra manggilingan.
Semua ini dari interaksi tersebut ada pada diri manusia, di mana ini tadi sebenarnya telah terserap dari badan manusia
sendiri. Maka dapat disimpulkan, bahwa obah-mosiking jagat
alam , juga terjadi pada obah-mosiking manungsa secara pribadi. Di
mana keika terjadi gonjang-ganjinging jagat alam, kejadian pada manusia juga demikian adanya. Keika manusia beringkah-laku
angkara-murka, merusak dan sebagainya, jagatalam juga berada dalam ancaman bahaya, misalnya musibah banjir, lahar, tanah
longsor, banyaknya kecelakaan dan sebagainya. Makanya, manusia harus selalu ingat akan kewajiban pokoknya, yaitu: Hamemayu-
Hayuning Bawana. Arinya, kanthi adhedhasar sarana sastra jendra hayuningrat pangruwaing diyu sebetulnya manusia dapat nyidhem
atau menghindari kerusakan alam semesta, selain juga bisa nyirep dahuruning praja memadamkan kerusuhan negara.
Ikatan manusia dengan Allah Swt., berupa keyakinan dan kepercayaan yang diwujudkan dalam panembah lan pangesi
seperi ditulis dalam tuntunan kalam, yang disebut agama, mewajibkan manusia manembah sembahyang, samadi hanya
tertuju kepada Yang Satu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Keika manusia
manembah melalui sembah rasa, harus dengan seluruh sukma roh, moral kita, bukan badan raga yang penuh dengan
kotoran nafsu duniawi. Sebetulnya sembah raga itu hanya
sarengaing lahir, agar supaya umat manusia taat dan manembah marang Gusi Kang Murbeng Dumadi.
Manusia itu paling dipercaya ngembani asmaning Allah, maka manusia harus menduduki rasa kemanusiaannya. Untuk itu,
manusia harus bisa menempatkan diri pada citra ketuhanannya. Allah telah menciptakan apa saja untuk manusia, dunia da isinya,
inggal bagaimana manusia beki marang Allah Kang Maha Esa. Tergantung manusianya, seberapa besar tanggung jawabnya
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab bawana bumi beserta
seluruh isinya adalah menjadi tanggung jawab manusia. Ma-ga-ba-tha-nga dapat dijelaskan maknanya manungsa
kang kalenggahan wahyuning Allah, manungsa kang manekung ing Allah Kang Maha Esa dadi daya cahyaning Allah lan rasaning
Allah luluh pada sukma manusia. Jagat alam tergantung pada sejarah umat manusia yang disebut awal dan akhir, juga
menjadikannya jantraning manungsa. Hakikatnya gelaring alamjagat itu,
juga gelaring manungsa. Jadi di dunia ini ora bakal ana lelakon, ora ana samubarang kalir, kalau idak ada
gerak kridhaning manungsa di dunia ini idak ada kejadian
yang aneh-aneh, kalau idak ada perlakuan manusia. Setelah ada manusia,
sakabehing wewadi, sakabehing kang siningit lan sinengker wus kabukak wadine semua telah jelas, semua
telah menjadi nyata. Wis ora dadi wadi, amerga wis inarbuka; Wis ora ana wingit, amerga wis kawiyak; Wis ora ana angker,
amerga wis kawuryan.Arinya, kalau semua sudah kamanungsan konangan
kalau semua telah menjadi kenyataan berari tugas kewajiban manusia di dunia telah selesai. Sudah sampai pada
perjanjian pribadining manungsa dan sudah ii mangsa harus pulang marang pangayuning Pangeran kembali pada Tuhan. Dari
idak ada menjadi ada ora ana dadi ana menjadi idak ada lagi ora ana maneh. Arinya, sakabehing dumadi yen wis tumekaning
wates kodrate, mesi bakal mulih marang mula-mulanira lan sirna. Awal-akhire, arinya sangkan paraning dumadi wis khatam
tamat
. Kalau umat manusia sudah idak ada lagi -kang dadi asmaning Allah
-juga idak akan disebut kaweca, ana. Demikianlah, kurang lebih hasil perenungan selama ini dalam
menggali makna ilosois yang terkandung dalam ajaran Aji Saka: “Ha-na-ca-ra-ka”. Betapa pun kita mengagungkan ke-adiluhung-
an karya sastra Jawa, seperi Serat Wulangreh, Serat Wedhatama, atau pun ilsafat Ha-na-ca-ra-ka, apabila tanpa penghayatan dan
meresapi nilai-nilai substansial yang terkandung di dalamnya serta usaha mengembangkannya, tentulah idak akan bermakna
bagi kehidupan sastra Jawa masa kini dan masa depan, apalagi terhadap budaya Indonesia Baru yang harus kita bangun.
D. Kepemimpinan dalam Dongeng