B.   Folklor Lisan dan Budaya Sampah dalam Sirkuit Antropologi Sastra
Dari sisi antropologi sastra, folklor itu karya yang kaya nilai- nilai budaya. Aspek budaya selalu menjajdi perhaian antropolog
sastra, terutama masalah keragaman budaya. Folklor itu sebuah rekaman budaya, yang disampaikan secara esteis, arisik, polos,
dan lebih bersifat kolekif. Di dalam folklor memuat tradisi lisan, yang idak lain merupakan unsur budaya. Ratna 2011:244-345
merumuskan  bahwa  kajian  antropologi  sastra  lebih  bersirikan transaksi  primordial.  Kajian  ini  cenderung  menggunakan  teori
posmodernisme.  Transaksi  primordial  adalah  gugus,  klaster, kelompok ideologi, semacam arsip Foucault, atau mosaik kuripan
dalam isilah Rifaterre, yang bergerak ke segala jurusan semacam decentering Derrida.
Paham  kajian  demikian  berupaya  memahami  aspek  masa lampau sebagai warisan budaya dalam folklor. Keyakinan bahwa
folklor  merupakan  warisan  nenek  moyang.  Namun  teks  folklor sudah  kehilangan  masa  lampaunya,  karena  gerakan  terus-
menerus.  Makna  idak  harus  terpusat,  tersentral  pada  hal-hal besar,  melainkan  pada  gugusan  kecil.  Folklor  kadang-kadang
dianggap  budaya  rendah,  boleh-boleh  saja.  Bahkan  ada  yang menganggap folklor itu budaya “kiri”, yang kadang-kadang kurang
berbobot sastra. Tentu hal ini idak selalu tepat, sebab idak sedikit folklor Jawa yang memuat aspek seni dan esteika sastra inggi.
Folklor spiritual, seringkali juga dianggap bernuansa negaif, yaitu ke  arah  dunia  klenik.  Persepsi  semacam  ini  sebenarnya  terlalu
berlebihan, oleh sebab itu masih perlu diperhaikan secara tajam dari aspek makna dan pragmaikanya.
Folklor  spiritual  termasuk  sastra  lisan  yang  memuat  ajaran kebainan Jawa. Brunvand Hutomo, 1991:8 menyebut isilah verbal
folklor.  Verbal  folklor  arinya  sastra  lisan.  Sastra  lisan  merupakan karya  pening,  yang  biasanya  diwujudkan  dalam  bentuk  a
ungkapan tradisional, b lelagon
tradisional, c tembang nyanyian rakyat,  dan  sebagainya.  Popularitas  sastra  lisan  seringkali  terkait
dengan tradisi lisan. Terlebih lagi di jagad kepercayaan Jawa, banyak sastra lisan yang dipakai sebagai pedoman hidup. Oleh karena para
penganut kepercayaan memang banyak mengagungkan karya-karya liyan. Karya lisan itu biasanya dianggap memiliki kekuatan khusus,
biarpun orang lain menyebut sebagai takhayul.
Endraswara  tanggal  26  Maret  2012,  membahas  masalah folklor penghayat kepercayaan dalam kerangka sarasehan Anggara
Kasih , di Taman Mini Indonesia Indah. Pada forum itu, dikemukakan
pula  masalah  sastra  di  kalangan  penghayat  kepercayaan.  Sastra tersebut idak lain berupa sastra lisan, yang tergolong folklor. Di
bawah  ini  yang  dimaksud  folklor  spiritual,  dalam  bentuk  lelagon sulukan. Biasanya dipakai sulukan ini dilantunkan oleh ki dalang
wayang kulit.
Dene utamaning nata Berbudi bawa leksana oooo
Lire berbudi mangkono Lila legawa ing driya, oooo
Hanggung denya paring dana Hanggeganjar saben dina
Lire kang bawa leksana ooo Anetepi pangandika, ooo
Suluk  memiliki  kekuatan  folklor,  karena  memuat  tradisi  dan unsur sastra. Kluster masa lampau, mengingatkan peikmat pada
gambaran  kisah  tokoh  wayang  kulit.  Di  dalamnya  juga  memuat unsur seni lisan yang kuat memegang teguh nilai-nilai kejawen. Hal
ini tentu dapat dimaknai dalam kerangka budaya, sebagai sebuah ekspresi seni spiritual bangsa. Suluk itu, kini telah terinjak-injak,
menjadi  sampah  ibaratnya.  Oleh  karena  banyak  generasi  muda yang  telah  melepeh,  idak  dapat  memaknainya  secara  bagus.
Suluk  itu  agung,  harum  sebenarnya  karena  memuat  sejumlah pesan folklor kepada audien. Namun, akibat ulah manusia, yang
muncul  adalah  bau  bangkai  dari  sampah.  Maksudnya,  suluk sekarang sudah idak banyak disukai, dianggap idak ngetrend.
Ungkapan sampah itu, dari tulisan saya pada buku berjudul Adiluhung
2011:220-228  keika  diundang  bicara  di  UNS.  Saya waktu  itu  memikirkan  tentang  konsep  “Jawa  yang  hilang”.  Yang
hilang,  ternyata  kapitayan folklor  Jawa,  yang  banyak  diungkap
oleh  penghayat,  sudah  mulai  dilupakan.  Ajaran  penghayat kejawen yang semula luhur, banyak dicampakkan ke bak sampah.
Maksudnya,  ajaran  berharga  penghayat  itu  banyak  yang  idak digubris,  dianggap  sampah.  Misalkan  saja,  ajaran  penghayat
Mangudi Bawana Tata Lahir dan Bain berupa Panca Walika:  1 kudu tresna marang sapepadhane urip, 2 ora nerak wewalering
negara,  3  ora  nerak  kang  kudu  mesthine,  4  ora  sepata  lan nyupatani,
5 ora cidra ing ubaya janji. Kelima hal ini, tampaknya banyak dilanggar oleh orang-orang di luar penghayat. Sepata dan
ingkar  janji  dengan  gaya  bicara:  “gantung  di  Monas”,  “sepersen pun saya idak menggunakan uang itu”, saya idak tahu yang mulia,
merupakan  potret  sampah  masa  kini.  Sampah  itu,  dulu  bunga harum, setuju? Dari kacamata antropologi sastra Barthes Ratna,
2011:255  memandang  wacana  itu  bermakna  tergantung  tafsir.
Dialekika konsep dan studi di lapangan menjadi pening, keika realitas ajaran folklor penghayat itu masih ditaai, sementara bagi
orang  di  luar  penghayat  justru  meninggalkannya.  Masalahnya, apakah orang di luar penghayat idak memiliki ajaran yang bersih
dari sampah, tentu saja ada, namun sengaja disingkirkan.
Ajaran sastra lisan demikian berupa ungkapan khusus, yang bernuansa  spiritual.  Hutomo  1991:4  menyebut  ungkapan
demikian  lebih  bersorak  folklor  puisis,  teratur,  dan  berulang- ulang, maksudnya a untuk menguatkan ingatan dan b menjaga
keaslian  sastra  lisan  supaya  idak  mudah  berubah.  Wujud ungkapan unen-unen
tersebut oleh penghayat diajarkan secara lisan, dari mulut ke mulut, dan jarang ditulis. Itulah tanda bahwa
folklor kejawen itu akan tetap hidup, senyampang pendukungnya masih menggunakan.
Atas  dasar  realita  demikian,  yang  mencoba  mengubur  Jawa, terlebih lagi kekayaan ajaran penghayat kepercayaan kejawen, kini
semakin terjun ke jagad “sampah”. Mungkinkah mereka itu, kuwalat terhadap pitutur luhur
para penghayat. Konon, mereka ucapkan salam agama masing-masing masih sebatas verbal mung neng cangkem.
Tidak adanya kepaduan kata dan indakan itu, yang menyebabkan tercebur ke bak sampah. Penghayat Anggayuh Panglereming Napsu,
yang  berpusat  di  Wates  Yogyakarta,  memiliki  pedoman  hidup: wanining  bener  wedi  ing  luput,  sepi  ing  pamrih  rame  ing  gawe.
Ajaran folklor lisan ini menjadi sebuah teks misik. Hal semacam ini, sebenarnya  kalau  dijadikan  pola  hidup  berbangsa  dan  bernegara,
saya kira idak ada poliikus yang berubah menjadi poli-ikus.
Tidak  perlu  disalahkan,  jika  ada  orang  yang  selalu  berpikir negaif  keika  memandang  sampah.  Apalagi,  kalau  sampah  itu
dulu  bunga  harum  mewangi,  sungguh  mengagetkan.  Tepat  hari valenine  day,  konon  di  jalan  Gunung  Kidul  Yogyakarta,  jualan
yang paling laris adalah “plembungan isimewa”. Celakanya lagi, yang membeli di toko-toko dan apoik itu sebagian anak remaja.
Yang  aneh  lagi,  dia  membuang  sampah  bekas  plembungan  itu
di  tempat  sampah  yang  mudah  dilihat  orang.  Petugas  sampah tentu merasa aneh. Paling idak ada komentar dalam hai, dahulu
sampah “plembungan isimewa” itu, berkelas hotel, losmen, dan sekarang idak lagi harum semerbak.
Lebih  parah  lagi,  di  fakultas  saya,  keika  sumur  kampus kering,  segera  digali.  Ternyata,  setelah  digali  dari  dalam  sumur
juga  penuh  sampah,  yang  salah  satunya  berupa  “plembungan isimewa”  dan  “bekas  bungkus  roi  tawar”.  Petugas  sampah  pun
mungkin  tak  mau  mengambil  dan  mendaur  ulang  “plembungan isimewa”  dan  “roi  tawar”  itu.  Jadi,  sampah  memang  sampah.
Asumsi  masyarakat  memang  sudah  jelek,  keika  memandang tumpukan  sampah  dikerumuni  lalat.  Apalagi  ada  isilah  sampah
masyarakat.  Masalahnya,  kalau  orang  Jawa  telah  lalai  Jawanya, hingga  nerak  paugeran
,  apalah  jadinya.  Mereka  akan  menjadi sampah masyarakat, dan kehilangan Jawanya. Biarpun mereka ada
yang persetan rai gedheg , lalu melakukan supata “gantung saya
di Monas ”, tetapi mata dan telinga masyarakat sulit dihapus begitu
saja.  Masyarakat  memiliki  stempel  yang  jauh  lebih  paten.  Maka, keika ada anggota DPR RI yang selingkuh dengan sekretaris, ada
pejabat yang diduga selingkuh, Kapolsek dengan kapolsek selingkuh di  DIY,  bupaiwali  kota  yang  hobi  masuk  penjara,  ini  menandai
bahwa Jawa yang luhur telah luntur. Salam hangat para penghayat: rahayu,  idak  begitu  familier  di  telinga  mereka.  Bahkan,  sesekali
penghayat  harus  “melawan  kucuran  keringat”,  lantaran  ucapan salam itu dianggap kurang religi. Apakah mereka itu lebih religious?
Merebaknya  budaya  hidup  lamis,  kiranya  telah  ikut  andil dalam pembusukan sampah. Lagu yang digagas Ki Nartosabda: Aja
Lamis , sungguh menjadi realitas. Karena, kalau di era ini menani
orang  budi  luhur  yang  memegang  teguh  rahayu,  sangat  minus, seperi halnya ngenteni thukuling jamur ing mangsa keiga. Hal ini
apabila dikaitkan dengan pendapat Tolken 1976:25-26 termasuk “folk learning.” Arinya, orang dapat belajar folklor untuk menyerap
nilai-nilai  di  dalamnya.  Ajaran  lamis,  merupakan  wujud  kriik terhadap  keserakahan  manusia.  Manusia  yang  gemar  berpura-
pura, akan tersentuh keika mendengarkan lagu tersebut. Terlebih lagi kalau lagu itu dilantunkan dengan harmoni, pendukung folklor
akan mudah mencernanya. Pada saat itu, manusia mulai belajar budaya dari lagu-lagu folklor.
Selain  itu,  ada  lagu  folklor  lain  yang  mirip  lelagon  tadi, berjudul Wiing Klapa: wohing tanjung wanara Anjani putra, nora
becik dhemen cidra, adhuh rama, wong anom ingkang prasaja, yen  lamis  nora  prayoga.  Kalau  hal  ini  selalu  disia-siakan,  idak
perlu heran jika yang dulunya orang itu harum, sekarang menjadi terbalik  seratus  persen.  Tiba-iba  orang  tersebut  kehilangan
Jawa  yang  sebenarnya  agung.  Ajaran  luhur  inilah  yang  oleh Utley 1965:7 disebut sebagai folk literature. Secara antropologi
sastra,  folk  literature
memuat ajaran humanisis. Kata-kata yang ditampilkan  dalam  folk  literature
selain  memuat  “meaning” juga memuat aspek “beauty.” Gabungan kedua hal ini yang akan
memunculkan  signiikansi  baru  berupa  ajaran  luhur  yang  dapat dijadikan pegangan hidup.
Pegangan  hidup  dari  penghayat  Hidup  Betul  Yogyakarta, sudah  jarang  terdengar.  Mereka  memegang  teguh  konsep  sapa
gawe  nganggo,  sapa  nyilih  ngulihake.  Hal  ini  seirama  dengan ajaran Paguyuban Jawi Lugu tentang ngundhuh wohing pakari.
Banyak  para  pemimpin  kita  yang  sesungguhnya  buta  terhadap ajaran hidup suci budi luhur.
Setahu  saya,  Jawa  ini  sudah  amat  majemuk,  mulikultur, membekaskan  sebuah  citraan  pada  diri  tubuh  mulikultur  ini.
Justru  serba  muli  ini,  kolonial  dengan  suka  cita  ingin  selalu mengubah  kultur.  Mereka  hendak  memoles  bunga-bunga  jadi
sampah Islamik. Dengan cara mengubah citra, orang Jawa akan mengira, yang sampah itu bunga harum. Oleh sebab itu, berbagai
apartemen, lokalisasi, dan seluruh kegiatan perzinahan, yang oleh orang Jawa disebut dhemenan, dilegalkan. Biarpun legal, hal itu
tetap menodai Jawa yang berjiwa besar ini.
Di  antara  bangunan  kolonial  itu  ada  yang  dapat  saya  sebut akulturasi budaya. Berbagai akulturasi, jelas telah memoles Jawa
hingga sulit dikenali. Rekayasa cultural ini semakin menjadi-jajdi, keika orang Jawa lupa dirinya. Sebut saja misalnya budaya Islam
Jawa.  Gerak  hidup  Islam  di  Jawa  memiliki  keunikan  tersendiri dibanding  dengan  Islam  lainnya  di  negeri  ini,  meskipun  hal  ini
idak  mutlak  dapat  dijadikan  pijakan,  namun  seidaknya  Islam Jawa memiliki karakterisik tertentu di antara yang lain.
Bayangkan: 1 Keika orang Jawa telah mengubah format joglo, kampung, limasan menjadi spanyolan, jelas kan? 2 Keika rumah
menjadi perumahan, bilik-bilik tanpa dirancang: ruang tamu, dapur, ibadah;  3  keika  bangunan  kantor  beringkat,  mesjid  disisipkan,
ruang salat di ruang kantor, semakin menjauhkan diri dari jamaah; 4
keika sekolah non-Islam membuka diri anak-anak Islamik; 5 keika bangunan Ambarukma menjadi Carrefour; 6 keika grebeg menjadi
pasar  malem;  7  keika  kursi  berubah  jadi  korupsi,  individual  jadi massal, 8 keika umaroh jauh dari ulama, lurah dari “sabrangan”,
bukan  satria  sejai,  dan  banyak  lagi  keika-keika  yang  belum saya  tangkap.  Semua  itu,  ujung-ujungnya,  kapitalis  kolonial  telah
menanamkan pembusukan bunga-bunga ke dalam tong sampah.
Celakanya lagi, di tengah pembusukan bunga-bunga harum, bekas-bekas parfum harum, masih ada yang mau mengais di bak
sampah. Orang Jawa yang telah kehilangan Jawanya, masih idak merasa bahwa dirinya idak Jawa lagi. Orang Jawa yang melakukan
indakan tercela, dengan melakukan pembohongan apus krama, kok merasa dirinya belum berada di tong sampah. Unik bukan?
Bahkan, ada satu dua saudara kita yang menolak dikatakan apus krama
, padahal jelas telah melakukan keidakadilan. Saya menduga, keika orang Jawa masih terlilih egosentrisme
Endraswara, 2011:32, sampah pun akan dianggap harum. Hidup di tengah sampah pun, mereka akan merasa idak kehilangan citra
kejawaanya.  Ego  itu  yang  selalu  memunculkan  angkara  murka budi candhala. Mereka merasa bangga jadi orang besar di Jawa,
padahal  sebenarnya  telah  menindas.  Nurani  Jawa  telah  diinjak- injak sendiri, dilempar ke tong sampah. Sungguh sayang
Yang paling pening lagi, apakah para pemerhai Jawa akan membiarkan  sampah-sampah  itu  berserakan?  Memang  daulu
sampah  itu  bunga-bunga  harum,  sekarang  jelas  fenomena  yang tak  seorang  pun  tahan  di  tengah  sampah.  Kecuali,  orang  Jawa
yang telah hilang Jawanya, sudah mai rasane, hingga bertahan di sampah seenaknya. Orang yang
mai rasane, sebenarnya sudah
bukan  Jawa  lalgi,  sebab  Jawa  itu  nggone  rasa.  Kemaian  rasa, sama  halnya  dengan  bunga-bunga  layu  di  tengah  sampah  yang
menjijikkan. Jawa pun mengalami nasib semacam itu, keika kita semua sudah idak peduli Jawa.
C.   Folklor Politik dan Religi: Budaya Lamis dan Noda Hitam