pada jaman perang dengan Minakjingga, akibatnya sumur di Majapahit berubah keruh lagi.
Perisiwa demikian yang membuat sumur Majapahit ibaratnya menjadi semakin keruh. Kelicikan, kebencian, dan tega terhadap
teman telah memoles perilaku manusia hingga menyebabkan suasana sumur semakin panas. Maksudnya, atas indakan paih
Logender pada Damarwulan yang keterlaluan, agar anaknya sendiri yang bernama Layang Seta dan Layang Kumiir, membuat
keterangan semu atas kemaian Minakjingga, jelas memperkeruh sumur. Kedua anaknya itu diarahkan agar membuat laporan
palsu ratu Kencanawungu, bahwa merekalah yang membunuh Minakjingga. Takik dan trik semacam ini sebenarnya idak lepas
dari balutan goda pada rasa sejai. Rasa sejai semakin pudar cahayanya karena angkara murka yang menunggangginya.
Akibatnya seseorang harus berminyak air, bahkan Paih Logender lupa diri hingga terbakar hawa nafsunya. Dia harus berbuat dan
berucap dengan penuh ipu daya dhandhang diunekake kontul. Tampaknya, dia hormat pada raja, tetapi rasa sejainya telah pudar,
hingga seperi sedang mengaduk-aduk sumur yang jernih menjadi keruh. Dia tampak memiliki keinginan akan memiliki kedudukan
tanpa melalui proses yang wajar.
D. Ngelmu Makrifat Jawa
Makrifat kejawen dapat diraih melalui tataran sariat, tarekat, dan
hakikat. Makrifat yaitu tataran yang ke empat dalam ngelmu kajaten lingkaran ilmu kesejaian. Empat hal itu sebenarnya dapat
disimak dalam proses orang menabuh gamelan. Jika ada orang Jawa menabuh gending masih mengikui iilaras, asalkan betul berari
sama halnya orang yang mengalami proses tataran syariat. Gending yang ditabuh demikian kadang belu dm mencapai harmoni. Penabuh
belum mampu melaras rahasia gending. Bahkan kadang-kadang keika pindah irama dan akan suwuk
berheni sering idak berjalan lancar. Jika tak lancar, idak ritmis, suasana menjadi kecewa, dan mungkin
sekali akan berheni di sembarang laras. Gending yang berheni semaunya sendiri, jelas kurang nyaman bila didengarkan. Suwuk
pemberhenian gending yang bagus seharusnya dikendalikan oleh sang Pamurba Irama, yaitu kendang. Kendang dapat diibarat sebagai
pemberi hidup, yaitu kekuasaan Tuhan.
Folklor yang terkait dengan spiritualitas, menurut Dorson 1972:40-41 disebut folk-cultural. Arinya, folklor yang terkait
dengan budaya rakyat. Budaya rakyat merupakan ekspresi religiusitas rakyat. Untuk menggali hal tersebut perlu dilacak
folklife, arinya folklor yang hidup di masyarakat. Folklor yang masih berkembang, mungkin sekali menggambarkan emosi dan budaya
rakyat. Bagaimana rakyat menghayai dan memainkan gending, mendengarkan lagu, dan menjalankan akivitas spiritual lain. Jika
dalam memainkan gendhing telah paham terhadap awal mula iilaras, irama, nglagu, garap dan sebagainya menggambarkan
manusia telah mencapai tataran tarekat. Maksudnya dalam memainkan gending sudah tahu mana yang harus ditabuh dengan
cara minjal, ngendi sing mana yang berupa balungan midak, kapan gending harus ditabuh gobyog, dan sebagainya. Pengetahuan
semacam ini pening sekali bagi seorang penabuh gamelan, sebab mereka itu idak berbeda dengan perubahan angan-angan
manusia. Bila angan-angan tersebut belum tepat dengan suasana kejiwaan, tentu suara gamelan menjadi kurang ritmis.
Jika yang menabuh gamelan telah terampil dan menguasai ngeng serta irama, menandai suatu pengalaman makrifat ingkat
inggi. Mereka itu telah paham terhadap duduk persoalan gending dan cara menabuhnya. Orang tersebut paham betul yang sedang
ditabuh itu laras slendro atau pelog, berada pada wilayah patet apa,
dan kapan harus tepuk, mengisi lagu, dan sebagainya. Penguasaan total terhadap gending akan menyebabkan gending akan berjalan
lancar. Konteks ini menjadi pertanda bahwa pengalaman misik orang Jawa telah mencapai ingkat inggi, yaitu tataran hakikat. Mereka itu,
inggal beberapa saat lagi akan mencapai makrifat kejawen.
Makrifat Jawa yaiku tataran mempelajari ngelmu dengan cara olah bain. Puncak pencapaian makrifat kejawen sebenarnya idak
dapat diraba, kecuali hanya dapat dihayai dengan kehalusan rasa. Kedalaman ilmu ini hanya bisa diterka atas dasar pengalaman bain.
Seorang wali bernama Sunan Kalijaga dan pelaku kejawen bernama Seh Malaya, dapat menemukan pengalaman makrifat seperi halnya
seorang Bima dalam Serat Dewa Ruci. Penglaman makrifat mereka sulit terbandingkan dan sulit dijelaskan melalui kata-kata.
Jika orang Jawa telah mampu mencapai makrifat kejawen, berari mereka telah mampu mencapai gegeyonganing kayun.
Arinya, orang tersebut telah mencapai idaman spiritual. Idaman ini menjadi cita-cita ingkat inggi, yaitu makrifat kejawen. Ada iga
hal yang dapat menjadi bekal mencapai makrifat kejawen, yaitu:
Pertama, eling , berari bangkit, serta memahami siapa
sebenarnya yang memberi hidup. Mereka itu benar-benar sumusup dan
sumerep marang “ii prana pranaweng iis”. Maksudnya orang yang menguasai watak eling secara otomais
osik ginubah, angesthi terhadap kesejaian. Hidup mereka
telah sampai derajat sepi ing pamrih, melainkan segala perilaku selalu berlandaskan rasa yang terhayai dalam bain. R. Ng.
Ranggawarsita memberikan jalan eling dan ditambah lagi dengan pekeri waspada. Eling bisa dipelajari melalui watak yang gemar
“layap-layap ing aluyup”, agar rahasia alam semesta semakin terbuka. Ingat eling itu menjadi sentral memanike Kang Gawe
Urip. Eling yang akan menuntun sampai kajaten, yaitu Kang Murba Urip, Kang mengecet lombok, Kang berwenang menciptakan kelir
hidup, yang senaniasa menjadi cangkriman.
Eling tersebut andaikata dikaitkan dengan gending sebagai ini tetabuhan. Eling itu melipui berbagai hal, antara lain tabuh,
cakepan, irama, iilaras, lan ala becike gamelan. Eling tergantung siapa yang menabuh gamelan. Dalam konteks pemikiran
Messenger 1972:216 keika manusia berpikir tentag Tuhan, menggunakan media seni apa pun, itulah folk religion
. Aarinya, manusia memang gemar berpikir agama rakyat, yang lebih murni
dan mewakili jiwanya. Agama rakyat yang dipoles dengan suara gending, sah-sah saja. Gending itu akan berjalan utuh, menjadi
sumber keika manusia harus manunggal dengan Tuhan. Gending itu menjadi dasar seseorang paham terhadap kesejaian hidup.
Keindahan gending, esteika suara, akibat disertai mathet tepat, cara menabuh bonang mipil juga tepat, akan memunculkan
suasana enak, hingga mewujudkan manusia harus ingat eling. Berbeda kalau gending tersebut ditabuh dengan cara idak tepat,
dimulai berkali-kali idak jadi, ibarat hidup manusia yang rusak, menyebabkan orang mudah lupa ingatan.
Kedua, rasa, yaitu sebagai bungkus watak eling. Rasa pula yang akan menjadi selubung kesejaian. Dalam rasa yang jernih
terdapat gerak suksma atau jiwa. Dengan bekal olah rasa yang lembut, manusia bisa menghayai kedalaman rasa sejai. Dengan
begitu hidup manusia akan semakin bercahaya terang. Perjalanan dapat mengitari alam semesta, seperi halnya orang lumpuh yang
mampu mengitari dunia. Rasa demikian yang menjadi sumber pencapaian makrifat. Penghayatan rasa akan memunculkan apa
saja termasuk jagad seisinya. Bila rasa itu telah terkuasai, ibarat kombang angisep madu sarining tawang. Arinya, seperi kombang
yang beterbangan ke sana kemari, mendambakan sari-sari bunga. Sari bunga idak lain merupakan makna hidup itu sendiri. Makna
hidup itu berada di angkasa, arinya cakrawala yang idak jelas batas-batasnya.
Pada waktu manusia mampu memahami rasa berari telah paham terhadap dirinya. Hal ini menandai seseorang yang telah
paham terhadap keadaan gelap dan terang. Rasa akan membuka tabir hidup. Rasa akan membangkitkan semangat hidup. Pada
saat itu pula manusia akan sadar dan memiliki purba diri. Rasa yang terbuka, senada dengan “irama” pak, idak bisa diraba, tetapi
dapat dirasakan.
Rasa yang sebanding dengan irama akan merasuk ke dalam darah, daging, dan otot manusia. Bila ada gending yang
iramanya rusak, hidup juga akan kacau balau. Keiga, angen-angen, arinya keinginan. Keinginan manusia
itu kadang sulit dicegah. Keinginan disebut karkat. Dia yang akan menggerakkan dan memompa jantung. Keinginan itu idak lain
budi manusia. Jika manusia memiliki budi luhur, berari rasanya juga akan jernih. Manusia akan mudah ingat pada kesejaian jika
memiliki rasa yang suci. Sebaliknya jika rasa semakin kotor, yang akan muncul hawa nafsu.
Jika dibandingkan dalam gending, angan-angan itu ibarat keinginan yang menabuh gamelan. Dalam seiap gending yang
menabuh biasanya banyak orang. Seluruh penabuh kadang- kadang memiliki keinginan yang berbeda-beda, ada yang ingin
cepat, ada yang lambat. Angan-angan manusia pun demikian akan selalu dikuasai oleh suasana. Cepat idaknya dalam gending
akan dikuasai oleh kendang. Kendang itu idak lain budi manusia atau angan-angan. Apabila seluruh penabuh gamelan memiliki
keinginan sendiri dan idak mengikui kendali kendang, suara gamelan biasanya idak harmoni.
Oleh sebab itu, apabila kendang mampu menguasai irama secara utuh, gending akan berjalan baik, rampak, tepat, dan enak
didengar oleh siapapun. Kapa gending harus cepat, lambat, turun dhawah
, bergani irama rangkap, berheni, tergantung kendang. Hal ini menggambarkan bahwa hidup sejai adalah hidup yang
mampu mengendalikan gerak eling, rasa, dan angan-angan. Suwuk dalam gending idak berbeda dengan kemaian manusia.
Hidup mai manusia ada yang menguasai. Purba hidup sekaligus purba kemaian. Inilah hakikat makrifat hidup kejawen.
Hidup yang menguasai jejer, yaitu asal-usul hidup, mulai dari gending awal
buka sampai berheni suwuk harus seleh yang sempurna, tergantung kekuasaan Sang Pamurba Jai, yaitu
kapan suara gong ditabuh. Jika gong telah ditabuh, entah berupa berheni pelan suwuk antal, berheni sempurna suwuk seleh,
dan berheni cepat suwuk gropak, serta berheni mendadak suwuk jugag
idak bermasalah. Seluruh hal itu tetap disebut berheni, mai, suwuk. Makrifaing laku kejawen pun demikian,
manusia akan dicabut janji hidupnya pada saat mai. Kemaian
ibarat suwuk gending, idak dapat ditunda. Seluruh hidup manusia inggal menani garis gending.
E. Penutup