dalam hai. Hai yang bersih akan memunculkan niat yang suci yang menjadi modal rasa bener. Orang yang senaniasa salah dan idak
pernah rumangsa, jiwa akan kotor, seperi halnya lampu balon yang terkena debu. Akibatnya, biarpun lampu itu dapat menyala, tetapi
tetap saja ada sisi hitam pepeteng dalam hai manusia. Sebaliknya apabila seseorang senaniasa mawas diri dan rumangsa, jiwa akan
senaniasa emmancarkan kejernihan pepadhang.
Rasa rumangsa menjadi modal kehidupan sosial yang amat
berharga. Rasa ini merupakan sebuah releksi diri yang paling dalam. Memahami diri sendiri sebelum berindak pada orang
lain, merupakan pekeri yang bijak. Jiwa rasa rumangsa akan membangun kepercayaan diri serta menyebabkan seseorang idak
selalu sombong. Mendalami rasa orang lain agar selalu berhai- hai merupakan jiwa yang bijak.
Rasa tersebut akan dibimbing oleh rasa halus mutmainah, agar seseorang senaniasa melakukan self-koreksi. Evaluasi diri
dari sisi kejiwaan justru akan meningkatkan kesadaran total. Kesadaran jiwa secara total akan mempengaruhi seseorang lebih
berindak dengan perhitungan. Rasa tersebut akan membimbing jiwa manusia agar senaniasa memperhaikan perhitungan
petung
sebelum berindak. Aspek-aspek prevenif dapat diatasi melalui rasa rumangsa.
C. Rasa Sejati dan Ngelmu Sumur
Rasa sejai adalah bagian terpening dalam diri manusia Jawa. Rasa ini termasuk rasa halus. Rasa sejai yang akan menuntun
seseorang berindak rila, narima, eling, awas, sareh, dan lain-lain. Potret kejiwaan yang bijaksana itu yang menjadi sentral rasa. Rasa
sejai sesungguhnya masih sekedar pucuk rasa, belum sebuah ini galihing rasa. Rasa sejai adalah modal yang menuntun
seseorang dapat mencapai ini hidup. Dalam pandangan Weber Morris, 2003:97 melalui rasa orang dapat melakukan askeisme
akif. Manusia dapat menjalankan upaya pencarian misik dan keselamatan jiwa yang abadi.
Dalam tataran misik kejawen, rasa sejai termasuk kehalusan rasa alusing pangrasa
yang tak terbandingkan. Melalui rasa sejai seseorang akan dituntun hingga menguasai daya tunggal. Rasa ini
memang ini segala rasa, idak pernah lelah, menyerah, lapar, dan dahaga. Dia tergolong rasa dalam njero
yang melilit dalam jiwa manusia. Jika orang Jawa telah menguasai rasa sejai berari akan
menjadi manusia sejai. Manusia sejai itu adalah orang yang dapat merasakan
bahagia, ingat, dan senang yang iada tara. Pada saat orang merasa sedih lalu mau perihaian, itulah cermin manusia sejai.
Keika kehalusan rasa itu dapat diraih dengan sempurna, akan tercapai rasa tenteram dan damai dalam hidup. Kedamaian itu
yang mampu merasakan pertama kali adalah rasa sejai. Rasa itu menjadi maya, idak jelas tata letaknya, tetapi ada. Suatu saat
Sang Absolut akan merasuk ke dalam rasa sejai, hingga seseorang mampu merasakan hidup ini.
Kehalusan rasa tersebut sering beriringan dengan budi halus manusia. Budi halus itu disebut nalar. Nalar dan rasa sejai yang
akan memunculkan angan-angan. Angan-angan merupakan perwujudan dari net keteg yang ada dalam hai. Net akan
memunculkan greget, hingga seseorang akan berindak. Net akan memunculkan ner hasrat untuk menjalan suatu hal. Keteg itulah
yang menjadi awal seseorang akan berindak. Keteg pula yang menjadi modal, orang akan berindak baik atau buruk.
Rasa sejai akan membangunkan jiwa manusia ke arah daya tunggal. Daya tunggal idak lain merupakan kekuatan Ingsun yang
emanen dalam diri orang Jawa. Daya tunggal pula yang berada jauh tetapi dekat dalam jiwa manusia. Daya tunggal yang akan
membimbing seseorang untuk menyelami hidup. Tanpa daya tunggal manusia akan mudah berindak salah.
Ingsun dalam pandangan hidup Jawa adalah keadaan absolut sejai. Pada awal terjadinya kehidupan, yang ada adalah Ingsun.
Ingsun pula yang akan menjing ke dalam rasa sejai, hingga seseorang dapat memiliki rasa hidup. Antara manusia dengan
Ingsun dapat dibayangkan dalam cermin. Cermin itu yang membuat batas wajar idaknya antara manusia dengan Tuhan. Cermin itu
merupakan wahana perwujudan bayangan hidup hakiki.
Orang Jawa yang nalar, rasa sejainya berjalan lancar akan memunculkan hubungan nyaman dalam hidup sehari-hari. Selain
menguasai jiwa sosial, hingga amat menghargai dan hormat terhadap orang lain, orang tersebut juga akan pandai bergaul
dengan siapa saja. Pergaulan senaniasa menggunakan prinsip empan papan dan angon rasa. Siapa saja yang perlu dihormai,
diperimbangkan secara masak.
Dalam masyarakat Jawa, ada lima hal yang patut dihormai, yaitu: Tuhan, orang tua, guru, mertua, dan pepundhen pimpinan.
Kelima hal itu menjadi sasaran tembak rasa sejai, sebab mereka itu yang telah menciptakan jiwa terang dalam konteks jagad Jawa.
Mereka yang mampu mengantarkan orang Jawa dari kegelapan ke tempat yang terang benderang, penuh cahaya rasa. Figur tersebut
telah banyak perjuangannya, maka kalau sampai dilupakan, akan merasa disia-siakan, dan boleh jadi menjadi sakit hai. Orang yang
tak mau menghormat pada kelima igur itu, berari rasa sejainya sedang tertutup oleh awan ibaratnya.
Bayangkan saja, kalau ada bawahan yang tega menelanjangi atasan di depan publik, kiranya akan lebih menyakitkan dibanding
dipukul dengan besi. Padahal di jaman yang serba terbuka ini, kadang-kadang rasa sejai mudah tergoda oleh hawa nafsu,
hingga seseorang dapat membuka aib orang lain di depan umum. Akibatnya orang lain akan sakit hai. Membuka aib orang lain yang
jauh dari tata susila, sopan santun, dapat memicu kemarahan. Orang yang bersikap dan berindak demikian menandai bahwa
telah lupa pada Sang Maha Hidup.
Biarpun orang Jawa seiap Hari Raya telah diwejang dengan tradisi ujung
, mencium lutut kepada sesepuh dan priyayi luhur, tampaknya hal ini telah banyak dilupakan. Berapa jumlah anak
muda yang masih mau hormat pada orang tua, apalagi disertai dengan bahasa Jawa halus, telah terkikis. Jarang sekali anak-anak
yang mau bersikap rendah diri di depan saudara tua. Jarang orang muda yang masih mau berjalan membungkuk di depan orang yang
lebih tua. Bahkan kalau ada anak muda yang laden sinoman di depan orang tua yang duduk lesehan, telah kacau balau. Biasanya
anak muda tersebut berdiri terus nganyer di hadapan orang tua
pun berani. Satu dua orang anak memang masih ada yang masih
melaksanakan prinsip menurut tatakrama nun sendika dhawuh. Ada yang masih lekat tatakramanya. Namun sebagian besar
anak Jawa telah mengalami erosi eika. Bahkan hal itu sering
menyebabkan watak tega terhadap teman. Ada orang yang berani mengejek, memaki, dan mengeluarkan kata kasar di depan teman
sejawat, atasan, dan orang tua. Sikap rendah hai lama-kelamaan semakin luntur. Ada seorang anak yang berani saling pandang
dengan ibu, pada ayah berani satu kata dibalas satu kata, kepada bibi merasa sombong, dan kepada nenek merengek-rengek.
Menurut sabda Hyang Tunggal, dalam lakon wayang Manikmaya
, memang manusia itu dikaruniai watak empat macam, yaitu: lali, apes, murka, lan rusak. Maka dalam jagad wayang
kulit, Manikmaya bathara Guru digambarkan tangannya terdiri dari empat buah. Sifat empat macam itu tampaknya yang akan
mewarnai hidup orang Jawa, entah sampai kapan. Maka idak mustahil jika dalam hidup orang Jawa sering lupa, dan yang paling
berbahaya apabila sengaja melupakan diri. Terlebih lagi kalau watak lupa tadi telah terdorong oleh watak angkara murka, akan
menyebabkan orang rusak apes , dan akhirnya idak berharga di
masyarakat. Yang lebih berbahaya jika orang Jawa lupa pada asal-usulnya.
Lupa jika pernah disuapi nasi oleh ibunya. Lupa kalau pernah mengompol dan dicuci popoknya. Kalau demikian berari telah
melupakan orang yang menjadi wahana hidupnya. Orang yang telah menyebabkan dia hidup dilupakan begitu saja. Sing kebangeten,
ana wong lali marang bibit kawite. Lali yen tau didulang simboke. Akibatnya, orang tersebut lupa pada Tuhan. Orang tersebut terlilit
oleh watak murka,
bahkan perkara membagi warisan saja sering terjadi pertengkaran. Belum lagi jika terkait dengan harta kekayaan
negara, sering bertengkar tak ada habis-habisnya. Bahkan ada pula yang tega menginjak teman lain. Semua jadi lupa pada orang yang
mengukir jiwa raga. Ada yang tega kepada orang tua, menginjak- injak, memukul muka ibaratnya. Gelagat mikul dhuwur mendhem
jero , arinya menghormai secara spiritual semakin luntur.
Dalam peribahasa orang Jawa tau ngombe banyu sumur kok wani ngidoni sumur, tentu akan ada bahayanya. Mereka itu,
selain idak sopan, mengotori, idak takut kalau ada dosa, dan kurang paham bahwa air sumur itu suci. Kecuali kalau sumur itu
airnya memang telah kotor, entah untuk membuang bangkai, dan atau sumur mai yang idak pernah diimba airnya, silakan saja.
Biasanya sumur demikian akan berbau, ibarat manusia yang kotor, banyak dosa, telah mai rasanya.
Menurut ngelmu sumur , sumber mata airnya jelas bersih,
murni. Namun jika terkena kotoran jelas akan berbahaya. Tidak jauh berbeda dengan jagad para leluhur, pemimpin kita
sesungguhnya banyak yang masih sucinamun demikian jika terkena sampah, limbah, bangkai, padahal air sumur itu idak
diimba dan mengalir tentu kotor. Karena itu, layak kalau sumur itu idak begitu dihormai oleh pemiliknya.
Jaman lakon Damarwulan Ngarit, sebenarnya telah berlaku ngelmu sumur
. Ayah Damarwulan, bernama paih Maudara Udara, pernah mengundurkan diri sebagai paih di kerajaan
Majapahit. Dia mundur bukan karena korupsi, melainkan dia amat hormat kepada raja Prabu Brawijaya. Rasa hormat yang disertai
keseiaan pada raja, sampai dia rela idak menjadi paih lagi, lalu diganikan adiknya bernama Paih Logender. Dia menerima nasib
itu dengan sadar dan merasa lebih baik menjernihkan banyu sumur
, yang telah sering diimba. Namun demikian, adiknya memang mengeyel hingga pernah ingin mencederai Damarwulan
pada jaman perang dengan Minakjingga, akibatnya sumur di Majapahit berubah keruh lagi.
Perisiwa demikian yang membuat sumur Majapahit ibaratnya menjadi semakin keruh. Kelicikan, kebencian, dan tega terhadap
teman telah memoles perilaku manusia hingga menyebabkan suasana sumur semakin panas. Maksudnya, atas indakan paih
Logender pada Damarwulan yang keterlaluan, agar anaknya sendiri yang bernama Layang Seta dan Layang Kumiir, membuat
keterangan semu atas kemaian Minakjingga, jelas memperkeruh sumur. Kedua anaknya itu diarahkan agar membuat laporan
palsu ratu Kencanawungu, bahwa merekalah yang membunuh Minakjingga. Takik dan trik semacam ini sebenarnya idak lepas
dari balutan goda pada rasa sejai. Rasa sejai semakin pudar cahayanya karena angkara murka yang menunggangginya.
Akibatnya seseorang harus berminyak air, bahkan Paih Logender lupa diri hingga terbakar hawa nafsunya. Dia harus berbuat dan
berucap dengan penuh ipu daya dhandhang diunekake kontul. Tampaknya, dia hormat pada raja, tetapi rasa sejainya telah pudar,
hingga seperi sedang mengaduk-aduk sumur yang jernih menjadi keruh. Dia tampak memiliki keinginan akan memiliki kedudukan
tanpa melalui proses yang wajar.
D. Ngelmu Makrifat Jawa