merta maka raja memerintahkan untuk mengadakan upacara keliling beteng Ngayogyakarta berikut pusaka-pusaka kraton.
Bencana pun hilang dan masyarakat merasa aman Baal, 1989: 34. Demikian pula dengan upacara jamasan pusaka-pusaka
kraton banyak dikunjungi masyarakat untuk meminta air sisa siraman, kemudian mereka percaya bahwa air itu akan menjadi
daya tersendiri keberhasilan panen di waktu mendatang. Itulah sebabnya maka masyarakat Pundong pun terutama yang tua-tua
masih percaya terhadap hal-hal di luar batas kemampuan logiknya dalam rangka menghadapi permasalahan hidup. Bahkan sampai
permasalahan nasional pun mereka pasrah dan percaya akan hadirnya seorang tokoh yang akan mampu mengatasai berbagai
macam kesulitan negeri, yaitu hadirnya sang ratu adil.
Berbagai macam upacara dan ritual spiritual inilah yang hingga kini hidup subur di lingkungan masyarakat Bantul pada
umumnya dan dusun Gruda pada khususnya. Bahwa di sana terjadi pergeseran-pergeseran nilai dan makna adalah hal sangat wajar
seiring dengan kemajuan jaman dan lajunya proses globalisasi yang sulit dihindarkan.
E. Kesimpulan
Setelah melakukan penjelajahan dan pemahaman tentang objek bahasan yaitu tentang tradisi wiwit dan Nini Thowong
di Pundong Bnatul, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, upacara wiwit dengan rangkaian tari Nini Thowong adalah salah satu bentuk rasa syukur masyarakat petani Pundong
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang melimpah,
dan juga sebagai ekspresi kebahagiaan dan kegembiraan bersama sekaligus tali perekat antar warga masyarakat dalam bentuk pesta
bersama, yang lazim disebut Rasulan, Majemuk atau Dekahan
gedhen. Kedua, perlunya menjaga nilai-nilai moralitas leluhur lewat
berbagai cara dan media, sehingga generasi mendatang idak kehilangan arah dalam mewarisi nilai-nilai budayanya sendiri.
Berbagai yang tampak di permukaan bentuk budaya tradisi terkesan keinggalan jaman serta aneh untuk dilakukan dalam
rangka modernitas, namun demikian dengan penyampaian yang halus dan proporsional, maka tujuan pewarisan budaya tradisi
akan sampai pada sasaran yang tepat.
112
Bagian Lima
FOLKLOR NUSANTARA DALAM SIRKUIT BUDAYA DAN ANTROPOLOGI SASTRA
Oleh Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta
A. Pendahuluan
Keterkaitan antara budaya, sastra, dan antropologi dalam fenomena folklor Nusantara masih dalam kerangka pencarian.
Keyakinan bahwa ada kaitan antara keiga disiplin itu memang sudah lama muncul, seidaknya sejak Geertz 1973 mempejari
Jawa dan Bali. Namun, Geertz sering berjalan sendirian, idak segera diikui oleh pemerhai yang lain. Padahal, kalau mencermai
karya-karya sastra dan etnograi yang muncul belakangan, sesungguhnya sudah saatnya mempersandingkan budaya, sastra,
dan antropologi untuk mencermai folklor.
Folklor adalah cabang ilmu humanisis yang idak mungkin lepas dari budaya, sastra, dan antropologi. Dalam kaitan ini,
tampaknya kehadiran antropologi sastra akan menjadi jawaban sementara terhadap interdisiplin itu. Antropologi sastra dapat
meperimbangkan folklor dari sisi buduaya dan sastra. Jebakan- jebakan folklor yang idak terduga, dapat dimaknai melalui studi
antropologi sastra. Namun demikian, antropologi sastra memang masih perlu mendapat perhaian khusus. Antropologi sastra
sebagai ilmu yang mewadahi sastra dan antropologi, di dalamnya terlintas folklor sebagai ruhnya.
Dalam bukunya The Dunamics of Folklor, Tolken 1976
mengenalkan jebakan-jebakan baru studi folklor. Baginya, folklor idak hanya yang bernilai tradisi. Folklor pun ada yang cenderung
“dehumanize”, biarpun belum sampai pada budaya destrukif. Folklor itu sebuah tradisi, sastra, seni, dan seluruh representasi
keinginan masyarakat. Oleh karena belajar folklor kadang-kadang berhadapan dengan teks yang mulitafsir. Jika penafsiran keliru,
mungkin ke arah hal-hal jorok, seringkali folklor dianggap merusak atau idak humanis.
Di sekolah-sekolah Nusantara, folklor sebenarnya sudah sering dipelajari, diresepsi, dan dijadikan acuan kehidupan. Namun,
umumnya para siswa belum menyadari atau disadarkan kalau yang dipelajari itu folklor. Sebagai missal, di sekolah dihayai masalah
peribahasa, pantun, teka-teki, wangsalan, dan lain-lain, tetapi belum disebut sebagai folklor. Di sekolah juga sering diajarkan
berbagai ragam budaya, seperi tradisi gerebeg, labuhan, wiwit, sekaten, ruwatan dan sebagainya, tetapi belum ditegaskan sebagai
folklor. Jadi, folklor di jagad edukasi memang masih berada pada sirkuit budaya, sastra lisan, dan antropologi sastra. Banyak guru
dan siswa yang idak paham kalau yang dihayai itu sebuah folklor.
Bahkan yang cukup menyakitkan, ada sekolah yang sama sekali idak mengenalkan folklor kepada siswanya. Mereka alergi
dengan hal-hal yang berbau tradisi. Oleh karena pemahaman mereka, Nusantara ini penuh hal-hal tradisional, yang nota bene
idenik dengan klenik, idak masuk akal, dan misis. Celakanya lagi para pelaku pendidikan selalu mengeklaim, folklor itu berada pada
sirkuit antara yang tabu dan yang diperbolehkan. Mempelajari folklor dianggap akan menggiring siswa menjadi orang kerdil, yang
gemar mengotak-aik budaya fosil. Karena itu, Tolken 1976:x mengisyartkan bahwa di sekolah pun ada yang sengaja membunuh
killed
sastra lisan, folklor, dan tradisi, dengan cara memandang sebelah mata.
Tolken 1976:334 menegaskan bahwa untuk mencermai keterkaitan antara sastra, budaya, dan folklor perlu dilakukan kriik.
Dengan kriik folklor, akan diketahui gaya pengarang, pandangan hidup, seni sastra, baik yang dilakukan seorang individual maupun
kolekif. Novel, cerita pendek, puisi pun sering ada yang disisipi folklor. Begitu pula folklor, juga idak sedikit yang memuat sastra
lisan, seperi mite, legenda, dongeng, dan cerita rakyat. Hal ini dapat dicermai secara antropologi sastra, agar semakin jelas
bahwa ada keterkaitan di antara interdisiplin ilmu humanisis.
Atas dasar hal itu, kiranya sudah saatnya para akademisi menyingsingkan lengan baju, untuk mempertahankan diri terhadap
nuansa folklor. Folklor yang sering dipertaruhkan nasibnya, layak memerlukan pembelaan secara proporsional, bukan emosional.
Oleh sebab itu, folklor perlu dipandang dari kejernihan dan budaya yang segar dan dinamik. Sebuah tawaran ilmu baru yang disebut
antropologi sastra, kiranya dapat menjadi “jembatan emas”, untuk memberikan jusiikasi terhadap folklor. Lewat kacamata
antropologi sastra, folklor akan menjadi fenomena yang berharga, karena dapat diwawas secara ilmiah. Antropologi sastra, adalah
pemahaman terhadap cipta sastra termasuk folklor, dengan memperimbangkan aspek budayanya.
B. Folklor Lisan dan Budaya Sampah dalam Sirkuit Antropologi Sastra