Kesimpulan Pendahuluan 19. sebagai editor buku berjudul folklor Nusantara Hakekat, Bentuk, dan Fungsi

merta maka raja memerintahkan untuk mengadakan upacara keliling beteng Ngayogyakarta berikut pusaka-pusaka kraton. Bencana pun hilang dan masyarakat merasa aman Baal, 1989: 34. Demikian pula dengan upacara jamasan pusaka-pusaka kraton banyak dikunjungi masyarakat untuk meminta air sisa siraman, kemudian mereka percaya bahwa air itu akan menjadi daya tersendiri keberhasilan panen di waktu mendatang. Itulah sebabnya maka masyarakat Pundong pun terutama yang tua-tua masih percaya terhadap hal-hal di luar batas kemampuan logiknya dalam rangka menghadapi permasalahan hidup. Bahkan sampai permasalahan nasional pun mereka pasrah dan percaya akan hadirnya seorang tokoh yang akan mampu mengatasai berbagai macam kesulitan negeri, yaitu hadirnya sang ratu adil. Berbagai macam upacara dan ritual spiritual inilah yang hingga kini hidup subur di lingkungan masyarakat Bantul pada umumnya dan dusun Gruda pada khususnya. Bahwa di sana terjadi pergeseran-pergeseran nilai dan makna adalah hal sangat wajar seiring dengan kemajuan jaman dan lajunya proses globalisasi yang sulit dihindarkan.

E. Kesimpulan

Setelah melakukan penjelajahan dan pemahaman tentang objek bahasan yaitu tentang tradisi wiwit dan Nini Thowong di Pundong Bnatul, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pertama, upacara wiwit dengan rangkaian tari Nini Thowong adalah salah satu bentuk rasa syukur masyarakat petani Pundong kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang melimpah, dan juga sebagai ekspresi kebahagiaan dan kegembiraan bersama sekaligus tali perekat antar warga masyarakat dalam bentuk pesta bersama, yang lazim disebut Rasulan, Majemuk atau Dekahan gedhen. Kedua, perlunya menjaga nilai-nilai moralitas leluhur lewat berbagai cara dan media, sehingga generasi mendatang idak kehilangan arah dalam mewarisi nilai-nilai budayanya sendiri. Berbagai yang tampak di permukaan bentuk budaya tradisi terkesan keinggalan jaman serta aneh untuk dilakukan dalam rangka modernitas, namun demikian dengan penyampaian yang halus dan proporsional, maka tujuan pewarisan budaya tradisi akan sampai pada sasaran yang tepat. 112 Bagian Lima FOLKLOR NUSANTARA DALAM SIRKUIT BUDAYA DAN ANTROPOLOGI SASTRA Oleh Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta

A. Pendahuluan

Keterkaitan antara budaya, sastra, dan antropologi dalam fenomena folklor Nusantara masih dalam kerangka pencarian. Keyakinan bahwa ada kaitan antara keiga disiplin itu memang sudah lama muncul, seidaknya sejak Geertz 1973 mempejari Jawa dan Bali. Namun, Geertz sering berjalan sendirian, idak segera diikui oleh pemerhai yang lain. Padahal, kalau mencermai karya-karya sastra dan etnograi yang muncul belakangan, sesungguhnya sudah saatnya mempersandingkan budaya, sastra, dan antropologi untuk mencermai folklor. Folklor adalah cabang ilmu humanisis yang idak mungkin lepas dari budaya, sastra, dan antropologi. Dalam kaitan ini, tampaknya kehadiran antropologi sastra akan menjadi jawaban sementara terhadap interdisiplin itu. Antropologi sastra dapat meperimbangkan folklor dari sisi buduaya dan sastra. Jebakan- jebakan folklor yang idak terduga, dapat dimaknai melalui studi antropologi sastra. Namun demikian, antropologi sastra memang masih perlu mendapat perhaian khusus. Antropologi sastra sebagai ilmu yang mewadahi sastra dan antropologi, di dalamnya terlintas folklor sebagai ruhnya. Dalam bukunya The Dunamics of Folklor, Tolken 1976 mengenalkan jebakan-jebakan baru studi folklor. Baginya, folklor idak hanya yang bernilai tradisi. Folklor pun ada yang cenderung “dehumanize”, biarpun belum sampai pada budaya destrukif. Folklor itu sebuah tradisi, sastra, seni, dan seluruh representasi keinginan masyarakat. Oleh karena belajar folklor kadang-kadang berhadapan dengan teks yang mulitafsir. Jika penafsiran keliru, mungkin ke arah hal-hal jorok, seringkali folklor dianggap merusak atau idak humanis. Di sekolah-sekolah Nusantara, folklor sebenarnya sudah sering dipelajari, diresepsi, dan dijadikan acuan kehidupan. Namun, umumnya para siswa belum menyadari atau disadarkan kalau yang dipelajari itu folklor. Sebagai missal, di sekolah dihayai masalah peribahasa, pantun, teka-teki, wangsalan, dan lain-lain, tetapi belum disebut sebagai folklor. Di sekolah juga sering diajarkan berbagai ragam budaya, seperi tradisi gerebeg, labuhan, wiwit, sekaten, ruwatan dan sebagainya, tetapi belum ditegaskan sebagai folklor. Jadi, folklor di jagad edukasi memang masih berada pada sirkuit budaya, sastra lisan, dan antropologi sastra. Banyak guru dan siswa yang idak paham kalau yang dihayai itu sebuah folklor. Bahkan yang cukup menyakitkan, ada sekolah yang sama sekali idak mengenalkan folklor kepada siswanya. Mereka alergi dengan hal-hal yang berbau tradisi. Oleh karena pemahaman mereka, Nusantara ini penuh hal-hal tradisional, yang nota bene idenik dengan klenik, idak masuk akal, dan misis. Celakanya lagi para pelaku pendidikan selalu mengeklaim, folklor itu berada pada sirkuit antara yang tabu dan yang diperbolehkan. Mempelajari folklor dianggap akan menggiring siswa menjadi orang kerdil, yang gemar mengotak-aik budaya fosil. Karena itu, Tolken 1976:x mengisyartkan bahwa di sekolah pun ada yang sengaja membunuh killed sastra lisan, folklor, dan tradisi, dengan cara memandang sebelah mata. Tolken 1976:334 menegaskan bahwa untuk mencermai keterkaitan antara sastra, budaya, dan folklor perlu dilakukan kriik. Dengan kriik folklor, akan diketahui gaya pengarang, pandangan hidup, seni sastra, baik yang dilakukan seorang individual maupun kolekif. Novel, cerita pendek, puisi pun sering ada yang disisipi folklor. Begitu pula folklor, juga idak sedikit yang memuat sastra lisan, seperi mite, legenda, dongeng, dan cerita rakyat. Hal ini dapat dicermai secara antropologi sastra, agar semakin jelas bahwa ada keterkaitan di antara interdisiplin ilmu humanisis. Atas dasar hal itu, kiranya sudah saatnya para akademisi menyingsingkan lengan baju, untuk mempertahankan diri terhadap nuansa folklor. Folklor yang sering dipertaruhkan nasibnya, layak memerlukan pembelaan secara proporsional, bukan emosional. Oleh sebab itu, folklor perlu dipandang dari kejernihan dan budaya yang segar dan dinamik. Sebuah tawaran ilmu baru yang disebut antropologi sastra, kiranya dapat menjadi “jembatan emas”, untuk memberikan jusiikasi terhadap folklor. Lewat kacamata antropologi sastra, folklor akan menjadi fenomena yang berharga, karena dapat diwawas secara ilmiah. Antropologi sastra, adalah pemahaman terhadap cipta sastra termasuk folklor, dengan memperimbangkan aspek budayanya.

B. Folklor Lisan dan Budaya Sampah dalam Sirkuit Antropologi Sastra