Etiket, Moralitas, dan Budi Pekerti dalam Budaya Jawa

konsep dasar agama suku Dayak Kanayatn, antara lain: Jubata sebagai “yang teringgi” yang menentukan segalanya dan berada di latar belakang kehidupan semesta. Jubata adalah esa atau “nange”. 3. Masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat memiliki ndempa pertarungan antarjawara usai masa panen iba. Budaya ini teralienasi dan seakan perang hari ini sebagai sebuah permainan saja. 4. Masyarakat Aceh memiliki acara tepung tawar. Perkataan Tepung Tawar berasal dari dua perkataan, yaitu “Tempung dan Tawar Tampung Tawar ” yang bermakna Tampung tangan untuk menerima penawar atau obat. Upacara kebiasaan bagi puak Melayu dalam berbagai upacara. Berbagai lembaga mekanisme resolusi konlik yang berbeda- beda tersebut hadir dan terbangun melalui kontkes sosio- historis yang berbeda. Walaupun demikian memiliki fungsi mengintegrasikan masyarakat dalam sistem sosial yang damai.

C. Etiket, Moralitas, dan Budi Pekerti dalam Budaya Jawa

Pelbagai kitab, folklor, dan seni pertunjukan Jawa, misalnya serat-serat dan wayang Jawa , menekankan peningnya eika sebagai praksis hidup dan kehidupan periksa Saryono, 2007:43. Dalam kedudukan dan keberadaan inilah, konsep eika dalam budaya Jawa harus dibaca dan dipahami sebagai eiket dan moralitas. Dengan kata lain, dalam budaya Jawa, yang berkembang adalah eiket dan moralitas, bukanlah eika dan ilmu kriis, sehingga nilai menjadi sesuatu yang kongkret dan nyata, bukan abstrak dan konseptual. Eiket dan moralitas budaya Jawa ini terungkap terutama dalam konsep wis nJawa, gak nJawa, dan durung n Jawa . Jadi, konsep wis nJawa, gak nJawa, atau durung nJawa merupakan superordinat eiket dan moralitas Jawa. Pemangku budaya Jawa yang disebut atau dikatakan wis n Jawa atau wis ngeri berari sudah mengeri dan menguasai eiket dan moralitas Jawa, sedangkan pemangku budaya Jawa yang disebut atau dikatakan gak nJawa dan durung nJawa durung ngeri berari idak dan belum mengeri dan menguasai serta menggunakan eiket dan moralitas budaya Jawa periksa Saryono, 2007:43. Terhadap orang yang gak nJawa, durung nJawa atau durung nJawa atau durung ngeri ini, seiap pemangku budaya Jawa diseyogyakan untuk memakluminya, pangerten, bukan mengumpat atau mengutuknya meskipun semua itu idak sesuai dengan moralitas yang diidealkan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa superordinat eika dan moralitas budaya Jawa adalah konsep wis nJawa dan gak nJawa serta durung nJawa , yaitu keadaan hai nurani karsa yang sudah, belum, dan idak sesuai dengan tuntutan eiket dan moralitas Jawa periksa Saryono, 2007:44. Eiket lebih berbicara tentang kesopansantunan- keidaksopansantunan, sedangkan moralitas lebih berbicara tentang kebaikan-keburukan. Hal ini mengimplikasikan bahwa eiket dan moralitas budaya Jawa berbicara tentang kesopansantunan dan kebaikan menurut persepsi pemangku budaya Jawa. Ungkapan becik keiik ala ketara, aja tumindak ala, wong sing ngeri unggah- ungguh, ngundhuh wohing pakari, wong sing temen inemu wong salah seleh dan ungguh-ungguhing basa, misalnya, adalah contoh arikulasi dan eksternalisasi eiket dan moralitas Jawa. Dalam hal ini menjadi jelas bahwa eiket dan moralitas budaya Jawa idak hanya mempersoalkan kebaikan keburukan becik, apik, ala, tapi juga persoalan kesopansantunan-keidaksopansantunan atau kepantasan-keidakpantasan unggah-ungguh, pakari, pantes, tatakrama . Kebaikan di sini lebih berkenaan dengan aspek standar moral tertentu yang substanif-ontologis, sedangkan kesopansantunan atau kepantasan berkenaan dengan aspek perwujudan atau praksis standar moral ke dalam eiket yang proporsional-kontekstual-performaif. Ucapan, indakan, perbuatan, dan perilaku eis pemangku budaya Jawa harus selalu dalam koordinat kebaikan dan kepantasan ini: misalnya, pemangku budaya Jawa idak cukup hanya berindak dan berbuat baik, tetapi juga harus berindak dan berbuat pantas. Orang yang sudah bisa berindak dan berbuat baik dan pantas ini dapat dikategorikan orang yang sudah Jawa, wis nJawa. Dalam hidup dan kehidupan, seiap manusia Jawa harus menguasai asas-asas dan kaidah- kaidah kebaikan dan kepantasan menurut persepsi budaya Jawa ini agar dapat disebut wis nJawa. Di samping itu, dia harus dapat menjaga, melindungi, mempertahankan, dan mengusahakan terus-menerus kemantaopan dan keterpeliharaan asas-asas dan kaidah-kaidah kebaikan dan kepantasan tersebut. Dalam budaya Jawa, ucapan, indakan, perbuatan, dan perilaku yang dianggap baik dan pantas adalah yang bijaksana dan penuh kasih sayang wicaksana, asih ing sesami [welas asih]. Pemangku budaya Jawa yang wicaksana memiliki kawicaksanan dan asih ing sesami memiliki welas asih pada umumnya disebut orang baik dan santun-pantas. Sebaliknya, orang disebut idak baik dan idak santun-pantas jika idak mengedepankan atau menampilkan kawicaksanan dan asih ing sesami . Tidak heran, dalam budaya Jawa ada tuntutan kepada seiap manusia untuk mencari kebijaksanaan ngudi kawicaksanan dan mengembangkan kekasihsayangan nguri-uri asih sing sesamiwelas asih . Dengan kebijaksanaan dan kekasihsayangan, diharapkan seiap manusia Jawa akan mampu atau dapat bersikap, berucap, berindak, berbuat, dan berperilaku dengan baik dan pantas. Di sinilah dapat dinyatakan bawa kebaikan dan kepantasan menurut pandangan eis budaya Jawa adalah kebijaksanaan dan kekasihsayangan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa koordinat eiket dan moralitas Jawa adalah nilai kebijaksanaan dan kekasihsayangan sebagai manusia. Budi pekeri berkaitan dengan sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan alam sekitar. Di dalam Buku Pedoman Umum Pendidikan Budi Pekeri, nilai-nilai budi pekeri dirumuskan ke dalam 86 buir nilai esensial budi pekeri, antara lain: adil, amanah, anisipaif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani berbuat benar, berani memikul resiko, berpikir jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bijaksana, cermat, cinta ilmu, demokrais, dinamis, disiplin, eisien, empai, gigih, hemat, hormat, ikhlas, jujur, kebersamaan, ksatria, lapang dada, lembut hai, mawas diri, menghargai karya orang lain, rasional, patrioik, pemaaf, pemurah, percaya diri, rajin, ramah, rasa memiliki, rela berkorban, rendah hai, sabar, seia, sopan santun, susila, syukur, tanggung jawab, tegas, tegar, tekun, tenggang rasa, tepat janji, terbuka, terib, ulet, dan sebagainya Dirjen Dikdasmen, 2003:7. Rifai 2007:197 mengideniikasi sosok manusia yang diidealkan oleh orang Madura melalui khasanah peribahasa atau ca’oca’an Madura yang melipui ongkabhan, bhabhasan, saloka, parebhasan, parocabhan, parsemmon, dan bangsalan yang terkadang dituangkan dalam bentuk papareghan, pantun, syiir, palegghiran, send?elan, lalogedhan, dan baburughan. Dalam memanfaatkan sumber daya alam janganlah lingkungan dirusakkan, seperi dengan tegas diungkapkan dalam peribahasa pegha’ jhuko’na jha’ palekko aengnga tangkap ikannya jangan keruhkan airnya. Jha teghaan jangan kejam, jha kaneyajaan jangan keji, kaneserre bhurun alas kasihani binatang adalah seperangkat nasihat orang tua-tua Madura agar manusia hidup akrab dengan sesama makhluk ciptaan Allah. Peribahasa seperi tarata eocol ka alas ayam hutan dilepas ke belantara, mara alas ban macanna seperi hutan dan harimaunya atau tada’ alas ta’ bada macanna idak hutan tak berharimau menggambarkan saling ketergantungan unsur-unsur alam dalam sebuah ekologi demi kelangsungan kelestarian keberadaannya. Salah satu landasan hidup orang Madura adalah diaainya tangga kuasa bhu, pa’ bhabhu’ ghuru, rato ibu, bapak, sesepuh, guru, raja. Orang Madura akan menghormai ibunya, lalu bapaknya, kemudian sesepuhnya, sesudah itu gurunya, dan baru raja atau pemerintahnya sebagai panutan terakhir. Urutan peringkat penghormatannya selanjutnya ditafsirkan menjadi ‘ibu bapak guru raja’. Dalam masyarakat Madura dikenal ca’-oca’an Madura abhantal sadhat, asapo’ iman, apayung Allah berbantal dua kalimah syahadat, berselimut iman, berpayung Allah. Sosok ideal manusia Madura adalah sosok yang berpegang teguh kepada ajaran Islam. Jika berangkat idur selalu mengucapkan dua kalimat syahadat, berdzikir, dan menebalkan keimanan, yaitu iman kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, dan yakin kepada takdir buruk dan baik yang datangnya dari Allah. Dikenal jugaca’-oca’an Maduramon ngajhi ka Arab, mon adhaghang ban Cena kalau mengaji pergilah pada orang Arab, kalau berdagang berhubungan dengan orang Cina. Ca’-oca’an idak dimaksudkan untuk mengurangi makna hadis Nabi Muhammad yang menyuruh umat Islam agar idak tanggung-tanggung berguru mencari ilmu sekalipun harus pergi ke negeri Cina. Wiyata 2007:4 menyatakan dalam masyarakat Madura juga dikenal ca’-oca’an Madura ango’an poteya tolang etembang poteya mata maknanya: lebih baik puih tulang dari pada puih mata, terjemahan dari peribahasa Melayu ‘lebih baik mai berkalang tanah daripada hidup menanggung malu’. Seiap manusia Madura dinasihai untuk selalu 1 menghormai sesepuh, hukum, dan agama; 2 menjaga mulut, perilaku, dan kegiatan; 3 menghindari sifat kejam, keji, dan kekurangpasrahan, 4 memiliki keseiaan, kesucian hai, dan kejujuran; 5 mengusahakan pencapaian kesepakatan, kesenangan lahir, dan kebahagiaan bain; 6 mampu mengelola waktu, harta, dan kesehatannya; 7 mau lebih giat belajar sampai tao bisa dhadhi tahu bisa jadi, berinovasi dalam berusaha, dan tanggap memeik pelajaran untuk diambil manfaatnya sehingga dapat hidup akrab dengan alam untuk bisa mensyukuri semua nikmat berkat Allah secara berkelanjutan Rifai, 2007:447-448. Peneliian Sudjijono 2007 menunjukan gagasan yang menonjol dan berulang dalam legenda adalah gagasan yang mengandung pemikiran posiif, seperi cinta, pengabdian, pengorbanan, perjuangan, dan takdir. Kecuali itu ada gagasan yang bersisi negaif seperi kesombongan, kecerobohan, kezaliman, keserakahan, pengkhianatan, itnah, dan dosa. Cinta merupakan perasaan suka, sayang, kasih, terpikat antara lelaki dan wanita. Cinta itu dapat menciptakan sesuatu yang posiif, dan sebaliknya, cinta dapat menjadi penyebab terjadinya iondakan negaif dan desktrukif. Pengabdian adalah penghambaan dengan tanpa memperhitungkan imbalan inansial. Pengabdian dilakukan karena keyakinan pada agama, perintah penguasa, kewajiban terhadap negara. Pengorbanan adalah perbuatan memberikan sesuatu materi, badan, dan jiwa sebagai tanda baki atau seia pada Zat Mulia, masyarakat, umat manusia. Ada pengorbanan yang menyerupai mitos aiiologis, korban diri sebagai sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Perjuangan adalah usaha yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan sungguh- sungguhuntuk mencapai tujuan tertentu. Usaha itu dilakukan dengan konlik, perkelahian, dan perang. Takdir adalah ketetapan atau ketentuan dari Yang Mahakuasa. Pemikiran takdir dalam legenda terkait dengan sandyakalaning kekuasaan raja. Di pihak lain, kesombongan yang tersirat dalam legenda mengisahkan tokoh yang mendapat bencana karena kesombongannya. Kecerobohan yang tersirat dalam legenda mengisahkan tokoh yang terburu nafsu dan idak sabar sehingga mengalami bencana yang tragis. Kezaliman yang tersirat dalam legenda mengisahkan kezaliman terhadap kaum wanita dan anak yaim piatu. Keserakahan terkait dengan rebutan kekuasaan di antara para putra raja yang akan mengganikan takhta kerajaan sang ayah. Pengkhianatan merupakan perbuatan idak seia atau bertentangan dengan janji yang telah disepakai sebelumnya. Fitnah adalah perkataan yang bermaksud menjelekkan, merugikan, mencelakakan, atau merendahkan kehormatan nama orang lain dengan menggunakan alasan yang idak benar. Dosa memiliki dua dimensi, verikal terkait dengan agama dan Tuhan dan horizontal terkait dengan sesama orang. Di dalam legenda, perbuatan dosa berdimensi horizontal.

E. Nilai Moral Utama Universal