Ida Bhatari Batur
5
sebagai ”penguasa air”. Dalam konteks agama Hindu dan budaya Bali isilah air yeh, toya, irtha, jala dan tempat
yang berkaitan dengan air, seperi jelingjingan parit kecil, telabah parit besar, tukad sungai, telaga telaga, danu danau, pasih laut,
bulakan sumber mata air kecil, gumbleng tempat memurnikan air telabah, pancoran, kelebutan sumber mata air, belong tempat air,
semer air sumur. Masalah makna tradisi lisan itu dalam kekinian akan diangkat pada ulasan lebih lanjut di bawah ini.
B. Tradisi Lisan
Menurut Suripan Sadi Hutomo 1991:11, tradisi lisan itu mencakup beberapa hal, yakni 1 yang berupa kesusastraan lisan,
2 yang berupa teknologi tradisional, 3 yang berupa pengetahuan folk
di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, 4 yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal
agama-agama besar, 5 yang berupa kesenian folk di luar pusat- pusat istana dan kota metropolitan, dan 6 yang berupa hukum
adat. Kemudian Pudenia 1999:32-35 memberikan pemahaman tentang hakikat orality sebagai berikut.
Tradisi lisan oral tradiion mencakup segala hal yang
Masyarakat di Pegunungan di Bali. Hal.226-227.
5
Bhatari Batur adalah sistem kedewataan dalam teologi Hindu yang merupakan sebuah konsepsi Purusa-Pradana
laki-perempuan, di mana purusa adalah Siwa yang dilambangkan dengan linggam atau gunung, dan danau batur
sebagai pradana wanita yang dilambangkan dengan yoni atau danau. Dewa-
dewa dalam agama Hindu, khususnya Dewa-dewa teringgi, digambarkan memiliki suatu kekuatan tenaga yang diperlukan untuk melakukan semua
“tugas” yang harus mereka jalankan. Kekauatan atau tenaga ini disebut saki dan seringkali diwujudkan sebagai dewi pasangan dewa-dewa tersebut. Hariani
Saniko,1992. hal.1. Bhatari Durgha. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
berhubungan dengan sastera, bahasa, sejarah, biograi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan
dari mulut ke mulut. Jadi, tradisi lisan idak hanya mencakup ceritera rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi,
dan legenda,
seperi yang umumnya diduga orang, tetapi juga berkaitan dengan
sistem kogniif kebudayaan, seperi sejarah, hukum, dan pengobatan. Tradisi lisan adalah “segala wacana yang
diucapkandisampaikan secara turun-temurun melipui yang lisan dan yang beraksara” dan diarikan juga sebagai “sistem wacana
yang bukan beraksara.” Tradisi lisan idak hanya dimiliki oleh orang lisan saja. Implikasi kata “lisan” dalam pasangan lisan – tertulis
berbeda dengan lisan-beraksara. Lisan yang pertama oracy mengandung maksud ‘keberaksaraan bersuara’, sedangkan lisan
kedua orality
mengandung maksud kebolehan bertutur secara beraksara. Kelisanan dalam masyarakat beraksara sering diarikan
sebagai hasil dari masyarakat yang idak terpelajar; sesuatu yang belum dituliskan; sesuatu yang dianggap belum sempurna
matang, dan sering dinilai dengan kriteria keberaksaraan.
Bila diberikan deskripsi tentang kelisanan dengan memakai ukuran dari hal-hal yang berasal dari dunia keberaksaraan,
masih ada hal-hal tertentu yang khas dari kelisanan yang belum terungkap. Ada pula hal-hal yang diungkapkan, tetapi idak
diwujudkan. Hal ini idaklah berari bahwa kelisanan sama sekali terlepas dari dunia keberaksaraan atau sebaliknya, dunia
keberaksaraan idak berkaitan dengan dunia kelisanan. Ada saling pengaruh di antara kedua dunia tersebut dan interaksi antara
keduanya justru sangat menarik Teeuw, 1980:4-5. Hubungan di antara tradisi lisan dan tradisi tulis khususnya dalam dunia Melayu
didasari oleh anggapan bahwa dengan mengetahui interaksi keduanya, baru dapat memahami masing-masing tradisi tersebut
Sweeney, 1991:17-18.
Pada beberapa tempat hubungan atau penulisan tradisi lisan ke dalam naskah tulis, sebagaimana telah dijelaskan pada hakikat
kelisanan di atas, tentu memiliki latar belakang yang berbeda- beda. Salah satunya sebagai bentuk pelestarian terhadap nilai-
nilai yang dianggap pening untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Dalam perjalanannya, naskah-naskah yang berawal
dari riwayat lisan menimbulkan banyak versi. Hal ini dipengaruhi oleh selera penulis atau penyalinnya, dengan cara menambah
atau mengubah urutan atau alur cerita. Dengan demikian terdapat sejumlah besar naskah tertulis yang asalnya dari riwayat atau
sastra lisan Lubis, 1996:13. Hal ini secara faktual dapat dlihat pada naskah-naskah dongeng satua-satua Bali di Gedong Kirtya
Singaraja, Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana dan berbagai koleksi
pribadi atau perorangan. Naskah-naskah tertulis ini adalah upaya melestarikan cerita lisan dengan menuliskan kembali dalam
naskah-naskah tulis.
Jika idak demikian, maka cerita-cerita lisan tersebut lama kelamaan akan hilang ditelan zaman teknologi informasi yang
sangat canggih dewasa ini. Salah satu dari sekian banyak cerita lisan yang ada di Bali, perhaian ditujukan pada cerita mitos I
Ratu Ayu Mas Mĕmbah, yang hingga kini masih menjadi ingatan kolekif dan dipercayai kebenaranya oleh daerah-daerah yang
terlewai oleh garis persebaran mitos macam ini.
6
Perjalanan mitos ini telah memunculkan sejarah lisan tentang terbentuknya nama
desa dan budaya perilaku suatu daerah di Bali. Hal ini jika dikaitkan dalam konteks masa kini yang tatanan kehidupan dipengaruhi
oleh budaya global. Globalisasi yang telah menjadi mode dalam ilmu-ilmu sosial, merupakan kata kunci dalam resep-resep pakar
ilmu manajemen dan kata bertuah yang digunakan para wartawan dan poliisi dari berbagai ingkatan untuk menarik perhaian. Di
mana-mana orang mengatakan bahwa sekarang hidup manusia ada dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagaian besar
ditentukan oleh proses global; dalam zaman di mana garis-garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional
semakin kabur Hirst,2001:1.
Konsekuensi mitos globalisasi tersebut adalah adanya sebuah perubahan besar yang terjadi pada awal Milenium Keiga, yaitu
6
Macam-macam mitos, yaitu 1 mitos penciptaan menceritakan tentang penciptaan alam semesta yang sebelumnya sama sekali idak ada, 2 mitos
kosmogonik mengisahkan penciptaan alam semesta, hanya saja penciptaan
itu menggunakan sarana yang telah ada, 3 mitos asal-usul mengisahkan asal mula atau awal dari segala sesuatu, 4 mitos mengenai para dewa dan para
makhluk adikodrai, 5 mitos antropogenik mengenai terjadinya manusia, dan 6 mitos-mitos berkenaan dengan tranformasi menceritakan perubahan-
perubahan keadaan dunia dan manusia di kemudian hari. Mariasusai Dhavamony, 1995, page. 154-161. Fenomenologi Agama. Kanisius. Bandingkan pembahasan
efekivitas dan susunan mitos oleh Claude Levi-Strauss. 2007. page 247-309. Antropologi Struktural
. Kreasi Wacana. Dengan menjauhkan Tuhan dari ruang lingkup insani, maka manusia dibawa oleh kecenderungan hai untuk jadi dekat
dengan Yang Gaib, mengibaratkan ketuhanan sebagai badan alamiah seperi matahari, bulan, atau bumi seperi dalam mitologi alam atau mengkhayalkannya
sebagai penghuni pohon atau arwah para leluhur, seperi animisme, manisme. Baca: Rachmat Subagya.1979. Agama Asli Indonesia. Page.65. Jadi, mitos
diduga merepresentasikan diri manusia yang selalu ingin dekat dengan Yang Illahi Tuhan. Bandingkan Rogerl M. Keesing,2004. Antropologi Budaya: Suatu
Perspekif Kontemporer. Page 106.
terbentuknya sebuah dunia baru akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, yang di dalamnya
tercipta berbagai deinisi dan pemahaman baru mengenai apa yang disebut realitas. Di dalam relasi baru realitas tersebut
tanda idak lagi mereleksikan realitas; representasi idak lagi berkaitan dengan kebenaran; informasi idak lagi mengandung
objekivitas pengetahuan. Dunia baru itu, sebaliknya adalah dunia yang dibangun oleh berbagai bentuk distorsi realitas, permainan
bebas tanda, penyimpangan makna, dan kesemuan makna Piliang,2004:53.
Dalam perspekif sosial-budaya pada abad ke-21 tekanan- tekanan yang mempengaruhi objek kebudayaan adalah; ekonomi,
teknologi dan eika, hakikatnya adalah Pertama perkembangan sistem teknologi tampaknya akan terus berlanjut dan akan
mempengaruhi keputusan-keputusan esteik, ia akan berkembang ke arah sistem kompleks. Kedua tekanan ekonomi pasar bebas
telah mengubah konsep manusia posmodern tentang waktu, diri, individu, keluarga, masyarakat, ruang, bangsa dan negara. Keiga
tekanan moral yang menyangkut kemanusiaan dan lingkungan yang terus meningkat, termasuk tekanan pada objek kebudayaan
Pilliang, 1999:334-335. Suatu peradaban baru sedang tumbuh dalam kehidupan manusia, peradaban ini membawa gaya baru
dalam kehidupan keluarga, mengubah cara kerja, cara bercinta dan cara hidup, membawa tatanan ekonomi baru, konlik-
konlik baru dan di atas semua itu mengubah kesadaran manusia Toler,-1990:23. Konteks masa kini sebagaimana uraian tersebut,
seakan telah ‘menelan’ habis segala sesuatu yang yang berbau tradisi. Dengan demikian pertanyaannya menjadi: apakah tradisi
lisan masih mendapat tempat dalam konteks budaya masa kini, di mana manusia telah ada dalam konteks modernisasi bahkan
posmodernitas. Penelusuran konteks kekinian dari tradisi inilah sesungguhnya dimaksudkan dari konsep di atas itu.
C. Karakteristik Sosio-kultural Bali