sekaligus penunggu Dewi Sri di sawah. Pemujaan dan sesji yang dipersembahkan kepadanya adalah representasi dari pernyataan
terima kasih para petani terhadap jasa-jasa yang telah menjaga tegal dan persawahan petani. Pada jaman dulu setelah upacara mboyong
Dewi Sri secara masal akan diakhiri dengan dekahan gedhenatau mejemuk umum, dalam upacara dekahan gedhen itu menanggap
wayang dengan cerita lakon Sri Boyong atau lakon Makukuhan, yaitu cerita lakon wayang yang berkisah tentang asal muasal tanaman
padi dan terjadinya Kala BulkiyaKasidi, 2011: 54. Namun karena situasi ekonomi yang melanda hampir di seluruh Indonesia sejak
beberapa tahun terakhir biaya mejemuk umum dialihkan untuk pembangunan prasarana umum di kampung mereka.
2. Fungsi Upacara Wiwit
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas dapat diketahui bahwa upacara wiwit bagi masyarakat Pundong merupakan
kegiatan yang dilakukan guna meminta perlindungan kepada Dewi Sri agar hasil panenan terjaga. Walaupun idak seiap orang
sekarang ini melakukan upacara tersebut namun orang-orang tua dari daerah pedasaan tetap melaksanakannya. Barangkali karena
faktor komunikasi yang kurang dikembangkan berakibat putusnya nilai warisan budaya leluhur, apabila hal ini idak diperhaikan dan
diteruskannya tradisi wiwit ini, maka bukan idak mungkin tradisi itu akan punah.
3. Sifat Upacara Wiwit
Mayoritas penduduk wilayah Pundong beragama Islam, walaupun idak semuanya menjalankan sholat 5 waktu dapat
dibandingkan dengan pendapat Geerzt 1992.Ada anggapan dari kalangan terpelajar dan modernist bahwa indakan upacara
ritual yang diadakan oleh leluhur mereka adalah perbuatan misik. Namun demikian mereka tetap menghormai para orang tua dan
para leluhur hal ini dibukikannya dalam keikutsertaan mereka dalam perisiwa itu.Hal ini idak terlepas dari bagimana para
orang tua menyampaikan tujuan dan maksud dari segala upacara yang meraka lakukan.Salah satu yang paling bijaksana adalah
bahwa semua perisiwa sebagai perisiwa budaya warisan leluhur yang perlu dilestarikan dan dikenal oleh seiap generasi yang ada
dan mengawal perjalanan sejarah Pundong. Oleh karena itulah perisiwa ini justru dikemas sedemikian rupa guna perayaan desa
yang disatukan dengan perisiwa nasional misalnya peringatan 17 Agustus hari kemerdekaan Republik Indonesia atau perisiwa
lainnya. Inilah sikap moralisic yang lebih biijaksana segenap warga masyarakat Pundong, satu pihak pewarisan budaya leluhur
jalan terus, di lain pihak idak bertentangan dengan ajaran agama, dengan demikian idak terjadi konlik sosial yang perlu
dikhawairkan oleh banyak pihak yang kadang menghembuskan issue yang kurang baik di masyarakat petani.
B. Nini Thowong